#Minimalism Menentang Arus & Pertolongan Pertama
Pertengahan tahun lalu saya tidak sengaja menemukan sebuah video seorang lelaki Jepang tentang bagaimana cara hidup minimalisnya tiba- tiba menjadi viral di YouTube. Cara hidup yang menentang arus ini tentu asing bagi saya, meskipun dulu pernah samar- samar terdengar beberapa orang yang menjual semua barang yang dia punya, hidup dengan berhemat, menolak menghabiskan duit mareka di jalan kapitalisme.
Temuan baru ini sangat menggugah saya sehingga begitu sampai dirumah dan berdiri di tengah kamar memandang barang- barang yang saya punya tiba- tiba saja menimbulkan sensasi aneh; malu, benci, rugi serta mubazir.
Kamar saya memang tidak pernah rapi atau teratur, 2 rak buku dengan ukuran besar pun tak mampu menampung jumlah buku yang kian bertambah sampai lebih banyak buku yang tergeletak di lantai. Belum lagi jumlah pakaian, lemari 3 pintu (relatif berukuran kecil) juga penuh sesak dan kebanyakkan pakaian seringnya menumpuk di ruang laundry.
Belum lagi sepatu (saya salah 1 perempuan yang menikmati membeli sepatu), tas (sebenarnya tidak banyak), koleksi memorabilia, hadiah- hadiah, juga barang- barang yang entah-apa niat serta fungsinya, menumpuk di kamar, berdebu dan terlupakan. Tetapi semua itu tidak pernah bisa memberi kepuasan pada batin melainkan setelah melihat video tentang minimalism serta menggali lebih dalam, membuat saya kecewa dan hampa.
Memang benar adanya bahwa barang yang kita punya belum tentu mampu mem-validasi kebutuhan jiwa kita meski proses mendapatkannya terkadang menyenangkan. Di era yang semakin konsumerisme ini kita telah membodohi kita dengan membiarkan kapitalis memberondong kita untuk lebih banyak menghabiskan uang, menumpuk barang, membeli sesuatu untuk mengesankan orang lain kecuali si empunyanya.
Oh wow, saya sungguh terdengar cerdas dan kritis, lalu apakah saya berhasil menjalankan misi untuk menjadi seorang yang minimalis? . Tidak. Harus saya akui, saya tidak mampu melakukannya atau belum mampu namun saya telah menjual beberapa barang, mendermakannya dan, demi memberi diri saya 'penghargaan' atas 'keberanian' melakukan itu semua, saya malah membuka website belanja online- membeli barang- barang yang sekiranya saya 'butuhkan'.
Sungguh memalukan memang, setelah beberapa hari pesanan saya tiba dirumah, ada saja kekurangannya yang membuat saya pergi ke thrift store dan melepaskan 'kebuasan' monster belanja dari dada. Amat memalukan.
Bahkan beberapa minggu lalu saya masih saja berbelanja (meski tidak banyak) karena tergiur diskon dan ketamakkan; kapan lagi bisa belanja diskon semurah ini.
Disinilah memang para anggota pemasaran perusahaan sangat jeli dalam menangkap celah secara psiklogis bahwa manusia sangat mudah dituntun jika diberi sesuatu yang berlabel diskon disertai tenggat waktu untuk membelinya. Kita secara naluri akan merasa terpancing, tergugah, tergesa- gesa dan merasa kita membutuhkannya atau kesempatan akan lenyap begitu saja berakhir dengan penyesalan jika tidak mendapatkannya.
Dan saya pun berakhir dengan membeli lotion sunblock yang normalnya berharga mahal, dengan harga diskon cukup fantastic tetapi balik lagi; belum tentu si lotion terbukti bagus hanya karena diskon. Shame. Shame. Shame.
Kembali ke keadaan kamar saya yang bagai gudang, menjelang lebaran kemarin saya berhasil menyingkirkan cukup banyak banyak barang, mengubah tatanan kamar juga membeli kasur lebih besar. Lagi- lagi sayangnya, mood saya berhenti sampai disitu, kamar saya masih saja belum terlihat lebih baik karena kotak- kotak yang hendak saya sumbangkan masih menumpuk menunggu orang- orang yang tepat untuk menghargai pemberian saya (ukuran baju yang sama, atau pembaca buku yang sama hardcore-nya dengan saya).
Selalu saja ada alasan untuk menunda, serta tentu saja selalu ada juga alasan membeli ini- itu.
Untuk jenis pembelanja, saya adalah impulsive shopper. Pantang melihat sesuatu yang murah, saya akan membelinya; meski tidak muat, untuk dipakai nanti atau untuk hadiah suatu hari nanti. Saya akan menemukan alasan- alasan bagus demi menipu diri sendiri.
Memuakkan memang, saya memutuskan untuk mencari pertolongan dari situs www.theminimalists.com, menghabiskan malam- malam menonton video dan mendengarkan podcast mareka di YouTube, mencari inspirasi untuk menarik diri saya keluar dari lingkaran tak berakhir ini.
Apa saja kemajuan yang sudah saya capai sejauh ini?.
Men-delete akun aplikasi belanja online langganan dan menghapus ribuan file dari HP saya yang mulai lambat penuh dengan hal- hal yang saya sendiri tidak pernah tahu eksistensinya.
Langkah diatas tidaklah mudah walau terlihat sepele, tapi kali ini saya bertekad akan lebih kuat untuk komitmen menjalankan hidup sederhana tanpa terikat oleh kebendaan dan rupa semata, nantikan artikel saya berikutnya tentang apa saja yang akan saya buang untuk melegakan batin saya.
2 comments
Wah menarik artikelnya.... Coba dikasi ke panti asuhan aja box box nya itu atau adakan baksos hahah
BalasHapuswah, thanks my brother Bells, thank you for stopping by, iya, sudah dikasihkan. tinggal buku2 yang lumayan berat untuk dibaca, jadinya hrs tggu orang2 yg hardcore baca juga..ahahaha
Hapus