Instagram Twitter Facebook
  • Home
  • Beauty
  • Entertainment & Arts
  • What's News
  • Traveling
  • Monologue

Ann Solo




  Walah, sepertinya September jadi bulan yang cukup produktif untuk Ann Solo. Siapa sangka, karena saya sendiri sebenarnya kecapean dengan kehidupan nyata (Ann Solo ini bukan bagian real life, ya?). 

Lalu apakah judul ini cukup menarik minat pembaca? Padahal saya menulis ini sembari menunggu penutupan seminar online mengenai personal branding. Saya sendiri cukup lelah, malah pengen jadi anonymous saja. 


Sepertinya tatapan mata dan perhatian dari orang-orang asing cukup menakutkan untuk saya. Tapi tenang, dapat duit yang banyak itu justru membuat saya berani. Apadah!




Ann Solo, Where Art Thou?!




Betul sekali, saya sedang mencari ‘diri’ saya sendiri meski awalnya Ann Solo adalah persona yang saya bangun dengan niat seru-seruan. Seperti plesetan dari Om Han Solo, Ann Solo adalah keponakannya yang menerbangkan Raven84 spaceship. Ya, begitulah inti dari pembuatan branding ini.


Kenapa saya memakai nama pena, karena saya suka. Ahahahaha well, saya memilih nama pena karena lebih lega. Bisa menghindari resiko bentrok dari ruang personal dan ruang pekerjaan. Jujur, menggabungkan kedua hal ini sangatlah tidak baik untuk saya, malah kadang salah chat room. Makanya saya punya dua nomor berbeda untuk keluarga dan teman terdekat saja, untuk pekerjaan/komunitas serta mereka yang bukan termasuk sirkel skena saya.


Terus, sudah setahun lebih ini saya kehilangan jati diri dari personal branding blog ini beserta pendukungnya di Instagram, Twitter/X, FB, TikTok (sudah berdebu sih, ini). Semakin lama saya semakin tidak tertarik berbagi di medsos kecuali di blog ini karena saya memang suka menulis panjang-panjang.


Apakah ini yang dinamakan muak dengan medsos? Sayang sekali, pekerjaan saya sedikit banyaknya masih melibatkan sosmed. Sedih sekali, namun ini adalah zaman dimana semua hal yang ada di internet saling berhubungan. Cuma secara pribadi, saya agak gerah dengan LinkedIn karena sudah berbeda.


Paling jauh juga, saya hanya bercerita mengenai diri saya pada teman-teman yang memang saya kenal in real life. Oleh karena itu, bercerita di sosmed dan sekarang LinkedIn (apalagi mengenai pekerjaan dan achievement), terasa seperti beban bagi saya. Anyway, seperti yang pernah saya ceritakan di artikel sebelumnya, hidup saya tidak menarik apalagi saya sudah berumur seperti ini, tidak banyak yang bisa untuk dibagikan dan dibanggakan..ahahahaha


Mungkin bawaan umur, banyak hal yang dulunya mungkin seru dan menarik, seakan datar saja. Contoh kecil, saya merasa traveling ke negara Amerika dulunya, cukup menarik, tapi sekarang dengan bahaya mengancam dan berbagai masalah di negara itu, ide perjalanan kesana terlihat seperti ide yang amat sangat buruk. Seram juga tiba-tiba random ketemu Karen dan orang-orang woke culture yang berbahaya.


Itulah contoh kenapa saya dan Ann Solo sekarang bagaikan acuh tak acuh. Ya, karena memang tidak banyak hal yang menarik lagi. Contoh lain dalam hal produk kecantikan yang menjadikan Ann Solo seperti yang di kenal (halah, macam iya aja!), saya sudah tidak terlalu tertarik ingin mengejar trend dan mencoba produk terbaru.


Berbie lelah begitu.







Kurang pasti trigger awalnya, kalau tidak salah, kulit saya mengalami break out yang cukup memprihatinkan sehingga saya memutuskan untuk berhenti dulu. Lama-lama saya malah jadi malas gerak…ahahaha nyaman sih, ya, sehingga masa rehat random yang beberapa bulan, molor hingga 1 tahun lebih.


Lucunya, molor ini membuat saya mempelajari dan menyadari beberapa hal. Ini adalah unpopular opinion dan disclaimer, adalah pendapat saya pribadi tanpa berniat menjatuhkan pihak manapun: lipstick memang banyak warna, tapi apapun brand-nya, punya warna yang kurang lebih sama begitu juga skincare, terkadang urutan nama komposisinya sama (walau bisa jadi takarannya berbeda), cuma nama dan brand saja yang menjadi pembedanya.


Please, don’t rajam me.


Just, it is how it is.


Nah, begitulah kenapa saya bisa merasa kehilangan ‘jati diri’ Ann Solo saat ini, karena diawali dengan break out dan rehat yang molor kepanjangan. Ahahahaha tapi memang ya, mungkin secara mental tanpa sengaja saya lelah dengan pekerjaan dimana saya harus menulis setiap harinya.


Kalau lelah, katanya pergi healing. Sudah, kok, tapi saya masih lelah apalagi mata saya yang kini berkacamata tebal, kalau tidak pakai, saya kesulitan membaca (hiks, curhat tidak penting). Kayaknya sih ini, tidak mempan healing seminggu dua minggu, healing tanpa pekerjaan paling tidak setengah tahun kali, baru saya bisa kembali..ahahaha maunya.


Etapi ya, katanya; bedakan hobi dan pekerjaanmu, itu harusnya saya terapkan, karena saya pernah berada di titik dimana saya seperti robot yang menghasilkan tulisan atau editing tulisan lain setiap hari, repetitive tanpa makna, yang tidak lagi membuat saya senang karena menulis adalah hobi yang levelnya sama tingginya dengan membaca dan ngomong ngaco sama para BFF saya. 


Jujur saja, saya ingin berganti karir, jadi petani jaman now atau pekerjaan yang tidak menuntut saya untuk berada di depan komputer dan menulis setiap hari. Saking lelahnya saya, mental dan fisik, sampai terbawa mimpi apa yang saya tulis hari itu dan kaki sampai kram. Semua huruf dan kata seliweran di otak walau saya tidur sekalipun, jemari sampai kram dan sakit berhari-hari (akhirnya beli keyboard external yang lebih luas).


Petani jaman now yang anti mainstream, yang seperti legal di Thailand…ahahaha kalau harus langsung berurusan dengan manusia asing ramai setiap harinya juga bukanlah opsi yang baik juga, secara saya introvert..ahahaha lelah begitu kalau harus interaksi sosial setiap hari, begitu pulang ke rumah rasanya baterai kehidupan ini kosong melompong.


Dampak menjadi ‘dewasa’ (kata halus dari menjadi tua)? Bisa jadi sih, tapi memang tidak menemukan lingkungan yang saya sukai. 


Then again, begitulah cerita saya kali ini, mau cerita hantu, saya penakut (tapi saya adalah salah satu dari tim……..). Mau cerita drakor? Lebih baik saya review TV series Ahsoka deh, minggu depan setelah episode terakhirnya, saya lagi tidak menonton drakor setelah drakor Mba Yoo In-na yang kocak-kocak slapstick itu. Korea pun, saya cuma nonton film dari Mas Kyungsoo, The Moon saja, ada tuh review-nya di blog ini.



Bye then, sampai jumpa di episode random ranting saya berikutnya. Budayakan membaca karena membaca itu adalah Iqra dan disuruh oleh Tuhan kita. Yay!







     


    Baru-baru ini saya secara random (macam biasa) menanyakan kepada seorang teman, siapa rockstar wanita tahun 90an kesukaannya. Hari itu saya merasa nostalgia, bahkan saya sampai menangis mendengar lagu-lagu dari The Cranberries. Selain lagunya memang sedih, kenyataan bahwa Dolores sudah tidak ada lagi, masih asing.

    Saya membesar di tahun 90-an yang saya anggap The Glory Days. Ketika menjadi seorang penyanyi dan band itu tidak mudah, saya menganggap mereka yang berada di zaman itu seperti Tori Amos, Alanis Morissette, Fiona Apple dan lainnya adalah mereka yang memang berbakat.

    Kebanyakkan dari seniman tersebut memang pandai memainkan alat musik, suatu bakat dan keinginan yang memerlukan disiplin serta pengorbanan yang tidak mudah. Kalau sekarang kamu mau mencoba bermain gitar, maka kamu tinggal mencari tutorialnya di YouTube.

    Dulu mana ada, tutorial paling dekat adalah dari abangers yang hobi gitaran di pos kamling.

    Anyway, kemana arah pembicaraan saya kali ini? Kurang tahu juga, saya cuma mau menulis artikel saja biar blog ini tidak kosong amat..huhuhu



Kaum Wanita dan Impian Kesetaraan Mereka





Kenapa perempuan sekarang berpakaian minim dan tidak malu?


Ini sebuah pertanyaan yang jawabannya bervariasi, tapi perlu diketahui jika sekiranya kamu nyasar kesini, saya menanyakan ini pada kaum perempuan saja karena merekalah yang bisa menjawab.


Kalau ini ditanyakan kepada saya, maka saya akan menjawab; karena memang ada fase dimana saya berpakaian ‘sedikit’ terbuka. Seperti yang sudah saya sebut diatas, saya membesar di zaman 90an dan 00an dimana saat itu Y2K lagi booming. 


Cukup beragam, saya bahkan pernah bergaya seperti Britney Spears, pamer udel. Rockstar dengan celana jeans gedombrang, sampai jadi emo. Ahahaha sebuah fase muda yang penuh eksperimen dan mengikuti trend saat itu.


Pasti kita semua mempunyai fase seperti itu apalagi di zaman muda, wajar saja. Cuma, entah kenapa sekarang menjadi terasa seperti ‘wabah’. Awalnya sebagai bentuk liberasi dengan memilih gaya sendiri, sekarang seperti ‘komoditi’ dan semacam ‘bare minimum’.


Mari coba saya jelaskan (semampu saya karena otak saya lebih cepat mencerna daripada mulut saya menguraikannya).


Pada zaman dahulu kala, di galaxy far far away, hijab contohnya dianggap sebagai atribut opresi bagi sebagian orang. Wajah dan bentuk tubuh yang tidak sesuai formula kecantikan baku merupakan suatu ‘aib’. Agak susah kalau dibilang aib, tapi inilah yang teman-teman saya katakan ketika kami tidak diundang ke party cool kids jaman then: kalian semua jelek, aib kalau ke party gue.


No kidding.


Pokoknya, sekarang itu berpakaian minim, twerking, doing nasty things yang menjurus ke hal-hal seksual itu sepertinya bukan barang baru. Dengan internet dan sosial media yang memberikan kebebasan ‘mutlak’ bagi penggunanya, kamu bisa menjadi apapun, bahkan mau ganti kelamin pun bisa karena teknologi sudah canggih.


Ahahaha saya agak keteteran menjelaskan maksud saya disini. 


I mean, zaman saya muda dulu, kami berpakaian seksi karena kami ingin, sedang fashion dan sure we can. Tapi sekarang seperti mencari keuntungan yang absurd. Ahahaha help me, I can’t put them in words.


Apa karena saya kurang tidur tadi malam, jadi kurang fokus? Saya agak pusing sih, ini.


Jadi, saya cukup merasa sedih sampai tidak nyaman melihat wanita yang vare their skin way way too much sampai tidak ada rahasia lagi. Seperti anggota keluarga Kardashian yang membeberkan segalanya tentang mereka di depan umum, saya yakin ada yang tahu letak tahi lalatnya Buk Kim karena seringnya dia bertelanjang di depan kamera.


Jengah juga dengan campaign yang menggalakkan wanita untuk free yourself dengan mengatakan obesitas itu tidak mengapa, you’re slay, savage, badass, and such. No. it’s not okay, at all, ladies.


Ya, memang body type itu bermacam ragam, tapi obesitas atau kurung kering bukan bagian dari tipe tubuh manusia. Itu mah, bagian dari penyakit.


Memamerkan tubuh tanpa konteks (tentu saja ada konteks, duh, sex, money and fame, sweetie!) juga buka dari feminis sejati. Setahu saya, feminis bukan berangkat dari ingin memakai thong atau skimpy dress sesuka hati, bukan, saya yakin deh.


Katanya kesal wanita jadi objek seksualitas, tapi sekarang malah menjadikan diri sebagai objek. Lalu marah kalau di goda, lha, situ yang pamer badan telanjang, tentu saja normalnya disambut pikiran mesum.


Coba, bagaimana payudara, vagina, bokong tidak mengundang hasrat? Dengan pose yang luar biasa? Apa yang mereka harapkan dengan itu? Karena memang pengundang nafsu itu sudah di setting dari pabriknya ya, di bagian tubuh khusus seorang manusia.


Reaksi pelecehan seksual suatu hal yang lain lagi, tidak seorang pun berhak melecehkan orang lain sesuka mereka (tidak peduli kamu pakai apa). Mereka yang dilecehkan, seratus persen salah, namun, yang dilecehkan juga harus bijaksana.


Kita tidak bisa mengendalikan orang lain, kita hanya bisa mengendalikan diri kita. Kalau kamu berpakaian dengan hanya sehelai benang dan pergi ke tempat umum, kamu jelas ingin menarik atensi dan validasi. Reaksi tersebut bermacam-macam, tapi ingat, kamu yang membawa diri kamu kepada titik itu.


Akan sangat dewasa jika kita menempatkan diri kita pada situasi dan kondisi serta tempat kita berpijak. Pergi ke club dan berpakaian minim merupakan hal yang sesuai dengan layaknya tempat tersebut punya dress code. Bikini di pantai, wajar, kan, mau berenang dan sunbathing, masa pakai astronaut suit?


(Barbie lelah menjelaskan ini karena terlalu..capek…sampai bersin barusan)



Anyway, begitulah, saya percaya semua orang bisa menjadi jahat dan juga menjadi baik. Memang itu adalah tubuhmu, tapi hormatilah tubuhmu itu, kecuali kamu menjadikan tubuhmu sebagai objek tertentu, saya tidak ada komentar untuk itu.


Oya, saya mau bilang, saya tidak merasa memakai hijab itu sebagai bentuk opresi, biasa saja. Kadang saya berpikir, justru merekalah yang terlalu mengumbar tubuh mereka yang terkena opresi…dari kapitalis, pencucian otak dan masalah mental…


Just saying, jangan rajam saya..







Kemudian ini membawa saya pada rasa….


Capek rasanya feminis awal berjuang agar perempuan mempunyai cabang olahraga perempuan khusus, lha, kenapa tiba-tiba transgender bisa bersaing dengan wanita tulen.


Kemana so called feminist itu pergi? Kemana ideologi dan cita-cita serta perjuangan penuh darah, keringat dan air mata itu pergi?


Kalau mata hati tertutup, lelaki dibilang perempuan, sebaliknya. Yakinlah, cuma ada dua gender dari zaman Adam dan Hawa di surga, sampai akhir zaman nanti, cuma ada lelaki dan perempuan, tidak ada tukar-tukaran vagina dan penis.


Wahai perempuan, masihkah kita mau dibodohi dengan memasukkan I identify as a female ke dalam perjuangan yang susah payah kita dulu? Relakah kamu dibodohi dan dibohongi lagi?


Ah, saya lelah…dunia sekarang terlalu semrawut membuat saya takut akan keselamatan dan kewarasan saya dan mereka yang saya sayangi…












 



 Kembali lagi ke ‘curhat’ tanpa maksud alias blog ini harus update daripada kosong..uhuhu macam biasa juga, saya lagi tidak punya hal yang menarik atau review buat dibagikan.


BTW, saya ngetik pakai keyboard baru beli awal Agustus kemari karena jari-jari saya sering kram ngetik di keyboard laptop yang sempit. Tapi masih kram juga, apa mungkin saya kena rematik?



Mungkin atau tidak, ada resiko karena emak saya juga punya rematik.



Duh, saya tua, tapi tidak setua 80 juga dan kok, cepat amat sakit rematiknya.




Wishlist Baru Random: Mechanical Keyboard





Entah kapan saya ketemu konten soal mechanical keyboard ini, mungkin pas saya lagi browsing mau cari external keyboard buat ngetik kali ya, jadinya pasti riwayat pencarian menampilkan banyak jenis keyboard.



Sampai saya membeli keyboard Fantech GO ini, saya baru ngeh; lha, kenapa tidak beli mecha keyboard?



Mana saya juga lihat konten Mba Agi di Instagram, saya jadi belajar soal mecha keyboard dan ikutan pengen coba.



Jelas awalnya saya kesal dengan bunyi kratak kretek dari keyboard, bising banget. Tapi tetiba saya jadi suka, nostalgia jaman-jaman pakai PC yang keyboard-nya berisik penuh hentakan. 



Kalau marah, tombol enter-nya berasa di banting ke lantai.



Kok, rasanya seru gitu, ya. 



Seru sampai saya lihat harganya.



Meski memang ada yang dibawah 500 ribu, tapi saya ini sok pula, sudahlah newbie, maunya yang Noir N1 Pro pula yang harganya setidaknya nih, 1 jutaan kurang lebih dah.



Ada juga Digital Alliance, lucu juga tapi kecil mungil sepertinya. Warnanya juga cuma baby blue & white. Seri itu cukup terjangkau meski warna biasa, tapi keycaps-nya bisa diganti, deh.



Hah, sungguh perjalanan saya untuk memahami apa itu mechanical keyboard itu masih jauh. Ternyata saya juga tidak menyukai lampu-lampu RGB warna-warni yang bikin kepala pusing.



Satu yang saya ambil hikmahnya, keyboard Fantech ini warnanya beige dengan perpaduan hijau, mint, ungu, blue, tapi hurufnya dominan beige mana tulisan font-nya putih, agak susah di lihat ya, apalagi sebelum saya beli kacamata baca.



Dengan macam ragam, north facing, south facing, bluu switch, red switch, hot swaps, dan lain macamnya, belum lagi cari mecha yang bisa sesuai dengan Mac saya, plus harus cara dana ekstra untuk belinya, apakah saya akan mendapatkan mecha keyboard idaman saya?



Let’s see.


Oya, keyboard yang saya beli ini tipe membrane, caps-nya agak mendem dan model-nya jadul karena ada num pad khusus tersendiri di sebelah kanan/




Kacamata Progresif, Stress Karena Mata Menua





“Lensa kacamata progresif adalah lensa yang dilengkapi dengan desain dan inovasi yang membuat seluruh permukaan lensa terlihat mulus yang memudahkan pengguna untuk melihat jarak jauh, sedang dan dekat.”



Puncaknya bulan Juli kemarin, saya tetiba susah melihat dan semuanya jadi kabur. Memang sih, ditambah juga silau, pun ketika di dalam ruangan, saya kesulitan membaca.



Saya sampai kena serangan bengek saking ketakutannya karena tetiba mata saya sulit melihat.



Mana saya punya anxiety dan panic attack lagi!



Setelah dibujuk oleh ibu dan teman-teman saya untuk membuat kacamata, akhirnya saya memutuskan untuk buat walau saya mengalami stress yang hebat, shock karena mata saya menua (meski saya sudah sadar, tapi masih denial).



Mulanya mau beli kacamata siap jadi setelah cek mata bulan Mei kemarin, tapi saya kurang suka beli kacamata instant yang, entah kenapa, dalam hati saya sadar kalau mata saya pasti bermasalah lebih dari itu.



Setelah cek mata ke RS yang ke-2 kalinya, saya akhirnya memutuskan untuk buat kacamata di teman yang memang punya toko kacamata. Plus, saya bisa konsultasi lebih bebas, kalau ada masalah juga, bisa minta tolong.



Cukup lama perjalanan saya membuat kacamata sampai stress yang buat rambut saya rontok dan GERD kumat, akhirnya minggu ini saya mendapatkan kacamata progresif.



Ya Tuhan, mulai dari denial sampai menerima kenyataan, mana ditambah 2 sunnies saya sudah tua (6 - 8 tahun umurnya), saya akhirnya pakai kacamata baca dan menulis, serta, harus beli sunnies baru karena saya lebih suka kacamata yang sangat gelap kalau siang hari.



Silau saya semakin tua semakin parah, bahkan saya hanya terbiasa dengan lampu di kamar dan rumah saya, begitu malam ke tempat lain, bola mata langsung nyut-nyutan. Bayangkan kalau siang, ini bola mata berasa di drill dan kepala pusingnya ampun dah, migraine kumat.



Semakin gelap sunnies, semakin teduh dan semakin relax mata dan otak saya. 



Kalau untuk sunnies, saya jarang ganti-ganti, tapi ini harus diganti karena sudah lebih dari 6 dan 8 tahun, satunya malah sudah tergores-gores.



It’s about time, barang kalau sudah waktunya, memang harus diganti.



Belum menemukan kacamata yang memang punya proteksi dari sinar UVA/B, kemungkinan saya akan membeli 1 brand ini yang semoga diskon beberapa hari lagi.



Okay lah, sekian curhat saya awal September padahal tidak ada pembaca juga..ahahaha






  



Panjang sekali judul artikel kali ini, ya. Karena saya memang merasa demikian, lagi istirahat dari minimalism, tertekan melihat konten-konten extreme minimalism di Instagram (dari beberapa orang yang saya follow) dan sakit kepala lihat maximalism (agak, culture shock, rasanya). 


  Dari manakah saya harus memulai? 



  Dari kenapa saya beristirahat dari jadi seorang minimalist...



Minimalist Membuat Masalah & Trauma Eating Disorder Menjadi Parah





Sebelum jadi minimalist, saya sudah punya masalah pemakanan dari kecil yang disebabkan faktor seseorang. Meski saya sudah lama menyadari akar masalahnya, saya masih berjuang untuk mengatasi eating disorder ini yang, susah untuk diatasi karena sudah mengakar lama.



Jadi seorang minimalist, memang membantu masalah mental saya yang lainnya, paling tidak mengurangi decluttering barang yang akan membuat kepala saya ingin pecah.



Namun ternyata, menjadi minimalist terasa lebih ‘membunuh’ selera makan saya yang telah lama rusak. Rasanya kok, jadi parah.



Ditambah lagi, indera pengecap di mulut saya kurang ‘mantap’ karena beberapa kali lidah saya pernah seperti terbakar karena makanan yang panas. Saya masih bisa membedakan asin, pedas, manis dan asam. Tapi saya agak mati rasa jika membedakan makanan enak atau tidak enak.



Bagaimana korelasinya, benar atau tidak, saya kurang pasti. 



Intinya, saya tidak begitu paham soal makanan, bagi saya selama mulut saya bisa paling tidak membedakan 4 rasa di atas, makanan akan sama saja akhirnya.



Jalan minimalist dalam hal pemakanan, membuat saya semakin tidak peduli pada makanan, plus ditambah trauma terhadap makanan oleh seseorang dulu, saya hanya jadi makan untuk tetap hidup. Sesuatu telah lama hilang sehingga saya tidak bisa menikmati makanan seperti orang lain (selama ini saya terbiasa meniru orang; oh ini enak/sedap!).



Lagi malas menjabarkan panjang lebar, intinya minimalism agak kurang selaras dengan trauma dan masalah pemakanan saya. Mungkin saya perlu waktu untuk mencari jalan keluarnya.




Depresi Memburuk Melihat Konten Extreme Minimalist





Sudah berapa kali saya bertanya-tanya apakah saya bisa hidup dengan 100 barang?.



Beberapa kali juga saya selalu berniat menjadi extreme minimalist dan mengikuti beberapa content creator dalam bidang ini di Instagram dan YouTube. Kok, mereka bisa happy meski cuma punya 100 barang?



Sampai saya menemukan seorang minimalist Jepang (bukan Mas Fumio, ya) yang, tinggal di ruangan (cukup luas) dengan 1 furniture. Awalnya saya pikir itu cukup bagus dan praktis, tapi setelah beberapa waktu, ini membuat depresi saya bertambah.



Padahal orang yang punya hidup, malah saya yang depresi melihatnya.



Minimalist asal Jepang ini menggunakan sofa lipat untuk duduk dan kasur jika malam. Sebuah robot vacuum yang mengepel lantai, beberapa helai pakaian, dapur kecil yang super bersih, lantai kayu yang bebas debu dan si pemilih ruangan yang duduk dilantai dengan memakai VR.



Depressing.



Seolah-olah warna telah mati. 



Sesuatu di dalam diri saya merasa gelisah, marah, ingin lari dan muntah. Panic attack saya tiba-tiba kambuh apalagi teman saya saat itu juga mengomentari kalau cara hidup ini tidak baik. 



Kamu seperti membunuh kesenangan diri dan memenjarakan semua keinginanmu atas nama hidup sederhana dan mindfulness.



Well, memang eye opening sih, buat saya yang memang memikirkan untuk menerapkan gaya hidup ini di penghujung 2023 nanti.



Seperti penyadaran dari teman saya (dia tidak tahu dia telah menyadarkan saya), maka saya memutuskan untuk tidak lagi mengikuti konten extreme seperti ini.





Terkejut & Pusing Lihat Hidup Maximalist





Tak perlu jauh-jauh, keluarga saya jelas merupakan maximalist. Keluarga besar dan kerabat juga begitu. 



Entah kenapa saya malah jadi kena culture shock saat melihat teman-teman saya lainnya juga maximalist. Bisa jadi karena mereka juga bercerita membeli ini-itu. No idea why.



Sulit untuk melupakan kecemasan dan nafas yang saya tahan waktu saya mendengar dan melihat bagaimana hidup maximalism mereka. Lucunya, lha, saya kan, juga dulunya maximalism dan hoarder (untung masih tahap level 1).



Terlebih lagi waktu abang saya bercerita kalau saya masih mempunyai beberapa kotak besar dengan barang-barang saya (sudah lama tahu kalau ini memang ada). Kenapa sih, tidak dibuang saja?



Begitu kotak dibuka, saya seperti menemukan harta karun; yang membebani saya dan membuat saya bahagia juga. 



Terimakasih untuk Ibu dan abang yang telah menampung barang-barang saya karena mereka menghargai saya sebagai pemiliknya (walau juga enggan berpisah karena kenangan).



Secepat kilat saya melakukan decluttering begitu sampai dirumah, mengambil apa yang saya butuhkan, membuang yang tidak berguna lagi dan memberikan yang bisa dipakai/disukai 3 keponakan saya.



Tetap ya, begitu kotak jadi kosong dan barang-barang sudah saya alamatkan sebagaimana seharusnya (juga memutus overthinking takut lama dihisab), saya mencoba berdialog dengan inner self saya; tenang, hanya karena kamu minimalist, bukan berarti orang-orang maximalist itu bersalah padamu karena membuatmu sakit kepala, cemas dan mual.



Mereka tidak berhutang apapun pada saya dan pilihan hidup saya.



Oh Tuhan, saya tidak mau lagi mengalami panic attack dan anxiety yang memualkan hanya karena saya mendengar cerita shopping ini itu dari orang-orang yang saya sayang.



Let them be happy with whatever they choose.



Grant me strength for not judging them.




Saatnya Istirahat…





“Nanti decluttering, ah!”, adalah afirmasi saya setiap kali saya berada diluar rumah dan bertemu orang-orang. Namanya juga afirmasi, ini cukup ampuh meredakan social anxiety saya.



Pokoknya, mau pulang cepat dan bersih-bersih rumah. Padahal sampai rumah, saya malah lupa mau decluttering.



Perlahan saya menyadari kalau menjadi minimalist hanya cara lain untuk saya lari dari suatu kenyataan dan depresi lainnya. Ya, pastinya memang minimalism mampu menenangkan diri saya beberapa tahun ini karena tidak lagi mencari hal-hal yang ‘memenuhi kekosongan’ diri.



Masa bodoh dengan validasi, lupa dengan FOMO, gengsi semakin jatuh ke lantai.



Itulah yang saya rasakan selama jadi minimalist.



Namun, saya juga merasakan hal lainnya, saya merasa saya semakin hambar, kehilangan fashion sense, bingung, bingung dan bingung yang bertambah.



Sampai saat menulis ini, saya masih bingung, hendaknya saya berjalan ke arah mana. Jelasnya, saat ini saya mau istirahat sampai akhir tahun. Lihatlah kemana angin membawa saya, yang jelas, saya memang masih ingin hidup mindfulness dan mencoba membawa warna kembali pada hidup saya yang kelabu.





PS.


Pembaca Ann Solo budiman dan siluman, semoga kamu tidak berlebihan dan berkekurangan pula dalam hidupmu.


 








Older Posts

Ann Solo

Ann Solo
Strike a pose!

Find Ann Here!

Ann Solo Who?!

Ann Solo adalah nama pena Ananda Nazief, seorang lifsestyle blogger yang terinspirasi oleh orang- orang sekitar, perjalanan, kisah- kisah, pop culture dan issue semasa.

Prestasi:

Pemenang Terbaik 2 Flash Blogging Riau : Menuju Indonesia,
Kominfo (Direktorat Kemitraan Komunikasi) - Maret 2018.

Pemenang 2 Flash Writing For Gaza (Save Gaza-Palestine),
FLP Wilayah Riau - April 2018.

Pemenang 3 Lomba Blog Lestari Hutan, Yayasan Doktor Syahrir Indonesia - Agustus 2019.

Pemenang Harapan 1 Lomba Blog, HokBen Pekanbaru - Februari 2020.

Contact: annsolo800@gmail.com

  • Home
  • Beauty
  • Traveling
  • Entertainment & Arts
  • What's News
  • Books & Stories
  • Our Guest
  • Monologue
  • Eateries

Labels

#minimalism Beauty Books & Stories Eateries Entertainment & Arts Film Gaming monologue Our Guest parfum Review Review Parfume sponsored Techie thoughts traveling What's News

Let's Read Them Blogs

  • Buku, Jalan dan Nonton

Recent Posts

Followers

Viewers

Arsip Blog

  • ▼  2023 (29)
    • ▼  September (7)
      • Kehilangan Personal Branding, Padahal Inginnya Jad...
      • Nostalgia Nonton Ulang Film Terbaik Era 90an
      • Review White Story Skin Barrier Moisturizer Gel & ...
      • Wanita & Herstory Saat Ini
      • Review Film Talk To Me (2022), Kecanduan Kesurupan...
      • Review Film The Moon (2023), The Martian Rasa Korea
      • Cerita Awal September 2023
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2022 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2021 (27)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2020 (34)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (5)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2019 (34)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2018 (56)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (14)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (5)

Find Them Here

Translate

Sociolla - SBN

Sociolla - SBN
50K off with voucher SBN043A7E

Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Blogger Perempuan

Beauty Blogger Pekanbaru

Beauty Blogger Pekanbaru

Popular Posts

  • Review Axis-Y Toner dan Ampoule - Skincare Baru Asal Korea
    Sejak beberapa tahun kebelakangan ini kita telah diserbu oleh tidak hanya produk Korea baik itu skincare dan makeup, tetapi juga ...
  • Review Loreal Infallible Pro Matte Foundation
    Kalau dulu saya hanya tahu dan penggemar berat Loreal True Match Foundation sejak zaman kuliah, ternyata Loreal juga mengelua...
  • 2019 Flight Of Mind
    Cheers! Time flies indeed, terlebih lagi di zaman sekarang ini dan saya yang sudah mulai lupa sehingga semua terasa cepat. 2019...
  • Kampanye No Straw Dari KFC
    Kampanye No Straw Movement. Kemarin saya dan seorang teman berjanji untuk bertemu di KFC terdekat dan sambil menunggunya datang, saya ...
  • (Pertandingan Terakhir Liliyana Natsir Sebelum Pensiun) Dukung Bersama Asian Games 2018
    Hari ini berita yang cukup mengecewakan muncul di TV ketika saya dan Tante sedang makan siang dirumah: Liliyana Natsir akan menggantung...
  • Review Sunblock Biore & Senka
    Oh my! Sekali lagi saya merasa bersalah 'menelantarkan' blog ini karena akhir bulan lalu saya mempunyai pekerjaan baru ya...
  • Review - Sakura Collagen Moisturizer
    Pertama-tama, saya hanya mau menginformasikan bahwa ini adalah artikel review yang sebenarnya sudah lumayan telat terlupakan oleh kek...
  • Review AXIS-Y Cera-Heart My Type Duo Cream
    Sudah lam aterakhir kali saya memakai cream moisturizer tipe konvensional, alasan utamanya adalah kondisi iklim di kota saya...
  • Review Lip Balm 3 Merek - Nivea, Himalaya Herbals dan L'Occitane
    Dulu sekali, sebelum kenal dengan lipstick seakrab sekarang, saya dan   lip balm adalah pasangan yang kompak. Tidak hanya mengatasi ...
  • Review Lipstick Maybelline Superstay Ink Crayon
    2020 dimulai dengan racun lipstick terbaru dari Maybelline yang datang dengan Super Stay Ink Crayon yang sebenarnya sudah saya nant...

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates