Pic: www.unsplash.com |
Pic : www.unsplash.com |
Okay, ini adalah post pertama saya
mengenai negara sendiri, oh well lebih tepatnya saya harus mematuhi aturan
seminar yang mewajibkan para pesertanya (the bloggers) untuk menulis tentang
tema hari ini: Menuju Indonesia Maju.
Maju, itu sangat jelas seperti
yang kita lihat hari ini dimana teknologi telah menjadi nafas terutama bagi
para pemuda-pemudinya, infrakstruktur yang baik dan ambisius; pemerintah kota
Pekanbaru baru- baru ini memangkas deretan pohon di sepanjang jalur hijau di
beberapa tempat, menggusur bangunan- bangunan liar (yang sedari dulu saya
selalu penasaran kapan mareka akan direlokasi, di masa pemerintahan siapa sih,
lebih tepatnya), demi membangun jembatan flyover baru.
Saya tidak berani
membandingkan kota tempat saya tinggal dengan kota lainnya di Indonesia, karena
tidak hanya saya belum menjelajah kesemua pelosok Indonesia, namun juga rasanya
saya bisa menjadi pribadi yang sombong dan tidak bersyukur jika saya terlalu
bangga akan yang Pekanbaru capai hingga tahap ini. Ketika slideshow
memperlihatkkan betapa banyak di sudut Indonesia sana yang belum tercapai dan
miskin infrastruktur, membuat saya malah menjadi miris. Beberapa tahun lalu
Pekanbaru mengalami putusnya supply bahan bakar, di tepi jalan banyak kendaraan
yang mogok dan orang- orang berjalan kaki. Serasa di dalam film zombie dimana
kota menjadi lumpuh dan masyarakat berbondong- bondong berjalan kaki untuk
mencari bantuan.
Lebay, much?!.
Kini semua yang
saya ingat dari tahun itu menjadi sebuah rasa malu jika di bandingkan dengan
saudara- saudara kita di daerah luar terpencil sana yang harga minyak bahan
bakarnya bisa mencapai Rp 200.000 untuk beberapa liter saja, aliran listrik
yang setelah puluhan tahun (mungkin bisa jadi mitos itu yang namanya listrik,
kali ya) baru hadir. Dude, we’re so fucking spoil!. So ungrateful!. Mati lampu
sebentar saja kita disini sudah misuh- misuh dan mengancam akan membakar PLN
(ancaman klasik, sih). Ingin rasanya saya meminta slide dari panitia seminar
hari ini dan menyiarkannya setiap hari di seantero Pekanbaru agar kita berhenti
sejenak, memperhatikan dan mengucap syukur. Memperhatikan sekeliling kita dan
mengelus dada mengakui betapa manja, konyol dan demanding-nya kita seolah- olah
hanya kitalah yang berhak akan semua infrastruktur yang baik di negara ini. Yeah!.
Di slideshow ini
juga di beritakan mengenai pembangunan jalan tol Pekanbaru – Dumai oleh Pak
Jokowi yang berkerjasama dengan setiap pemerintah kota setempat (asik banget Pak, sudah seperti vlogger saja, coolest!). Oh well,
speaking of Jokowi, saya mengerti bahwa kubu rakyat terbelah dua, pro dan anti.
Bahkan sekarang untuk membuat pertemanan baru, mareka akan bertanya saya berada
di kubu mana. Aduh.
Anyway, saya
melihat bahwa presiden kita yang satu ini adalah seorang visionaris yang
menjalankan misinya, jika itu belum sempurna, hey, nobody is fucking perfect,
am I right?. Let the man do his job, yang mana bliyau sudah cukup mencapai
sasarannya sejauh 4 tahun ini dengan harga bahan bakar yang merata di seluruh Indonesia
dan listrik yang kini menerangi hingga kedalaman gua sana. Bahkan kita bisnis
pariwisata lebih meningkat pesat oleh meratanya pembangunan di Indonesia, yang
untung bukan hanya rakyat setempat tetapi juga membantu naiknya ekonomi dan
nama kita di planet bumi ini. Kalau dulu saya harus menjelaskan di mana Riau
itu ke bule yang saya temui di online dating (ahem), kini hanya melihat profile
saya, bule- bule itu akan nyeletuk; saya pernah ke Bono. Hell yeah, saya saja
belum pernah ke Bono. Shame on me.
Jadi, tahun ini
saya mungkin akan ke Bono, bersyukur sepanjang jalan akan kelebihan dan
kemudahan yang saya terima dalam hidup, mensyukuri kelancaran pembangunan (no
kidding, saya serius, hari ini eye opening banget) yang Riau telah lakukan
untuk masyarakatnya yang mulai manja. Tak lupa berdoa untuk mareka yang
terluar, terpencil dan terdepan agar mareka segera mengecap kenikmatan yang
sama, yang saat ini di upayakan oleh pemerintah kita.
Merdeka!
#flashbloggingriau, #menujuindonesiamaju,
Pic: www.unsplash.com |
Saya mengalami writer’s block selama bebarapa tahun ini (gayanya yang sok penulis terkenal saja) kemudian memutuskan untuk berhenti menulis walaupun hati dan pikiran saya tetap aktif menulis secara batin. Dan memakai nama samaran membuat saya lebih nyaman, leluasa tanpa perlu takut orang-orang yang mengenal saya- setelah membaca tulisan saya mulai mempertanyakan kewarasan dan arah tuju hidup saya. Atau lebih parahnya membenci saya atas apa yang saya tulis; pemikiran gelap terdalam, curhatan jujur dan fantasi liar, yang belum tentu saya sebagai penulisnya mengalami itu.
Namanya seni dalam menulis belum tentu di pahami terlebih lagi jika sang penulis adalah temanmu sendiri, kamu akan meminta penjelasan kenapa ia menulis sedemikian rupa. Ketahuilah bahwa yang namanya seni akan mencapai setiap orang dalam bentuk persepsi yang berbeda, jadi tolonglah untuk menikmatinya sebagai seni murni, tulisan, rupa dan lukisan, apapun itu.
Jujurnya saya takut dihakimi oleh orang- orang yang saya sayangi, keluarga dan teman-teman dekat, calon pasangan (saya tidak tahu siapapun kamu nantinya, adalah orang yang cerdas, berpikiran terbuka dan santai namun penuh dukungan dan pengertian terhadap saya, mwah!) ketika mareka tahu saya menulis cacian, makian, pikiran kritis, masa lalu, humor kasar dan sarkastik (namun asyik, ya bukan?), kering dan seakan mati rasa. Tak pernah bosan saya mengingatkan diri saya untuk tetap terus berkarya dan masa bodoh akan kritikan jahat tidak membangun, pertanyaan- pertanyaan konyol kenapa saya begini begitu, saya harus maju karena saya tahu saya sangat menyukai hal ini; menulis.
Tentang cerita mantan- mantan saya, jika ada yang bertanya apa saya belum move on, let me tell you this: saya sudah lama move on, hanya saja semua perjalanan hidup saya begitu absurd, surreal, membuat saya terinspirasi dan itu worth telling and hilarious yet pathetic ke tahap semua orang harus baca dan tertawa miris bersama saya. Because dudes, begitulah hidup ini hampir kurang lebih sama hanya tergantung kepada kamu, saya, kita semua bagaimana menyikapinya: ditulis dan ditertawai bersama atau di pendam dan di obok- obok lalu galau.
Jika sekalipun para mantan membaca ini (menemukan blog ini), saya harap anda semua juga menikmatinya; bahwa kita pernah muda, ceroboh dan perbuatan kita pada saat itu sesuai dengan situasi dan kondisinya. Let it go and laugh.
Saya tidak bermaksud jahat atau menjual cerita tentang tema percintaan masa lalu, seriously again all those memories menjadi lucu dan pelajaran yang berharga seiring dewasanya kita, menjadi cerminan bagi yang muda, yang baru saja memulai cerita mareka sendiri- mungkin berkaca pada tulisan di blog ini dan menghindari kesalahan yang sama yang pernah kita buat. Wise, huh?. Like Master Yoda or Master Luke?.
Sekali lagi, lepaskan dan ayo tertawa ngenes bersama.
Bon Appetit!
Pic: www.unsplash.com |
Pada akhirnya saya menyerah untuk di kenalin teman ke cowok,
Dia tanyain saya suka cowok jenis yang bagaimana,
Ya jelas saya suka cowok yang jenisnya cowok,
Cukup kering untuk sebuah pertanyaan dan jawaban,
Maksudnya tipe cowok bagaimana yang menarik hati saya,
Hari begini cowok adalah agen ganda tersembunyi,
Karena Indonesia belum melegalkan LGBTQ,
Mareka merayu dengan mencumbu payudara perempuan,
Suck the dick at night,
You know what I mean?
Then I got to know this guy,
2018 terasa janggal karena dia melempar saya paling tidak balik ke 9 tahun lalu,
Cewek mana yang tidak suka di gombalin,
Nah, saya cewek yang mana- yang benci di gombalin,
Anyhow dude so funny got to admit,
He haven't seen me channeling my inner combo Tina Fey/Amy Poehler,
I scared boys but real one would find it hilarious,
If, you know what I mean?
Another new comer,
Oh boy, dia membuat saya ingin jadi lebih baik- dari dirinya.
Beliyau mengomentari teman- teman saya,
Pilihan hidup saya dari bebrapa patah kata di Whatsapp,
Membuat saya bertanya apakah saya begitu gampang di baca,
Atau emoticons saya begitu menye- menye,
Melabelkan perempuan tidak- tidak,
Atau damsel in distress who needs saving,
Oh boy, agama bisa membutakan,
Jika kamu baru belajar,
Dan merasa jauh lebih baik- dari saya.
Alright, Ustadz in the making,
You do you,
You know what I mean, I know you do.
Pemain lama juga ikutan balik jadi cameo,
Year after year, same bullshit, same old obsession,
Hey you, you fucking know what I mean,
I won't blow your mind,
Bubye.
Pic: www.unsplash.com |
Kemarin setelah curhat panjang lebar ke seorang sahabat, dengan bijaksana dan iringi hilai tawa yang menakutkan ia berkata; ‘Akui saja ke orangnya langsung kalau kamu (maksudnya saya) suka, lalu lihat reaksinya. Jangan sampai di pendam dan ada penyesalan, biarkan saja penyesalan itu menjadi masalahnya karena dia tidak melihat apa yang datang padanya (maksudnya itu rasa suka saya). Biar dia rasakan sesal dan bingungnya”.
Lalu si sahabat ini mengeluarkan hilai tawa yang penuh kejahatan.
Secara alaminya otak saya memutar kembali peristiwa- peristiwa dimana saya pernah menyukai seseorang, mengatakan rasa suka (atau cinta yang jelas tidak mungkin; cinta itu tidak gampang, dude!), tertarik (secara seksual, fisikal, atau the way he treated me or how his mind works), rasanya dengan percaya diri saya bisa bilang hanya sekali terjadi; saya di tidak di tolak, tapi tidak juga di terima. Saya di gantung sama sepertinya dia menggantung dirinya: phobia komitmen. Dia meminta saya untuk tidak pergi darinya, namun di saat yang bersamaan dia tidak bisa memastikan dirinya (yea paling tidak dia memastikan dirinya tidak gay, sih).
Kalau di runut ulang, kata- kata yang saya keluarkan tidak pasti jelasnya apa- tapi terkadang bikin gengges juga kalau ingat kemungkinan salah ketik atau salah omong. Begitu juga jawabannya, karena saking malasnya saya jadi melupakan plus malunya itu, lho!. Ayo ketawa! AHAHAHA.
Jadi intinya doi juga confess his love (love?) ke saya, dia bahkan sampai bilang sejauh yang saya sendiri tidak pernah menyangka; “You’re the most humble girl, I’m in safe place when I’m with you. I could be myself without worrying you might hate or judge me. Saya merasa kamu selalu support dan ada untuk saya, ketika kita duduk di café terakhir dulu, hanya menikmati pizza, teh dan hujan, I could never forget how you made me feel, you’re so laid back. Any other girl tidak bakalan mau di ajak nge-date sesederhana itu. You giggling a lot and that’s pure and cute (kucing kali, cute!). We’re at the same page, kita ngobrolin banyak hal dan nyambung semua tanpa paksaan. You’re beautiful, coolest and adorable (Ava Adore, maksudnya?). I am me when I’m with you”.
Okay, itu semua kata- kata mutiara yang saya tidak butuhkan, lalu he hit me with the truth (thank God he’s not gay); “Please don’t hate me, saya mau kamu mengingat saya sebagai orang yang kamu pernah suka (antisipasi kalau saya akhirnya berhenti suka, ya?), hanya saja I’m not in the good state (kalimat favorite-nya banget, nih) to be in relationship (FYI, he has a steady girlfriend yes-or-no, on and off since forever ago), saya tidak tahu untuk mencintai dengan benar (yea right!). Please jangan benci saya (takut banget, imejnya rusak), juga jangan pergi dari saya. Please? Are you okay? Don’t go, ya?”.
So, how was it? Selfish much, ya? Sudahlah tolak apa terima tidak jelas, masih tetap ingin saya stay, dia pikir saya tidak butuh move on, apa?
Saya sudah move on, itu kenapa saya tulis ini; karena saya mau menyatakan perasaan saya ke love interest ‘terbaru’. Tapi tunggu dulu, mari kita analisa semua ketidak-jelasan di atas.
Pertama, segala pujian- jelas dia tidak ingin menyakiti hati, menolak halus dengan gombalan tapi intinya tetap tidak (atau doi cuma curcol just because he never had this shit). Beberapa orang lebih memilih mendengar kata ‘tidak, terimakasih tapi tidak’, dan saya salah satu orang yang lebih memilih pilihan barusan.
Why bother telling me shit you don’t mean it (you mean it)?. Saya bisa membayangkan ekspresi mukanya di seberang sana, mengumpulkan semua kata dan merangkainya dengan sensitifitas tinggi (dude is indeed very sensitive). Baiklah, anggap segala pujian curcolnya itu benar, terus kenapa tidak memilih saya?.
Coba?.
Saya sangat mengerti kalau doi masih trauma atas hubungan kedua orang tuanya, they got nasty divorce even dramatic (I surely can imagine) that leads him to his phobia then why on earth bother to have that girlfriend, lah, dude?! They’ve been dating for more than a decade, saya jadi sedih untuk ‘the girlfriend’, tidak hanya harus menghadapi phobia si cowok, juga harus menahan emosi karena belum ada tanda mau di kasih cincin tambah lagi ini cowok punya perasaan yang terbagi. Apa coba?
Jaman sekarang lagi booming dengan PELAKOR, saya tidak pernah berniat menjadi salah satunya, so, cara dia mendekati saya hanya sebagai teman awalnya. Alright, friend yes we are. Tidak bermaksud menyalahkan semua ke dia, tapi sejauh dulu itu hubungan mareka sama seperti sinyal 3 dan XL; kadang ada, kadang lenyap. Lalu saya meluncur ditengah ke kosongan (sesaat), strikes the blade everywhere. Saya bukan Pelakor, hanya kebetulan berada di waktu yang salah. Sungguh.
Terus, kalau dia merasa seperti yang dia koar-koarkan itu, lalu apa yang dia rasakan terhadap ceweknya? Jenuh? Jenuh bukan alasan untuk kita melenceng dan mengkhianati, semua orang pasti pernah jenuh tapi tidak berhak menyakiti lalu menelan rasa sesal. Am I right?
Just because I’m freshly newcomer (kita kenal dari saya umur 19 tahun tapi waktu itu kita jarang bisa nongkrong berdua dan kenal lebih dalam) doi jadi khilaf (khilafnya ke saya lagi). Kalau saja doi tahu kalau sekali doi ngomong begitu selain pasangannya itu sudah di anggap selingkuh dan rasa cintanya sudah tidak utuh lagi (apa dia tahu?).
Here the best part; I hits him everywhere in his life then, yay! Walau sebenarnya useless juga, buat apa toh, kalau kita tidak bersatu? Good to know semua perasaan yang dia rasakan terhadap saya ternyata bisa berpengaruh cukup signifikan (jadi bahan tulisan buat saya-nya). All those love confession from him got me thinking; am I really that lovely?. God only knows, I feel like shit.
Kedua, kenapa tetap menginginkan saya dan menolak saya menjauh di saat bersamaan?. Tarik ulur sendirian dengan saya yang jadi talinya. Kamu mau saya menunggu sampai kapan.? Sampai kamu menikahi pacarmu?. Burn. Baby burn!
Setiap orang berhak bahagia, kenapa repot- repot meminta saya tetap diam di tempat instead apologize and wishing me best?. Oh, kalau permintaan tetap menjadi teman itu masih masuk akal dan make sense, but staying, for what?. Funny, huh?.
Balik ke pokok permasalahan utama setelah contoh kasus menyatakan perasaan di atas, jikalau, saya menyatakan perasaan sekali lagi, akankah kejadian yang sama terulang kembali?. Dari sudut hati kiri biru saya mengatakan bahwa saya harus put the wall back and go fucking hiding. Sudut hati merah saya memainkan kembali betapa leganya setelah pengakuan yang saya akui dengan kejujuran yang tertulus (sedikit dalam hidup). Rasanya itu lho, beda banget, lega- lepas. Mengutip quote dari teman lama saya, Nicky; “Berasa kayak orgasme pertama”.
Nekad bukan sifat dasar saya, tetapi ada banyak hal dalam hidup yang saya ambil tanpa pikir panjang- berakhir buruk atau baik, itu relatif. But hey, I’m a grown-up, ini juga bukan hal yang baru juga. Just, is it worth telling or what?.
Jika benar setelah pengakuan cinta bisa merasakan kelegaan layaknya orgasme pertama, apa rasanya penolakan yang dibarengi kata- kata penolakan kasar?.
Kondom pecah di ‘tengah jalan’?.