A Love Confession

by - Maret 20, 2018

Pic: www.unsplash.com

Kemarin setelah curhat panjang lebar ke seorang sahabat, dengan bijaksana dan iringi hilai tawa yang menakutkan ia berkata; ‘Akui saja ke orangnya langsung kalau kamu (maksudnya saya) suka, lalu lihat reaksinya. Jangan sampai di pendam dan ada penyesalan, biarkan saja penyesalan itu menjadi masalahnya karena dia tidak melihat apa yang datang padanya (maksudnya itu rasa suka saya). Biar dia rasakan sesal dan bingungnya”.

Lalu si sahabat ini mengeluarkan hilai tawa yang penuh kejahatan.

Secara alaminya otak saya memutar kembali peristiwa- peristiwa dimana saya pernah menyukai seseorang, mengatakan rasa suka (atau cinta yang jelas tidak mungkin; cinta itu tidak gampang, dude!), tertarik (secara seksual, fisikal, atau the way he treated me or how his mind works), rasanya dengan percaya diri saya bisa bilang hanya sekali terjadi; saya di tidak di tolak, tapi tidak juga di terima. Saya di gantung sama sepertinya dia menggantung dirinya: phobia komitmen. Dia meminta saya untuk tidak pergi darinya, namun di saat yang bersamaan dia tidak bisa memastikan dirinya (yea paling tidak dia memastikan dirinya tidak gay, sih).

Kalau di runut ulang, kata- kata yang saya keluarkan tidak pasti jelasnya apa- tapi terkadang bikin gengges juga kalau ingat kemungkinan salah ketik atau salah omong. Begitu juga jawabannya, karena saking malasnya saya jadi melupakan plus malunya itu, lho!. Ayo ketawa! AHAHAHA.

Jadi intinya doi juga confess his love (love?) ke saya, dia bahkan sampai bilang sejauh yang saya sendiri tidak pernah menyangka; “You’re the most humble girl, I’m in safe place when I’m with you. I could be myself without worrying you might hate or judge me. Saya merasa kamu selalu support dan ada untuk saya, ketika kita duduk di café terakhir dulu, hanya menikmati pizza, teh dan hujan, I could never forget how you made me feel, you’re so laid back. Any other girl tidak bakalan mau di ajak nge-date sesederhana itu. You giggling a lot and that’s pure and cute (kucing kali, cute!). We’re at the same page, kita ngobrolin banyak hal dan nyambung semua tanpa paksaan. You’re beautiful, coolest and adorable (Ava Adore, maksudnya?). I am me when I’m with you”.

Okay, itu semua kata- kata mutiara yang saya tidak butuhkan, lalu he hit me with the truth (thank God he’s not gay); “Please don’t hate me, saya mau kamu mengingat saya sebagai orang yang kamu pernah suka (antisipasi kalau saya akhirnya berhenti suka, ya?), hanya saja I’m not in the good state (kalimat favorite-nya banget, nih) to be in relationship (FYI, he has a steady girlfriend yes-or-no, on and off since forever ago), saya tidak tahu untuk mencintai dengan benar (yea right!). Please jangan benci saya (takut banget, imejnya rusak), juga jangan pergi dari saya. Please? Are you okay? Don’t go, ya?”.

So, how was it? Selfish much, ya? Sudahlah tolak apa terima tidak jelas, masih tetap ingin saya stay, dia pikir saya tidak butuh move on, apa?

Saya sudah move on, itu kenapa saya tulis ini; karena saya mau menyatakan perasaan saya ke love interest ‘terbaru’. Tapi tunggu dulu, mari kita analisa semua ketidak-jelasan di atas.

Pertama, segala pujian- jelas dia tidak ingin menyakiti hati, menolak  halus dengan gombalan tapi intinya tetap tidak (atau doi cuma curcol just because he never had this shit). Beberapa orang lebih memilih mendengar kata ‘tidak, terimakasih tapi tidak’, dan saya salah satu orang yang lebih memilih pilihan barusan.

Why bother telling me shit you don’t mean it (you mean it)?. Saya bisa membayangkan ekspresi mukanya di seberang sana, mengumpulkan semua kata dan merangkainya dengan sensitifitas tinggi (dude is indeed very sensitive). Baiklah, anggap segala pujian curcolnya itu benar, terus kenapa tidak memilih saya?.

Coba?.

Saya sangat mengerti kalau doi masih trauma atas hubungan kedua orang tuanya, they got nasty divorce even dramatic (I surely can imagine) that leads him to his phobia then why on earth bother to have that girlfriend, lah, dude?! They’ve been dating for more than a decade, saya jadi sedih untuk ‘the girlfriend’, tidak hanya harus menghadapi phobia si cowok, juga harus menahan emosi karena belum ada tanda mau di kasih cincin tambah lagi ini cowok punya perasaan yang terbagi. Apa coba?

Jaman sekarang lagi booming dengan PELAKOR, saya tidak pernah berniat menjadi salah satunya, so, cara dia mendekati saya hanya sebagai teman awalnya. Alright, friend yes we are. Tidak bermaksud menyalahkan semua ke dia, tapi sejauh dulu itu hubungan mareka sama seperti sinyal 3 dan XL; kadang ada, kadang lenyap. Lalu saya meluncur ditengah ke kosongan (sesaat), strikes the blade everywhere. Saya bukan Pelakor, hanya kebetulan berada di waktu yang salah. Sungguh.

Terus, kalau dia merasa seperti yang dia koar-koarkan itu, lalu apa yang dia rasakan terhadap ceweknya? Jenuh? Jenuh bukan alasan untuk kita melenceng dan mengkhianati, semua orang pasti pernah jenuh tapi tidak berhak menyakiti lalu menelan rasa sesal. Am I right?

Just because I’m freshly newcomer (kita kenal dari saya umur 19 tahun tapi waktu itu kita jarang bisa nongkrong berdua dan kenal lebih dalam) doi jadi khilaf (khilafnya ke saya lagi). Kalau saja doi tahu kalau sekali doi ngomong begitu selain pasangannya itu sudah di anggap selingkuh dan rasa cintanya sudah tidak utuh lagi (apa dia tahu?).

Here the best part; I hits him everywhere in his life then, yay! Walau sebenarnya useless juga, buat apa toh, kalau kita tidak bersatu? Good to know semua perasaan yang dia rasakan terhadap saya ternyata bisa berpengaruh cukup signifikan (jadi bahan tulisan buat saya-nya). All those love confession from him got me thinking; am I really that lovely?. God only knows, I feel like shit.

Kedua, kenapa tetap menginginkan saya dan menolak saya menjauh di saat bersamaan?. Tarik ulur sendirian dengan saya yang jadi talinya. Kamu mau saya menunggu sampai kapan.? Sampai kamu menikahi pacarmu?. Burn. Baby burn!

Setiap orang berhak bahagia, kenapa repot- repot meminta saya tetap diam di tempat instead apologize and wishing me best?. Oh, kalau permintaan tetap menjadi teman itu masih masuk akal dan make sense, but staying, for what?. Funny, huh?.

Balik ke pokok permasalahan utama setelah contoh kasus menyatakan perasaan di atas, jikalau, saya menyatakan perasaan sekali lagi, akankah kejadian yang sama terulang kembali?. Dari sudut hati kiri biru saya mengatakan bahwa saya harus put the wall back and go fucking hiding. Sudut hati merah saya memainkan kembali betapa leganya setelah pengakuan yang saya akui dengan kejujuran yang tertulus (sedikit dalam hidup). Rasanya itu lho, beda banget, lega- lepas. Mengutip quote dari teman lama saya, Nicky; “Berasa kayak orgasme pertama”.

Nekad bukan sifat dasar saya, tetapi ada banyak hal dalam hidup yang saya ambil tanpa pikir panjang- berakhir buruk atau baik, itu relatif. But hey, I’m a grown-up, ini juga bukan hal yang baru juga. Just, is it worth telling or what?.

Jika benar setelah pengakuan cinta bisa merasakan kelegaan layaknya orgasme pertama, apa rasanya penolakan yang dibarengi kata- kata penolakan kasar?.
Kondom pecah di ‘tengah jalan’?.

You May Also Like

2 comments

  1. Aduh gatel pengen ngejewer cowok macem ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekalian di tonjok, mbak..ahahaha ngehe bangets ya..emang gue ga punya kegiatan bermanfaat lain apa selain nungguin dia...
      *trus stalk ig-nya
      Eling nduk, eling!
      *self-toyor

      Hapus