Segala Rupa Penginapan

by - Mei 20, 2018

       



Entah kenapa saya belum begitu antusias untuk mendokumentasikan hotel, motel, hoStel, wisma, losmen atau dimana saja saya pernah menginap. Karena mungkin prinsip dasarnya saya menginap ya, hanya untuk istirahat dan menyimpan barang saja, walaupun beberapa penginapan tersebut sebenarnya sih, lumayan keren atau unik.

            Namun, selalu ada cerita di hampir setiap penginapan yang pernah saya singgahi, dari harganya hanya Rp 35.000/malam, tetangga sebelah kamar yang lenguhan nikmatnya begitu jelas seolah-olah doi berdua lagi baring sekasur sama saya, sampai ke lobby hotel yang remang-remang kayak di film horror.

            Pada tahun 2000, saya dan beberapa teman sekolah berlibur ke daerah yang terkenal dengan perbukitan dan gunungnya plus udaranya yang sejuk. Tahun segitu, dengan harga yang ampun-dah-murah RP 35.000 per malam tetap saja berasa mahal buat kami para siswa SMU (ya iyalah, masih di kasih duit jajan dari orang tua), hingga dengan berat hati saya rela berbagi kasur ukuran queen dengan 3 orang teman lainnya.

            Kasur tua yang penuh bekas noda para ‘pasien’ sebelumnya menjadi saksi bisu kami para gadis yang berusaha tidur tanpa mematahkan ke-empat kaki reotnya. Seorang dari kami mengeluh betapa bau pesingnya bantal atau selimut yang lembab (kemungkinan tidak pernah di cuci bersih dan penuh kutu). Belum lagi pegas besi dari si kasur yang memantul menusuk punggung. Yes. Dengan Rp 35.000/malam, kamu mengharapkan apa, sih?. Jelas tidak ada kamar mandi di dalam apa lagi air hangat (hanya bisa di pesan dan di bakar manual dengan tungku bakar kayu, diangkut pakai emaber), jarak kamar mandi yang tidak masuk akal; berada di bawa penginapan (ini penginapan rumah kayu 2 tingkat), dengan memakai pencahayaan super alami, kalau tidak sinar matahari yang menyelip diantara balok- balok kayu penghubung, ya, obor api. Untuk menambah kedahsyatan; kubikel kamar mandi di bangun dari batu-batu kali, hitam, licin dan berlumut. Mantab!. Airnya?. Langsung dialirkan dari mata air pegunungan. Brrr!.

            Bisa ditebak tidak satupun dari kami yang mampu untuk mandi pagi itu dan begitu kami tiba di kota selanjutnya yang lebih hangat, semua pada mandi balas dendam. Kota yang kedua pun penginapannya tidak kalah serunya, mulai dari menemukan hostel yang namanya Eden tapi penampakkannya so bloody Hell (neraka). Dinding seluruh kamar penuh dengan noda air yang bocor dari atap, kasur- kasur bunk bed yang tidak pernah terjamah pembersihan, toilet yang berkarat (airnya juga keruh berlumpur), lampu yang hidup-mati sesukanya, bahkan seorang teman kesentrum ketika mencoba menekan tombol lampu (heboh banget sampai doi nyaris pingsan ke lantai), dan yang paling horror adalah lobby-nya yang sepi dan panjang. Kayak di film The Shinning, saya sempat mikir; kapan kira-kira si kembar bakalan nongol di ujung lorong. Semuanya tambah komplit ketika yang punya hostel songong sekali, keluhan kami di anggap angin lalu, harga yang tidak mau kurang dan ogah untuk paling tidak menyapu lantai yang tebal berdebu. Setelah briefing singkat, kami (yang syukurnya belum membayar full) memutuskan untuk langsung angkat kaki.

            “Aku bisa mati karena 2 hal di Eden (read; surga) itu; kalau tidak kesentrum, ya karena ketemu hantu!”, quote bijaksana dari si teman yang kesentrum, dan juga penakut.

            Wisma berikut akhirnya dipilih dengan terpaksa karena sesuai bujet, cukup layak walau mengingatkan saya pada wisma tahun 70-an, dengan kolam ikan tua butek di dalam ruangan, dinding yang penuh pahatan relief timbul dengan warnanya yang mulai terkelupas dan buram. Nothing fancy, kecuali kami mematahkan 2 kaki kasur ketika sedang heboh duduk ketawa-tawa di kasur.

            Penginapan- penginapan tua di kala itu masih bisa bersaing dengan hotel yang belum terlalu banyak baik itu franchise dan harganya yang lebih mahal. Namun ada juga penginapan tua yang tidak tahu diri menaikkan harga tanpa mengubah pelayanan dan bentuk fisik penginapan mareka. Menurut salah satu pemilik wisma tua yang iseng saya ‘wawancarai’, mareka merasa kesal dengan hotel- hotel dan merasa penginapan mareka lebih legenda dan patut di apresiasi. Lha pak, legenda sih iya, tapi naiknya harga kok, tidak di imbangi dengan meningkatnya mutu pelayanan dan kondisi wisma yang harusnya ya, di cat ulang.

            Kadang-kadang ya…(masih ingat wajah si bapak yang ngotot, kesal dan penuh kebencian terhadap jaringan hotel yang lagi naik daun kala itu).

            Hostel juga tidak kalah sumuknya (pakai S di tengahnya ya, lebih familiar di kalangan para backpacker), karena hanya turis asing lah yang lebih tertarik pada hostel (menunggu turis asing nan langka hingga lupa untuk merawat penginapan). Di kala itu menjadi backpacker belumlah setrendi dan semudah sekarang namun beberapa pemilik hostel cukup antusias membangun penginapan bujet karena mengincar backpacker asing (kere dan beransel lusuh yang lebih suka nginap berhari-hari dengan bujet minim full petualangan eksotis). Jadi tidaklah mengherankan ketika hostel (tapi di tulis hotel) Eden itu lebih layak dijadikan setting-nya film horror karena jarang tersentuh turis. Menurut para owner yang saya ‘wawancarai’ lagi, bisnis mareka diantara hidup dan mati sedangkan mareka tidak ingin menjual penginapan mareka (yang biasanya strategis) kepada jaringan hotel besar atau cukong- cukong ruko.

            Setelah hobi ber-backpacking menjamur, para pemilik hostel, wisma, losmen, penginapan konvensional kini mulai berbenah diri. Meskipun beberapa dari mareka masih mempertahankan ‘gaya jadul’, paling tidak dari segi service kini mengalami perubahan signifikan (riset berdasarkan yang saya alami, ya). Salah satu contohnya adalah wisma jadul di kampong saya, mareka masih mengekalkan interior lama; kolam ikan butek penuh relief dinding (tapi kali ini ikannya ada walau puntung rokok dan sampah mengambang diatasnya), bangunan jadul (mungkin di bangun tahun 70-an) yang terpisah-pisah di hubungkan dengan jalur setapak kecil berkerikil, lukisan alam terkembang khas setempat (dilukis diatas kain velvet hitam, tema lukisan kalau ya tidak kerbau, sawah, gunung atau rumah adat), semuanya nyaris tidak berubah kecuali service-nya. Sekarang tidak perlu lagi memanaskan air dengan kayu bakar, ada set sabun dan handuk, heater mulai lebih praktis serta cepat, kamar mandi sudah berada di dalam ruangan dan kasurnya nih, sudah jenis springbed walau mereknya ecek-ecek (kapan terakhir saya menginap di tempat yang kasurnya dari kapuk). Saya akui saya cukup terkesan walau bête karena mareka seenak hatinya menaikkan harga ketika demand yang tinggi saat lebaran. Oh, kini para penginapan jadul telah melek teknologi dengan bergabungnya mareka ke jaringan pencarian penginapan online. Well done, you old people!. (well, biasanya kini di kelola oleh generasi baru; penginapan model begini adalah bisnis keluarga turun termurun).

            Dengan meningkatnya mutu, maka meningkat pulalah interior penataan demi menarik minat para pelancong, semakin unik dan nyeleneh, semakin di cari. Ini mengingatkan saya pada hostel yang di pesan oleh sahabat saya ketika kami backpacking ke negara sebelah, dari namanya kok ya, kayak hostel metal yang, instead of throwing regular party, pasti mareka bikin pesta sesajen ngundang the devil himself, but no, beda banget. Begitu menaiki tangga ke lantai atas, kita di sambut tumpukan buku di seluruh anak tangga, seekor buaya awetan menggantung di dinding tangga (ya, mungkin memang bekas hostel-nya dark metal). Saya dan 2 teman berbagi 1 kamar dengan attached bathroom, 1 kasur bunk bed; single diatas, queen size di bawah, sedangkan teman yang 1 lagi harus rela tidur di ruang tengah (disitulah tidur, disitulah mingle sebagai ruang tamu) di co-ed room. Hostel unik ini hanya mempunyai 1 kamar mandi di dapur (bayangkan jika yang tidur di luar semuanya kebelet) dan dapur yang memudahkan kita untuk masak sendiri (bersihkan dan cuci piring sendiri, ya). Pemiliknya (yang terlihat nerd ketimbang gothic) mengisi semua perabotan yang ada dari barang terpakai yang di daur ulang; lemarinya adalah kulkas, tempat suratnya terbuat dari microwave besi jadul, kursi duduknya terbuat, jeng, jeng, jeng; TOILET DUDUK. Yes, semua di daur ulang, di poles lagi dan menjadi ciri khas hostel ini. Quirky sekali. Mejanya adalah meja mesin jahit jadul. Sofanya pun kemungkinan sofa bekas yang di buang orang di sudut jalan. Komputernya jangan ditanya: Windows 98!.

            (Btw, ini kursi toilet, kebayang deh, berapa banyak yang telah boker situ, just FYI).

            Ada lagi 1 hostel yang tak kalah unik, eh tapi lebih aneh sih tepatnya, tidak ada jendelanya, berada di tingkat 2 sebuah ruko, semua kamar berbentuk kubus berjejer. Semalaman saya begitu pengap (cuma ada AC tua yang sepoi-sepoi), untunglah ruangan yang idealnya hanya untuk 2 orang kala itu hanya ada saya seorang (kebayang rebutan udara). Hostel unik yang bangunannya sudah ada dari jaman colonial pun tidak kalau seru; semua lantai dibuat dari kayu jadi ketika jalan berderik- derik seram. Resepsionis hostel menempatkan saya di ruangan attic (ya ampun, itu cita- cita banget punya ruangan tidur di attic) dikarenakan saat itu bukan peak season, jadi bisa menawar harga. Sayangnya mareka tidak begitu memperhatikan ruangan paling atas sekali ini yang nyaris terbengkalai; binding untuk jendela sudah rusak menjuntai, namun yang lainnya perfecto; tidak ada bunk bed, cuma ruangan dengan 3 kasur single yang saya huni sendiri, cukup spacious walau ranjangnya kreor- kreot, plus sinki untuk cuci tangan tanpa kamar mandi (cukup jalan lurus turun 6 anak tangga di depan kamar).

            Lalu bicara soal sarapan di penginapan, biasanya hostel jarang menyediakan makanan, karena harga mareka sudah terlalu murah (minta breakfast, ya mimpilah!). Tetapi tidak sedikit hostel juga berbaik hati menyediakan sarapan yang lumayan (daripada cuma air putih dong, harus bayar). Kami mendapatkan sarapan yang luar biasa di sebuah wisma jadul (full lukisan perempuan tempo dulu yang-entah-siapa, patung- patung kayu, besi, batu segala bentuk rupa, sisi ruangan yang gelap dingin) dengan harga yang lebih sesuai dengan hotel bintang 1 paling tidaknya (wisma sih, tapi cukup mahal juga apalagi tambah ekstra bed), sarapannya itu lho; kalah deh, Club Med (hahay!). Awalnya kita tidak mengira mareka akan menyajikan sarapan, begitu sampai dari sarapan di luar, sang bapak pemilik wisma dengan sedikit kesal bilang untuk kita segera menghabiskan semua sarapan yang telah disisihkan untuk kita!. Ada lontong sayur, pecal, katupek gulai paku, bihun goreng, mie goreng, nasi goreng, roti tawar dengan bermacam selai, sate padang, sate kacang, dadih, teh, kopi, susu, milo, jus jeruk,  dan lain-lain. Melongo, saya mencoba mencicipi ala kadarnya dikarenakan perut sudah penuh duluan.
            Sarapan terkocak adalah ketika kami menginap di wisma (satu-satunya saat itu) dekat perkebunan teh, lagi- lagi hanya Rp 35.000/ malam (padahal jarak cerita penginapan murah dari pengalaman di atas cukup jauh, 6 tahun), yang dengan muka datar si pemilik bilang kami mendapatkan 1 kali makan malam dan 1 kali sarapan. Ketika di tanya menunya apa, si pemilik bilang ‘mie something’, saling berpandangan semua teman berharap saya mengerti apa yang di ucapkan oleh si pemilik (yang sangat datar namun sebenarnya canggih). Begitu makan malam terhidang (harusnya supper karena kami sampai tengah malam setelah nyasar setengah hari, maklum belum ada GPS dan tidak bawa peta, bermodalkan tanya sana-sini), ternyata oh ternyata ‘mie something’ itu adalah INDOMIE REBUS SPECIAL PAKAI TELUR (hallo Indomie, sponsor saya, dong!). RASA KARI AYAM.

            Chimicanga!
.
            Posisi strategis juga berpengaruh besar melebihi layanan atau interiornya (banyak yang memilih akses cepat ke spot pariwisata ketimbang bentuk hotel-nya), bahkan posising gang jalan juga ternyata bisa mempengaruhi kamu bakalan di cap wanita malam apa tidaknya (padahal kamu sebenarnya turis yang tidak bersalah). Ibu warung memanggil saya yang lagi celingak-celinguk cari hostel di tepi jalan.

            “Mbak, jangan kesana, di sana tempatnya para cewek jalananan!”, teriaknya pada saya.

            Okay, dengan hanya merentangkan tangan saja saya bisa di anggap kategori cewek jalanan di sebelah kiri dan turis lugu di sebalah kanan karena pemisah ‘tak kasat mata’ penginapan yang saya hendak tuju dan rumah mesum hanyalah got kecil yang mengalir di samping keduanya. Baiklah.

            Serba- serbi dalam menemukan maupun menginap sungguh sangat seru dan menarik (service hotel berbintang memang dahsyat sesuai tarifnya), terkadang kocak (sesama backpacker yang mencoba ngobrol tapi salah pengertian karena tidak bisa berbahasa Inggris, pakai bahasa tubuh dan jari), mencengangkan (ukuran kamar tidurnya 4 kali ukuran kamar saya), creepy (dengar suara- suara seram) maupun sedih (curhat owner-nya bercucuran air mata sampai ke masalah anak-anaknya atau menginap di kantor polisi karena nyasar kemudian dengan baiknya si bapak mengantar kita dengan mobil polisi sambil meraung-raungkan sirene-nya yang khas itu) memperkaya kisah petualangan saya juga turut mengasah skill berakting saya; muka memelas sedikit, di kasih sarapan lebih.

            Namun lagi- lagi secara pribadi saya memilih menggunakan hostel ketimbang hotel atau cottage jika sedang lagi backpacking (yalah, sesuai isi dompet), karena dasarnya; itu hanyalah tempat saya menumpang tidur namun jika beruntung menemukan keunikan (dan keanehan; mural Little Prince di sebuah hostel yang sama sekali tidak nyambung dengan bentuk hostel-nya sendiri, berhantu yang mindahin barang seenaknya) karena biasanya saya traveling dengan jumlah orang yang minim bahkan seorang diri. Entahlah, penginapan bujet biasanya di ‘huni’ oleh orang- orang yang lebih ramah, suka bercerita, bergaul dan lebih mau berbagi (tempat makan murah, jalan tikus, event setempat). Tidak menutup kemungkinan juga orang- orang yang juga menginap di hotel mewah pun, kemungkinan berbagi juga (tempat party yang asyik, shopping dimana, trik selfie yang menutup background dan menampilkan full muka).

            Mungkin sedikit disayangkan saya begitu menghayati keunikan penginapan yang pernah saya ‘hinggapi’ sampai lupa mendokumentasikannya. Karena oh karena hari begini butik hotel sudah mulai menjamur dan sangat instagramable membuat orang berlomba-lomba mengunduhnya dengan caption kata-kata mutiara yang sering salah translate. Maybe next time saya akan lebih ‘aware’ dalam hal dokumentasi dan menghindari caption ngaco biar terlihat bijaksana itu.  

            Masih begitu banyak lagi cerita seru lainnya yang kalau di tulis mungkin bisa jadi buku ’pengalaman somplak selama menginap’, dari judulnya kurang menjual, ya. Kamu bisa berbagi pengalaman seru kamu di kolom komentar dan mari kita tertawa ngenes bersama. Di tunggu, lho.

You May Also Like

7 comments

  1. Kakak Kapan backpackeran lagi? Ajak-ajak dooongg.... Eeh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boooyyeehh...no fuss ya, makan seadanya, nginap murah meriah & banyak jalan kaki..
      Siap sedia yaaa

      Hapus
  2. Banyak kali dah pengalaman kk satu ini,
    Ane malah seumur hiduh belum pernah nginap - nginap di hotel, motel , atau apalah namanya..
    Entah karena apa yak, mungkin bingung gimana caranya... Wkwkkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ga sengaja, dari hobi jalan2 aja, nginap mana lg kan..
      Kadang kemping jg, seru tuh nginap di hutan dlm tenda.
      Kan besok bakalan nginap di hotel (rahasiakan dulu..ahaha)
      selamat menikmati pengalaman nginap di hotel besok!

      Hapus
  3. Hahaha! Unik-unik ceritanya, tapi seru! Nambah komplit kisah perjalanan.

    Klw pengalamanku masih secuil nih soal perhotelan, gak begitu suka ndokumentasiin juga sih. Paling badan gatal2 setelah nginep di sebuah penginapan, dapet toilet di penginapan yg rusak & jorok parah, haha! Tapi ya...asyik2 aja tuh, gak begitu mempermasalahkan klw soal penginapan. Orang cuman buat tidur doang. Kadang malah tidur di kasur tiup & sleeping bag aja di lantai, Krn sering jalan bertiga tp cuma sewa 1 kamar yg bednya cuma 2, demi yg namanya ngirit budget. Hehe!

    BalasHapus
    Balasan
    1. ahahahaa toilet rusak/jorok, kasur berkutu, standard penginapan murah meriah..plus bau rokok!
      ya sama mbak Lena, kita sering ekstra bed atau umpek-umpekkan di kasur ber 3..semua demi bujet!
      bhihihihik

      Hapus
  4. Took me time to read all the comments, but I really enjoyed the article. It proved to be Very helpful to me and I am sure to all the commenters here! It’s always nice when you can not only be informed, but also entertained!
    swesub

    BalasHapus