Perempuan Dukung Rokok Harus Mahal

by - Mei 17, 2018

Pic : www.unsplash.com

Kemarin saya menghadiri seminar radio Ruang Publik KBR tentang gerakan perempuan untuk menentang rokok dengan mendukung naiknya harga rokok hingga Rp 50.000 mengusung tagline #rokokharusmahal dan #rokok50ribu. Sebagai mantan social smoker ecek- ecek yang telah berhenti merokok sejak tahun 2007, saya sangat mendukung penuh. Kalau bisa sih, di buat mahal sekalian sampai Rp 200.000 per bungkus!. Geram ya!.

Kenapa saya bisa geram, gengges dan syebel sampai sebegininya, karena para perokok terbanyak menurut riset (dan saya lihat dengan mata sendiri, saya juga adalah korbannya) adalah mareka yang masih di bawah umur. 

Kalau dulu di tahun- tahun saya membesar, narkoba, rokok, clubbing dan miras adalah hal yang lagi beken. Kamu mau gaul dan di terima oleh ‘teman-teman’, ya, lakukanlah salah 1 hal diatas (menurut kemampuan duit jajajanmu, jelas duit jajan saya cuma bisa beli rokok doang, ah nasib, bukan sedih karena nasib tidak mampu beli rokok 1 kotak, nasib duit jajan sedikit tidak mampu beli ice cream tiap hari). Tapi kalau kamu banyak duit sih, biasanya melakukan semua diatas, biar dikata gaul!.

Di tahun saya tumbuh (menjadi wanita yang urm, bit bitter, getir), 1990 – 2007 (tahun-tahun labil dan beradaptasi, menemukan jati diri), itu rokok lagi keren-kerennya, di TV sang protagonisnya ngerokok, di film tentu saja; sang leading actor/actress merokok sambil ngomongin ideology, filosopi, whatever clever, that is tentang hidup. Rockstars apalagi, padahal saya malah heran; nyanyi bukannya pernafasan, paru dan rongga dada harus di jaga bersih, ya?. (Eh juga itu iklan rokok yang kids jaman now; sekolah lancar, larian sana- sini aktif, bergaul bersosialisasi bahkan olahraga ekstrim tapi tetap merokok. Bagaimana coba, kalau sudah merokok, lari sebentar saja saya sudah sesak nafas. Iklannya kontradiktif , mana di letaknya di daerah persekolahan lagi).

There, there, karena itulah saya jadi ikut-ikutan merokok (narkoba dan lain-lain tidak begitu menarik karena kondisi keuangan tidak mampu), jujur saja selain lingkungan teman yang merokok sedari dini, saya kebanyakkan nonton dan berpikir; merokoklah lalu kamu akan tahu tentang kehidupan. HAHA!. (ya, ya kamu akan tahu kalau kamu kena sakitnya dan nyusahin orang- orang di sekeliling kamu).

Pertemanan kala itu menganggap merokok bareng (1 batang di gilirkan karena mau hemat) itu adalah bonding yang baik. Oh tetapi itu jauh dari mengeratkan persahabatan karena jika kamu merokok 1 batang beramai – ramai, kemungkinan kamu tertular penyakit sangat besar. Plus juga euw banget!. Jigongnya nempel!. Euw!.

Tidak dapat di pungkiri kita akan tumbuh dan melalui fase dimana kita membutuhkan validasi di luar dari lingkaran pertama kita (keluarga), salah satunya agar di bilang keren dan di validasi dalam berteman adalah merokok (juga yang saya sebutkan di atas). Oleh karena itu, bermula dari ingin terlihat asik dan gaul, kita menjadi perokok aktif yang berkelanjutan atau seperti saya yang merokok hanya untuk bersosial saja (kini saya menjadi pribadi introvert setelah masa bodoh dengan validasi). Alam bawah sadar saya juga menge-set rasa kebutuhan saya untuk merokok hanya ketika sedang gaul atau stress (kerja sampai larut malam, kurang tidur, merokok dan minuman bersoda adalah kombinasi yang bisa mematikan). Begitu juga sampai sekarang, setiap saya merasa stress rokok adalah hal pertama yang saya cari mengingat reaksi tenang (padahal mah, cuma sugesti) tubuh di saat merokok meredam stress.

Saya mengalami relapse setelah tahun berhenti merokok itu sekitar 3 kali (mungkin, ya), di karenakan mungkin stress dan bosan. I wasn’t proud, namun syukurlah saya hanya merokok beberapa batang kadang tidak sampai habis juga (ah, mencari pembenaran nih, malu!).

Selain saya, ada beberapa teman sesama perokok juga telah berhenti dan sekarang juga turut mendukung gerakan penghapusan rokok (ekstrim sekalian dari bekas mantan perokok berat). Begitu juga adik dan bapak saya, beberapa anggota keluarga lainnya pun telah mencoba untuk melepas jerat rokok. 

Pencerahan datang menghampiri, bukan hanya demi kesehatan terutama; kita juga tidak ingin anak, cucu, mareka yang masih kecil mengikuti jejak kita karena orang- orang dewasa di sekelilingya merokok dengan santai yang bisa membuat otak kecil mareka memprogram dengan alaminya bahwa rokok itu natural dan bisa di terima dimana saja. Melihat seorang bayi di TV yang dengan santainya merokok (gayanya bak orang dewasa) membuat saya paranoid takut kalau- kalau keponakan dan anak sendiri mencontohnya. Aduh, saya begitu geram, tetapi itu bukan salah sang anak melainkan orang tuanya. 

Para perokok pasif yang hanya menghirup asap rokok saja sudah bisa membuat sakit apatah lagi dengan para perokok aktifnya. Dulu saya punya tetangga yang anaknya sakit batuk berbulan-bulan kemudian di bawa ke dokter yang mengabarkan si anak terkena TBC. Gila memang, TBC!. Cukup duduk di dalam rumah sambil main boneka dan menghirup asap rokok si ayah yang tebal mengepul tanpa jeda. Kalau sudah begini, barulah si ayah berhenti merokok. Memang begitulah sifat manusia, setelah jatuh sakit, bangkrut; barulah kita berubah. 

Lantas bagaimana kalau kita semua berhenti merokok dan mereformasi harganya, apakah para petani tembakau akan gulung tikar?. Surprisingly not, they won’t. karena jujur nih ya, yang saya dapat sebelum seminar KBR kemarin adalah counter attack-nya untuk menggagalkan kampanye anti rokok dengan memainkan rasa bersalah kita akan matinya usaha para petani tembakau. Saya sungguh shock ketika mengetahui justru kita malah mengimpor tembakau terbagus dari Brazil dan China. Lha, tembakau local ternyata tidaklah begitu bagus kualitasnya mengingat letak geografis kita yang musim panasnya tidak begitu kering dan masih turun hujan. Ternyata tembakau itu harus di tanam di tempat yang kering dan panas kemarau. 

Tembakau kita adalah salah satu grade yang paling rendah mutunya, kalau di jual sekalipun pasti akan dalam jumlah yang banyak namun dengan bayaran sedikit sekali. Para pabrikan besar tidak berani mengambil resiko tersebut jadilah berjamurnya merek rokok local dengan menggunakan tembakau local (dengan puntung filter yang di pungut untuk di pakai lagi) yang lembab dan grade rendah hingga harga jualnya pun, sangat- sangat murah serendah Rp 300 – Rp 500 per batang. Coba, bagaimana anak- anak kita tidak menjadi konsumen nomor satunya kalau rokok sedemikian murahnya?. Yang murah bagi anak- anak itu harusnya ice cream, bukan rokok!.

Petani tidak pernah lebih miskin dari sekarang, tidak juga akan menjadi kaya. Selain mutu tembakau yang rendah, mareka menjual hasil panen mareka biasanya melalu agen yang jelas- jelas akan menjualnya lagi dengan keuntungan tersendiri. Ini membuat saya berpikir, kalau memang geografis kita tidak memungkinkan untuk menanam tembakau, kenapa tidak banting stir menanam yang lain seperti buah, pohon jati?. Karena saya pribadi akan sangat tertekan jika apa yang saya jual, kerjakan, bisa membuat orang lain sakit bahkan kehilangan nyawa. Aduh!.

Balik lagi ke validasi agar jadi keren dengan merokok, sungguh tidak ada yang lebih keren dari tidak merokok, melawan mainstream dan unik menjadi non-smoker diantara teman- teman yang  pada ngepul semuanya. Ah, jadi ingat quote ini; manusia membeli sesuatu hanya untuk membuat orang lain terkesan meskipun mareka tidak menyukai orang itu. 

Karena awal dari merokok adalah coba- coba, merasa keren dan bablas ke dalam lingkaran asap. But hey, worry not, jika kamu punya kemauan yang kuat, peduli pada orang- orang tercinta (jangan ngerepotin emak kalau sakit), kamu pasti bisa berhenti merokok. Sudah banyak kasus berhenti merokok yang sukses kok, saya sendiri, keluarga terdekat contoh kasusnya, lho. Rahasia saya?. Pikiran logis (wanjir, duit habis, saya malah sakit, mendingan duitnya saya tabung buat backpacking dan beli buku)  dan disiplin (seriously nothing beats this). Kamu bisa bikin list apa yang bisa kamu beli atau lakukan dari jumlah uang yang telah kamu ‘bakar’ buat rokok, karena pikiran logis adalah pikiran yang paling clear nan membantu memusatkan goal kita. Di susul dengan disiplin untuk tetap berupaya mewujudkannya.

Contoh pikiran logis saya ya itu tadi, suatu hari kesal menemukan dompet nyaris kosong saat mau makan mie ayam, perasaan tadi ada, deh. Tahunya saya tanpa sadar (karena sudah jadi kebiasaan) malah beli sebungkus rokok!. Bego banget, dah!. 

Insiden konyol itu tambah di perparah oleh teman yang nyeletuk; bakar tuh, duit, makan tuh, asap!. Bakar duit, selama ini kalau orang ngomong begitu saya tidak begitu perduli dan hanya menganggap lelucon sambil lalu. Tapi tidak hari itu, comrades!. I was craving for mie ayam like crazy, saya terduduk bengong; man, gone my money gone!. Itulah salah satu titik balik (jadi koma?) dalam hidup saya, selama seminggu saya hanya merokok 1 batang/hari (masih sayang di buang rokok yang sudah di beli), di minggu berikutnya saya menyibukkan diri apa saja dan menjaga stress level saya. Rocky weeks it was , but really worth it. Kemarahan, kesedihan dan penyesalan membuat saya ingin balas dendam (kayak Thor ya, aduh, sorry spoiler, I’m not sorry), eh, berhenti merokok dan menabung anggaran rokok saya biasanya (yearp, tak lama saya sudah backpacking asyik plus sehat malah bisa kemping dan hiking).

Bebas rokok juga membebaskan saya untuk harus rela berbagi rokok kalau lagi ngumpul (syukurlah merek rokok saya itu bukan rokok yang di konsumsi pada umumnya, asli dalam hati dongkol kalau ada yang minta rokok saya), melepaskan saya dari validasi gaul harus turut ngepul demi obrolan yang asyik. Pokoknya bawaan saya lebih enteng dan bebas bau asap. Uang saya jadi lebih banyak dan bisa makan mie ayam 4 mangkuk sekali duduk (yah, setara harga 2 bungkus rokok saat itu, lah). Asyik deh, pokoknya kalau berhasil menabung dari berhenti merokok ini. 

Kalau kamu mempunyai niat (lurus nan mulia) untuk berhenti merokok atau ingin membantu orang- orang tersayang, kamu bisa menghubungi Puskesmas terdekat dan berkonsultasi dengan para ahlinya. Jangan risau jangan gundah, gratis, kok. Kamu juga bisa klik www.kbr.id untuk mengetahui program Perempuan Dukung Rokok Harus Mahal lebih lanjut. Oh, para lelaki- lelaki macho yang juga keren (niat) bebas rokok juga boleh mampir, kok (dikampanye kali ini lebih ditujukan pada kaum perempuan selaku ‘bendahara/akuntan’ di keluarga yang mau tidak mau mengeluarkan anggaran rokok untuk suami serta jadi ‘korban’ rokok pasif dari si suami). 

     Ayo Dek, Mas, Abang, Pak dan Om kita dukung gerakan ini bersama- sama karena anda- andalah adalah konsumen teratas rokok (riset berdasarkan gender), lepaskan cara pikir merokok itu keren dan lebih penting dari makan serta kesehatan (apalagi merokok di bilang jantan, jantan dari mananya?), mari kita gunakan pikiran logis kita, berdisiplin dalam menjalankannya. 

YOU CAN DO IT, MAN!.


You May Also Like

0 comments