Segala Rupa Penginapan
Entah kenapa saya belum begitu antusias untuk mendokumentasikan hotel, motel, hoStel, wisma, losmen atau dimana saja saya pernah menginap. Karena mungkin prinsip dasarnya saya menginap ya, hanya untuk istirahat dan menyimpan barang saja, walaupun beberapa penginapan tersebut sebenarnya sih, lumayan keren atau unik.
Namun, selalu
ada cerita di hampir setiap penginapan yang pernah saya singgahi, dari harganya
hanya Rp 35.000/malam, tetangga sebelah kamar yang lenguhan nikmatnya begitu
jelas seolah-olah doi berdua lagi baring sekasur sama saya, sampai ke lobby
hotel yang remang-remang kayak di film horror.
Pada tahun
2000, saya dan beberapa teman sekolah berlibur ke daerah yang terkenal dengan
perbukitan dan gunungnya plus udaranya yang sejuk. Tahun segitu, dengan harga
yang ampun-dah-murah RP 35.000 per malam tetap saja berasa mahal buat kami para
siswa SMU (ya iyalah, masih di kasih duit jajan dari orang tua), hingga dengan
berat hati saya rela berbagi kasur ukuran queen dengan 3 orang teman lainnya.
Kasur tua yang
penuh bekas noda para ‘pasien’ sebelumnya menjadi saksi bisu kami para gadis
yang berusaha tidur tanpa mematahkan ke-empat kaki reotnya. Seorang dari kami
mengeluh betapa bau pesingnya bantal atau selimut yang lembab (kemungkinan
tidak pernah di cuci bersih dan penuh kutu). Belum lagi pegas besi dari si kasur
yang memantul menusuk punggung. Yes. Dengan Rp 35.000/malam, kamu mengharapkan
apa, sih?. Jelas tidak ada kamar mandi di dalam apa lagi air hangat (hanya bisa
di pesan dan di bakar manual dengan tungku bakar kayu, diangkut pakai emaber),
jarak kamar mandi yang tidak masuk akal; berada di bawa penginapan (ini
penginapan rumah kayu 2 tingkat), dengan memakai pencahayaan super alami, kalau
tidak sinar matahari yang menyelip diantara balok- balok kayu penghubung, ya, obor
api. Untuk menambah kedahsyatan; kubikel kamar mandi di bangun dari batu-batu
kali, hitam, licin dan berlumut. Mantab!. Airnya?. Langsung dialirkan dari mata
air pegunungan. Brrr!.
Bisa ditebak
tidak satupun dari kami yang mampu untuk mandi pagi itu dan begitu kami tiba di
kota selanjutnya yang lebih hangat, semua pada mandi balas dendam. Kota yang
kedua pun penginapannya tidak kalah serunya, mulai dari menemukan hostel yang
namanya Eden tapi penampakkannya so bloody Hell (neraka). Dinding seluruh kamar
penuh dengan noda air yang bocor dari atap, kasur- kasur bunk bed yang tidak
pernah terjamah pembersihan, toilet yang berkarat (airnya juga keruh berlumpur),
lampu yang hidup-mati sesukanya, bahkan seorang teman kesentrum ketika mencoba
menekan tombol lampu (heboh banget sampai doi nyaris pingsan ke lantai), dan
yang paling horror adalah lobby-nya yang sepi dan panjang. Kayak di film The
Shinning, saya sempat mikir; kapan kira-kira si kembar bakalan nongol di ujung
lorong. Semuanya tambah komplit ketika yang punya hostel songong sekali,
keluhan kami di anggap angin lalu, harga yang tidak mau kurang dan ogah untuk
paling tidak menyapu lantai yang tebal berdebu. Setelah briefing singkat, kami
(yang syukurnya belum membayar full) memutuskan untuk langsung angkat kaki.
“Aku bisa
mati karena 2 hal di Eden (read; surga) itu; kalau tidak kesentrum, ya karena
ketemu hantu!”, quote bijaksana dari si teman yang kesentrum, dan juga penakut.
Wisma berikut
akhirnya dipilih dengan terpaksa karena sesuai bujet, cukup layak walau
mengingatkan saya pada wisma tahun 70-an, dengan kolam ikan tua butek di dalam
ruangan, dinding yang penuh pahatan relief timbul dengan warnanya yang mulai
terkelupas dan buram. Nothing fancy, kecuali kami mematahkan 2 kaki kasur
ketika sedang heboh duduk ketawa-tawa di kasur.
Penginapan-
penginapan tua di kala itu masih bisa bersaing dengan hotel yang belum terlalu
banyak baik itu franchise dan harganya yang lebih mahal. Namun ada juga
penginapan tua yang tidak tahu diri menaikkan harga tanpa mengubah pelayanan
dan bentuk fisik penginapan mareka. Menurut salah satu pemilik wisma tua yang
iseng saya ‘wawancarai’, mareka merasa kesal dengan hotel- hotel dan merasa
penginapan mareka lebih legenda dan patut di apresiasi. Lha pak, legenda sih
iya, tapi naiknya harga kok, tidak di imbangi dengan meningkatnya mutu
pelayanan dan kondisi wisma yang harusnya ya, di cat ulang.
Kadang-kadang
ya…(masih ingat wajah si bapak yang ngotot, kesal dan penuh kebencian terhadap
jaringan hotel yang lagi naik daun kala itu).
Hostel juga
tidak kalah sumuknya (pakai S di tengahnya ya, lebih familiar di kalangan para
backpacker), karena hanya turis asing lah yang lebih tertarik pada hostel
(menunggu turis asing nan langka hingga lupa untuk merawat penginapan). Di kala
itu menjadi backpacker belumlah setrendi dan semudah sekarang namun beberapa
pemilik hostel cukup antusias membangun penginapan bujet karena mengincar
backpacker asing (kere dan beransel lusuh yang lebih suka nginap berhari-hari
dengan bujet minim full petualangan eksotis). Jadi tidaklah mengherankan ketika
hostel (tapi di tulis hotel) Eden itu lebih layak dijadikan setting-nya film
horror karena jarang tersentuh turis. Menurut para owner yang saya ‘wawancarai’
lagi, bisnis mareka diantara hidup dan mati sedangkan mareka tidak ingin
menjual penginapan mareka (yang biasanya strategis) kepada jaringan hotel besar
atau cukong- cukong ruko.
Setelah hobi
ber-backpacking menjamur, para pemilik hostel, wisma, losmen, penginapan
konvensional kini mulai berbenah diri. Meskipun beberapa dari mareka masih
mempertahankan ‘gaya jadul’, paling tidak dari segi service kini mengalami
perubahan signifikan (riset berdasarkan yang saya alami, ya). Salah satu
contohnya adalah wisma jadul di kampong saya, mareka masih mengekalkan interior
lama; kolam ikan butek penuh relief dinding (tapi kali ini ikannya ada walau puntung
rokok dan sampah mengambang diatasnya), bangunan jadul (mungkin di bangun tahun
70-an) yang terpisah-pisah di hubungkan dengan jalur setapak kecil berkerikil, lukisan
alam terkembang khas setempat (dilukis diatas kain velvet hitam, tema lukisan
kalau ya tidak kerbau, sawah, gunung atau rumah adat), semuanya nyaris tidak
berubah kecuali service-nya. Sekarang tidak perlu lagi memanaskan air dengan
kayu bakar, ada set sabun dan handuk, heater mulai lebih praktis serta cepat,
kamar mandi sudah berada di dalam ruangan dan kasurnya nih, sudah jenis
springbed walau mereknya ecek-ecek (kapan terakhir saya menginap di tempat yang
kasurnya dari kapuk). Saya akui saya cukup terkesan walau bête karena mareka seenak
hatinya menaikkan harga ketika demand yang tinggi saat lebaran. Oh, kini para
penginapan jadul telah melek teknologi dengan bergabungnya mareka ke jaringan
pencarian penginapan online. Well done, you old people!. (well, biasanya kini
di kelola oleh generasi baru; penginapan model begini adalah bisnis keluarga
turun termurun).
Dengan
meningkatnya mutu, maka meningkat pulalah interior penataan demi menarik minat
para pelancong, semakin unik dan nyeleneh, semakin di cari. Ini mengingatkan
saya pada hostel yang di pesan oleh sahabat saya ketika kami backpacking ke
negara sebelah, dari namanya kok ya, kayak hostel metal yang, instead of
throwing regular party, pasti mareka bikin pesta sesajen ngundang the devil
himself, but no, beda banget. Begitu menaiki tangga ke lantai atas, kita di
sambut tumpukan buku di seluruh anak tangga, seekor buaya awetan menggantung di
dinding tangga (ya, mungkin memang bekas hostel-nya dark metal). Saya dan 2
teman berbagi 1 kamar dengan attached bathroom, 1 kasur bunk bed; single
diatas, queen size di bawah, sedangkan teman yang 1 lagi harus rela tidur di
ruang tengah (disitulah tidur, disitulah mingle sebagai ruang tamu) di co-ed
room. Hostel unik ini hanya mempunyai 1 kamar mandi di dapur (bayangkan jika
yang tidur di luar semuanya kebelet) dan dapur yang memudahkan kita untuk masak
sendiri (bersihkan dan cuci piring sendiri, ya). Pemiliknya (yang terlihat nerd
ketimbang gothic) mengisi semua perabotan yang ada dari barang terpakai yang di
daur ulang; lemarinya adalah kulkas, tempat suratnya terbuat dari microwave
besi jadul, kursi duduknya terbuat, jeng, jeng, jeng; TOILET DUDUK. Yes, semua
di daur ulang, di poles lagi dan menjadi ciri khas hostel ini. Quirky sekali.
Mejanya adalah meja mesin jahit jadul. Sofanya pun kemungkinan sofa bekas yang
di buang orang di sudut jalan. Komputernya jangan ditanya: Windows 98!.
(Btw, ini
kursi toilet, kebayang deh, berapa banyak yang telah boker situ, just FYI).
Ada lagi 1
hostel yang tak kalah unik, eh tapi lebih aneh sih tepatnya, tidak ada
jendelanya, berada di tingkat 2 sebuah ruko, semua kamar berbentuk kubus
berjejer. Semalaman saya begitu pengap (cuma ada AC tua yang sepoi-sepoi), untunglah
ruangan yang idealnya hanya untuk 2 orang kala itu hanya ada saya seorang
(kebayang rebutan udara). Hostel unik yang bangunannya sudah ada dari jaman
colonial pun tidak kalau seru; semua lantai dibuat dari kayu jadi ketika jalan
berderik- derik seram. Resepsionis hostel menempatkan saya di ruangan attic (ya
ampun, itu cita- cita banget punya ruangan tidur di attic) dikarenakan saat itu
bukan peak season, jadi bisa menawar harga. Sayangnya mareka tidak begitu
memperhatikan ruangan paling atas sekali ini yang nyaris terbengkalai; binding
untuk jendela sudah rusak menjuntai, namun yang lainnya perfecto; tidak ada
bunk bed, cuma ruangan dengan 3 kasur single yang saya huni sendiri, cukup spacious
walau ranjangnya kreor- kreot, plus sinki untuk cuci tangan tanpa kamar mandi
(cukup jalan lurus turun 6 anak tangga di depan kamar).
Lalu bicara
soal sarapan di penginapan, biasanya hostel jarang menyediakan makanan, karena
harga mareka sudah terlalu murah (minta breakfast, ya mimpilah!). Tetapi tidak
sedikit hostel juga berbaik hati menyediakan sarapan yang lumayan (daripada
cuma air putih dong, harus bayar). Kami mendapatkan sarapan yang luar biasa di
sebuah wisma jadul (full lukisan perempuan tempo dulu yang-entah-siapa, patung-
patung kayu, besi, batu segala bentuk rupa, sisi ruangan yang gelap dingin)
dengan harga yang lebih sesuai dengan hotel bintang 1 paling tidaknya (wisma
sih, tapi cukup mahal juga apalagi tambah ekstra bed), sarapannya itu lho;
kalah deh, Club Med (hahay!). Awalnya kita tidak mengira mareka akan menyajikan
sarapan, begitu sampai dari sarapan di luar, sang bapak pemilik wisma dengan
sedikit kesal bilang untuk kita segera menghabiskan semua sarapan yang telah disisihkan
untuk kita!. Ada lontong sayur, pecal, katupek gulai paku, bihun goreng, mie goreng,
nasi goreng, roti tawar dengan bermacam selai, sate padang, sate kacang, dadih,
teh, kopi, susu, milo, jus jeruk, dan
lain-lain. Melongo, saya mencoba mencicipi ala kadarnya dikarenakan perut sudah
penuh duluan.
Sarapan
terkocak adalah ketika kami menginap di wisma (satu-satunya saat itu) dekat
perkebunan teh, lagi- lagi hanya Rp 35.000/ malam (padahal jarak cerita
penginapan murah dari pengalaman di atas cukup jauh, 6 tahun), yang dengan muka
datar si pemilik bilang kami mendapatkan 1 kali makan malam dan 1 kali sarapan.
Ketika di tanya menunya apa, si pemilik bilang ‘mie something’, saling
berpandangan semua teman berharap saya mengerti apa yang di ucapkan oleh si
pemilik (yang sangat datar namun sebenarnya canggih). Begitu makan malam
terhidang (harusnya supper karena kami sampai tengah malam setelah nyasar
setengah hari, maklum belum ada GPS dan tidak bawa peta, bermodalkan tanya
sana-sini), ternyata oh ternyata ‘mie something’ itu adalah INDOMIE REBUS
SPECIAL PAKAI TELUR (hallo Indomie, sponsor saya, dong!). RASA KARI AYAM.
Chimicanga!
.
.
Posisi
strategis juga berpengaruh besar melebihi layanan atau interiornya (banyak yang
memilih akses cepat ke spot pariwisata ketimbang bentuk hotel-nya), bahkan
posising gang jalan juga ternyata bisa mempengaruhi kamu bakalan di cap wanita
malam apa tidaknya (padahal kamu sebenarnya turis yang tidak bersalah). Ibu
warung memanggil saya yang lagi celingak-celinguk cari hostel di tepi jalan.
“Mbak,
jangan kesana, di sana tempatnya para cewek jalananan!”, teriaknya pada saya.
Okay, dengan
hanya merentangkan tangan saja saya bisa di anggap kategori cewek jalanan di
sebelah kiri dan turis lugu di sebalah kanan karena pemisah ‘tak kasat mata’
penginapan yang saya hendak tuju dan rumah mesum hanyalah got kecil yang
mengalir di samping keduanya. Baiklah.
Serba- serbi
dalam menemukan maupun menginap sungguh sangat seru dan menarik (service hotel
berbintang memang dahsyat sesuai tarifnya), terkadang kocak (sesama backpacker
yang mencoba ngobrol tapi salah pengertian karena tidak bisa berbahasa Inggris,
pakai bahasa tubuh dan jari), mencengangkan (ukuran kamar tidurnya 4 kali
ukuran kamar saya), creepy (dengar suara- suara seram) maupun sedih (curhat
owner-nya bercucuran air mata sampai ke masalah anak-anaknya atau menginap di
kantor polisi karena nyasar kemudian dengan baiknya si bapak mengantar kita
dengan mobil polisi sambil meraung-raungkan sirene-nya yang khas itu) memperkaya
kisah petualangan saya juga turut mengasah skill berakting saya; muka memelas
sedikit, di kasih sarapan lebih.
Namun lagi- lagi secara pribadi saya memilih
menggunakan hostel ketimbang hotel atau cottage jika sedang lagi backpacking
(yalah, sesuai isi dompet), karena dasarnya; itu hanyalah tempat saya menumpang
tidur namun jika beruntung menemukan keunikan (dan keanehan; mural Little
Prince di sebuah hostel yang sama sekali tidak nyambung dengan bentuk
hostel-nya sendiri, berhantu yang mindahin barang seenaknya) karena biasanya
saya traveling dengan jumlah orang yang minim bahkan seorang diri. Entahlah,
penginapan bujet biasanya di ‘huni’ oleh orang- orang yang lebih ramah, suka
bercerita, bergaul dan lebih mau berbagi (tempat makan murah, jalan tikus, event
setempat). Tidak menutup kemungkinan juga orang- orang yang juga menginap di
hotel mewah pun, kemungkinan berbagi juga (tempat party yang asyik, shopping dimana,
trik selfie yang menutup background dan menampilkan full muka).
Mungkin
sedikit disayangkan saya begitu menghayati keunikan penginapan yang pernah saya
‘hinggapi’ sampai lupa mendokumentasikannya. Karena oh karena hari begini butik
hotel sudah mulai menjamur dan sangat instagramable membuat orang
berlomba-lomba mengunduhnya dengan caption kata-kata mutiara yang sering salah translate.
Maybe next time saya akan lebih ‘aware’ dalam hal dokumentasi dan menghindari
caption ngaco biar terlihat bijaksana itu.
Masih begitu
banyak lagi cerita seru lainnya yang kalau di tulis mungkin bisa jadi buku
’pengalaman somplak selama menginap’, dari judulnya kurang menjual, ya. Kamu
bisa berbagi pengalaman seru kamu di kolom komentar dan mari kita tertawa
ngenes bersama. Di tunggu, lho.
7 comments
Kakak Kapan backpackeran lagi? Ajak-ajak dooongg.... Eeh
BalasHapusBoooyyeehh...no fuss ya, makan seadanya, nginap murah meriah & banyak jalan kaki..
HapusSiap sedia yaaa
Banyak kali dah pengalaman kk satu ini,
BalasHapusAne malah seumur hiduh belum pernah nginap - nginap di hotel, motel , atau apalah namanya..
Entah karena apa yak, mungkin bingung gimana caranya... Wkwkkwk
Ga sengaja, dari hobi jalan2 aja, nginap mana lg kan..
HapusKadang kemping jg, seru tuh nginap di hutan dlm tenda.
Kan besok bakalan nginap di hotel (rahasiakan dulu..ahaha)
selamat menikmati pengalaman nginap di hotel besok!
Hahaha! Unik-unik ceritanya, tapi seru! Nambah komplit kisah perjalanan.
BalasHapusKlw pengalamanku masih secuil nih soal perhotelan, gak begitu suka ndokumentasiin juga sih. Paling badan gatal2 setelah nginep di sebuah penginapan, dapet toilet di penginapan yg rusak & jorok parah, haha! Tapi ya...asyik2 aja tuh, gak begitu mempermasalahkan klw soal penginapan. Orang cuman buat tidur doang. Kadang malah tidur di kasur tiup & sleeping bag aja di lantai, Krn sering jalan bertiga tp cuma sewa 1 kamar yg bednya cuma 2, demi yg namanya ngirit budget. Hehe!
ahahahaa toilet rusak/jorok, kasur berkutu, standard penginapan murah meriah..plus bau rokok!
Hapusya sama mbak Lena, kita sering ekstra bed atau umpek-umpekkan di kasur ber 3..semua demi bujet!
bhihihihik
Took me time to read all the comments, but I really enjoyed the article. It proved to be Very helpful to me and I am sure to all the commenters here! It’s always nice when you can not only be informed, but also entertained!
BalasHapusswesub