Backpacking Setelah Berhijab

by - April 09, 2018

Pic : www.unsplash.com

Kalau dulu sebelum berhijab, barang bawaan saya selama traveling sangat simple dan ringan, bahkan saya bisa menyesuaikan berat ransel sesuai dengan regulasi maskapai penerbangan, lagipula penerbangan pergi selalunya hanya 1 ransel (pulang malah beranak-pinak).

Pakaian yang biasa saya bawa dulu biasanya di pakai berulang- ulang kali paling banter diselang-selingi dengan jacket atau scarf, seringnya tabrak warna dan rada ngasal di akhir- akhir perjalanan. Bahannya pun sebisa mungkin adalah kaus katun atau apapun yang cepat kering mengingat cuci kilat ala backpacker yang hanya di gantung di ujung ranjang, dalam keadaan lembab tak jarang sudah di lipat masuk ke ransel. Duh, bau lembabnya itu lho, menguar begitu ransel di buka di tujuan berikutnya.

Terkadang saya iseng menggantung pakaian basah saya di dalam plastic kemudian di gantung di ransel yang di sandang kemana-mana seharian berharap panas kota dan matahari akan mengeringkannya. Ya kali, jangan pula memilih kresek putih transparent dan menggantung pakaian dalam terus di bawa keliling kota. Tapi ya, beberapa backpacker emang cuek dan perduli amat, saya pernah bertemu pengelana asal Eropa yang menggantung sempaknya di ransel lalu dengan santainya duduk minum kopi sambil baca buku dengan ransel yang ditutupi pakaian untuk dikeringkan. Keren. Dan masa bodoh.

Tahun pertama saya memakai hijab, semuanya serba awkward- baik itu cara pakai jilbab saya yang bingung-penuh-lilitan sampai pilihan bahan dan motifnya. Dengan tiga pentul kecil yang wajib bawa (asli merepotkan belum lagi resiko hilang atau ketusuk), trik menghindari wajah bulat chubby dengan lilitan rempong hingga rumbai-rumbai kecil di ujung hijab yang bikin saya kesangkut beberapa kali. Beneran deh, kikuk banget.

Sebisanya saya selalu memakai warna- warna polos natural, tapi apalah daya saya pun terseret arus model hijab dengan motif penuh, ramai dan meriah. Which is pasti bentrok dengan motif pakaian yang biasa saya kenakan; kemeja flannel atau motif kotak 1 warna dan bunga. Belum lagi saya hanya bisa memakai hijab pashmina di karenakan jika saya memakai hijab segiempat yang di lipat dua menjadi segitiga, beuh, muka saya akan menjadi sebulat bulan!. Kalau lihat foto- foto jadul awal saya memakai jilbab yang terkesan (sebenarnya sih, iya) serampangan dan ala kadarnya, bikin ngakak kabeh!

Lalu bicara soal bahan, saya paling tidak bisa memakai bahan yang kelewat keras dan tegang, atau yang terlalu lembut dan jatuh maupun yang berkilat. Bahan yang keras bisa bikin kulit di wajah dan leher saya gatal karena mungkin benang kain yang terlalu rapat membuatnya panas. Kain yang terlalu jatuh amat susah di gayakan dan memerlukan banyak jarum pentul. Sedangkan yang berkilat, aduh, bikin muka saya kusam kalau di foto, terlebih kalau terkena flash-nya kamera, minyak muka, tambah sumuk saja nih, wajah. Padahal make-up saya on fleek banget, somehow saya tidak jodoh dengan hijab yang berkilat-kilat.

Ketika lagi trend-nya hijab motif bunga, saya pun turut serta sampai kemudian hari keponakan saya mengatakan dia menghindari motif bunga yang penuh dan besar karena itu akan membuatnya semakin kelihatan besar. Butuh waktu lama untuk saya menjauhi motif hijab bunga (karena belum ketemu pashmina polos yang seperti saya mau), dan selama itu pulalah sedapat mungkin saya hanya memakai pakaian monochrome atau serba polos sewarna sekalian. Demi menghindari tabrak motif, warna yang bikin sakit mata dan mengundang kecaman orang- orang dalam hati mareka masing-masing (malah nambah dosa juga, lagi).

Trial and error saya dalam berhijab sungguh kocak, ngenes dan panjang. Saya belajar otodidak, baik itu mencari style hijab yang sesuai dengan wajah dan kepribadian saya (no, no more hijab lilit) , bahan kain yang nyaman hingga panjang hijab itu sendiri. Karena pada dasarnya saya adalah orang yang mau serba praktis, menghindari membeli dan memakai sesuatu yang bikin saya mikir bagaimana menyetrika atau memakainya, namun begitu tetap fashionable.  Ketika saya hendak sholat, saya tidak mau repot melepas hijab saya, apalagi memasangnya setelah sholat. Intinya, saya paling males ribet toh esensi saya memakai hijab kan, demi perubahan yang baik dan sebaiknya perubahan baik itu juga tidak merepotkan di dalam prosesnya. Begitu, kah?.

Sama seperti traveling yang menjadi ekstra sejak saya berhijab, kalau hanya sekedar kemping, biasanya saya membawa hijab yang bahannya seperti jenis kusut karena bahan sebegitu juga di setrika sekalipun tidak akan mulus. Nah, kalau traveling yang benaran; packing, naik pesawat gitu, baru saya rada ketar-ketir. Kalau saya memutuskan untuk backpacking dengan ransel saya harus siap dengan resiko adanya lipatan- lipatan di hijab saya. Mustahil membawa setrikaan walau yang kecil sekalipun (nambah beban tas). Hampir sama sih, kalau saya membawa koper- pasti tetap di lipat dan berbekas. Tinggal bagaimana saya mengakalinya nanti (biasanya bête di awal tapi lama- lama juga lupa kalau hijab saya kurang rapi).

Masuk ke kordinasi warna, saya akui saya stress memilih pakaian yang saya bawa harus match dengan bujet hijab yang saya bawa nanti. Saya harus rela memakai beberapa hijab untuk beberapa kali walau bakalan basah oleh keringat. Geli ya?. Ha!. Sama!.

Untunglah saya selalu sedia body mist (yang tidak pernah sekalipun menyentuh body melainkan pakaian dan hijab) yang akan di ‘guyur’ ke hijab demi menyamarkan bau matahari. Coba gitu, produsen- produsen yang biasanya bikin shampoo untuk rambut berhijab (serius, GA NGARUH), buat parfume- atau kalau mau lebih affordable; cologne, mist atau eau de toilette khusus untuk pakaian dan hijab. Ya kan, yang penting di bikin harum itu mah, bukan body lagi, tapi hijab yang biasanya di pakai lebih dari 1 kali. Hello, kalau para produsen baca ini, itu kredit idenya ke saya ya, sini bayar royalty untuk ide saya. Serius lho, ini.

Lalu bicara bahan, rasanya susah sekali menemukan bahan hijab yang adem untuk negara tropis begini. Biasanya para penjual hijab akan mengklaim kalau hijab yang mareka jual itu akan bikin kepala adem dan tidak gatal, tapi kenyataannya mareka biasanya hanya mementingkan motif dan model hijab (di kasih sulaman kah, di kasih mutiara kah, di kasih beads kah). Jarang sekali saya temukan produsen hijab yang serius, mengadakan riset di lab demi mencari, menemukan dan membuat bahan kain yang adem dan eco-friendly, plus yang paling penting; cepat kering secepat tangan lihai pesulap David Blaine.

Mungkin kalau semua kriteria di atas terpenuhi, baggage saya selama traveling meningkat (di akali dengan selektif memilih pakaian) khusus hijab. Sesungguhnya saya lebih mendingan memakai kaos yang sama 2 kali (aslinya sih, geli, tapi sering banget ketika traveling yang untungnya adalah bahan kaus dan longgar berangin) ketimbang pakai hijab 2 kali, karena selain hijab itu sendiri saya juga memakai alas agar hijabnya tidak merosot turun, dengan rambut yang di ikat otomatis membuat kepala saya pengap dan lembab oleh keringat. Belum lagi kalau bekas keringat bercampur residu make-up (moisturizer, bb cream/foundation, bedak, blush on, dll) menempel di hijab, bikin saya jengkel harus buru- buru cari detergen dan V*nish. Okay deh, tambah ya kriteria hijab yang ‘sempurna’ menurut saya; anti noda, apapun!. Hahay!.

Dikarenakan untuk mencari kepraktisan, ada waktu dimana saya hanya mengenakan hijab berwarna hitam atau gelap. Selain tidak mudah menampakkan noda, warna hitam dan gelap juga menyamarkan beberapa bolong kecil di hijab saya oleh peniti. Duh, ada tidak sih, kain hijab yang anti bolong oleh peniti juga?. Banyak maunya, ya?. Ahem.

Mungkin saya masih banyak belajar bagaimana mengakali traveling terutama backpacking dengan hijab namun tetap gaya layaknya para hijabers yang ngakunya backpacking tapi gaya, sepatu, tas, baju dan hijabnya ganti dari hari kehari (bawa ransel apa bawa lemari?). Terpikir untuk membawa lempeng besi pipih ringan dan lilin, di hostel yang ala kadarnya itu paling tidak saya bisa menyetrika hijab saya dengan memanaskan besi pipih itu tadi. Atau sekalian beli hijab khusus atlet (yang mahalnya ampun dah, belum masuk di kota saya, lagi), tidak hanya akan di pandangi aneh; hijab atlet tapi pakaiannya grunge/emo/girly abis tapi juga pasti bikin saya tidak nyaman karena hijab saya adalah yang menutupi dada (sekalian menutupi betapa kurusnya saya, gitu).

Semua harapan saya untuk diciptakannya hijab (pasti di kasih SNI atau cap halal nih, nanti) asyik nan murah meriah (please deh, 1 orang punya minimum 15 lembar hijab) akan segera di pertimbangkan demi kelancaran ibadah para wanita dan berkurangnya ketombe di kepala mareka. Amin.









You May Also Like

2 comments

  1. Ku punya banyak temen berhijab yang suka traveling lho! Suatu hari aku ikut salah satu temenku itu. TUERNYATA AKU YANG KEMANA-MANA PAKAI HOTPEN LEBIH RIBET & LEBIH KEBANYAKAN BAWAAN DARI TEMENKU YANG BERJILBAB. YHUA!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahahaha bawa hotpen kebanyakkan ga sadar karena klo di lipet jd kecil2 yak..
      Aku akhirnya lebih sering bawa hijab itam..bhihihik biasanya barang bawaan apa yg sering terlebih ga kepake, mbak?

      Hapus