How To Pick A Friend

by - April 07, 2018

Pic: www.unsplash.com

Bagaimana caranya berteman di jaman sekarang: tanya partai politiknya, tanya kandidat yang di dukungnya, tanya aliran agamanya yang seagama denganmu (ahem!), tanya siapa saja mantannya (krusial), tanya klub sepakbolanya (jangan sampai salah pakai warna), tanya KW premium atau KW super tas yang sedang di pakainya, tanya kebijakan pemerintah yang di dukung dan di sanggahnya, tanya etos kerjanya yang bebas korupsi atau malah korupsi (cocokkan saja dengan sang penanya), tanya kemana saja ia pernah berkunjung, tanya (e)S berapa kah ia sudah kini (S!, S2, SE, STONGTONG, SWALLS), tanya perawan apa tidaknya dia (sangat seksis dan misoganis ketika pertanyaan hanya boleh di lontarkan oleh lelaki semata namun jika sang perempuan yang bertanya jawabannya seperti bintang-bintang di angkasa; jauh dan tidak tahu pastinya berapa biji itu bintang).

Beda sekali dengan cara berteman paling tidak 1 dekade lalu: tanya sukanya apa, bencinya apa, alumni mana, biasa jerawatan parah apa tidak, potong rambut dimana, penyanyi dan actor siapa saja yang disukai, tinggalnya di daerah mana, kenal iini, kenal itu.

Yang masih sama: kok jomblo, kenapa belum menikah, apa masalahnya sampai belum menikah, kapan menikah. Kepo yang tidak penting yang sejauh ini belum ada perubahan; baru kenal, kadang tidak berniat kenalan (apalagi di jadikan teman), kok malah tanya hal- hal pribadi.
Itu kenapa saya tulis pick instead making a new friends, karena jaman sekarang kita harus memilih teman untuk berinteraksi ketimbang membuat pertemanan yang sering bikin masalah dan menambah beban hidup: apa masalahnya kalau saya masih jomblo?. Emang situ di dipengaruhi ya, pergerakkan bulan hidupnya kalau saya jomblo?. Coba deh, dipikir, apa hubungannya status jomblo dengan membuat perkenalan- terutama sekali; kenapa dia jomblo.

Di dalam bahasa Indonesia itu ada KENALAN, lalu TEMAN, kemudian SAHABAT. Itu adalah 3 langkah kita bersosial, justru sekarang kita hanya melakukan 2 atau bahkan 1 tahap saja. Kita akan mudah sekali menganggap seseorang itu teman atau bahkan sahabat hanya dengan ngobrol beberapa saat, tipikal orang kita yang merasa ‘nyambung’ dan ‘nyaman’, padahal tidak semua kesan pertama itu benar. Kenalan itu kini samar-samar mengingatkan kita pada dialong film Indonesia tahun 80-an.
“Ah, dia hanya kenalan saya di pasar”.

Dari penampilan luar saya sering di klaim sebagai cold heart bitch; eksterior yang dingin, dengan resting bitch face syndrome (you should see my sister), bahasa tubuh yang acuh tak acuh, ngomong asal (yang di klaim oleh beberapa orang; justru saya berusaha jujur dengan ngomong apa adanya dan sering sekedarnya), intinya saya itu tidak approachable. Lalu kemudian justru orang- orang yang merasa saya begitu berakhir menjadi orang- orang terdekat saya, sebaliknya orang yang merasa saya mudah di dekati malah menjauh waktu demi waktu. Aneh, ya.

Dengan tampilan luar saya yang sudah ‘keras’ banget, bergaul, membuat pertemanan baru semakin sulit saja sejak semua pertanyaan diatas menjadi dasar cocok tidaknya seseorang untuk menjadikan saya teman mareka. Supaya lebih afdol; seorang teman meminta saya menjalani tes kepribadian online (yang linknya di kirim bliyau lewat Whatsapp), hasilnya di screenshot dan dikirim, lalu dia akan menganalisa tingkat match kami untuk menjadi teman baik.

D.A.H.S.Y.A.T!

(Hello there!)

Jika dulu pertemanan menjadi unik karena chemistry alami yang membangunnya, kini pertemanan jadi unik kalau cerita di balik pertemanan itu adalah karena kesukaan fanatic kami terhadap boyband Korea yang sama (G-Dragon forever!!!). Kalau kamu salah menyebutkan boyband yang kamu suka, kesempatan mendapatkan teman yang kamu bisa tebengin wi-fi nya akan menguap hilang, kayak kentut yang bisu namun meninggalkan bekas bau yang menyakitkan karena tidak bisa numpang download episode Drakor terbaru. Puffff!!!

Apalagi kalau masa pemilihan Presiden dan Pilkada mulai hangat, di group chat dan social media semua teman akan mulai menaikkan status, link artikel, foto (baik itu benar maupun hoax), yang akan di like atau di tampik keras oleh teman lainnya. Perperangan di dunia maya telah dimulai. Masih segar di ingatan saya 2 orang teman yang bertikai (padahal mareka bisa di bilang punya hubungan yang baik walau bukan bersahabat), teman A memilih Wowo1, teman Z memilih Wowo2.

Saban hari thread, timeline, wall saya penuh dengan propaganda dan berita- berita yang di hujat dan dimaki pengikutnya. Beberapa teman dan keluarga dengan senyap- senyap telah saya unfollow, terutama teman- teman yang bertikai dalam hal agama; bagi saya tidak penting, agama saya lebih benar dari agama lainnya karena semua umat akan mengklaim hal yang serupa. Ya kalau kamu beragama, ya beribadah saja dengan benar, hakim menghakimi orang lain itu bukan urusanmu.
Hatchui!.

Hanya karena partai politik saya warnanya lebih gonjreng dari partai anutan kamu, kenapa kita yang harus bertikai?. Sejatinya partai- partai yang baik adalah partai yang sadar diri; mareka ada untuk bersatu melayani rakyat bukan malah memasang boneka sebagai pemimpin negara dan meloloskan anggota partai yang lainnya demi meraup, melakukan agenda partai sepihak saja.

Kalau saya ngomong begini cuma ada 2 responnya; iya-kamu-benar, atau, sorry not sorry nih, ini respon seksis, misoganis yang biasa saya dapati dari kaum pria: TAHU APA SIH, KAMU (read: saya, perempuan) SOAL POLITIK?!.

Respon begini sungguh bikin ngacung.

Dan lagi nih, biasanya jika saya memberi jawaban yang menggelitik para ‘pemberi respon’ di paragraph atas, saya tidak bisa di jadikan teman yang baik, lebih- lebih menjadi PASANGAN HIDUP yang sempurna. Lha wong, baru kenal saja saya sudah bisa stand for what I believe, mampu menjawab, mempunyai pemahaman sendiri (saya pernah ditanya bekas pacar dulu, dengan nada geli melecehkan; apa itu, ideology- saya maksudnya, oleh karena itu untuk menghindari hal yang sama saya tidak menulis ideology melainkan pemahaman, lagipula saya capek ditanya ideology itu Inggris apa boso Indonesia, kak?).

Sifat manusia jika ia tidak mengerti hal yang asing, mendapatkan jawaban di luar jangkaannya, kejutan kepribadian yang beda dari yang biasa ia hadapi di lingkungan social sekitarnya, mareka cenderung merasa terancam dan balik menyerang. Ya, kan?. Ya, lah.

Lebih kurang sama dengan sifat hewan, bedanya kita tidak bisa mengembangkan lemak leher kita seperti Iguana mengembangkan lemak leher kerah badutnya ketika terancam bahaya, malahan sebagai benteng pertahanan, kita melontarkan perkataan yang sadar atau tidaknya menyinggung orang.

Mareka yang telah menolak saya baik itu terang- terangan atau halus khas budaya kita, berakhir menjadi bahan pelajaran (trimakasih lho, bisa bahan tulisan, lho), baik itu yang saya terima dengan hati yang lapang (cowok yang saya taksir dulu lebih milih Kangen Band, padahal saya sukanya ST12, kan, clash gitu!), asem kecut berasa nyesep jeruk nipis, lucu karena betapa konyolnya manusia ya, atau sedih sampai mengeluarkan air mata (tetiba doi bilang chemistry diantara kami telah hilang, saya karbon monoksida, dan dia- karbon dioksida, nempel di pohon tepi jalan namun sejatinya kita itu tidak bisa nge-blend walau ada mono sebagai jenis pengklasifikasian tunggal sekalipun).

Ternyata fenomena ini telah menyebar hampir rata (sepertinya) di muka bumi; saya membaca suatu artikel tentang bagaimana sepasang suami istri yang bercerai hanya karena aliranisme yang mareka anut itu berbeda; democrat versus republican, bro, sis, itu musuh bebuyutan akut, tuh, kronis garis keras yang orang-orang di bawahnya sangat fanatic (dan, mengerikan, don’t care you guys are teribble, chill, please).

Bagi kita yang golongan super chill ini, hal- hal surealis, abstrak, absurd, seperti ini akan terlihat- terdengar konyol dan childlike, but hey, these are fully, completely- grown up people!. Hanya karena saya pro hukuman mati bagi pemerkosa, pedopil, serial killer, cowok yang naksir saya jadi putar stir mengarungi sungai esok harinya ketimbang ngajak saya nge-date untuk kedua kalinya. Yearp. Jika seseorang mengulas suatu topic untuk mencari persamaan dan perbedaan (dalam situasi sedang ‘berkencan’), beberapa orang akan sangat berhati- hati karena mareka tidak ingin opini mareka tidak masuk kolom kriteria (calon pasangan) mareka. Kalau pertanyaan; kamu suka duren muncul- walaupun kamu bisa mati hanya dengan menyentuh cepat pentil duri itu duren namun kamu menyukai cowok/cewek ini, kamu akan berkata: A, saya suka atau B, okay bye, dan waktu bagimu menjawab hanyalah sepersekian detik- kamu harus rela menerima jika yang beratanya justru lebih milih Duku sebagai King Of Fruits (seriously shite ini terjadi pada teman saya).

Dalam masa penjajakan awal sebuah hubungan yang menjurus pada romansa, pencocokan adalah dimana kamu mentally listing, unconsciously, mencentang persen kesempatan kelanjutan hubungan itu apa tidak. Sebagai pribadi yang baik (dan jujur pada dirinya sendiri), cowok yang saya temui kemarin dulu itu memilih untuk melipir, yang- sebaliknya bagi beberapa orang disini memakai jurus basa- basi yang membingungkan. Apabila, ternyata semua daftar kecocokan lebih banyak missed, alangkah baiknya jika sang cowok/cewek mengambil langkah terus terang  untuk menolak (terkadang kita memilih ilusi doi lagi sibuk ngurusin blog-nya, jadi masih belum bisa ketemu untuk nonton minggu ini- ya begitu seterusnya tiap minggu).

“Dude, this girl would likely killing everyone while me likes peace” (mungkin kurang lebih inilah yang di batin sang cowok kemarin), atau saya mempunya kecenderungan jadi psikopat (saya dengan gembiranya menjabarkan detil hukuman mati seperti apa untuk para criminal tersebut). Factor dasar kita juga mempunya andil yang besar- yang sebagai orang Asia factor bawaan ini justru dianggap aneh yang tidak relevan: introvert, extrovert dan yang bak kata Susanna Kaysen; ambivalent, si ambivert yang sepertinya masih belum masuk kamus secara resmi. Kita, saya dan doi adalah dua pribadi yang kelihatan mirip dari luar (doi ramah begitu juga saya, hanya itu yang sama sepertinya, ya) tapi bila semua opini telah keluar- kami nyaris tidak menemukan titik aman untuk kami bisa duduk santai sambil minum teh dan saling menatap satu sama lain dengan senyum sumringah. Saya memintanya untuk memberi rating seberapa extrovert-nya doi, doi memberi saya angka 9. Almost 10.

Sekelebat pikiran saya membayangkan betapa tidak nyamannya ketika rumah kami di kunjungi kenalan dan saudara terus menerus tanpa putus- tanpa sempat bagi saya untuk menarik nafas menikmati ruang dan waktu untuk diri sendiri bahkan waktu bersamanya. Lebih mengerikan, doi ingin membangun komuniti yang dimana orang tinggal bersama, mengiris bawang untung makan malam bersama, menikmati malam bersama sambil meminum tuak dari botol yang di gilirkan dilingkaran para anggota komuniti yang menikmati api unggun di malam yang cerah berbintang.

What a nightmare!

Kecuali kemping ya, itu saya suka minus tuak yang di gilirkan.

Membayangkan saya harus berbagi pakaian yang sama (take turn memakainya, semua perempuan di komuniti telah memakai pakaian itu silih berganti), duduk berderet sambil mengepang rambut (atau menggayakan hijab), membesarkan bayi- bayi bersama (sampai bingung ini anak siapa jadi harus di beri spidol), sabun batangan yang di pakai kesemua tubuh anggota komuniti tanpa terkecuali, 1 penggorengan untuk 10 orang wanita (yang tidak dapat saya terima karena telah mencoreng harga diri saya sebagai maunya-ratu-sendiri), dengan muka datar saya hanya mengangguk ketika semua ide-ide yang ideal dari doi keluar berapi-api. Mau tahu respon saya?.

I can’t, even. Nope.

Untuk mencari teman yang sesuai dengan do’s dan don’ts sudah teramat sulit apatah lagi mencari pasangan hidup yang akan kita hadapi begitu bangun membuka mata. Seawal pagi TV telah menyiarkan perolehan suara kubu 1 merangkak naik yang disambut erangan sang suami (erangan kesal, mind you) lalu sarapan percekcokan mulai terhidang yang berujung dengan curhatnya masing- masing insan dalam rumahtangga yang mulai tidak harmonis ini ke teman lain jenisnya yang berujung perselingkuhan karena sang selingkuhan mendukung kubu yang sama (ada, ini bukan fiksi, lho).

Coba kita runut kembali, jujur pada diri sendiri- apakah sang selingkuhan benar setuju dengan kubu yang sama atau hanya YES demi menyenangkan hati semata?. Karena itulah yang biasanya kita lakukan untuk diterima di masyarakat; kita turut mengikuti arus daripada terkucilkan oleh pilihan kita yang berbeda sendiri. Saya pribadi- disini mengakui kekurangan yang masih sering saya lakukan ini sebanyak, yang saya inginkan untuk selalu jujur pada diri saya sendiri terkadang saya lost dan mengikuti arus. Seseorang bertanya apakah saya menyukai The Walking Dead, seseorang ini adalah dear friend dan demi menyenangkan hatinya saya berkata YES. Beberapa tahun kemudian, dengan leganya saya mengakui; I HATE THAT FUCKING THE WALKING DEAD. Then again sorry not sorry, sejatinya saya tidak menikmati series itu kenapa saya harus menontonnya demi menyenangkan hati orang lain?.

Apakah kami masih berteman?.

Menurut saya, kami masih dalam konteks teman yang baik walau- ada satu dan lain hal yang membuat kami tidak lagi akrab seperti dulu. No, not because that zombie series.

Sebuah hubungan akan melewati trial and error, kita akan menerimanya dengan baik atau tidak akan kembali pada individu itu sendiri. Manusia adalah makluk social sekaligus makluk individualis, tidak pernah ada salahnya meluangkan waktu untuk dirimu sendiri tanpa takut di tinggalkan, mengeluarkan pendapatmu (tanpa takut tidak masuk seleksi calon pendamping hidup impian) jika kamu yakin akan hal itu, kamu tidak harus menconteng semua persamaan kriteria dari manusia lainnya, pertemanan tidak perlu validasi melainkan hanya perlu chillex; chill and relax.

So, mau sang calon teman (pasangan) masih berpikir Tan Malaka dan Pramoedya Ananta Toer itu aliran kiri atau tidak, jangan di pusingkan, kalau mareka tidak bisa menerima penjelasan darimu- pergi. All you have to do is chillex, karena yang alami itu lebih bagus dan awet- kamu akan mendapatkan orang- orang yang akan pergi menemanimu ke kampanye politik yang sama atau hanya duduk ngakak nonton berita tanpa ada tinta biru gelap di kelingkingnya.

With all these freaking shits, saya mempercayai saya akan menemukan seseorang yang membenci durian dan kerupuk as much as I hate them- atau memakan semua itu di belakang punggung saya, sembunyi- sembunyi dan menahan sendawanya.

Semoga sebuah validasi dari manusia lainnya akan menjadi sejarah dan mitos karena yang akan tetap tinggal hanyalah email verifikasi dari akun website online shopping baru dan pekerja bank yang menelepon sanak saudaramu untuk memastikan kamu nyata apa setan demi lolosnya pengajuan kartu kredit limit rendahmu.


You May Also Like

0 comments