Instagram Twitter Facebook
  • Home
  • Beauty
  • Entertainment & Arts
  • What's News
  • Traveling
  • Monologue

Ann Solo




APAKAH SAYA HARUS TERLIHAT AESTHETIC DENGAN MEMBELI PAKAIAN MONOKROM, PERABOTAN & DESAIN/INTERIOR RUMAH YANG AESTHETIC SEPERTI MINIMALIST KEBANYAKKAN?    

AM I MINIMALIST ENOUGH WITH WHAT I HAVE NOW?


Jujur saja, bagi pemula yang sedang berniat dan baru saja menjalankan gaya hidup ini, pasti punya pertanyaan yang sama seperti judul artikel saya kali ini. Ya, saya juga sama, dari niat di 2017 lalu sampai progress ‘jatuh dan berdarah’ hingga saat ini, saya masih bingung dan bertanya- tanya.


Buat saya pribadi, ada kalanya saya merasa down dan minimalism adalah penguat saya; mau punya wardrobe yang sesuai dengan kebutuhan, tabungan yang bagus dengan hidup frugal serta tentu saja kelegaan hidup yang tidak lagi membutuhkan validasi dari kebendaan. Tapi saya juga cemas, anxious karena, hampir semua minimalis yang saya tonton di YouTube, sejauh ini, sangat  AESTHETIC.


Saya tanpa sadar ‘berkiblat pada apa yang mereka tampilkan. Dari dinding rumah/kamar putih yang bersih, dengan curtain linen putih, lantai kayu vinyl, sofa empuk, meja kerja kayu dengan desain Scandinavian yang clean and sleek, lemari putih yang simple, hingga Macbook Pro dengan segelas kopi creamy disampingnya.


Ya, itu adalah gambaran umum yang biasa saya lihat dari banyak minimalis luar bahkan hingga dalam negeri. Kamar/rumah mereka sangat, sangat aesthetic dengan desain dan interior yang meneriakkan kata MAHAL. Sekali lagi, jujur saya menjadi anxious sehingga sadar atau tidak, membandingkan saya dengan mereka.


Karena saya seorang beauty blogger juga, yang mana seharusnya selalu up to date dengan tren kecantikan yang literally bermunculan tiap hari (saya sudah tidak lagi aktif ‘berburu’ tren beberapa bulan belakangan ini), saya jadi confuse karena niat saya ingin membatasi produk. Eh, ketemu minimalis yang memang, tidak mempunyai banyak produk kecantikan, tapi sekalinya punya, itu adalah merek jutaan rupiah.


Baca Juga :    SLOW FASHION DALAM KONSEP HIDUP MINIMALIS


Sekali lagi, ini adalah preferensi masing- masing orang, dan kebetulan mereka adalah seorang minimalis. Disini saya tekankan, apa yang saya rasakan adalah kebingungan pribadi akan produk kecantikan yang ampun dah, gaji 6 bulan mungkin baru bisa saya beli.


Cuma ya, kembali pada topik diatas, saya tetap bingung dengan minimalis yang serba aesthetic tadi. Membuat apa yang saya miliki sekarang, seakan kurang minimalis. Contohnya, saya masih tinggal dengan keluarga, jadi area diluar kamar bukanlah area saya. Jadi mari coret area itu karena barang saya di luar kamar mungkin cuma 5 buah atau kurang.


Tapi di kamar, semuanya serba ‘tidak aesthetic’. Dinding kamar saya biru laut yang dicat 12 tahun lalu, dengan curtain warna tacky dibeliu tak kalah jadulnya dekade lalu, meja kerja yang dibeli di pinggir jalan raya, lemari baju yang juga sudah usang, lemari buku dengan warna gelap, lantai keramik putih yang sudah ada sejak rumah ini dibangun. Sungguh tidak ada menariknya.


Rasanya saya bukan apa- apa dibandingkan dengan minimalis lainnya yang kece, dashing dan wow. Rumah dan perabotan bagus, bahkan bermerek dengan desain minimalis. Sungguh sangat menggugah dan mencerminkan minimalis.


Paling tidak itu menurut saya, ya.






Lalu ada extreme minimalis yang punya barang super sedikit, lagi, tentu saja tetap aesthetic. Bayangkan, walau barang yang mereka punya ada 50, tapi mereka tetap kece dan dashing. Menyilaukan.


Lagi- lagi, terinspirasi, saya pun ingin mengecat ulang kamar saya, mendekorasinya dengan lantai kayu yang bisa ditempel, mengganti lemari dan meja kerja serta membeli kursi (ini mah, karena alasan kenyamanan karena untuk kerja dan kesehatan juga), pokoknya di make over biar benar- benar sama, biar jadi ‘minimalis asli’. Pokoknya harus!


Baca Juga :      CARA SIMPLE MEMAHAMI DAN MENJALANI KONSEP HIDUP MINIMALIS


Sampai saya melihat ke rekening tabungan saya; TIDAK CUKUP. Lebih tepatnya tidak ada budget untuk itu. Untuk mengganti cat dinding, ternyata menurut adek saya, dinding harus di kikis dulu, baru bisa di cat putih. Jelas sekali, saya tidak ada waktu, sumber tenaga dan uang. Itu baru dinding saja. Namun, untuk mengganti lantai rasanya masih bisa, pikir saya.


Oh tidak, Ferguso! Cuaca di kota ini panas, lantai yang ditempeli dengan yang sintetis pasti akan membuat kamar saya makin panas. AC? Mau sampai kapan harus AC terus, listrik rumah akan jeblok. Arkh! Saya bingung! Beli lemari pun, sesudah melihat- lihat, tidak ada yang sesuai dengan kemauan saya. Meja kerja? Kalau seperti yang saya inginkan, maka siap- siap saja bokek beberapa bulan makan mie instan saja sampai usus gemetar.


Dari sini, tidak ada yang sesuai dengan ‘jalan ninja minimalis aesthetic’. Apalagi yang dari video TikTok, makeover kamar minimalis dengan budget, tetap tidak bisa saya ikuti. Ini membuat saya merasa tersisih, am I not minimalist enough for only having what I own?


Walau saya masih bisa memaksakan make over, tapi saya merasa sayang karena saya masih mempunyai target lain yang rasanya lebih penting. Awalnya saya ingin beralih kepada minimalis karena mengalami penyakit anxiety dan BPD yang sangat parah, malah jadi tambah stress karena saya mau ikut- ikutan jadi aesthetic yang sangat jelas sekali tidak mampu saya ikuti.


Kenapa saya harus menyiksa diri saya padahal niatnya adalah mencoba opsi penyembuhan jiwa dengan menjadi minimalis. Saya jelas- jelas tidak akan punya rasa percaya diri jika harus menunjukkan progress  dari decluttering dan kondisi kamar saya yang jauh lebih lega saat ini. Karena apa yang saya punya sebagai minimalis sangat tidak menarik, mungkin malah terlihat lusuh dan norak.


Aduh, saya sedih. Sungguh saya sedih. Saya tidak punya budget untuk menjadi one of those dashing minimalists. Selain juga saya kurang sabar harus menata barang supaya terlihat cantik selalu dan harus selalu membersihkannya setiap waktu. Intinya selain tidak mampu, saya juga tidak punya waktu serta kesabaran. Lengkap sudah.







Kemudian saya tidak sengaja melihat konten YouTube beberapa minimalis yang ‘a la kadarnya’ seperti saya. Mereka tidak punya furniture mahal, dinding rumah/kamar juga tidak putih cemerlang, malah ada yang pakai meja kecil biasa banget yang dijual di pinggir- pinggir jalan. Bahkan banyak yang memuji minimalis ini karena mereka lebih nyata dan relatable. Tidak semua minimalis mampu membeli perabotan mahal dengan ‘desain minimalis’ untuk melengkapi ‘hidup minimalis’ mereka.


Toh, bukannya inti dari menjadi minimalis adalah merelakan hal- hal yang membelenggu kita selama ini, mensyukuri apa yang kita punya dan mengatur pengeluaran hanya sebatas kemampuan kita? Ya, toh? Lha, iya.


Jika dipikir kembali pun, jauh sebelum saya mengenal konsep hidup ini, saya sebenarnya telah bertemu dengan orang-orang yang, entah sadar atau tidak, punya barang seadanya dan merasa cukup (walau kasurnya mahal...uhuhuhu). 


Baca Juga  :    MINIMALISM MEMBANTU MERINGANKAN STRUGGLING DALAM KEHIDUPAN


Jadi kenapa saya harus mengorbankan kewarasan saya hanya demi terlihat aesthetic? Ya, karena saya merasa rendah diri dan iri. Semua rasa ini jadi lelucon personal (hati dan otak saya) yang membuat saya literally LOL. Ketawa sampai keluar air mata, antara lucu, ngenes, marah, ironis, ah semuanya, deh.


Diri saya, tidak akan bisa dibandingkan dengan siapapun karena memang begitulah hakikatnya, kemampuan saya tidak akan sama dengan kemampuan orang lain. Apalagi para minimalis yang punya sofa dan dinding putih bersih suci. Sebatasnya kemampuan saya adalah bagaimana saya bisa merasa bersyukur akan apa yang saya miliki hingga sekarang ini.


Tidak ada kekurangan (duit sih, selalu merasa kurang ya..ohoho). Bahkan ketika menulis artikel ini, saya berhenti sejenak melihat ke sekeliling kamar, all good, cuma tinggal bersihkan debu sana sini saja. 






Alhamdulillah ya Rabb, maafkan saya yang sempat merasa tamak dan iri akan dinding putih minimalis lain.


Dengan ini, saya kembali kepada fokus utama saya dan kenapa saya ingin menjalani hidup minimalis dari niat awal saya. Mungkin ini yang dibilang dengan fase relapse alias kumat. Kalau tidak kalap belanja, ya membandingkan diri karena merasa not minimalist enough.


Mau mereka sibuk dengan aesthetic dan penataan rumah/kamar yang sesuai dengan konsep desain minimalis, ya silahkan, tidak ada yang salah dengan itu. Mereka juga bagian dari minimalis karena itu adalah bagian cerminan dari pilihan hidup ini. Terlebih lagi, sangat tidak ada salahnya menjadi minimalis dengan benar- benar seadanya dengan apa yang kita punya. Jauuuuhhh sekali dari kesan aesthetic, you are still a minimalist.


Kalau bisa saya ambil kesimpulan dari buku Goodbye Things - Fumio Sasaki, dari yang awalnya beliau merasa selalu kurang dan iri pada orang lain, menjadi pribadi yang legowo, santai dan bersyukur tanpa harus repot- repot menjadi aesthetic. Begitu juga kita, minimalis adalah jalan (ninja) hidup yang sudah tepat bahkan dari zaman Nabi Muhammad SAW, baginda tidak aesthetic, tapi sangat, sangat COOL.


Apapun keinginan dan kemampuanmu, kamu tetap minimalis jika sudah memahami serta menjalankan konsep hidup ini. Jadi, semoga artikel ini akan membantumu agar tetap istiqomah juga berpendirian teguh di jalan ini dan tidak merasa rendah diri. 










Sudah hampir sebulan sejak saya menulis di blog ini karena saya sedang jengah dan burnout belakangan ini. Lyfe,gitu lho. Anyway, meski agak malas, saya masih menjalani hidup minimalis saya. Ya, memang masih jauh dari idealnya seorang minimalis menurut kriteria saya, tapi paling tidak saya masih progressing. Karena sejatinya menjadi minimalis itu adalah proses yang akan memakan waktu. Bahkan sebenarnya saya harus membeli pujian pada diri saya sendiri karena telah berhasil menyingkirkan 70% barang- barang yang tidak lagi mempunyai makna dalam hidup saya. 

Kalau ditilik ke beberapa bulan lalu dan tahun lalu, saya cukup gila dengan menyingkirkan ratusan (yearp, literally) ratusan buku. Pakaian, sepatu, tas, alat jahit, alat lukis dan barang lainnya, telah berhasil saya donasikan. Ini adalah cara tercepat selain memang, orang- orang yang menerima barang- barang tersebut untungnya sangat menyukainya. Seringnya kita lupa, berhasil menyingkirkan barang dari pandangan bukan berarti akhir cerita kita dan barang tersebut telah berakhir. Ya, syukur- syukur kalau dijual, di beli orang. Kalau di donasikan, mereka yang menerima, akan senang.

Oya, bulan lalu saya semapat mengisi ngobrol santai denga komunitas Lyfe For Less di Telegram, judulnya adalah Slow Fashion for  Minimalist Living yang memang dekat dengan target minimalis saya sekarang.  Berikutnya saya akan berbagi pengalaman saya menjalani slow fashion.


Sedikit latar belakang awal mulanya saya memilih untuk menjalani konsep dan cara hidup ini adalah di tahun 2017 lalu saya melihat interview Fumio Sasaki dan terinspirasi. Meski mengalami kendala on and off, saya masih menyimpan hasrat ingin menjalani hidup tanpa lagi terbebani oleh kebendaan.

Beruntungnya, saya tidak lagi mempunyai masalah dalam melepaskan barang seperti dulu karena saya sudah merasa lelah dan overwhelming dengan kebendaan. Sangat berbeda dengan diri saya terdahulu yang selalu merasa kurang dan kebendaan terasa seperti jalan keluar yang mudah.

Baju, pakaian, sepatu, tas adalah fashion items yang biasa saya beli jika saya ada uang, baik saat itu saya membutuhkannya atau malah seringnya hanya lapar mata. Ada saja yang saya rasa saya ‘butuhkan’. Ini juga bagian dari habit keluarga dan orang- orang sekeliling saya.

Setiap lebaran identik dengan baju baru, setiap pesta pernikahan saya juga ikutan beli baju atau jahit seragam (saya hanya berapa kali saya jahit seragam pagar ayu, sejatinya saya tidak suka pakai seragaman). Pokoknya, selama ada keinginan untuk beli pakaian, maka saya akan berusaha mencari uang untuk itu.

Lagi, beruntungnya saya sudah menjadi lebih aware bahkan pakaian dan fashion statement itu tidak ada pentingnya sama sekali untuk saya. Toh, saya bukan artis bukan pula fashionista. Walau, saya sudah membeli pakaian secara thrifting, saya tetap tidak perlu tampil bergaya setiap hari.

Kocaknya, orang- orang menganggap saya sangat stylish. Bahkan orang asing banyak yang menyapa saya dan berkata “you look cool, where did you get that piece?”. Lalu saya menjawab “dari pasar loak”.

Iya, that coolest piece I got, dari pasar loak alias second hand alias hasil thrifting disana- sini. Lalu, saya mempunyai obsesi baru ‘berpakaian keren dari hasil thrifting’. Sama saja, jatuhnya saya masih punya obsesi terhadap pakaian yang tidak sehat.

Hanya karena pakain bekas sangat murah dan saya sering beruntung mendapatkan ‘harta karun’ dan ‘branded’, bukan berarti saya harus abusive terhadap ini. Tidak jarang pula, saya yang dulu menggunakan embel- embel ‘membantu pengusaha independen dan emak-emak penjual baju bekas supaya saya ikut gerakan slow fashion dan sustainability, begitu’.

But nope. Saya cuma mau justifikasi akan hobi tidak sehat saya; SHOPPING.












Jadi saya harus kembali mengevaluasi diri saya sendiri, istilah saya; mbatin berantem sama pikiran logika dan pikiran penuh akal bulus.

Ya, saya memang ingin menerapkan slow fashion dengan membeli pakaian bekas yang layak pakai, tapi tidak sampai lemari saya jadi roboh juga! Iya, lemari saya nyaris roboh dan bagian papannya melengkung.

Saya suka fashion, tapi saya ternyata lebih suka melihatnya jika dipakai orang lain. Malah, pakaian yang lebih sering saya pakai adalah jenis yang comfy dan praktis karena sifat saya yang ogah belibet atas nama apapun itu. Meski ya memang, ada waktu- waktu dimana saya melilit hijab sampai 20 peniti sekeliling kepala, tapi saya kembali ke common sense saya yaitu; OGAH RIBET.

Maka saya membuang jauh cara berhijab yang tidak praktis, pakaian yang membuat saya sesak, warna- warna yang terlalu bising (saya suka pattern dan warna, tapi sekali lagi, hanya suka melihat saja), atau juga pakaian yang berbahan panas. Catatan, saya tinggal di Pekanbaru, Riau, dimana panas kota ini bisa mencapai 40 derajat kalau sedang gila- gilanya.

Bisa bayangkan bagaimana keringat mengucur di balik pakaian?

Saya juga tidak lagi condong pada warna hitam (sekali lagi, panas!) dan hanya memakainya sesekali atau ketika saya tahu bahwa saya akan berada diruangan ber-AC saja. Bahkan saya tidak punya hijab hitam (baru mau beli) dan saat ini navy adalah warna tergelap saya.

Saat ini palette warna pakaian saya lebih dominan pastel untuk hijab dan basic alias seadanya untuk pakaian saya. Karena saya membeli pakaian di loakan, saya tidak bisa memilih warna tapi bisa memilih mode. 

Jujur saja, hampir semua isi lemari saya saat ini adalah 90% dari thrift store, hanya hijab, sepatu dan pakaian dalam yang saya beli baru. Awalnya memang orang tua saya heran kenapa saya membeli barang bekas, tapi saya orang yang candid; SAYA CUMA MAMPU MEMBELI SESUAI UANG SAYA.

Lagipula, belanja di loakan, dengan harga 100 ribu rupiah, saya bisa bawah pulang 20 - 30 pakaian jika sedang beruntung. Ya, murah, kebangetan! Saya pun bingung bagaimana ibu- ibu penjual loak disini bisa survive menjual semurah itu. 

Anyway,  ini adalah jalan ninja saya sebagai pelaku slow fashion sejak saya berumur 18 tahun, yakni awal saya kuliah. Pilihan ini selain diperkuat dengan kondisi keuangan yang pas-pasan tapi tetap ingin tampil gaya, adalah juga dari pengaruh teman sekitar saat itu.















Salah satu teman saya dulu sangat aware akan limbah fashion disaat kami, masih sangat ignorant akan cara pembuatan sehelai celana jeans. Dia, teman saya, mengedukasi saya bahwa betapa gilanya jumlah air yang diperlukan untuk membuat jeans. Belum lama ini juga saya melihat dokumenter seorang artisan celana jeans di Jepang yang membuat celana itu dari scratch alias nol.


Kain polos itu harus diwarnai hingga berapa kali, kemudian direndam, bilas, cuci juga berapa kali. Itu membuat saya mual, bayangkan betapa susahnya mendapat air bersih di Afrika sana, eh, kita malah menggunakan 1 galon besar air untuk membuat sehelai celana jeans.

Saya tekankan disini, bahwa saya tidak bermaksud apa- apa pada artisan dan pelaku kreatif lainnya. Hanya saja, saya merasa amat bersalah selama ini memakai pakaian tanpa tahu proses dibaliknya.

Terlebih lagi slow fashion, entah ditunggangi oleh kepentingan pihak tertentu, menganjurkan kita membeli pakaian, so-called eco friendly materials, yang mana sudah jelas mahal harganya. Kita sendiri yang baru menjadi minimalis pasti terperangah melihat harga yang harus kita bayarkan untuk selembar kaos, let’s say, RP 500.000.

Jadi apa bedanya dengan kaos designer? Atau dengan harga segitu kita dapat 3 potong baju saat H&M lagi diskon, misalnya.  

Saya tidak bisa menarik garis lurus untuk panduan mengikuti slow fashion karena setiap orang punya pendapat berbeda. Tapi, menurut HEMAT saya, slow fashion bagi saya adalah fashion items yang saya beli dari loakan agar, baju- baju tersebut, selain dapat membantu penjualnya juga tidak cepat menjadi limbah, teronggok di tengah gunungan limbah lainnya.

Intinya saya mencoba membeli waktu untuk pakaian- pakaian tersebut dengan cara saya sendiri. Tidak peduli bagaimana trend pakaian saat ini, karena tren selalu berputar, saya lebih berpusat pada apa yang bisa saya gunakan dari temuan di pasar loak.

Saya tidak lagi brand oriented, ya, memang ada harga ada kualitas, tapi tidak semuanya begitu. Ini tidak menjadi jaminan. Saya malah pernah beli kemeja dari suatu mereka yang dulu sempat beken waktu zaman saya sekolah, mahal. Begitu sampai rumah, bapak saya bilang; ini kain apa sih, panas, kayak kain goni.

Yearp. Tertohok. Tapi saya bilang; ah, papa tidak tahu model sekarang.

Saya membeli mode, merek, dengan sangat mahal, dengan kualitas yang buruk. Sedih memang kalau ingat kesalahan- kesalahan saat itu. Dari sini saya belajar :


  • Menemukan style dan palet warna saya

  • Belajar memadu-madankan pakaian dengan personal style dan kreatifitas sendiri

  • Tidak masalah memakai pakaian yang sama 10x sebulan selama masih bersih

  • Lebih baik membeli pakaian thrift selain murah juga banyak yang bagus

  • Saya buka artis, jadi masa bodoh dengan tuntutan tampil gaya selalu

  • Cara berpakaian kamu adalah pilihan kamu, selama itu sesuai dan nyaman, maka opini orang lain termasuk opini keluargamu, tidaklah penting

  • Mungkin awalnya kurang pede akan pandangan orang lain dengan pilihan berpakaianmu, beli loakan contohnya, itu kembali lagi pada prinsip yang kamu pegang, toh, nothing matters but your money in your pocket :)










Sekali lagi, bagi saya pribadi, berkaca dari pengalaman diatas, slow fashion adalah lebih memilih membeli pakaian bekas demi membantu mengurangi limbah, mengkurasi pakaian sesuai kebutuhan, tidak 10 lembar juga tidak 100 lembar pakaian. Melalui painful trial & error bertahun- tahun, walau saya jauh dari keberhasilan, paling tidak saya sudah mendekati cara hidup minimalis dengan penerapan slow fashion saya sendiri.

Intinya adalah, we’re not bound by possession nor fashion. Kita punya permasalah lebih berat dari sekedar berganti model pakaian setiap hari, yakni bagaimana mengurangi fashion waste akibat fast fashion yang membutakan manusia saat ini. Kita tidak perlu 10 baju pesta, 10 sepatu beda fungsi, 10 tas yang diniatkan jadi koleksi. Sungguh kita tidak perlu itu.

Logikanya jika kita tidak mengetahui banyak mengenai dampak limbah, seperti saya, saya hanya mengetahui garis besarnya saja cukup membuat saya ingin sedikit membantu dengan menerapkan slow fashion ini. Karena ini adalah cara yang paling mudah untuk dilakukan, tidak muluk- muluk juga bisa diterapkan siapa saja bahkan anak kecil sekalipun.















Para bucin toner, ayo angkat toner kaporit kalian keatas! Kali ini saya akan berbagi 2 toner unik asal Korea. Kenapa unik? Karena tekstur, bentuknya hingga bahan di dalamnya sangat tidak biasa di antara banyak toner yang telah saya coba sebelumnya.


Umumnya kan, toner yang kita tahu ya, cair seperti air. Meski ada juga yang kental dan kadang creamy, namun hampir semua toner yang diketahui masyarakat dunia skincare, ya toner cair bagai air putih. Tapi tidak kali ini, Ferguso. Toner kita kali ini, punya 2 lapisan dan berbentuk foamy seperti foamy facial wash.


Jujur saja, kedua toner ini awalnya membuat saya bingung; ini yang buat toner, sedang mikir apa, sih? Apalagi Tenzero Cica Bubble Toner, ini sungguh toner apa gimana? Cara pakainya gimana juga? Mana kotak dan semua petunjuknya dalam bahasa Hangul. 


Sedikit catatan, kalau brand Korea mau ekspansi keluar, sebaiknya harus lebih siap dengan mencantumkan petunjuk dan keterangan, paling tidaknya pakai bahasa Inggris begitu. Karena bahasa ini jadi bahasa universal, setidaknya semua orang sudah paham dan mengerti walau tidak fasih.


Lalu, bagaimana review-nya? Yuk, mari simak dibawah ini.



Review Hayejin RiceFila™ Oil Toner




Korea selalu datang dengan bermacam inovasi baik itu memberi sentuhan baru pada cara lama atau membawa trend baru sepenuhnya. Begitu pula Review Hayejin RiceFila™ Oil Toner yang lebih dikenal kurang lebih di Indonesia, sebagai air tajin. Air beras. Ini adalah trik yang sudah dipakai turun temurun terutama buat orang- orang Asia. 


Mulai dari diminum sampai jadi bilasan wajah. Tapi saya sendiri tidak sesuai dengan petuah atau tips skincare alami, entah kenapa, kulit saya akan otomatis bereaksi dan menolak. 


Adapun klaim yang bisa saya ambil dari website resmi Hayejin mengenaik toner mereka ini :


  • Toner ini tipe whitening dan anti wrinkle care
  • Balancing toner yang dibuat dari rice bran oil & rice extract
  • Sesuai untuk mereka yang ingin terlihat cerah tapi punya kulit yang sensitif, kusam dan gelap, moisturizing, brightening, kering, dll.
  • Toner ini juga dipasarkan untuk produk musim panas Korea (yang mana 365 hari di Indonesia)



Sound promising, is it?





Ketika saya mengunjungi situs resmi mereka, saya cukup kaget karena dari foto penjelasan produk, toner ini semacam tone up. Padahal saya sendiri tidak sadar saat pemakaian, nothing special layaknya tone up product. Kulit memang slightly kelihatan cerah, tapi tidak seekstrim di foto penjelasan website mereka (marketing lah, ya).


Adapun review pemakaian sejauh ini :


  • Ada 2 lapisan yakni lapisan atas putih (mungkin air tajin) dan lapisan bawah seperti oil
  • Kocok sampai rata/tercampur dulu sebelum dipakai 
  • Ada wangi khas, antara flowery dan beras-ish 
  • Rasanya kurang menyatu di kulit, seakaan sulit meresap
  • Walau akhirnya meresap juga setelah berapa lama
  • Kulit terasa lembab namun greasy yang untungnya tidak licin yang lengket



Seperti yang saya bilang di atas , saya tidak melihat efek tone up yang berlebihan plus saya memakai toner ini dimalam hari saja atau ketika kulit saya sedang kering. Mereka Hayejin ini telah resmi di Indonesia dan bisa di dapatkan melalui platform e-commerce Shopee.



Rekomen apa tidak? Bisa ya, bisa tidak. Karena toner ini cukup pricey meski memang cukup melembabkan, tapi saya tidak bisa memberi opini apakah toner ini cukup lembab untuk pemilik kulit ekstra kering. Overall, ini adalah pengalaman memakai toner uni sejauh ini dan saya cukup beruntung mencoba brand yang satu ini.


Informasi mengenai toner dan brand Hayejin ini https://en.hayejincosmetics.com



Review Tenzero Cica Bubble Toner




Berikutnya! Toner membingungkan dari Tenzero. Apakah toner ini mengalami krisis identitas, apakah dia foamy facial wash? Bagaimana cara pakainya? Sampai sekarang saya masih bingung..ahahaha but well, saya seorang yang adventurous, jadi saya memakai toner unik ini layaknya toner biasa.


Tak hanya toner ini ada pump yang akan membuat dan mengeluarkan tekstur toner yang foamy, tapi juga toner ini punya refill. Iya, REFILL! Anda tidak salah baca, wahai pembaca Ann Solo! Refill toner ini sendiri juga dimasukkan dalam packaging plastik dengan tutup kecil. Mengingatkan saya pada kemasan minuman anak- anak Calpico tahun 90a-an.


*Barusan saya mengunjungi laman resmi mereka, ternyata cara pakai toner ini cuma di pump dan di baurkan ke wajah, berarti selama ini cara saya sudah benar.


Sayangnya , berbeda dengan Hayejin, laman web Tenzero masih berbahasa Hangul dengan opsi Inggris cuma ada padan panduan menu.


*Oh no, barusan saya lihat lagi scrolling ke bawah, ternyata ada 3 cara pakai, toner ini bisa dibilas layaknya facial foam. Eh, what?! Selain juga bisa pakai kapas, eh apa?!


Confirm, toner ini sepertinya memang mengalami masalah identitas dan bisa dipakai dengan 3 cara. Silahkan pilih yang mana yang kamu suka! Ahahah kalau bisa, saya tidak begitu menyukai produk all-in-1 karena kurang ‘mengena’ dan sedikit ‘memaksa’.





Mau tahu review saya? Spoiler alert, saya juga jadi ikutan krisis identitas :


  • Botol toner ini ada pump, jadi kalau ditekan, akan keluar foam dari tekstur toner yang cair dan hijau
  • Foam-nya tidak berwarna hijau (ajaib!)
  • Cukup lembab meski memang greasy dan lengket


Sepertinya saya harus mencoba 2 metode pemakaian toner ini, deh. Even so, toner ini B saja mungkin karena stickiness yang mengganggu. Memang kulit terasa lebih lembab, tapi tekstur foamy-nya membuat saya tidak nyaman dan rasanya ingin membilas wajah. Untungnya lagi, toner ini tidak membuat kulit saya bruntusan atau jerawatan walau, terasa somehow agak sedikit kusam (?).


Kalau mau tahu lebih lanjut toner unik ini, kamu bisa mengunjungi laman resmi mereka di https://tenzero.co.kr/



Toner Tenzero VS Toner Hayejin


Adilnya, toner ini tidak bisa di adu dalam beberapa hal dan bisa juga sama dalam beberapa hal (okay, saya sudah confuse???). Tenzero datang dengan evolusi yang terlalu canggih dan menawarkan cara pakai 3-in-1 yang bagi saya, merepotkan sehingga intinya sebagai toner pelembab jadi mencurigakan; mau pakai cara 1, 2 atau 3??? Help!


Hayejin sendiri sebenarnya cukup bagus, cuma kenapa lambat sekali untuk meresap dan kurang lebih sama dalam hal ini dengan si Tenzero.  Keduanya juga datang dengan pewangi yang, di hidung sinus saya ini, bisa di tolerir dan tidak overwhelming. Sedangkan kelembaban sebagai salah satu step singkat skincare saya, kedua toner ini aman untuk dilayer. Tidak ada efek samping bruntusan atau membuat jerawat muncul.


Tapi memang, tidak ada yang istimewa, apalagi saya tidak menggemari produk tone up tapi ya jangan, bikin wajah kusam juga. Kalau kamu mau mencari toner unik yang fungsional dan tertarget, mungkin kedua toner ini bisa jadi pertimbangan atau juga tidak. Arkh! Maaf, saya sendiri juga bingung mau rekomendasikan atau tidak. 


Pokoknya, kalau kamu penasaran, ada budget dan tipe orang yang selalu excited mencoba dan bucin toner, kamu bisa mencoba toner Hayejin dan Tenzero ini. Pada akhirnya juga, akhirnya setelah mencoba sendiri, kamu akan tahu apakah mereka worth it  untuk kulitmu atau tidak. Toh, hasil review saya bisa berbeda dengan pengalaman mencoba kamu. 





Setelah saya lihat dan teliti, ternyata hidup konsep hidup minimalis itu bisa berbeda tergantung dari siapa yang mencetuskan atau menjalankannya. Ya, walau memang sudah ada penjelasan mengenai prinsip dasar konsep dan cara hidup ini, tapi ternyata konsep ini mengalami perkembangan atau malah mendulang salah kaprah.


Apapun pengertian dan arah hidup minimalisme diluar sana, saya yakin mempunyai tujuan yang sama yaitu ingin menata hidup dengan mengutamakan quality over quantity. Ini menjadi topik writing challenge mengenai ‘tulislah apa yang kamu rasa dekat dan kuat dihati/bagi kamu’. Voila, konsep hidup minimalis saat ini menjadi something I feel strongly about.


Seperti yang pembaca tahu (ada yang baca?), saya masih sangat- sangat struggling dalam mengimplementasikan cara hidup sederhana ini dalam keseharian saya. Memang, intinya adalah mencapai cara hidup yang sederhana tapi praktek dilapangan, jauh dari sederhana, malah saya merasa berada di medan perang batin personal setiap harinya.



Cara Memahami Hidup Minimalis Ala Ann Solo




Kenapa saya menambahkan nama saya di sub judul ini? Karena saya ingin menekankan apa yang akan saya bagikan ini adalah murni dari pengalaman trial and error saya sejauh ini. Saya hanya ingin berbagi hasil pemikiran saya dan perjuangan saya memahami konsep yang melawan arus konsumerisme zaman ini.


Awalnya saya cukup bingung karena saya membaca dan melihat dari beberapa sumber, tentang bagaimana mereka mengartikan konsep minimalisme dan menjalaninya. Dari sini juga saya tahu bahwa ada juga yang disebut dengan extreme minimalist yang hidup dengan 47 atau 80 barang saja. Sejauh ini saya belum pernah melihatnya disini, di kota saya bertempat tinggal saat ini, tapi dulu sekali, saya pernah bertemu dengan seorang backpacker yang mengaku hanya mempunyai apa yang ada di ranselnya saja.


Secara logika, ya, wajar. Seorang backpacker memang traveling dengan sedikit barang dan memanggul ransel, jadi itulah yang menopang kehidupan mereka selama perjalanan. Tapi kalau memang hanya mempunyai 1 ransel termasuk barang- barang di dalamnya selama hidup, shocking indeed. Dulu saya pasti sudah merasa cara hidup ini seperti homeless atau gembel saja.


Tidak berniat merendahkan homeless atau gembel, tapi itulah pola pikir saya saat itu saat masih tertutup dan kurang wawasan (namanya juga baru remaja akhir dan masuk umur 20an). Lucunya, saat itu pun saya hanya mempunyai sedikit barang dan pakaian terutamanya, saya biasa memakai pakaian yang sama berulang kali. Anehnya, saya tidak merasa kurang, kalau kurang, juga bisa pinjam punya teman (nasib anak kos).


Tapi saya malah menumpuk pada barang- barang lain yang sebenarnya kecil dan tidak penting. Barang- barang tidak jelas itu menumpuk dan sesungguhnya juga terselip sampa struk belanja, tiket bus, kemasan makanan dan lain- lain. Sekali lagi, saya adalah seorang hoarder yang merasa ingin balas dendam karena ketidakmampuan saya dimasa lalu.


Jadi begitu saya mengenal Fumio Sasaki 2017 lalu, saya melihat cara hidupnya terlalu ekstrim tapi juga liberating. Sesuatu membuat saya ingin juga merasakan cara hidup yang sama namun baru 2020 kemarin saya mulai mencicil dengan membaca lebih banyak buku dan artikel yang sekiranya membantu saya memahami konsep hidup minimalis. Bukan jalan yang mudah, karena step pertama setelah memutuskan untuk menjadi minimalis, adalah membuang apa saja yang merantai kaki.


Untung saja, saya tidak begitu terikat dengan barang (walau ada beberapa sentimental items) sehingga saya bisa menyingkirkan banyak pakaian yang sebelumnya saya idam-idamkan sebagai fashion statement saya (kocak, siapa yang butuh fashion statement sih, karena saya sendiri paling benci jadi menonjol dimuka umum). Lalu mendonasikan buku-buku yang sangat saya cintai (tapi saya yakin buku sebaiknya di donasikan sebagai pahala).


Langkah berikutnya adalah menyingkirkan hal- hal kecil lainnya yang fungsinya tidak ada. Setelah itu, saya berasa amat lega, meski ya, masih ada beberapa barang seperti skincare saya sebagai beauty blogger (tidak banyak, tapi lebih dari cukup) yang telah saya donasikan juga ke orang- orang terdekat. Oya, saya tidak akan berhenti jadi beauty blogger kok, cuma bagaimana saya menyelaraskannya dengan cara hidup baru ini saja.


Bisa disimpulkan cara saya memahami konsep hidup minimalis adalah :


  • Minimalis juga berarti berhemat tapi bukan berarti pelit.
  • Minimalis berarti mempetimbangkan banyak hal terutama soal keuangan karena seorang minimalist belajar mengatur keuangan mereka sesuai dengan kemampuan dan keinginan mereka.
  • Minimalis bukan berarti gembel, lusuh dan tidak bergaya karena mereka memakai pakaian yang sama saja (mungkin ada 10 pakaian tapi semuanya 1 warna dan model).
  • Minimalis buka berarti jadi homeless karena ini adalah pilihan pribadi, beberapa minimalis memang suka traveling dan berpindah- pindah dengan bawaan mereka yang minim.
  • Minimalis jadi jeli akan apa yang sesuai dengan mereka in term of fashion, mereka tidak lagi mengikuti trend semata dan membeli sesuatu hanya karena semua orang sedang memakainya.
  • Minimalis cenderung concern terhadap limbah dan sumber daya apa dari apa yang mereka pakai serta konsumsi. Saya sendiri memilih membeli used clothings daripada harus membeli dari fast fashion hanya karena saya ingin membantu mengurangi limbah pakaian.
  • Minimalis lebih merasa tenang karena mereka telah dapat melihat, menerima dan berdamai dengan diri mereka tanpa harus lagi mengejar validasi masyarakat.
  • Minimalis menjadi lebih aware terhadap kondisi mereka, baik itu kekurangan atau kelebihan mereka juga kondisi keuangan mereka.


Baca Juga  :   WRITING CHALLENGE 2021 - MINIMALISM MEMBANTU MERINGANKAN STRUGGLING DALAM KEHIDUPAN




Cara Simple Menjalani Hidup Minimalis Ala Ann Solo




Memahami siapa itu minimalis sebenarnya cukup mudah asal pembaca (halo pembaca!) membuka pola pikir mereka lebih luas lagi, begitu banyak warna dan ras manusia, begitu pula pilihan hidup dan konsep hidup mereka. Sedangkan cara cepat dan sederhana saya menjalani hidup minimalis selama lebih dari beberapa bulan  intensif ini adalah :


  • Membuat rincian pengeluaran (walau masih bolong- bolong) yang setiap minggunya akan saya evaluasi dari segi kebutuhan atau keinginan semata.
  • Membuat daftar; wishlist, need atau want. Setiap kategori ini dapat membantu saya dalam menentukan apa saja yang penting bagi saya sebagai minimalis.
  • Mengurangi pakaian, buku, sepatu dan apa saja barang yang tidak saya butuhkan, secara bertahap. Teknik saya sedikit berbeda, saya akan menghabiskan 2- 3 hari untuk mengurangi hampir 70% pakaian, lalu sebulan sebelumnya, saya mengurangi pakaian lagi. 
  • Membuat dan membagi tabungan (kemana saja, tabungan ayam saya?) dengan pertimbangan yang matang.
  • Memakai pakaian yang sudah saya kurasi untuk ke kantor (untungnya nih, saya bekerja di startup yang bebas berpakaian tanpa harus seragam) dan berkreasi sebisa juga senyaman mungkin dengan pakaian yang masih saya simpan setelah decluttering besar-besaran kemarin.
  • Memaksimalkan produk skincare saya dan mendonasikan skincare yang tidak sesuai atau membuat saya kewalahan dalam menghabiskannya. Sedikit keras pada diri sendiri, saya terkadang memaksa diri saya untuk menghabiskan skincare tersebut walau seharusnya tidak begitu juga.
  • Menetapkan anggaran makan dan belanja bulanan (susah, apalagi saya adalah sugar driven person, maunya makan dan minum yang manis tiap hari).
  • Memahami bahwa saya tidak sesungguhnya tidak membutuhkan barang- barang yang ada atau yang saya incar dulu, konyol juga rasanya, karena barang tersebut benar- benar useless at some point.
  • Menolak rasa tamak yang selalu dibumbui kecemasan. Contoh; saya ingin menghemat memakai jeans kesayangan, tapi justru kalau tidak dipakai, jeans tersebut lapuk di dalam lemari atau saya tidak akan menemukan jeans terbaik lagi. Oh well, itu hanya benda yang saya beli untuk melayani saya dan tentu saja ada masa akhir pakainya.



Baca Juga :   WRITING CHALLENGE 2021 - TIPS MENEMUKAN STYLE BERPAKAIAN MINIMALIST BAGI HIJABER





Konsisten Dengan Cara Hidup Minimalis


Akan menjadi sia- sia sesuatu jika tidak ada dedikasi dan konsisten dalam menjalankannya, apa lagi ini adalah cara dan konsep hidup. Memutuskan untuk menjadi minimalis tidak cukup dengan niat saja, tapi ini adalah progres yang berkesinambungan. Berat memang ketika permulaan saya memutuskan untuk mengikuti sepenuhnya konsep ini, tapi efek yang saya rasakan cukup instant.


Kamar saya lebih terlihat besar karena barang- barang tidak perlu sudah disingkirkan. Saya tidak lagi merasa terbebani dengan keharusan merawat barang- barang tersebut. Bahkan saya sudah bisa melihat dari sisi terang akan apa saja yang benar- benar saya butuhkan dan berkonsentrasi mendapatkannya. Ya, walau belum bisa dikatakan sempurna (tidak ada yang sempurna!), sejauh ini saya merasa jalan saya sudah cukup baik dan mulai menata serta membangun dedikasi juga disiplin agar gaya hidup minimalis ini menjadi seperti yang saya idamkan.


Baca Juga  :   PERJALANAN MENJADI SEORANG MINIMALIST - BURNOUT DAN KELELAHAN MENTAL







Akhirnya kita sampai ke writing challenge pribadi saya yang ketiga; menulis surat untuk diri sendiri. Oh well, ada banyak yang ingin saya tulis tapi sedikit sekali yang bisa saya bagikan disini. Tapi saya tetap ingin berbagi mengenai minimalist yang harusnya sudah saya lakukan dari dulu. 


Tapi ada daya, penyesalan selalu datang belakangan, kalau didepan, namanya pendaftaran. Right, lame memang lelucon ini.


Salah satu hal yang ingin saya tuliskan kala disuruh menulis surat untuk diri sendiri, baik pada diri saya yang dulu atau diri saya di masa depan adalah;  KAMU TIDAK PERLU BANYAK BARANG UNTUK MERASA UTUH & HIDUP MINIMALIST ADALAH CARA HIDUP TERBAIK JADI ABAIKAN SAJA PERKATAAN JULID ORANG LAIN.


Capslock semua, biar memberi efek warning karena saya sendiri sering lupa hal ini. 


Jadi saya lumayan menyesal (begitu banyak penyesalan dalam hidup ini, ya) kenapa tidak benar- benar memulai hidup minimalist padahal saya menemukan Fumio Sasaki di tahun 2017. Setelah melihat interview beliau di YouTube, saya ingat dalam hati memang ingin mencoba cara hidup seperti itu tapi saya masih terbelenggu pada rasa taman dak validasi kosong yang sebenarnya saya sendiri tidak peduli.


Saya datang dari keluarga yang sederhana dan banyak dari hal- hal yang saya inginkan sejak kecil tidak pernah tercapai sampai suatu saat ketika saya sudah besar. Bisa dikatakan cukup struggling karena disaat anak sebaya saya beli ini-itu, kesana-kemari, saya hanya bisa melihat saja. Ini menumpuk rasa ingin memiliki barang tersebut semakin saya membesar walau saya sendiri lupa saya pernah menginginkan apa saja ketika saya kecil.


Baca Juga :   PERJALANAN MENJADI SEORANG MINIMALIST - BURNOUT DAN KELELAHAN MENTAL


Mengakui Rasa Tamak dan Selalu Merasa Kekurangan


Satu hal pasti yang selalu saya inginkan dari kecil adalah buku. Zaman itu, selain susah mendapatkan buku- buku luar, bisa membaca dan meminjam buku di perpustakaan sekolah atau kota saja rasanya sudah hebat. Rasa selalu haus akan bacaan yang berkualitas, membuat saya selalu haus akan buku apalagi kalau buku- buku tersebut terkenal, terbaik, dan hebat, saya pasti susah tidur karena saya ingin segera membaca buku tersebut.


Kemudian pakaian. Dari kecil hingga kuliah kemarin, saya baru sadar kalau saya hanya mempunyai sedikit pakaian. Bahkan kocaknya, lemari pakaian saya dulu kecil dibandingkan dengan lemari pakaian housemate saya. Jadinya saya hanya akan memakai pakaian yang sama berulang kali atau meminjam pakaian teman serumah saya. Anehnya, saat itu saya merasa baik- baik saja, padahal baju yang saya pakai tidak banyak variasi.


Lalu produk skincare dan makeup. Jauh sebelum saya menjadi beauty blogger dan produk kecantikan semudah dan banyak variasi sertha harga yang affordable, bagi saya produk- produk ini seperti hal yang mahal dan susah didapatkan. Begitu saya mendapatkannya, eh, saya malah berhemat terkadang sampai lupa dipakai dan berakhir dengan kadaluarsa.


Berikutnya adalah barang- barang yang sebenarnya tidak penting seperti keramik kecil, aksesori yang berkualitas rendah (meski bermerek dan berharga mahal), koleksi yang menguras uang tapi sebenarnya tidak memberikan saya manfaat apa- apa hingga sampah sarap yang tidak jelas juntrungannya. Semuanya pernah saya simpan bahkan mungkin sampai saat ini masih tersisa beberapa.


Sebenarnya untuk apa ini semua?


Junk dan barang- barang ini adalah hasil keinginan yang pernah saya pendam sebelum saya berhasil mendapatkannya seperti saat itu dan sekarang. Itu adalah manifestasi dari rasa kekurangan yang terakumulasi menjadi rasa tamak. Kalau pembaca bisa jujur, pasti pernah merasakan dan mengalami pengalaman hidup yang seperti ini. Kalau ya, please berbagi komen dibawah, ya.


Baca Juga  :   WRITING CHALLENGE 2021 - TIPS MENEMUKAN STYLE BERPAKAIAN MINIMALIST BAGI HIJABER



Mengatasi Rasa Tamak dan Selalu Kekurangan


Hidup adalah trial & error begitu juga cara mengatasi masalah ini disepanjang hidup saya terlebih lagi begitu mata saya terbuka akan konsep hidup minimalist. Saya berjalan, merangkak, berlari, tersungkur, merangkak lagi, berjalan pelan. Semua itu saya tetap lakukan karena saya merasa yang harus mempunyai komitmen yang tidak boleh merepotkan (ehehe) tapi secara logika adalah benar.


Beransur- ansur, saya membuang hal- hal yang menghambat dan merantai kaki saya (hanya Tuhan yang tahu betapa bencinya saya merasa terkukung). Mulai dari menyingkirkan pakaian, sepatu, skincare & makeup, buku-buku, barang tidak jelas, barang sentimentil, semuanya sudah mulai saya singkirkan.


Cukup banyak barang yang telah saya singkirkan, itu membuat saya bisa bernafas dengan lega dan mental saya terasa lebih ringan. Anxiety saya sedikit berkurang karena saya tidak lagi harus merasa dan berkewajiban jadi sempurna (entah apa juga kebutuhan untuk menjadi sempurna ini, kan, ya). Saya bisa menerima banyak hal, memang tidak akan pernah saya raih karena saya sesungguhnya tidak membutuhkan hal- hal tersebut.


In fact, sekarang saya jadi benci melihat barang bertumpuk, tidak jelas apa gunanya dan hanya menunggu selimut debu. Bisa dibilang saya malah marah menyalahkan diri sendiri; KENAPA BELI BARANG YANG TIDAK BERGUNA DAN MENGHABISKAN DUIT YANG DIDAPATKAN DENGAN SUSAH PAYAH, HAI ANN SOLO!


Menyesal memang, karena mendapatkan duit dengan halal itu susah, wahai Ann Solo. Kenapa dihabiskan dengan membeli barang- barang yang tidak berguna sama sekali bahkan?! Saya jadi sedih kalau mengingat hal itu, tapi itu adalah pelajaran yang sangat- sangat berharga sehingga saya, kalau masih waras, bisa memetik pesan moral dari kelakuan saya sendiri. Kalau tidak, sungguh malang sekali, ya.


Manusia manapun pasti punya rasa tidak puas, selalu saja ada yang kurang dan itu tidak terelakkan kadang- kadang. Tapi rasa seperti ini bisa diperlambat atau dikurangi meski memang susah untuk dihentikan sama sekali. Caranya adalah reason with yourself, kenapa kamu menginginkan sesuatu, apakah itu kebutuhan penting atau hanya sekedang ingin saja?


Prinsip dasar minimalist adalah membagi hal- hal berdasarkan kebutuhan, keinginan atau hanya pelampiasan semata? Triknya adalah mencari tahu lebih dalam di diri kamu, bertanya dan menimbang sesuatu tersebut, diperlukan atau tidak. Sebagai orang yang suka ngomong dengan diri sendiri, saya sering mengalami perdebatan alot dalam batin kalau saya tergiur menginginkan sesuatu.


Baca Juga  :   #MINIMALISM MENENTANG ARUS & PERTOLONGAN PERTAMA 



Melihat Hidup Dari Segala Sisi


Begitu saya kelar melihat dari semua sisi, saya seringnya mendapati diri saya ketawa ngakak karena saya merasa konyol lagi tolol. Contoh sehari- hari adalah saya suka sekali break diantara pekerjaan kantor saya dengan iseng- iseng browsing di e-commerce. Seringnya juga saya tertarik dengan barang- barang yang aneh atau tidak penting hanya karena barang tersebut sedang diskon.


Siapa yang sering merasa seperti ini? Ayo, komen dibawah, ya.


Khusus perempuan, seringnya kaum saya membeli sesuatu hanya karena barang tersebut terlihat lucu. Lalu sesampainya dirumah, terlupakan begitu saja atau malah kebingungan; ini untuk apa dan kembalikan duit saya! Atau, barang tersebut sempat dipakai tapi tak lama, barang tersebut sudah hilang rasa lucunya karena ada barang lain yang lebih lucu.


Sejatinya, ada langit di atas langit, jadi tidak akan pernah puas.


Maka dari itu, saya akan melihat dan menganalisa segalanya jika saya sedang craving sesuatu. Butuh apa tidak butuh, ada duit atau tidak ada duit, buat apa, kenapa, mengapa, mengap, dan mengapa? Terakhir, lihat keseliling saya, apakah saya sudah punya benda yang sama seperti yang sedang saya inginkan? Seringnya, sih, saya sudah menemukan itu semua lalu kenapa saya masih ingin berbelanja?


Banyak alasannya, entah karena saya merasa bosan atau stress sehingga belanja adalah salah satu penyalurannya. Kadang saya juga merasa ada rezeki lebih sehingga saya ingin mentraktir diri sendiri. Padahal saya tidak perlu mentraktir diri sendiri dengan membelikan benda- benda yang jujur, tidak saya butuhkan. Alih- alih ingin memberi reward pada diri sendiri, ujung- ujungnya saya berakhir dengan rasa mubazir.


Baca Juga :  WRITING CHALLENGE 2021 - MINIMALISM MEMBANTU MERINGANKAN STRUGGLING DALAM KEHIDUPAN


Surat Untuk Diri Sendiri di Masa Depan


Bersamaan dengan ini, saya ingin memberi surat kepada diri sendiri dimasa depan untuk tetap :


  • Menjalankan dan tetap berpegang teguh dengan cara hidup minimalist 
  • Tidak mudah tergoyahkan dengan sale dan tawaran just because they're cheap
  • Analisa segala sesuatu sebelum memutuskan membeli sesuatu
  • Diri sendiri tidak membutuhkan barang untuk merasa dihargai, melainkan harus dirawat dengan olahraga dan beristirahat
  • Saya tidak memerlukan validasi dari orang agar merasa utuh dan menjadi manusia serta pribadi yang berguna
  • Selalu berusaha sebaik mungkin dan memahami keterbatasan diri
  • Saya tidak harus mengikuti trend dan berpakaian serba terbaik karena pakaian tidak bisa membuat saya merasa lebih baik dari siapapun
  • Bijaksanalah dengan uang yang susah payah didapatkan
  • Menabung dan hindari berhutang
  • Tetap bersenang- senang karena setelah berjuang, tentunya saya berhak untuk menikmati jerih payah sendiri



Poin diatas adalah hal- hal yang ingin saya surati ke diri saya di masa depan, ini akan menjadi anchor, guidelines dan pengingat saya yang pelupa ini. Semoga ini juga bisa membantu mereka yang sedang mencari makna hidup dengan cara minimalist juga.





Lagi- lagi kenapa harus pakai produk kompleksi seberat foundation padahal ‘dandanan umum’ masyarakat dunia saat ini adalah masker wajah? Ya, tidak masalah sih, selama wajah dibersihkan dengan seksama sehabis itu. Mengingat juga riasan akan mudah menempel di masker, lembab di balik kain dan campuran keringat panas, maka tidak mengherankan kalau banyak yang memilih untuk tidak memakai riasan sama sekali.


Seringnya saya juga begitu sih, selain memakai masker, saya juga momotoring sehingga terasa pengap di balik helmet. Tapi kadang saya juga sering pakai kok, apalagi kalau merasa kulit lagi bagus atau entah hanya mood saja. Pun begitu, saya tidak terlalu sering beli produk kompleksi paling tidak 2 tahun sekali wihihi karena entah kenapa, susah sekali habisnya (ya iyalah, pakai juga kalau mood atau kondangan saja).


Kebetulan banget, saya mempunyai 4 produk complexion yang berbeda merek bahkan salah satunya adalah cushion. Sebelumnya saya sudah pernah mencoba cushion, tapi somehow saya agak anxious dengan cushion, takut cepat kering begitu. Berikut ini review singkat 4 produk complexion wajah yang saya pakai secara bergantian.


Review L’Oreal Infallible Pro-Matte Foundation - 105 Natural Beige

Saya hanya memakai shade ini kalau kebetulan kulit saya sedang menggelap dari tone asli kulit saya. Foundation ini sering saya pakai sebelum protokol memakai masker di wajibkan dan saat- saat saya sering berada di outdoor. Cukup matte walaupun rentan cracky kalau terkena lelehan keringat, trik yang biasa saya pakai adalah memakai layer tipis yang akan membuat kulit terlihat sehat tanpa terlalu matte.


Baca Juga :  REVIEW LOREAL INFALLIBLE PRO MATTE FOUNDATION


Review Lumecolors HD Full Coverage Ultra Lightweight Foundation - Light

Seperti namanya, foundation ini cukup ringan bahkan dibalik masker sekalipun. Syukurnya nih, shade Light ini terasa sangat blending ke tone kulit saya sehingga kulit terlihat cerah dan bersih. Meski bisa diklaim bisa dipakai 16 jam, tapi sudah jelas saya tidak memakai selama itu dan hanya menggunakannya demi mendapatkan wajah cerah saja.


Baca Juga  :   REVIEW LUMECOLORS HD FULL COVERAGE ULTRA LIGHTWEIGHT FOUNDATION, VELVET LIP & CHEEK MOUSSE, VELVET LIPCOAT DAN BEAUTY BLENDER


Review Pixy Stay Last Serum Foundation - 02 Yellow Beige

Ini adalah foundation terbaru yang saya coba Januari tahun ini setelah penasaran lama. Awalnya saya juga bingung memilih shade 01 atau 02 karena sebenarnya undertone saya neutral dengan bagian memerah di beberapa bagiannya. Anyway akhirnya saya memilih shade ini yang punya tekstur cair dan tidak terlalu berat. Bisa dibilang, sesuai untuk pemakaian riasan dibalik masker.


Baca Juga  :    REVIEW PIXY STAY LAST SERUM FOUNDATION


Review Al Amin BB Cushion - Light Ivory

Datang dengan 2 shade, saya memilih memakai shade nomor dua ini yang cenderung kuning. Awalnya confuse ya, karena BB Cushion ini punya pilihan shade yang sangat sedikit. Tapi syukurlah, cushion ini meski sedikit lebih terang di kulit, tapi tidak crack, tidak menggumpal bahkan mudah diratakan diatas sunscreen saya yang picky. 



Tips Memakai Riasan Dibalik Masker Wajah

Setelah melalui trial and error selama 1 tahun sejak corona resmi membuat hidup masyarakat dunia menjadi panik dan menderita, saya akhirnya bisa tetap memakai riasan dibalik masker. Memang, ini tidak akan menjamin kalau akhirnya tidak ada riasan yang lengket di masker ya, malah, masker saya semuanya penuh cetakan riasan saya.


Hanya saja, saya mengenal banyak hal, seperti memakai foundation lebih ringan dan mencari tekstur yang runny seperti air, tidak terlalu kental. Begitu juga saya tidak memakainya terlalu tebal, ini membuat saya foundation saya seperti concealer saja karena saya hanya memakainya pada bagian yang bermasalah saja seperti bekas jerawat bandel dan bagian memerah.


Kemudian saya memakai bedak padat dengan brush agar untuk sebagai penutup ritual bermakeup. Saya lebih memilih bedak padat dengan brush karena terasa lebih stabil saja yang entah benar atau tidak, formula ini membuat riasan saya masih ada sampai sore hari (setelah pakai masker dan wudhu). Lumayan juga, walau tidak 100% aman dari menempel di masker, mungkin tips super sederhana ini bisa membantu pembaca artikel ini.





Bahkan telah menghabiskan hampir beberapa dari eye cream ini, saya masih skeptikal penting tidaknya eye cream dalam perawatan wajah. Mulai dari klaim dermatologist yang saya baca di artikel online hingga beauty gurus di YouTube, semuanya mempunyai pendapat yang berbeda- beda. Jadi tinggalah saya yang harus menarik kesimpulan sendiri.


Apakah eye cream itu penting adanya dalam penjagaan kulit alias skincare? Silahkan para pembaca menjawab ya..ahahaha karena saya sendiri kadang bingung sendiri mengingat kandunganya sama saja dengan moisturizer yang bisa saya pakai. Pek ketiplek kurang lebih sama. 


Banyak yang mengatakan ini hanya target marketing saja, yang mana, bisa saja benar secara logika. Tak sedikit yang mengatakan kalau kulit mata kita jauh lebih tipis sehingga membutuhkan penjagaan tersendiri, ya ini juga benar sepertinya kalau saya lihat langsung kulit under eye saya, ya.


Lalu, apakah eye cream itu penting, tidak atau hanya sebagai penunjang saja? Sejatinya harga eye cream lebih mahal! Maklum saja jika tidak semua orang terlalu peduli karena mahal dan isinya pun sedikit dari moisturizer biasanya. Anyway, penting atau tidaknya ini eye cream, saya telah mencoba 4 brand berbeda (padahal dulu saya sudah pakai eye cream merek L’Oreal yang 2 pump berbeda itu sejak 2010 lalu).



Review Lacoco Intensive Treatment Eye Serum


Ini eye cream sempat jadi hype tahun lalu apa 2019 ya? Kurang ingat, tapi rasanya Lacoco saat itu tengah booming banget sampai- sampai saya cuma lihat dan confuse mau coba yang mana. Akhirnya beda sedikit, saya berkesempatan mencoba eye cream mereka yang disebut Lacoco Intensive Treatment Eye Serum. Bagaimana hasilnya? 


  • Teksturnya yang paling bagus sejauh ini karena gel dan tidak terlalu tacky 
  • Mata sembab alami pagi biasanya agak lebih kalem
  • Dark circle juga berkurang walau saya sebenarnya tidur cepat, tapi memang dark circle tetap ada sisa perjuangan masa muda meskipun tidak segelap mata panda


Walau harganya sangat mahal untuk pemula yang ingin mencoba eye cream, tapi Lacoco ini rasanya akan memberi pengalaman yang baik bagi para newbie meskipun harus menguras kantong.



Review Biokos Vital Nutrition Eye Shield Treatment


Dari 4 eye cream disini, ini yang paling murah dari home brand legendaris Indonesia, Biokos - Martha Tilaar. Eye cream ini juga yang juga punya pewangi di samping Coxir tadi meski masih bearable dan tidak trigger sinus atau alergi saya. Pengalaman saya menggunakan eye cream ini selama 2 minggu kemarin dulu :


  • Teksturnya putih creamy yang lumayan takcy tapi tidak berat
  • Memang mata terlihat lebih kalem dari sembab


Tidak banyak ya, review yang bisa saya bagikan dari eye cream satu ini. Karena memang itulah fungsi dasar yang biasanya beruntung sekali jika tidak kena milia. Untungnya eye cream ini aman begitu juga dengan 3 eye cream lainnya.



Review Coxir Black Snail Collagen Eye Cream


Hampir semua eye cream dipasarkan untuk mengatasi kerut dan keriput alias anti aging termasuk Coxir merek Korea yang terkenal dengan bahan snail dan black bean mereka. Sedangkan yang saya pakai ini adalah lini black snail yang kalau tidak salah adalah lini yang paling booming (apa benar?). Berikut pengalaman saya memakai eye cream ini.


  • Teksturnya paling kental, thicc, dan mempunya pewangi 
  • Lambat untuk meresap bahkan saya harus kipas dulu untuk membantu cream ini meresap
  • Paling tricky cara penggunaanya
  • Kesembapan mata lumayan berkurang dan untungnya tidak menimbulkan milia jika dilihat dari konsistensinya


Saya tidak begitu tahu harga eye cream ini karena saya mendapatkan eye cream ini saat menang giveaway dan dikirim oleh brand langsung dari Korea. Tapi kalau pembaca ingin mencoba eye cream ini yang sepertinya akan sesuai untuk yang punya kulit super kering, bisa mencarinya online seperti di Shopee yang ajaib itu.



Review Innisfree Jeju Lava Seawater Eye Serum 


Sama dengan Coxir, saya mendapatkan eye cream ini ketika menang giveaway. Sedikit ragu karena seorang teman mengatakan matanya perih ketika memakai eye cream lini biru ini, membuat saya urung memakainya hingga akhir tahun 2020 lalu, daripada keburu expired, saya akhirnya memakai eye cream dengan botol yang tinggi ini.


  • Botolnya ramping dengan pump yang seperti corong yang mungkin bisa dipakai sebagai pijatan (?) karena terbuat dari besi yang dingin
  • Teksturnya creamy dan untung saja tidak terlalu berat atau tacky
  • Anehnya, ini eye cream entah membuat dark circle saya malah muncul atau bagaimana saya pun heran


Karena ini adalah hadiah giveaway, begitu saya melihat harga resminya di laman Innisfree, alangkah terkejutnya saya melihat harga eye cream ini nyaris 500 ribu. Wow!



Apakah Eye Cream Itu Penting?


Penting atau tidaknya, saya kembalikan kepada pembaca karena kebutuhan dan kemampuan kita berbeda- beda juga. Hanya saja, memang eye cream sedikit lebih mahal dari cream biasa, meski ada yang murah juga tergantung pada brand yang kalian pakai.


Bagi saya pribadi, eye cream hanyalah ‘ada dipakai, tidak ada pun tak mengapa’ mengingat masalah saya ya, cuma sembab pagi hari dan ingin kulit mata lebih lifting sedikit. Masalah dark circle itu, saya pun harus lebih disiplin dengan waktu tidur dan separuhnya memang sudah karena faktor sisa masa muda yang kurang menjaga diri saja.


Newer Posts
Older Posts

Ann Solo

Ann Solo
Strike a pose!

Find Ann Here!

Ann Solo Who?!

Ann Solo adalah nama pena Ananda Nazief, seorang lifsestyle blogger yang terinspirasi oleh orang- orang sekitar, perjalanan, kisah- kisah, pop culture dan issue semasa.

Prestasi:

Pemenang Terbaik 2 Flash Blogging Riau : Menuju Indonesia,
Kominfo (Direktorat Kemitraan Komunikasi) - Maret 2018.

Pemenang 2 Flash Writing For Gaza (Save Gaza-Palestine),
FLP Wilayah Riau - April 2018.

Pemenang 3 Lomba Blog Lestari Hutan, Yayasan Doktor Syahrir Indonesia - Agustus 2019.

Pemenang Harapan 1 Lomba Blog, HokBen Pekanbaru - Februari 2020.

Contact: annsolo800@gmail.com

  • Home
  • Beauty
  • Traveling
  • Entertainment & Arts
  • What's News
  • Books & Stories
  • Our Guest
  • Monologue
  • Eateries

Labels

#minimalism Beauty Books & Stories Eateries Entertainment & Arts Film Gaming monologue Our Guest parfum Review Review Parfume sponsored Techie thoughts traveling What's News

Let's Read Them Blogs

  • Buku, Jalan dan Nonton

Recent Posts

Followers

Viewers

Arsip Blog

  • ▼  2025 (1)
    • ▼  April (1)
      • Asyik, Perang Tarif, Mari Kita Beli Barang KW
  • ►  2024 (18)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2023 (45)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (11)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2022 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2021 (27)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2020 (34)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (5)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2019 (34)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2018 (56)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (14)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (5)

Find Them Here

Translate

Sociolla - SBN

Sociolla - SBN
50K off with voucher SBN043A7E

Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Blogger Perempuan

Beauty Blogger Pekanbaru

Beauty Blogger Pekanbaru

Popular Posts

  • Review Axis-Y Toner dan Ampoule - Skincare Baru Asal Korea
    Sejak beberapa tahun kebelakangan ini kita telah diserbu oleh tidak hanya produk Korea baik itu skincare dan makeup, tetapi juga ...
  • Review Loreal Infallible Pro Matte Foundation
    Kalau dulu saya hanya tahu dan penggemar berat Loreal True Match Foundation sejak zaman kuliah, ternyata Loreal juga mengelua...
  • 2019 Flight Of Mind
    Cheers! Time flies indeed, terlebih lagi di zaman sekarang ini dan saya yang sudah mulai lupa sehingga semua terasa cepat. 2019...
  • Kampanye No Straw Dari KFC
    Kampanye No Straw Movement. Kemarin saya dan seorang teman berjanji untuk bertemu di KFC terdekat dan sambil menunggunya datang, saya ...
  • (Pertandingan Terakhir Liliyana Natsir Sebelum Pensiun) Dukung Bersama Asian Games 2018
    Hari ini berita yang cukup mengecewakan muncul di TV ketika saya dan Tante sedang makan siang dirumah: Liliyana Natsir akan menggantung...
  • Review Lip Balm 3 Merek - Nivea, Himalaya Herbals dan L'Occitane
    Dulu sekali, sebelum kenal dengan lipstick seakrab sekarang, saya dan   lip balm adalah pasangan yang kompak. Tidak hanya mengatasi ...
  • Review Sunblock Biore & Senka
    Oh my! Sekali lagi saya merasa bersalah 'menelantarkan' blog ini karena akhir bulan lalu saya mempunyai pekerjaan baru ya...
  • Review - Sakura Collagen Moisturizer
    Pertama-tama, saya hanya mau menginformasikan bahwa ini adalah artikel review yang sebenarnya sudah lumayan telat terlupakan oleh kek...
  • Review AXIS-Y Cera-Heart My Type Duo Cream
    Sudah lam aterakhir kali saya memakai cream moisturizer tipe konvensional, alasan utamanya adalah kondisi iklim di kota saya...
  • Review Lipstick Maybelline Superstay Ink Crayon
    2020 dimulai dengan racun lipstick terbaru dari Maybelline yang datang dengan Super Stay Ink Crayon yang sebenarnya sudah saya nant...

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates