Slow Fashion Dalam Konsep Hidup Minimalis
Sudah hampir sebulan sejak saya menulis di blog ini karena saya sedang jengah dan burnout belakangan ini. Lyfe,gitu lho. Anyway, meski agak malas, saya masih menjalani hidup minimalis saya.
Ya, memang masih jauh dari idealnya seorang minimalis menurut kriteria saya, tapi paling tidak saya masih progressing. Karena sejatinya menjadi minimalis itu adalah proses yang akan memakan waktu. Bahkan sebenarnya saya harus membeli pujian pada diri saya sendiri karena telah berhasil menyingkirkan 70% barang- barang yang tidak lagi mempunyai makna dalam hidup saya.
Kalau ditilik ke beberapa bulan lalu dan tahun lalu, saya cukup gila dengan menyingkirkan ratusan (yearp, literally) ratusan buku. Pakaian, sepatu, tas, alat jahit, alat lukis dan barang lainnya, telah berhasil saya donasikan. Ini adalah cara tercepat selain memang, orang- orang yang menerima barang- barang tersebut untungnya sangat menyukainya.
Seringnya kita lupa, berhasil menyingkirkan barang dari pandangan bukan berarti akhir cerita kita dan barang tersebut telah berakhir. Ya, syukur- syukur kalau dijual, di beli orang. Kalau di donasikan, mereka yang menerima, akan senang.
Oya, bulan lalu saya semapat mengisi ngobrol santai denga komunitas Lyfe For Less di Telegram, judulnya adalah Slow Fashion for Minimalist Living yang memang dekat dengan target minimalis saya sekarang. Berikutnya saya akan berbagi pengalaman saya menjalani slow fashion.
Sedikit latar belakang awal mulanya saya memilih untuk menjalani konsep dan cara hidup ini adalah di tahun 2017 lalu saya melihat interview Fumio Sasaki dan terinspirasi. Meski mengalami kendala on and off, saya masih menyimpan hasrat ingin menjalani hidup tanpa lagi terbebani oleh kebendaan.
Beruntungnya, saya tidak lagi mempunyai masalah dalam melepaskan barang seperti dulu karena saya sudah merasa lelah dan overwhelming dengan kebendaan. Sangat berbeda dengan diri saya terdahulu yang selalu merasa kurang dan kebendaan terasa seperti jalan keluar yang mudah.
Baju, pakaian, sepatu, tas adalah fashion items yang biasa saya beli jika saya ada uang, baik saat itu saya membutuhkannya atau malah seringnya hanya lapar mata. Ada saja yang saya rasa saya ‘butuhkan’. Ini juga bagian dari habit keluarga dan orang- orang sekeliling saya.
Setiap lebaran identik dengan baju baru, setiap pesta pernikahan saya juga ikutan beli baju atau jahit seragam (saya hanya berapa kali saya jahit seragam pagar ayu, sejatinya saya tidak suka pakai seragaman). Pokoknya, selama ada keinginan untuk beli pakaian, maka saya akan berusaha mencari uang untuk itu.
Lagi, beruntungnya saya sudah menjadi lebih aware bahkan pakaian dan fashion statement itu tidak ada pentingnya sama sekali untuk saya. Toh, saya bukan artis bukan pula fashionista. Walau, saya sudah membeli pakaian secara thrifting, saya tetap tidak perlu tampil bergaya setiap hari.
Kocaknya, orang- orang menganggap saya sangat stylish. Bahkan orang asing banyak yang menyapa saya dan berkata “you look cool, where did you get that piece?”. Lalu saya menjawab “dari pasar loak”.
Iya, that coolest piece I got, dari pasar loak alias second hand alias hasil thrifting disana- sini. Lalu, saya mempunyai obsesi baru ‘berpakaian keren dari hasil thrifting’. Sama saja, jatuhnya saya masih punya obsesi terhadap pakaian yang tidak sehat.
Hanya karena pakain bekas sangat murah dan saya sering beruntung mendapatkan ‘harta karun’ dan ‘branded’, bukan berarti saya harus abusive terhadap ini. Tidak jarang pula, saya yang dulu menggunakan embel- embel ‘membantu pengusaha independen dan emak-emak penjual baju bekas supaya saya ikut gerakan slow fashion dan sustainability, begitu’.
But nope. Saya cuma mau justifikasi akan hobi tidak sehat saya; SHOPPING.
Jadi saya harus kembali mengevaluasi diri saya sendiri, istilah saya; mbatin berantem sama pikiran logika dan pikiran penuh akal bulus.
Ya, saya memang ingin menerapkan slow fashion dengan membeli pakaian bekas yang layak pakai, tapi tidak sampai lemari saya jadi roboh juga! Iya, lemari saya nyaris roboh dan bagian papannya melengkung.
Saya suka fashion, tapi saya ternyata lebih suka melihatnya jika dipakai orang lain. Malah, pakaian yang lebih sering saya pakai adalah jenis yang comfy dan praktis karena sifat saya yang ogah belibet atas nama apapun itu. Meski ya memang, ada waktu- waktu dimana saya melilit hijab sampai 20 peniti sekeliling kepala, tapi saya kembali ke common sense saya yaitu; OGAH RIBET.
Maka saya membuang jauh cara berhijab yang tidak praktis, pakaian yang membuat saya sesak, warna- warna yang terlalu bising (saya suka pattern dan warna, tapi sekali lagi, hanya suka melihat saja), atau juga pakaian yang berbahan panas. Catatan, saya tinggal di Pekanbaru, Riau, dimana panas kota ini bisa mencapai 40 derajat kalau sedang gila- gilanya.
Bisa bayangkan bagaimana keringat mengucur di balik pakaian?
Saya juga tidak lagi condong pada warna hitam (sekali lagi, panas!) dan hanya memakainya sesekali atau ketika saya tahu bahwa saya akan berada diruangan ber-AC saja. Bahkan saya tidak punya hijab hitam (baru mau beli) dan saat ini navy adalah warna tergelap saya.
Saat ini palette warna pakaian saya lebih dominan pastel untuk hijab dan basic alias seadanya untuk pakaian saya. Karena saya membeli pakaian di loakan, saya tidak bisa memilih warna tapi bisa memilih mode.
Jujur saja, hampir semua isi lemari saya saat ini adalah 90% dari thrift store, hanya hijab, sepatu dan pakaian dalam yang saya beli baru. Awalnya memang orang tua saya heran kenapa saya membeli barang bekas, tapi saya orang yang candid; SAYA CUMA MAMPU MEMBELI SESUAI UANG SAYA.
Lagipula, belanja di loakan, dengan harga 100 ribu rupiah, saya bisa bawah pulang 20 - 30 pakaian jika sedang beruntung. Ya, murah, kebangetan! Saya pun bingung bagaimana ibu- ibu penjual loak disini bisa survive menjual semurah itu.
Anyway, ini adalah jalan ninja saya sebagai pelaku slow fashion sejak saya berumur 18 tahun, yakni awal saya kuliah. Pilihan ini selain diperkuat dengan kondisi keuangan yang pas-pasan tapi tetap ingin tampil gaya, adalah juga dari pengaruh teman sekitar saat itu.
Salah satu teman saya dulu sangat aware akan limbah fashion disaat kami, masih sangat ignorant akan cara pembuatan sehelai celana jeans. Dia, teman saya, mengedukasi saya bahwa betapa gilanya jumlah air yang diperlukan untuk membuat jeans. Belum lama ini juga saya melihat dokumenter seorang artisan celana jeans di Jepang yang membuat celana itu dari scratch alias nol.
Kain polos itu harus diwarnai hingga berapa kali, kemudian direndam, bilas, cuci juga berapa kali. Itu membuat saya mual, bayangkan betapa susahnya mendapat air bersih di Afrika sana, eh, kita malah menggunakan 1 galon besar air untuk membuat sehelai celana jeans.
Saya tekankan disini, bahwa saya tidak bermaksud apa- apa pada artisan dan pelaku kreatif lainnya. Hanya saja, saya merasa amat bersalah selama ini memakai pakaian tanpa tahu proses dibaliknya.
Terlebih lagi slow fashion, entah ditunggangi oleh kepentingan pihak tertentu, menganjurkan kita membeli pakaian, so-called eco friendly materials, yang mana sudah jelas mahal harganya. Kita sendiri yang baru menjadi minimalis pasti terperangah melihat harga yang harus kita bayarkan untuk selembar kaos, let’s say, RP 500.000.
Jadi apa bedanya dengan kaos designer? Atau dengan harga segitu kita dapat 3 potong baju saat H&M lagi diskon, misalnya.
Saya tidak bisa menarik garis lurus untuk panduan mengikuti slow fashion karena setiap orang punya pendapat berbeda. Tapi, menurut HEMAT saya, slow fashion bagi saya adalah fashion items yang saya beli dari loakan agar, baju- baju tersebut, selain dapat membantu penjualnya juga tidak cepat menjadi limbah, teronggok di tengah gunungan limbah lainnya.
Intinya saya mencoba membeli waktu untuk pakaian- pakaian tersebut dengan cara saya sendiri. Tidak peduli bagaimana trend pakaian saat ini, karena tren selalu berputar, saya lebih berpusat pada apa yang bisa saya gunakan dari temuan di pasar loak.
Saya tidak lagi brand oriented, ya, memang ada harga ada kualitas, tapi tidak semuanya begitu. Ini tidak menjadi jaminan. Saya malah pernah beli kemeja dari suatu mereka yang dulu sempat beken waktu zaman saya sekolah, mahal. Begitu sampai rumah, bapak saya bilang; ini kain apa sih, panas, kayak kain goni.
Yearp. Tertohok. Tapi saya bilang; ah, papa tidak tahu model sekarang.
Saya membeli mode, merek, dengan sangat mahal, dengan kualitas yang buruk. Sedih memang kalau ingat kesalahan- kesalahan saat itu. Dari sini saya belajar :
- Menemukan style dan palet warna saya
- Belajar memadu-madankan pakaian dengan personal style dan kreatifitas sendiri
- Tidak masalah memakai pakaian yang sama 10x sebulan selama masih bersih
- Lebih baik membeli pakaian thrift selain murah juga banyak yang bagus
- Saya buka artis, jadi masa bodoh dengan tuntutan tampil gaya selalu
- Cara berpakaian kamu adalah pilihan kamu, selama itu sesuai dan nyaman, maka opini orang lain termasuk opini keluargamu, tidaklah penting
- Mungkin awalnya kurang pede akan pandangan orang lain dengan pilihan berpakaianmu, beli loakan contohnya, itu kembali lagi pada prinsip yang kamu pegang, toh, nothing matters but your money in your pocket :)
Sekali lagi, bagi saya pribadi, berkaca dari pengalaman diatas, slow fashion adalah lebih memilih membeli pakaian bekas demi membantu mengurangi limbah, mengkurasi pakaian sesuai kebutuhan, tidak 10 lembar juga tidak 100 lembar pakaian. Melalui painful trial & error bertahun- tahun, walau saya jauh dari keberhasilan, paling tidak saya sudah mendekati cara hidup minimalis dengan penerapan slow fashion saya sendiri.
Intinya adalah, we’re not bound by possession nor fashion. Kita punya permasalah lebih berat dari sekedar berganti model pakaian setiap hari, yakni bagaimana mengurangi fashion waste akibat fast fashion yang membutakan manusia saat ini. Kita tidak perlu 10 baju pesta, 10 sepatu beda fungsi, 10 tas yang diniatkan jadi koleksi. Sungguh kita tidak perlu itu.
Logikanya jika kita tidak mengetahui banyak mengenai dampak limbah, seperti saya, saya hanya mengetahui garis besarnya saja cukup membuat saya ingin sedikit membantu dengan menerapkan slow fashion ini. Karena ini adalah cara yang paling mudah untuk dilakukan, tidak muluk- muluk juga bisa diterapkan siapa saja bahkan anak kecil sekalipun.
0 comments