Persaingan Limbah Fast Fashion dan Limbah Plastik Dalam Mempengaruhi Iklim Global

by - Agustus 06, 2019



Kalau sebelumnya saya sudah menulis artikel mengenai hutan Riau dulu dan sekarang dari masa kecil saya yang sejujurnya cukup emosional secara pribadi, terlebih lagi Riau kehilangan paru-parunya dan turut menyumbang bagi kerusakan tidak hanya ekosistem daratan bumi tapi juga punya andil dalam menipiskan atmosfirnya.


Sebuah ingatan yang tidak akan pernah luntur walau saya tua nanti, meski saya berharap saat itu hutan Riau sedikit banyaknya telah terperbaharui. Apakah ini harapan yang muluk?. 


Mungkin saja tidak, jika saya berbagi informasi dari acara Forrest Talk - Lestari Hutan yang diadakan oleh Yayasan Doktor Sjahrir di Grand Zuri Hotel Pekanbaru, 20 Juli 2019 kemarin dan berkesempatan mendengarkan langsung informasi dari beberapa pakar dibidangnya masing- masing yang kini saya tulis kembali demi meningkatkan awareness kita bersama.



Perubahan Iklim di Bumi Manusia




Dengan bukti jelas akan perubahan keadaan bumi, saya masih saja heran menemukan masih banyak yang menyangkal isu ini hanya sebatas rumor. Kenyataannya, planet yang kita tinggali ini mengalami banyak pergeseran seperti naiknya permukaan air laut atau mencairnya bongkahan es di kutub. Bagi kita yang hanya mempunyai 2 musim saja mungkin tidak begitu melihat banyak perbedaan selain musim hujan lebih lama atau musim panas/kemarau lebih panjang.






Namun bagi mareka yang mempunyai 4 musim, sedikit saja alterasi pada suhu seperti yang terjadi di Amerika ketika mengalami -40 Celcius saat musim dingin atau Australia yang panas membahang mencapai +50 Celcius di musim panas, dapat menyebabkan dampak significant. Tentu saja naik turunnya temperature  mempengaruhi banyak hal, kualitas udara dan air, keadaan fisik juga mental manusianya, flora serta fauna dalam ekosistem secara demografis spesifik suatu area dan keadaan bumi keseluruhannya.


Bagi Riau, tidak lain adalah banjir tahunan, erosi tepi laut dan kabut asap oleh pembakaran lahan, hutan dan gambut yang seolah menjadi ‘langganan’ propinsi ini. Kalau sudah begini tentu kerusakan alam Riau dan Indonesia secara luas  menjadi bencana hirometeorolgi dengan persentase tertinggi 97% dibanding bencana lainnya dan membuat jutaan orang mengungsi.







Dirunut kebelakang, kita sering bingung mengapa bumi berubah, oksigen terasa lembab berbau, air menjadi kuning keruh bahkan langit pun tertutup asap. Jawaban utamanya, menurut Dr. Amanda Katili Niode, manajer dari Climate Reality Indonesia selaku pembicara pertama mengenai iklim bumi- adalah sebab akibat kegiatan peradaban suatu kaum diatas suatu wilayah tempat tinggalnya.


Kaum tersebut berevolusi dan mencapai evolusi mengembangkan berbagai macam teknologi dan kemudahan akses lain yang mareka ambil dari sumber utama; bumi. Nama kegiatan ini adalah industri yang mengubah banyak wajah masyarakat socsal serta menimbulkan permasalahannya tersendiri.


Industri awal bagi kita semua adalah ‘memanen’ hasil sumber daya alami bumi seperti penambangan baru bara dan fossil yang diolah menjadi bahan bakar. Lalu disusul dengan pembukaan lahan dari hutan primer untuk kebutuhan tempat tinggal dan pertanian. 







Bahan bakar mengalami pembakaran dengan hasil akhir karbon monoksida disamping pembakaran lahan. Karbon akan naik ke atas bersama udara, sedikit demi sedikit melukai lapisan atmosfir bumi. Emisi tadi mengumpul dan mengendap sekian lama dari industri sederhana manusia awal zaman sampai manusia modern saat ini.


Fast Fashion versus Plastik.


Ada banyak jenis industry penyumbang emisi karbon, yang dulu sekali kita hanya mengetahui industri semacam pabrik pengolahan, penanambangan, pembukaan lahan/ladang baru, pertanian, perkapalan juga penerbangan. Kini semuanya berkembang pesat seperti industri retail yang sering disebut fast fashion.


Manusia adalah makluk visual yang mementingkan estetika yang membuat bisnis retail saat ini maju meski para produsen harus menggunakan banyak cara demi memenuhi selera pasar.  Musim demi musim produsen mengeluarkan model terbaru mereka, konsumen mengikuti arus dan membelinya padahal seringnya kita tidak  membutuhkannya. Akibatnya, pakaian, tas, sepatu yang kita punya dipakai lebih sedikit, menumpuk dan terlupakan.







Fashion yang berputar cepat turut mengalami banyak tata urutan pembuatan. Mulai dari pengolahan kain, pewarnaan, pemotongan, penjahitan, semuanya akan mengeluarkan energi emisi yang besar. Banyak dari perusahaan besar menggunakan bahan yang berpotensi mematikan demi mendapatkan ongkos pembuatan yang murah dengan harga penjualan  yang tinggi sesuai tuntutan pasar yang selalu cepat dinamis. Pewarnaan adalah salah satu contoh klasik penghasil limbah yang mencemari sumber air kita, merusak struktur tanah dan binatang serta tumbuhan disekeliling sebuah pabrik pakaian.


Negara berkembang terutama  negara pioneer pelaku fast fashion mengganggap timbunan used clothing adalah problematik yang mengganggu pemandangan. Seringnya timbunan pakaian tadi dikemas dan dijual sebagai ekspor baik legal atau illegal ke negara lain.  Pakaian yang masih layak pakai akan dijual kembali dan bagi yang sudah terlanjur rusak akan berakhir menjadi limbah di negara yang menerima eskpor tadi.






Permasalahan fast fashion tidak banyak berbeda dengan permasalahan plastik yang lebih dulu terkenal. Timbunan plastik yang mengandungi banyak komponen kimia yang terbiarkan ditanah/perairan dapat menggangu bahkan mengubah keadaan makhluk hidup yang ada disekitarnya (timbulnya penyakit aneh pada manusia dan binatang atau tumbuhan yang mengalami mutasi).


Kedua jenis limbah ini adalah limbah fisik yang tidak dapat dilenyapkan begitu saja, 1 botol plastik tidak bisa terurai secara alami dan bisa saja akan terus ada di bumi 500 tahun kemudian.



Penerapan Solusi Bersama.



Walau siklus kegiatan industri telah berlangsung lama, tetapi Dr. Amanda dan para penggiat perlindungan alam masih optimis dalam mengurangi polusi ini. Beliau menyebutkan beberapa langkah solusi seperti migitasi dan adaptasi. Migitasi adalah langkah upaya memperlambat laju perubahan iklim dengan memperlambat sumber emisi rumah kaca dan adaptasi cara lain dengan mencoba mengembangkan alternatif perlindungan kerentanan perubahan iklim terhadap ruang makhluk hidup.


Salah satu proyek yang telah dijalankan adalah penggunaan listrik tenaga angin di Sumba dan meminimalisir ketergantungan penggunaan kantong plastik. Langkah ini juga didukung oleh kearifan local setiap daerah demi menjaga wilayah dan lingkungan mereka masing- masing.







Dunia internasional sendiri tak ketinggalan dalam berbenah. Perusahaan otomotif seperti Tesla meluncurkan kendaraan yang tidak lagi mengandalkan bahan bakar fosil dan beralih ke tenaga yang sunstainable serta ramah lingkungan. KFC sebagai franchise fast food tidak ketinggalan dalam kampanye free straw mareka yang diterapkan di banyak negara termasuk Indonesia.




Hutan Sebagai Paru dan Lanskap/Bentang Lahan.





Setiap benda dan hal mempunyai arti atau definisinya tersendiri, tidak terkecuali hutan. Meskipun area yang terlihat mempunyai kumpulan pohon belum bisa disebut hutan karena hutan adalah suatu wilayah dengan luas  lebih dari 6.25 ha, mempunyai pohon dewasa tinggi dari 5 meter dan tutupan kanopi lebih dari 30%.


Itulah pembuka awal topickdari narasumber berikutnya, yaitu Dr. Atiek Widayati dari Tropenbos Indonesia dengan tema Pengolalan Hutan Lestari dan Lanskap. Sebuah tema yang cukup menggelikan dan satir jika saya mengingat kembali pengalaman masa kecil saya yang menonton ‘parade’ truk yang mengangkut bonggol- bonggol besar pohon Riau yang pernah jaya.  Kini hutannya yang pernah lebat telah gundul, mengalam deforestasi, degradasi dan koversi.






Deforestasi biasanya akibat dari perubahan permanen dari areal berhutan melalui cara pembersihan atau pemotongan yang diubah menjadi areal bebas pohon/tanaman demi kegunaan perladangan, pertanian atau penggunaan urban. Biasanya proses ini lebih sering terjadi di hutan- hutan tropis. Proses degradasi sendiri adalah perusakan dan penurunan kualitas hutan (tutupan, biomasa dan/atau aspek lainnya). 


Sedangkan bentuk konversi hutan sendiri  terbagi dua; menebang hutan dalam skala besar diikuti alih fungsi/status kepada pembangungan perkebunan dan hutan tanaman seperti sawit, karet, akasia dan lainnya juga penebangan hutan skala kecil oleh sekelompok masyarakat hanya memenuhi kebutuhan mereka saja.








Konversi skala kecil ini mengingatkan saya pada suku asli Riau yang sekarang sulit ditemukan atau bisa juga suku ini berkemungkinan meninggalkan kebiasaan adat hidup mareka. Dulu sekali ketika saya kecil, suku Sakai dan Talang Mamak adalah suku yang dominan dan khas dengan cara hidup yang sering berpindah- pindah, membuka hutan, menetap dan menanam tanaman pangan lalu pindah jika merasa tanah tidak lagi memberi kesuburannya. Suku ini akan membangun pondok- pondok kayu kecil, para pria sering terlihat duduk menghisap gulungan rokok daun dan para wanitanya menjual kendi- kendi tanah liat dengan anak- anak kecil yang berlarian riang.


Tiga proses diatas merubah banyak kehidupan, flora dan fauna penghuni hutan menjadi terancam punah, di Riau terutama menambah besar lahan gambut. Biomasa vegetasi alami berkurang, semakin rendah pohon semakin sedikitlah ia mampu menyerap karbon (CO2). Maka tidak mengeherankan bila suatu lahan hanya mempunyai rumput rendah atau barren sama sekali sehingga karbon polusi atau asap hanya ‘menggantung’ diatasnya tanpa mampu diserap. Padahal  satu pohon besar mampu menyerap jutaan ton karbon.


Mungkin ini juga menjadi alasan suku-suku tersebut tidak lagi menjalankan cara hidup mereka yang dulu rekat dengan hutan? Karena hutan sudan tidak ada? 




Upaya Pengembalian Fungsi Hutan.


Mengembalikan fungsi rain forrest  adalah ‘pekerjaan rumah’ yang tidak dapat dilakukan perorangan melainkan adanya kesatuan kesadaran sosial disertai awareness yang solid dan proses yang berkesinambungan. Bagi usaha skala luas pemerintah dan swasta adalah dengan menjadikannya sebagai perkebunan/pertanian dengan jenis tanaman yang selalu dapat diperbaharui tanpa merusak tekstur tanah.


Cara- cara ini termasuk penghijauan, restorasi, agroforestry, mendukung industri produk yang terdaftar dan bertanggung jawab, hasil hutan bukan berupa kayu (produk berbahan rotan dan bambu, minyak tanaman serta madu), mendukung ekonomi masyarakat tepi hutan (anyaman, industri kuliner kecil rumah tangga), memanfaatkan jasa ekosistem sebagai tujuan pariwisata dan juga penyebaran kesadaran merawat/menjaga/melestarikan hutan melalui social media.



Pohon dan Ekonomi Kreatif.





Topik selanjutnya adalah topik dari narasumber yang berhalangan hadir dan diwakilkan oleh narasumber yang ada. Dapat saya katakan disini, topik ini merupakan tema yang saya sukai karena saya menggemari kraft dari bahan tidak terpakai maupun bahan yang bahkan tidak pernah terpikirkan sebelumnya.


Contohnya saja pohon yang ternyata sangat multi fungsi, versatile  dengan ragam kegunaan yang ditawarkannya, selain mengubah karbon polusi menjadi oksigen  bagi para penduduk bumi- ia juga mampu memberi manfaat sebagai sumber serat, pewarna alami, bahan kuliner, dipoles menjadi furniture/barang dekorasi sampai mampu menghasilkan minya atsiri.







Rotan juga sebuah sample yang lentur nyaris bisa dibentuk apa saja entah itu furniture atau kerajinan tangan lainnya. Diikuti oleh daftar  tanaman; lontar, daun jati, kulit secang, infogofera, akar mengkudu, kelapa, hingga nipah yang mampu bertanformasi menjadi pewarna natural tekstil bebas unsur kimiawi serta menjadi bahan pengobatan tradisional.


Hendaknya kita terus mendukung sumber energi yang bisa terbarukan ini karena memang ia memiliki potensi yang sangat besar dalam factor ekonomi berbasis sumber alami yang tidak menambah pencemaran limbah yang telah ada.




Desa Makmur Peduli Api – Tapung, Riau.




Akhirnya kita masuk pada diskusi terakhir (lalu dilanjutkan dengan field trip) oleh Bapak Tahan Manurung dari Asia Pulp dan Paper. Sebelumnya saya tidak mengerti kenapa desa ini disebuah Desa Makmur Peduli Api (DMPA). Rupanya ini adalah perwujudan program Kebijakan Konversi Hutan (FCP) APP Sinar Mas yang melibatkan tiap masyarakat adat dan lokal  suatu daerah secara konstruktif dalam upaya menyelesaikan konflik sosial-ekonomi  serta pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.


Target utama proyek DMPA Riau adalah lima tahun dengan jumlah desa sebanyak 236 yang tersebar di Propinsi Riau. Desa-desa tersebut akan dipilih lagi berdasarkan kriteria tertentu, salah satunya adalah pernah terjadi kebakaran lahan/hutan di desa tersebut.


DMPA akan menyeleksi tiap desa yang layak menerima bantuan dan mendukung desa tersebut selama lima tahun berturut- urut. Sebuah desa di Tapung dipilih sebagai contoh studi kasus field trip kami dan dengan menaiki bus rombongan dibawa menuju desa selama dua jam perjalanan. Disepanjang perjalanan kami melihat petak-petak lahan yang kosong seakan semua pepohonan yang pernah hidup diatasnya dicabuti. Pemandangan silih berganti menjadi kawasan perkebunan sawit dan barisan teratur pohon ekaliptus yang dirawat khusus untuk kepentingan industri kertas.







Sesampainya di desa, para pemuka masyarakat dan penduduk desa telah bersiap sedia menyambut kami dengan berbagai macam penganan hasil kebun mareka sendiri. Kata sambutan dan pidato singkat silih berganti diucapkan oleh pihak desa dan panitia/perwakilan perusahaan. Bapak tetua desa juga tidak segan berbagi informasi mengenai proses tanam dan panen desa mareka. 


Susunan acara selanjutnya ialah demo kerajinan tangan setempat yang memanfaatkan daun pohon sangian sebagai topi caping tradisional serta demo masak/kuliner kering yang biasa dipasarkan warga sebagai produk UKM keluar desa. Program DMPA ini juga meliputi pembagian bibit sapi yang telak berkembang pesat yang menjadi kebaganggan masayarakat desa setempat.



Langkah Sederhana Unfug Perlindungan Bumi Selanjutnya.





Ilmu dan informasi yang kita dapatkan bersama dari acara ini sedikit banyaknya mampu menjawab pertanyaan pribadi saya mengenai keadaan hutan Riau dengan berbagai sumber terpercaya dan cara pandang yang beragam. Impian dari masa kecil saya akan penghijauan Riau kembali optimis.






Harapnya kita semua imenjadi sadar dan turut serta menyuarakan awareness ini dengan berbagai macam cara seperti melalui social media yang telah menjangkau pelosok negeri dan dunia. Kesadaran yang ada sebaiknya diikuti dengan cara- cara kecil pribadi nan berkesinambungan, mengurangi pemakaian bahan plastik dan menerapkan cara hidup minimalist, yang merupakan contoh sederhana yang bisa kita lakukan secara perorangan. Karena jika bukan kita yang merubah, siapa lagi yang menjaga dan mempersiapkan hutan kita nanti di masa depan.


*********

Terima kasih kepada:

Yayasan Doktor Sjahrir
Forest Talk - Lestari Hutan Indonesia.
Climate Reality Indonesia.
Tropenbos Indonesia.
Para narasumber, panitia dan sponsor.
DMPA Riau.
Masyarakat desa DMPA Tapung.
Katerina S.


You May Also Like

8 comments

  1. Yyuuhhu pinjing bingitz artikelnya kak
    Udah kejawab blum ni, sebab dan solusi hutan Riau yg gundul???

    BalasHapus
  2. Ahaha minum kopi sambil baca biar ga bosan. Kejawab sih cuma tinggal ngatasin gundul nya doang

    BalasHapus
  3. Terbang ke Riau itu bikin ngilu ngilu gimn gitu liat dari atas pd gundul
    Panas pulak lgi!!!!

    BalasHapus
  4. Lengkap banget kak artikelnya. Mantap!

    BalasHapus
  5. Ternyata bukan plastik yang menjadi pencemar terbesar ya kak, eh malah industri fashion :3

    BalasHapus
  6. Artikelnya sangat membantu dan lengkap jadi nambah pengetahuan mbak. Thank you mbak atas tulisan kecenya

    BalasHapus
  7. Aku juga sdh mulai yg namanya mengurangi pemakaian plastik

    BalasHapus
  8. Wah iya aku jg pernah dapat informasi fast fashion dr jfw taun lalu. Fast fashion emang murah tp bajuny lama hancur. Mangkanya skrg ganti ke baju ramah lingkungan tp harganya memang terbilang mahal2

    BalasHapus