Kadang saya lupa, kalau penulis Jepang itu selalu unik, kalau tidak absurd, surreal dan bikin resah, tapi juga nyata di kehidupan seharian masyarakat sana yang juga relevan dengan masyarakat dunia umumnya. Jadi kali ini, saya benar- benar lupa, sampai saya membaca beberapa lembar pertama novel dari Sayaka Murata ini.
Oya, disclaimer ya, sebelum melanjutkan membaca review buku ini, kurang lebih pasti ada spoiler. Ya, namanya juga review, kita pasti akan membicarakan alur ceritanya dan pasti nganu-nganu juga dari bukunya (apa itu nganu-nganu buku?).
Karena saya sudah beralih paperless dengan membeli Samsung Tab A7 Lite bulan Juni lalu, jadi rasanya semua serba ringan termasuk waktu saya membaca juga kini lebih banyak (apa iya?). Walau, kadang-kadang saya juga rindu pengen baca buku fisik yang khas dengan bau kertasnya itu. Tapi karena sudah niat paperless dan lagi pula, e-book lebih hemat tempat dan kebetulan saya sering dapat bantuan dari teman-teman sesama anggota book club.
Penulis Jepang, Selalu Aneh dan Eksentrik?
Sejauh ini, hampir semua hasil karya dari penulis Jepang pada unik semuanya, nyentrik begitu. Seringnya absurd, surreal dan sering juga freak. Bahkan ini juga bisa dilihat dari manga mereka, duh, saya sampai sekarang masih heran bagaimana mereka bisa memikirkan sesuatu yang out of this world, lebih dari batas pikiran ngaco sekalipun.
Tidak terkecuali Sayaka Murata ini yang ternyata adalah penulis beken di Jepang dengan berbagai deretan penghargaan salah satunya penghargaan bergengsi Akutagawa Prize. Siapa yang menyangka kalau novel dengan latar belakang mencari jati diri yang sering dianggap sepele atau besar bagi tiap orang, bisa didapatkan dengan bekerja di toko serba ada atau convenience store yang di Jepang akrab dipanggil konbini.
Kalau di kita sih, biasanya disebut pekerja di Indomaret atau Alfamart begitu. Tapi ya, namanya juga mencari jati diri, bisa didapatkan dari mana saja, bahkan mungkin CEO besar yang kita kenal ternyata mendapatkan jati diri mereka sebenarnya setelah jadi CEO bernilai milan juta dollar. Atau malah sesederhana, tokoh protagonis dari novel ini, Keiko Furukara yang menemukan dirinya tidak dapat berfungsi tanpa jadwal rutinnya di convenience store.
Unik memang, tapi masih bisa dipahami dan tidak menimbulkan keresahan (bagi saya pribadi) layaknya novel dari Murata yang berjudul Earthlings. Duh, lain kali deh, kalau saya punya ekstra mood dan mental yang kuat untuk menulis review-nya. Simak terus pendapat saya mengenai buku pertama yang saya baca dari Murata ini.
Baca Juga : BUKU- BUKU YANG DITERJEMAHKAN SECARA VISUAL - PART 1
Menemukan Jati Diri di Toko Serba Ada Konbini
Tokoh protagonis buku ini adalah Keiko Furukara yang sedari kecil sudah merasa dirinya aneh. Orang-orang disekelilingnya, terutama keluarga yang terdiri dari Ibu, Ayah dan adik perempuannya, juga merasa Keiko sangat berbeda sehingga Ibunya sampai risau bagaimana Keiko akan menjadi dewasa dan mampukah ia beradaptasi dengan masyarakat nantinya.
Dimulai dari insiden dari ketika sang protagonis masih kecil, dari menonjok (kalau tidak salah) teman sekolahnya hingga bagaimana ia ingin membawa burung mati agar bisa dimakan oleh Ayahnya, hingga ia tidak mengerti kenapa orang dewasa harus merasa risau dan cemas, membuat saya yakin; wah, ini orang pasti punya masalah mental.
Perjalanan Keiko yang tidak normal membuatnya sulit untuk mengerti bagaimana orang normal lainnya berpikir, tetapi untungnya si adik perempuan membatu Keiko dengan cara memberitahukan apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh seorang yang normal di masyarakat. Jadi, kurang lebih si adik menjadi life coach bagi kakaknya, karena Keiko jadi tergantung dengan bantuan si adik terlebih lagi kalau ia menemukan hal yang biasanya di ajarkan sang adik.
Ketika Keiko berkuliah, ia mencoba pekerjaan paruh waktu di convenience store yang merupakan bagian budaya Jepang; selalu ada dimana saja, buka 24 jam dan menyediakan apa pun yang dibutuhkan dengan instan. Ternyata Keiko menyukai pekerjaan ini dikarenakan ia merasa menjadi bagian masyarakat yang normal.
Saya kurang bisa menggambarkannya disini, tetapi Keiko adalah salah satu contoh klasik dari mereka yang mempunyai kekurangan emotional intelligence, yang selalu kebingungan akan tindakan yang diambil orang-orang yang ia temui. Karena kurang mengetahui emosional, jadinya ia kesulitan jika melakukan pekerjaan lain selain bekerja di toko serba ada.
Mungkin karena toko serba ada di Jepang sudah ada pakemnya sendiri, seperti menyapa pelanggan dengan tagline absolut dan rutin waktu pekerjaan, membuat sang tokoh utama merasa nyaman. Ia menganggap, dirinya yang berbeda ini somehow bisa melakukan sesuatu dalam pengertian normal, bekerja di toko serba ada adalah jawaban terbaiknya.
Tolak Ukur Kenormalan, Budaya dan Habit Masyarakat
Dari yang bekerja paruh waktu di usia 18 tahun, Keiko yang sudah merasa nyaman tetap bekerja sampai ia berusia 36 tahun (di dalam buku). Dari yang awalnya sempat kesulitan berteman, ia punya teman kantor yang selalu berganti-ganti dan rupanya berhasil menjaga lingkar pertemanannya dari zaman sekolah. Ya, walau Keiko sendiri tidak yakin dan hanya datang sebagai upaya menjadi normal.
Buku ini juga menyentil apa batas wajar bagi sebuah kenormalan, budaya dan habit di Jepang sana. Walau masyarakat Jepang tidak lagi terlalu obsesi dengan pernikahan dan banyak yang lebih memilih single, tetapi tentu saja menjadi wanita lajang masih dianggap “buruk” termasuk di negara timur lainnya (heellloooo...yuuhuuuu).
Ini membuat Keiko jadi perhatian teman-temannya dan bagi Keiko sendiri, ia heran kenapa mereka ingin tahu dan mengapa ia harus menikah atau berpasangan? Saya bisa merasakan bagaimana bingungnya Keiko selaku orang yang kekurangan secara emosional. Jangankan Keiko, saya saja heran kenapa orang-orang kepo banget soal hidup lajang saya.
Jadi saat Keiko malah dekat dengan mantan pekerja bermasalah dari convenience store, Shiraha dan malah menampungnya di rumah Keiko yang lusuh dan sempit, maka hebohlah teman, keluarga dan pekerja di konbini. Sama eksentriknya dengan Keiko, Shiraha juga mempunyai masalahnya sendiri.
Kurang tahu istilah tepatnya di Jepang apa (mungkin hikikomori?), Shiraha adalah pria yang anti kemapanan, selalu marah pada society, menolak bekerja layaknya orang Jepang lainnya yang mengabdikan hidup mereka dengan bekerja. Tokoh pria ini bisa dibilang homeless, lari dari rumah dengan meninggalkan hutang disana-sini.
Layaknya persepsi masyarakat, tentu saja Shiraha menjadi sosok yang dihindari oleh masyarakat dan dianggap sampah. Disisi lain, Keiko yang tidak ‘normal’ dalam standard umum, selalu mencari jalan supaya dianggap normal bahkan dengan menirukan siapa saja yang ia anggap menarik dan masuk dalam kriteria normal.
Mereka akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama karena Keiko bisa dibilang terpancing oleh iming-iming Shiraha bahwa kalau ia mereka tinggal berdua, mereka akan dianggap pasangan dan mereka sudah masuk dalam kategori normal di masyarakat. Mengingat kelebihan ini, Keiko pun bersetuju meski semakin lama Shiraha menjadi menunjukkan belang patriarki yang khas.
Shiraha selalu mengeluhkan makanan yang Keiko buat, keadaan kamar sewanya yang lusuh dan seadanya, bahkan Shiraha berani mengkritik bahwa konbini adalah tempat buruk untuk bekerja. Ia memaksa Keiko untuk mencari tempat kerja baru yang lebih sesuai dengan umurnya.
Well, karena kekurangannya Keiko akhirnya menuruti saran Shiraha dan mencoba kerja lain yang ia sendiri sebenarnya tidak mau. Keiko, yang sejak akhir masa remajanya hingga 36 tahun ini, akhirnya menyadari bahwa ia tidak dapat lepas dari konbini dan berada di konbini dengan rutinnya yang tertata adalah ritual, sebuah jalan yang bisa membuatnya normal. Bagian dirinya yang terbesar adalah konbini, therefore, jati dirinya yang sebenarnya tentu saja adalah bekerja di konbini.
Rasional dan Merasionali
Sebenarnya ini bukanlah bacaan yang berat dan rumit, malah saya menghabiskan buku ini dengan cepat. Tapi tentu saja tidak ringan karena buku ini membawa tema rasional dan merasionali (apa ini, kata buatan karangan saya apa, ya) apa yang dianggap normal di masyarakat Jepang.
Kalau ditilik kembali, Keiko mungkin kurang memahami sisi emosional manusia, tapi sebenarnya tokoh Keiko ini bisa ditemukan di sekeliling kita walau memang tidak umum (atau mereka pandai menyamar seperti Keiko?). Diluar sana, ada kok, orang-orang yang membelakangi cara berpikir konvensional dan menolak masyarakat yang cenderung berkompromi. Ada, salah satunya saya (hahay!) yang juga tidak habis pikir kenapa orang merasa rasional untuk mencampuri urusan pribadi saya, menikah apa tidaknya saya, contoh.
Begitu seseorang menemukan orang lain berbeda, mereka entah kenapa rasanya berhak untuk ikut campur dan meluruskan sesuai dengan standar mereka. Poor Keiko, karena saya juga merasakan keresahan yang kurang lebih sama. Sebagai bacaan sentilan habid sok rasionalnya masyarakat, saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca terutama jika kamu juga adalah perempuan/lelaki yang tidak masuk dalam ‘standar normal dan rasional’ masyarakat.