Instagram Twitter Facebook
  • Home
  • Beauty
  • Entertainment & Arts
  • What's News
  • Traveling
  • Monologue

Ann Solo




Kadang saya lupa, kalau penulis Jepang itu selalu unik, kalau tidak absurd, surreal dan bikin resah, tapi juga nyata di kehidupan seharian masyarakat sana yang juga relevan dengan masyarakat dunia umumnya. Jadi kali ini, saya benar- benar lupa, sampai saya membaca beberapa lembar pertama novel dari Sayaka Murata ini.


Oya, disclaimer ya, sebelum melanjutkan membaca review buku ini, kurang lebih pasti ada spoiler. Ya, namanya juga review, kita pasti akan membicarakan alur ceritanya dan pasti nganu-nganu juga dari bukunya (apa itu nganu-nganu buku?).


Karena saya sudah beralih paperless dengan membeli Samsung Tab A7 Lite bulan Juni lalu, jadi rasanya semua serba ringan termasuk waktu saya membaca juga kini lebih banyak (apa iya?). Walau, kadang-kadang saya juga rindu pengen baca buku fisik yang khas dengan bau kertasnya itu. Tapi karena sudah niat paperless dan lagi pula, e-book lebih hemat tempat dan kebetulan saya sering dapat bantuan dari teman-teman sesama anggota book club.




Penulis Jepang, Selalu Aneh dan Eksentrik?


Sejauh ini, hampir semua hasil karya dari penulis Jepang pada unik semuanya, nyentrik begitu. Seringnya absurd, surreal dan sering juga freak. Bahkan ini juga bisa dilihat dari manga mereka, duh, saya sampai sekarang masih heran bagaimana mereka bisa memikirkan sesuatu yang out of this world, lebih dari batas pikiran ngaco sekalipun. 


Tidak terkecuali Sayaka Murata ini yang ternyata adalah penulis beken di Jepang dengan berbagai deretan penghargaan salah satunya penghargaan bergengsi Akutagawa Prize. Siapa yang menyangka kalau novel dengan latar belakang mencari jati diri yang sering dianggap sepele atau besar bagi tiap orang, bisa didapatkan dengan bekerja di toko serba ada atau convenience store yang di Jepang akrab dipanggil konbini.


Kalau di kita sih, biasanya disebut pekerja di Indomaret atau Alfamart begitu. Tapi ya, namanya juga mencari jati diri, bisa didapatkan dari mana saja, bahkan mungkin CEO besar yang kita kenal ternyata mendapatkan jati diri mereka sebenarnya setelah jadi CEO bernilai milan juta dollar. Atau malah sesederhana, tokoh protagonis dari novel ini, Keiko Furukara yang menemukan dirinya tidak dapat berfungsi tanpa jadwal rutinnya di convenience store. 


Unik memang, tapi masih bisa dipahami dan tidak menimbulkan keresahan (bagi saya pribadi) layaknya novel dari Murata yang berjudul Earthlings. Duh, lain kali deh, kalau saya punya ekstra mood dan mental yang kuat untuk menulis review-nya. Simak terus pendapat saya mengenai buku pertama yang saya baca dari Murata ini.



Baca Juga : BUKU- BUKU YANG DITERJEMAHKAN SECARA VISUAL - PART 1




Menemukan Jati Diri di Toko Serba Ada Konbini


Tokoh protagonis buku ini adalah Keiko Furukara yang sedari kecil sudah merasa dirinya aneh. Orang-orang disekelilingnya, terutama keluarga yang terdiri dari Ibu, Ayah dan adik perempuannya, juga merasa Keiko sangat berbeda sehingga Ibunya sampai risau bagaimana Keiko akan menjadi dewasa dan mampukah ia beradaptasi dengan masyarakat nantinya.


Dimulai dari insiden dari ketika sang protagonis masih kecil, dari menonjok (kalau tidak salah) teman sekolahnya hingga bagaimana ia ingin membawa burung mati agar bisa dimakan oleh Ayahnya, hingga ia tidak mengerti kenapa orang dewasa harus merasa risau dan cemas, membuat saya yakin; wah, ini orang pasti punya masalah mental.


Perjalanan Keiko yang tidak normal membuatnya sulit untuk mengerti bagaimana orang normal lainnya berpikir, tetapi untungnya si adik perempuan membatu Keiko dengan cara memberitahukan apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh seorang yang normal di masyarakat. Jadi, kurang lebih si adik menjadi life coach bagi kakaknya, karena Keiko jadi tergantung dengan bantuan si adik terlebih lagi kalau ia menemukan hal yang biasanya di ajarkan sang adik.


Ketika Keiko berkuliah, ia mencoba pekerjaan paruh waktu di convenience store yang merupakan bagian budaya Jepang; selalu ada dimana saja, buka 24 jam dan menyediakan apa pun yang dibutuhkan dengan instan. Ternyata Keiko menyukai pekerjaan ini dikarenakan ia merasa menjadi bagian masyarakat yang normal.


Saya kurang bisa menggambarkannya disini, tetapi Keiko adalah salah satu contoh klasik dari mereka yang mempunyai kekurangan emotional intelligence, yang selalu kebingungan akan tindakan yang diambil orang-orang yang ia temui. Karena kurang mengetahui emosional, jadinya ia kesulitan jika melakukan pekerjaan lain selain bekerja di toko serba ada.



Mungkin karena toko serba ada di Jepang sudah ada pakemnya sendiri, seperti menyapa pelanggan dengan tagline absolut dan rutin waktu pekerjaan, membuat sang tokoh utama merasa nyaman. Ia menganggap, dirinya yang berbeda ini somehow bisa melakukan sesuatu dalam pengertian normal, bekerja di toko serba ada adalah jawaban terbaiknya.



Tolak Ukur Kenormalan, Budaya dan Habit Masyarakat






Dari yang bekerja paruh waktu di usia 18 tahun, Keiko yang sudah merasa nyaman tetap bekerja sampai ia berusia 36 tahun (di dalam buku). Dari yang awalnya sempat kesulitan berteman, ia punya teman kantor yang selalu berganti-ganti dan rupanya berhasil menjaga lingkar pertemanannya dari zaman sekolah. Ya, walau Keiko sendiri tidak yakin dan hanya datang sebagai upaya menjadi normal.


Buku ini juga menyentil apa batas wajar bagi sebuah kenormalan, budaya dan habit di Jepang sana. Walau masyarakat Jepang tidak lagi terlalu obsesi dengan pernikahan dan banyak yang lebih memilih single, tetapi tentu saja menjadi wanita lajang masih dianggap “buruk” termasuk di negara timur lainnya (heellloooo...yuuhuuuu). 


Ini membuat Keiko jadi perhatian teman-temannya dan bagi Keiko sendiri, ia heran kenapa mereka ingin tahu dan mengapa ia harus menikah atau berpasangan? Saya bisa merasakan bagaimana bingungnya Keiko selaku orang yang kekurangan secara emosional. Jangankan Keiko, saya saja heran kenapa orang-orang kepo banget soal hidup lajang saya.


Jadi saat Keiko malah dekat dengan mantan pekerja bermasalah dari convenience store, Shiraha dan malah menampungnya di rumah Keiko yang lusuh dan sempit, maka hebohlah teman, keluarga dan pekerja di konbini. Sama eksentriknya dengan Keiko, Shiraha juga mempunyai masalahnya sendiri.


Kurang tahu istilah tepatnya di Jepang apa (mungkin hikikomori?), Shiraha adalah pria yang anti kemapanan, selalu marah pada society, menolak bekerja layaknya orang Jepang lainnya yang mengabdikan hidup mereka dengan bekerja. Tokoh pria ini bisa dibilang homeless, lari dari rumah dengan meninggalkan hutang disana-sini. 


Layaknya persepsi masyarakat, tentu saja Shiraha menjadi sosok yang dihindari oleh masyarakat dan dianggap sampah. Disisi lain, Keiko yang tidak ‘normal’ dalam standard umum, selalu mencari jalan supaya dianggap normal bahkan dengan menirukan siapa saja yang ia anggap menarik dan masuk dalam kriteria normal.



Mereka akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama karena Keiko bisa dibilang terpancing oleh iming-iming Shiraha bahwa kalau ia mereka tinggal berdua, mereka akan dianggap pasangan dan mereka sudah masuk dalam kategori normal di masyarakat. Mengingat kelebihan ini, Keiko pun bersetuju meski semakin lama Shiraha menjadi menunjukkan belang patriarki yang khas.


Shiraha selalu mengeluhkan makanan yang Keiko buat, keadaan kamar sewanya yang lusuh dan seadanya, bahkan Shiraha berani mengkritik bahwa konbini adalah tempat buruk untuk bekerja. Ia memaksa Keiko untuk mencari tempat kerja baru yang lebih sesuai dengan umurnya.


Well, karena kekurangannya Keiko akhirnya menuruti saran Shiraha dan mencoba kerja lain yang ia sendiri sebenarnya tidak mau. Keiko, yang sejak akhir masa remajanya hingga 36 tahun ini, akhirnya menyadari bahwa ia tidak dapat lepas dari konbini dan berada di konbini dengan rutinnya yang tertata adalah ritual, sebuah jalan yang bisa membuatnya normal. Bagian dirinya yang terbesar adalah konbini, therefore, jati dirinya yang sebenarnya tentu saja adalah bekerja di konbini.



Baca Juga. :     REVIEW MEMBACA E-BOOK DI SAMSUNG GALAXY TAB A7 LITE LTE



Rasional dan Merasionali


Sebenarnya ini bukanlah bacaan yang berat dan rumit, malah saya menghabiskan buku ini dengan cepat. Tapi tentu saja tidak ringan karena buku ini membawa tema rasional dan merasionali (apa ini, kata buatan karangan saya apa, ya) apa yang dianggap normal di masyarakat Jepang.


Kalau ditilik kembali, Keiko mungkin kurang memahami sisi emosional manusia, tapi sebenarnya tokoh Keiko ini bisa ditemukan di sekeliling kita walau memang tidak umum (atau mereka pandai menyamar seperti Keiko?). Diluar sana, ada kok, orang-orang yang membelakangi cara berpikir konvensional dan menolak masyarakat yang cenderung  berkompromi. Ada, salah satunya saya (hahay!) yang juga tidak habis pikir kenapa orang merasa rasional untuk mencampuri urusan pribadi saya, menikah apa tidaknya saya, contoh.


Begitu seseorang menemukan orang lain berbeda, mereka entah kenapa rasanya berhak untuk ikut campur dan meluruskan sesuai dengan standar mereka. Poor Keiko, karena saya juga merasakan keresahan yang kurang lebih sama. Sebagai bacaan sentilan habid sok rasionalnya masyarakat, saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca terutama jika kamu juga adalah perempuan/lelaki yang tidak masuk dalam ‘standar normal dan rasional’ masyarakat.







Sejak pandemi ini, tidak hanya orang- orang panik membeli dan menumpuk hand sanitizer seperti di 2020 lalu, tapi juga yang paling penting membeli masker dan memakan suplemen kesehatan seperti vitamin. Pokoknya, sekarang dimana vitamin dan jenis suplemen pendukung kesehatan lainnya sedang ‘bersinar’.



Saya sendiri sebenarnya tidaklah terlalu antusias terhadap makanan dan vitamin tambahan ini, bahkan dulu sekali, ketika emak saya sedang aktif di MLM yang terkenal dengan produk suplemen kesehatannya dan memberikan saya bekal vitamin, saya malah tidak menghiraukannya.



Sungguh zaman ‘kegelapan’ saat itu, tidak hanya memahami pentingnya bantuan vitamin, saya juga tidak menghargai pemberian emak. Sekarang, di umur sebegini dan pandemi, saya jadi sedikit obsesi terhadap vitamin. Sejauh ini, saya sudah membeli beberapa vitamin dari brand yang berbeda, tapi Blackmores adalah vitamin pilihan saya karena sering diskon (hahay!) dan rasanya saya cocok dengan brand asal Australia ini.




Review Mencoba Beberapa Vitamin Blackmores Indonesia


Mungkin saya tidak terlalu mengekspolarsi varian vitamin dari Blackmores karena saya cenderung masih ingin mengkonsumsi vitamin yang umum dan hanya saya pahami saja. Tapi sebenarnya, jika (dompet) memungkinkan, saya ingin mencoba varian vitamin mereka yang lainnya seperti Radiance Marine Q10, Ginkgo Action, Lutein Vision (harusnya saya segera mencoba vitamin ini, tiap hari berada di depan layar laptop terus), Grape Seed, CoQ10 75mg, Glucosamine Sulfate 1500, intinya semuanya ingin saya coba.


Kecuali yang untuk ibu hamil dan menyusui, ya.


Karena so far saya melihat vitamin brand ini cukup terjangkau, sering diskon dan e-commerce tempat saya membelinya pun, punya paket pengantaran cepat (sejak PPKM, semuanya menjadi telat). Belum lagi saya juga merasakan manfaatnya (atau placebo effect) seperti PMS saya lebih kalem ketika saya mengkonsumsi varian Multi B Performance yang bentuk tabletnya segede bus kota itu.



Baca Juga : PERJALANAN MENJADI SEORANG MINIMALIST - BURNOUT DAN KELELAHAN MENTAL






Review Blackmores Multi B Performance Vitamin




Awalnya, sedapat mungkin saya mencari vitamin yang multi, semua ada, lengkap dalam 1 tablet saja dengan harga murah (oh, kriteria yang muluk). Dengan segala klaim dari varian ini, saya pun akhirnya membeli varian yang ditargetkan bagi mereka yang aktif (seperti saya) bekerja, pakai kemeja dan jas, menenteng tas dan berlari mengejar angkutan umum.


Jelas sekali saya tidak seaktif itu, saya hanya pekerja kantoran yang lebih sering WFH, kadang masuk kantor, lebih seringnya kerja di kamar. Anyway, ternyata varian ini cukup bagus, saya merasa badan lebih kuat (saya penderita maag akut dan darah rendah, jadi sering lemas apalagi kalau cuaca sangat panas) dan segar.


Entah ini benar atau tidak, bahkan beberapa kali, PMS saya yang parah juga tidak seperti biasanya. Tidak terlalu sakit (entahlah, ingatan saya agak kabur) dan meski biasanya sangat lemas, jadi serasa ada tambahan tenaga ekstra. Ya, namanya juga makan vitamin ya, pasti efek itulah yang ingin kita rasakan.


Hanya saja, vitamin ini sangat besar. Gembung lagi. Warna tabletnya coklat gelap kehitaman dengan bentuk oval petak dan gelembung atas bawah. Duh, sorry, saya kurang bisa menggambarkannya. Jadi karena saya punya Disfagia, semua obat harus saya hancurkan di wadah atau dengan gigi langsung termasuk vitamin ini. 




Review Vitamin Blackmores Multivitamins + Minerals





Karena saya merasa cocok dengan vitamin diatas, maka saya membeli varian ini karena saat itu sedang diskon dan rasanya hampir mirip. Saya pikir, begitu. Tapi walau klaim yang mereka berikan hampir sama, vitamin ini rasanya kurang nampol untuk saya. Bahkan saya tidak merasa segar atau apapun, flat saja begitu.


Sepertinya kalau untuk varian yang multivitamin, karena mungkin banyak kandungan dalam 1 tablet, maka bentukkan dari vitamin ini juga chunky tapi berwarna putih susu. Berhubung saya tidak mendapatkan efek yang menyenangkan dari varian ini, maka saya tidak lagi berniat repurchase setelah menghabiskan 1 botol. 






Review Blackmores Vitamin C 500





Seperti yang sudah saya sebutkan diatas, saya memiliki maag akut yang membuat saya harus ekstra hati- hati dalam mengkonsumsi yang asam-asam seperti jeruk dan vitamin c umumnya. Tapi kalau tidak salah vitamin ini aman bagi lambung, dan sampai saat ini rasanya maag saya tidak kumat ketika memakannya. 


Cuma, saya memang selalu membuat precaution, saya harus makan dulu sebelum minum dan makan yang beresiko asam atau pedas. Semua vitamin yang saya ambil hanya akan saya konsumsi selesai makan (bodoh amat, kalau ada petunjuk penggunaan sebelum makan). Kalau ditanya efeknya, alhamdulillah saya sudah jarang flu padahal saya sangat sensitif, pasti flu dan demam kalau sinus kumat.




Review Blackmores Vitamin Bio C 1000mg





Kenapa saya membeli dosis vitamin c yang tinggi, karena saya juga share vitamin dengan orang tua saya. Bapak saya meminta dosis yang lebih tinggi karena dia merasa kurang, saya pun akhirnya memberanikan diri membeli dosis tinggi ini. Supaya lebih hemat (asyik), saya hanya akan mengkonsumsi dosis tinggi ini jika kondisi tubuh stabil.


Sedangkan yang dosis rendah, akan saya konsumsi 2 kali sehari, pagi dan malam. Terlebih lagi jika merasa badan sudah meriang dan seakan demam, saya lebih memilih dosis rendah untuk diminum pagi sebelum beraktifitas dan malam ketika hendak tidur. Saya tidak yakin ini cara yang tepat bagi semua orang, tapi ini cara yang pas untuk keperluan kesehatan tubuh saya.




Review Blackmores Fish Oil 1000 Odorless





Padahal ini vitamin Blackmores yang pertama saya beli, tapi jadi yang least favorite  karena bentuknya kapsul soft gel yang didalamnya berisi cairan. Itu berarti masalah bagi saya yang tidak bisa menelan obat. Mana chunky lagi. Setelah di ‘pendam’ 3 bulan, akhirnya saya memotong soft gel tersebut dan ‘meminum’ minyak ikan di dalamnya.


Bukan main, dimana- mana minyak ikan memang berbau kuat. Saya menjadi mual dan agak jera. Padahal saya kepingin sekali konsumsi minyak ikan, tapi apa daya saya tidak punya tenaga untuk memotong kapsul ini dan pusing sesudahnya. Dalam umur saya, saya telah mengkonsumsi berbagai obat mulai dari rasanya yang ajaib sampai yang super pahit hingga yang sebesar bangunan 10 lantai. But this, I just can’t. Akhirnya emak saya yang menghabiskan vitamin ini dan sekarang saya sedang memesan 2 botol lagi untuk emak dan adek saya.




Review Blackmores Calcimag Multi





Terakhir adalah varian ini yang setelah saya pertimbangkan dari varian yang untuk tulang atau sendi lainnya, saya memilih varian ini karena saya memang membutuhkan bantuan vitamin untuk tulang karena saya juga punya anemia dan tekanan darah rendah. So low, sampai semua dokter kebingungan car detak nadi di tangan saya. So low, sampai saya punya panggilan vampire/dracula dulu dan tangan saya sering dingin.


Kayaknya, hampir semua vitamin tulang yang pernah saya makan, berbentuk tablet chunky. Termasuk varian ini, chunky dengan warna putih susu. Rasanya agak hambar asam sedikit. Kira-kira. Tapi entah kurang rajin memakannya, saya yang sedang sering sakit pinggang (bukan di kidney ya, karena saya peminum berat air putih) akibat umur dan kebanyakkan duduk, saya belum merasakan efek yang jelas dari vitamin ini.



Baca Juga : 5 KEGIATAN SERU SELAMA PSBB BEBAS BOSAN, SUNTUK DAN MATI GAYA




Manfaat Mengkonsumsi Vitamin 


Ini pasti sudah jelas ya, tentu saja untuk membantu menjaga kesehatan dan immune booster di tengah pandemi yang semakin gila ini. Tidak sebagai asupan utama karena bagaimanapun makanan adalah asupan utama kita, ditambah buah dan sayur. Vitamin dan suplemen yang sebagai peran pendukung yang bisa saja digunakan atau tidak meski sebaiknya dimakan supaya tubuh lebih fit.


Berdasarkan pengalaman pribadi saya, tidak semua vitamin mempunyai efek yang instan dan terlihat langsung, tentu perlu waktu untuk berputar di dalam perut, meresap dan bekerja. Itulah penjelasan mudahnya. Jadi bisa dikatakan, sebagai bantuan pelindung kesehatan, vitamin juga menjadi investasi kesehatan yang sama baiknya dengan mempunyai asuransi BPJS buat sobat miskin (seperti aku) dan asuransi Allianz (cuma tahu ini) buat para sultan.







Sebelumnya saya tidak pernah terpikirkan untuk membeli tablet. Sederhana karena saya bukan orang yang terlalu melek gadget dan hanya menggunakan smartphone plus laptop saja, rasanya sudah canggih banget. Sampai saya beralih menjalankan hidup minimalis..


Bukan menyalahkan hidup minimalis ya, lebih tepatnya karena saya sudah beralih dari membaca buku fisik (duh, rindu memegang dan menghirup tiap lembar kertasnya) ke e-book. Sebelumnya saya membaca e-book melalui layar HP lama (ukuran bervariasi tapi lebih kecil dari HP saat ini) yang sebenarnya sangatlah tidak menyenangkan.


Karena layar kecil, otomatis tulisan jadi kecil sehingga saya harus mengernyit atau zoom out layar agar bisa membaca. Jelas tidak nyaman, bikin saya bingung sudah baca apa saja tadi mengingat layar tidak bisa menampilkan tulisan dengan full sentence. Duh, belum lama saya punya tablet ini, saya sudah lelah saja membayangkan usaha saya membaca e-book di smartphone kemarin.



Seorang Minimalis dengan Timbunan Buku


2 warna Grey (foto) dan Silver



Sebagai seorang bibliophile yang 'kronis’, saya sudah membaca ratusan (kalau tidak ribuan?) buku, mulai dari beli sendiri, dapat sebagai hadiah atau pinjam di perpustakaan. Bahkan saya juga telah mengembangkan genre bacaan saya yang awalnya fiksi, sampai ke semua hal. 


Itu kenapa saya bilang ‘kronis’, karena saya suka membaca, apa saja saya baca asalkan saya bisa membaca yang membuat genre bacaan saya melebar. Bahkan tulisan di kemasan produk seperti shampoo, skincare, apa saja, deh, saya baca. Terutama saat ‘kumat’ ya, bahkan buku sekolah keponakan saja saya baca.


Dari situ koleksi buku saya bertambah, bahkan ketika saya pindah kembali ke kota saat ini, saya masih meninggalkan banyak buku di rumah teman-teman dan kerabat saya. Walau saya telah menjual atau berdonasi banyak buku sekalipun, saya masih mempunyai timbunan buku dimana-mana. Lama- lama tentunya ini menarik debu, apalagi beberapa buku memang sudah tidak dibaca lagi.


Hampir semua buku-buku yang saya punya saya baca minimumnya 2x (bahkan buku ‘berat’ sekalipun) atau buku yang membuat saya kehilangan ‘selera’ pun ada. Belum lagi saya sangat beruntung karena saya sering (kadang niat cari) menemukan diskon buku besar-besaran yang mana akhirnya saya bisa borong 10 - 20 buku. Kadang- kadang saya merasa tamak..


Tapi walau saya merasa seperti itu, rasanya hobi ini sangat worth it jika diingat kembali pada waktu saya berjuang dengan crippling anxiety dan social phobia dulu. Buku adalah sahabat terbaik saya, sayangnya saya sering kehabisan bahan bacaan yang untungnya saya menemukan e-book. Jadi, begitu saya dapat akses buku murah, saya akan borong sampai bokek.


Akumulasi ini membuat kamar saya yang kecil penuh buku sampai harus diletak di lantai dan atas kasur. Tumpukan ini membuat debu semakin tebal dan saya adalah penderita sinus. Perfect. Tidak peduli betapa saya rajin membersihkan debu- debu itu, karena kota ini panas dan juga cepat berdebu, effort saya rasanya sia-sia saja. 


Maka dari itu, jalan terbaik plus juga ingin membantu menaikkan minat baca Indonesia, saya akhirnya mendonasikan buku-buku tersebut. Mau buku langka, penuh perjuangan mencarinya, mahal, semuanya jadi sama dan harus segera disingkirkan karena saya sudah mulai sumpek juga stress setiap kali melihat buku-buku itu berselimut debu yang menghitam.


(BTW, salah satu buku yang tidak sanggup saya selesaikan membacanya adalah Lolita dari Vladimir Nabokov, YIKES! Just eeuurrghhh!)


Baca Juga  :      MEMULAI HIDUP MINIMALIS, APAKAH MASIH PERLU MENYIMPAN BARANG CADANGAN?


Membaca Minimalis di E-book dengan Samsung Tab





Jadi begini, sebelum saya membeli Samsung  Galaxy Tab A7 Lite LTE yang merupakan produk baru Samsung yang keluar Juni 2021 kemarin, saya ‘salah langkah’ dengan membeli Huawei MatPad T, yang harganya saat itu lagi diskon Rp 1.400.000 (atau Rp 1, 5 juta ya, lupa) dari harga normal sekitar Rp 1. 650.000. Murah kan, ya, bahkan mungkin bisa lebih murah lagi kalau diskon akhir tahun.


Tergiur murah ini dan si tablet terlihat lebih kecil bagai buku biasa, saya pun akhirnya memutuskan untuk membelinya. Sudah bayar ini, saya pun cari review di YouTube yang ternyata sukses bikin saya membatalkan pesanan. Untungnya masih bisa! Belum sampai 1 jam! Saya mau hidup tenang sebagai minimalis dan baca e-book dengan santai, saya tidak mau repot memikirkan Huawei sudah ‘cerai’ sama Google yang membuat repot pengguna amatiran seperti saya kalau saya ngotot pengen beli MatPad T ini.


Sudah sangat jelas saya tidak punya kesabaran ekstra harus mengulik trik cara menggunakan Google di Huawei, padahal niat saya cuma mau menyingkirkan buku konvensional dengan membaca e-book cantik di tablet. Tanpa niat stress memikirkan kalau hack yang saya ikuti tidak berhasil lalu Huawei MatPad ini jadi sia-sia. Sama halnya dengan uang saya, melayang, puuffff!


Walau memang Samsung Galaxy Tab A7 Lite LTE ini harganya jauh diatas Huawei, lebih tepatnya Rp 2.499.999 (harga resmi) yang saat launching Juni kemarin memberikan tambahan bonus yakni cover resmi tab dan 2 sim card perdana XL, tapi paling tidak uang yang saya bayarkan setimpal untuk rasa nyaman membaca dan kewarasan saya tidak terganggu.


Ya, walau tab ini tidak seperti iPad dan Samsung Tab series yang lebih advance, namun sebagai tab pertama saya, saya cukup senang. Paling tidak diatas Samsung Tab yang kelas 2 jutaan juga yang dulu sempat jadi pilihan saya jika saya akhirnya memutuskan untuk membeli tab.


Baca Juga  :    CARA MENGATASI RELAPSE DITENGAH BERJUANG MENJALANKAN HIDUP MINIMALIS



Spesifikasi Samsung Galaxy Tab A7 Lite LTE


Malu juga nih, kalau bicara spesifikasi gadget karena saya masih awam banget, banget, sama apa itu spesifikasi dari sebuah gadget. Paling banter, saya cuma manut- manut nonton review gadget di YouTube atau ada teman yang menjelaskannya. Tapi kalau di ambil dari situs https://www.gsmarena.com/ sendiri, isi dari Galaxy Tab A7 Lite LTE adalah :


Foto dari GSM Arena



Diambil dari www.gsmarena.com



Pengalaman pakai Samsung Galaxy Tab A7 Lite LTE saya sendiri, ya, bolehlah. Saat ditekan tombol on atau langsung tekan layar untuk menghidupkan tab, ada jeda. Sama ketika aplikasi di tekan, swipe, ada jeda yang cukup ketara. Beda dengan smartphone yang lebih cepat dan smooth.


Layarnya sendiri kadang sensitif sehingga saya bisa membuka apps atau laman e-book yang salah, atau ya, lambat bereaksi. Dengan RAM 3 GB dan ROM 32 GB, secara logika tab ini jangan dibebani dengan file, foto maupun aplikasi yang segambreng. Karena niat ‘mulia’ saya hanya ingin membaca e-book, browsing, main aplikasi D&D, catur, baca Al-Qur’an, dengar MP3 yang sesekali nonton Netflix, bagi saya tablet ini cukup. Kalau perlu nih, saya ingin tablet ini awet paling tidak 5 tahun dan bisa diajak traveling jika sudah bisa terbang nanti.


Hanya saja, tablet ini cukup berat, yang kalau menurut situs resminya Samsung https://www.samsung.com itu adalah 371 gram, tapi somehow bagi saya lebih berat dari itu. Ya, walau terasa kokoh dan layarnya lebih jernih, cover juga bisa ditekuk dengan magnetic, tapi karena saya baca dalam posisi vertikal alias tegak, jadi tangan kanan saya cukup pegal menyangganya lebih dari berapa menit.


Anyway, karena ini tablet Samsung yang budget untuk rakyat ‘jelata’ seperti saya (kamu), tentu saja jangan mengharapkan kualitas kamera canggih layaknya di smartphone ya. Cukup deh, kalau mau foto hal-hal yang tidak penting. Hahay!


Ahahaha ini Charlotte Dobre, orangnya lawak banget beud!



8.7 inch, belum 5 G dan tidak ada NFC, baterai 5100 mAh yang ternyata cukup boros apa mungkin karena saya membaca atau apa (padahal saya sering flight mode kalau lagi membaca), yang dengan kabel charge type C yang lagi, sayangnya kepala charger-nya tidak support fast charging, membuat saya harus menggunakan kepala charging HP Samsung saya. Etapi, kalau stand by, baterainya cukup awet, kok.


Masih ada lubang ear jack untuk headset, tapi saya sudah beralih ke bluetooth headphone, Samsung tab ini juga support pengguna buds mereka. Mungkin awalnya ditujukan untuk siswa yang masih harus belajar online (agak telat ya, bagusnya dikeluarkan tahun lalu),  Galaxy Tab A7 Lite LTE cukup memuaskan untuk saya yang memang menjadikannya gadget untuk membaca dan hiburan ringan yang cukup minimalis untuk saya pribadi.


Baca Juga  :     CURHAT HIDUP MINIMALIS DARI MINIMALIS YANG TIDAK AESTHETIC



Disclaimer : Isi artikel ini adalah pendapat pribadi saya dan tidak di endorse oleh pihak manapun (walau pengen di endorse Samsung, ya). 







Sudah lama ya, saya tidak menulis review yang berhubungan dengan skincare atau makeup. Mungkin saya sedang tidak mempunyai produk baru untuk dicoba atau saya syedang lelah? Entahlah, bisa keduanya. 


Terakhir kali saya berbagi review toner, bulan Maret kemarin. Sudah lama sekali dan kini saya ‘bangkit kembali’ dengan berbagi review 3 merek micellar water yang saya pakai belakangan ini. Ya, walaupun saya lebih sering WFH, tapi ada juga waktu saya harus ke kantor dan memakai makeup ringan. Biar tidak lusuh dan kelihatan segar, walau dibalik masker, dandan tetap harus.



Sebelumnya saya ‘berjanji’ mau menggunakan cleansing balm atau oil saja biar hemat limbah kapas, tapi saya seringnya tidak ada waktu begitu sampai dirumah. Bawaannya sudah lelah dan pengen cepat-cepat membersihkan makeup dan tidur, maka saya kembali lagi menggunakan micellar yang praktis ini. Berikut beberapa brand yang saya coba belakangan ini.




Pond’s Vitamin Micellar Water Brightening Rose 






Sedikit informasi, saya tidak berjodoh dengan banyak produk Pond’s, bahkan pembersihnya yang seperti toner itu pernah membuat kulit saya meranggas, kering, bruntusan parah banget. Tapi saya tidak kapok, saya mencoba facial wash, moisturizer sampai toner (essence?) Pond’s dan semua berakhir tidak menyenangkan.


Jadi entah kenapa saya memutuskan membeli micellar ini, kalau tidak salah untuk menggenapkan belanjaan saja. Harganya pun cukup murah, IDR 10.000 dengan isi 55 ml. Lumayan, mana sering diskon dan kemasannya mini cuma kurang aman dibawa traveling, rentan terbuka dan bocor. Sayang sekali memang, padahal pasti seru kalau tutupnya aman jadi bisa di bawa dalam makeup case.


Review pemakaian sendiri, cukup menyenangkan meski memang ada wangi mawarnya yang cukup kuat di hidung saya yang sinus ini, tapi begitu di apply, tidak terlalu mengganggu. Daya angkat dan bersihnya juga cukup mumpuni. Saya sendiri kaget karena baru kali ini saya cocok dengan Pond’s dan akan mempertimbangkan untuk membeli size besarnya.




Baca Juga  :    REVIEW CLEANSING OIL ELIZAVECCA, BIORE DAN HUANGJISOO




Emina Skin Buddy Micellar Water






Dari dulu penasaran pengen coba skincare Emina, baru kali ini saya berkesempatan mencobanya padahal saya sudah pakai creamatte dan loose powder brand remaja ini. 


Skin Buddy ini juga masih mempunyai wangi meski samar dan tidak terlalu menohok dengan daya bersih yang sama seperti Garnier kesukaan saya dan umat lainnya. Tapi ingat ya, tidak semua micellar dirancang untuk menghapus mascara waterproof tidak terkecuali micellar Emina ini. Dibanderol dengan harga IDR 25.000 untuk isi 100ml dan sering diskon, micellar ini patut dicoba meski lagi- lagi, kurang cocok untuk dibawa di dalam tas makeup.



Baca Juga : REVIEW HAYEJIN RICEFILA™ OIL TONER & TENZERO CICA BUBBLE TONER





Safi Micellar Water Rose






Setelah maju mundur coba apa tidak, saya akhirnya memutuskan mencoba Safi Indonesia pertama saya. Apakah saya telat mengikuti hype Safi? Ya begitulah, saya membelinya pun karena saya memang butuh micellar pengganti dan iseng mencoba mereka lain sekalian bisa dijadikan bahan review. Begitu.


Meski memang wangi mawar semerbak, tapi untungnya saya tidak sampai bersin dan semaput. Daya bersihnya juga bagus, somehow wanginya pun memudar meninggalkan kesan relaksasi pas untuk harga Rp 28.000 dan isi 100 ml ini.



Baca Juga : REVIEW PIXY STAY LAST SERUM FOUNDATION






Kesimpulan?


Bagi saya, 3 merek micellar yang berbeda ini hampir serupa, bahkan kalau saya menutup mata saya tidak bisa membedakan mana Safi dan mana Pond’s. Tiga micellar ini juga tidak meninggalkan sensasi greasy lengket dan kulit terasa lembab. 


Baik Safi, Emina dan Pond’s bisa menjadi pilihan yang menarik terlebih lagi jika kamu suka gonta-ganti micellar, tidak ada salahnya berpetualang sampai kamu menemukan micellar belahan jiwamu.


Newer Posts
Older Posts

Ann Solo

Ann Solo
Strike a pose!

Find Ann Here!

Ann Solo Who?!

Ann Solo adalah nama pena Ananda Nazief, seorang lifsestyle blogger yang terinspirasi oleh orang- orang sekitar, perjalanan, kisah- kisah, pop culture dan issue semasa.

Prestasi:

Pemenang Terbaik 2 Flash Blogging Riau : Menuju Indonesia,
Kominfo (Direktorat Kemitraan Komunikasi) - Maret 2018.

Pemenang 2 Flash Writing For Gaza (Save Gaza-Palestine),
FLP Wilayah Riau - April 2018.

Pemenang 3 Lomba Blog Lestari Hutan, Yayasan Doktor Syahrir Indonesia - Agustus 2019.

Pemenang Harapan 1 Lomba Blog, HokBen Pekanbaru - Februari 2020.

Contact: annsolo800@gmail.com

  • Home
  • Beauty
  • Traveling
  • Entertainment & Arts
  • What's News
  • Books & Stories
  • Our Guest
  • Monologue
  • Eateries

Labels

#minimalism Beauty Books & Stories Eateries Entertainment & Arts Film Gaming monologue Our Guest parfum Review Review Parfume sponsored Techie thoughts traveling What's News

Let's Read Them Blogs

  • Buku, Jalan dan Nonton

Recent Posts

Followers

Viewers

Arsip Blog

  • ▼  2025 (1)
    • ▼  April (1)
      • Asyik, Perang Tarif, Mari Kita Beli Barang KW
  • ►  2024 (18)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2023 (45)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (11)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2022 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2021 (27)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2020 (34)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (5)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2019 (34)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2018 (56)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (14)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (5)

Find Them Here

Translate

Sociolla - SBN

Sociolla - SBN
50K off with voucher SBN043A7E

Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Blogger Perempuan

Beauty Blogger Pekanbaru

Beauty Blogger Pekanbaru

Popular Posts

  • Review Axis-Y Toner dan Ampoule - Skincare Baru Asal Korea
    Sejak beberapa tahun kebelakangan ini kita telah diserbu oleh tidak hanya produk Korea baik itu skincare dan makeup, tetapi juga ...
  • Review Loreal Infallible Pro Matte Foundation
    Kalau dulu saya hanya tahu dan penggemar berat Loreal True Match Foundation sejak zaman kuliah, ternyata Loreal juga mengelua...
  • 2019 Flight Of Mind
    Cheers! Time flies indeed, terlebih lagi di zaman sekarang ini dan saya yang sudah mulai lupa sehingga semua terasa cepat. 2019...
  • Kampanye No Straw Dari KFC
    Kampanye No Straw Movement. Kemarin saya dan seorang teman berjanji untuk bertemu di KFC terdekat dan sambil menunggunya datang, saya ...
  • (Pertandingan Terakhir Liliyana Natsir Sebelum Pensiun) Dukung Bersama Asian Games 2018
    Hari ini berita yang cukup mengecewakan muncul di TV ketika saya dan Tante sedang makan siang dirumah: Liliyana Natsir akan menggantung...
  • Review Lip Balm 3 Merek - Nivea, Himalaya Herbals dan L'Occitane
    Dulu sekali, sebelum kenal dengan lipstick seakrab sekarang, saya dan   lip balm adalah pasangan yang kompak. Tidak hanya mengatasi ...
  • Review Sunblock Biore & Senka
    Oh my! Sekali lagi saya merasa bersalah 'menelantarkan' blog ini karena akhir bulan lalu saya mempunyai pekerjaan baru ya...
  • Review - Sakura Collagen Moisturizer
    Pertama-tama, saya hanya mau menginformasikan bahwa ini adalah artikel review yang sebenarnya sudah lumayan telat terlupakan oleh kek...
  • Review AXIS-Y Cera-Heart My Type Duo Cream
    Sudah lam aterakhir kali saya memakai cream moisturizer tipe konvensional, alasan utamanya adalah kondisi iklim di kota saya...
  • Review Lipstick Maybelline Superstay Ink Crayon
    2020 dimulai dengan racun lipstick terbaru dari Maybelline yang datang dengan Super Stay Ink Crayon yang sebenarnya sudah saya nant...

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates