Instagram Twitter Facebook
  • Home
  • Beauty
  • Entertainment & Arts
  • What's News
  • Traveling
  • Monologue

Ann Solo




Sudah lama ya, saya tidak menulis review yang berhubungan dengan skincare atau makeup. Mungkin saya sedang tidak mempunyai produk baru untuk dicoba atau saya syedang lelah? Entahlah, bisa keduanya. 


Terakhir kali saya berbagi review toner, bulan Maret kemarin. Sudah lama sekali dan kini saya ‘bangkit kembali’ dengan berbagi review 3 merek micellar water yang saya pakai belakangan ini. Ya, walaupun saya lebih sering WFH, tapi ada juga waktu saya harus ke kantor dan memakai makeup ringan. Biar tidak lusuh dan kelihatan segar, walau dibalik masker, dandan tetap harus.



Sebelumnya saya ‘berjanji’ mau menggunakan cleansing balm atau oil saja biar hemat limbah kapas, tapi saya seringnya tidak ada waktu begitu sampai dirumah. Bawaannya sudah lelah dan pengen cepat-cepat membersihkan makeup dan tidur, maka saya kembali lagi menggunakan micellar yang praktis ini. Berikut beberapa brand yang saya coba belakangan ini.




Pond’s Vitamin Micellar Water Brightening Rose 






Sedikit informasi, saya tidak berjodoh dengan banyak produk Pond’s, bahkan pembersihnya yang seperti toner itu pernah membuat kulit saya meranggas, kering, bruntusan parah banget. Tapi saya tidak kapok, saya mencoba facial wash, moisturizer sampai toner (essence?) Pond’s dan semua berakhir tidak menyenangkan.


Jadi entah kenapa saya memutuskan membeli micellar ini, kalau tidak salah untuk menggenapkan belanjaan saja. Harganya pun cukup murah, IDR 10.000 dengan isi 55 ml. Lumayan, mana sering diskon dan kemasannya mini cuma kurang aman dibawa traveling, rentan terbuka dan bocor. Sayang sekali memang, padahal pasti seru kalau tutupnya aman jadi bisa di bawa dalam makeup case.


Review pemakaian sendiri, cukup menyenangkan meski memang ada wangi mawarnya yang cukup kuat di hidung saya yang sinus ini, tapi begitu di apply, tidak terlalu mengganggu. Daya angkat dan bersihnya juga cukup mumpuni. Saya sendiri kaget karena baru kali ini saya cocok dengan Pond’s dan akan mempertimbangkan untuk membeli size besarnya.




Baca Juga  :    REVIEW CLEANSING OIL ELIZAVECCA, BIORE DAN HUANGJISOO




Emina Skin Buddy Micellar Water






Dari dulu penasaran pengen coba skincare Emina, baru kali ini saya berkesempatan mencobanya padahal saya sudah pakai creamatte dan loose powder brand remaja ini. 


Skin Buddy ini juga masih mempunyai wangi meski samar dan tidak terlalu menohok dengan daya bersih yang sama seperti Garnier kesukaan saya dan umat lainnya. Tapi ingat ya, tidak semua micellar dirancang untuk menghapus mascara waterproof tidak terkecuali micellar Emina ini. Dibanderol dengan harga IDR 25.000 untuk isi 100ml dan sering diskon, micellar ini patut dicoba meski lagi- lagi, kurang cocok untuk dibawa di dalam tas makeup.



Baca Juga : REVIEW HAYEJIN RICEFILA™ OIL TONER & TENZERO CICA BUBBLE TONER





Safi Micellar Water Rose






Setelah maju mundur coba apa tidak, saya akhirnya memutuskan mencoba Safi Indonesia pertama saya. Apakah saya telat mengikuti hype Safi? Ya begitulah, saya membelinya pun karena saya memang butuh micellar pengganti dan iseng mencoba mereka lain sekalian bisa dijadikan bahan review. Begitu.


Meski memang wangi mawar semerbak, tapi untungnya saya tidak sampai bersin dan semaput. Daya bersihnya juga bagus, somehow wanginya pun memudar meninggalkan kesan relaksasi pas untuk harga Rp 28.000 dan isi 100 ml ini.



Baca Juga : REVIEW PIXY STAY LAST SERUM FOUNDATION






Kesimpulan?


Bagi saya, 3 merek micellar yang berbeda ini hampir serupa, bahkan kalau saya menutup mata saya tidak bisa membedakan mana Safi dan mana Pond’s. Tiga micellar ini juga tidak meninggalkan sensasi greasy lengket dan kulit terasa lembab. 


Baik Safi, Emina dan Pond’s bisa menjadi pilihan yang menarik terlebih lagi jika kamu suka gonta-ganti micellar, tidak ada salahnya berpetualang sampai kamu menemukan micellar belahan jiwamu.





Sudah akhir bulan Juni 2021, perjalanan saya menjadi seorang minimalis masih sangat panjang dan berliku-liku. Ya, namanya juga hidup, apalagi menjadi minimalis sering dikatakan ‘melawan’ cara hidup ‘normal’ yang bisa diketahui masyarakat. Siapa sih, yang hidup dengan seadanya (tapi duit di rekening banyak), mempunyai sedikit barang (tapi aesthetic?) dan memakai pakaian yang itu-itu saja.


Soal pakaian, saya mengalami kendala karena pakaian yang tadinya banyak menggunung, sekarang jadi sedikit dan rata-rata berpusat pada warna dasar. Sama ketika saya mempunyai banyak pakaian, saya punya masalah dalam memilih pakaian mana yang ingin saya pakai saat mau keluar rumah. Eh ternyata, saya juga masih mempunyai masalah setelah decluttering.


Cuma masalah pakaian kali ini adalah, saya cepat bosan kalau pakai baju yang itu-itu saja. Padahal juga waktu punya selemari pakaian, saya juga pakai baju yang itu-itu saja. Hei, ini masalahnya apa, sih? Kenapa saya begini?




Mengetahui dan Memahami Diri Sendiri Sebelum Menjadi Minimalis





Ini adalah pertanyaan mudah, masa sih, kita tidak mengetahui diri kita sendiri? Lha, buktinya kita tahu kalau kita suka barang branded dan membelinya. Kita tahu kita menyukai makanan pedas, alergi kayu manis (itu saya), suka warna hijau/biru/kuning/merah/pink, suka sekali tidur siang. Intinya, kita selalu yakin kalau kita mengetahui serta juga memahami diri kita sendiri baik itu kita maunya apa atau bencinya apa.


Tapi ternyata kita lebih seringnya tidak memahami diri kita juga. Semudah kita menyukai barang branded tetapi sebenarnya diri kita tidak membutuhkan apa-apa manfaat dari barang tersebut. Jadi sebenarnya kita mengikuti rasa, perasaan atau gengsi kita ketimbang maunya diri kita yang sesungguhnya. 


Jadi, sebelum kita merubah cara dan pola hidup kita menjadi minimalis yang, lekat dengan penerimaan serta pemahaman diri, hidup sekedarnya dan bersyukur dengan apa yang kita punya (buka berarti pasrah dan nrimo saja, ya), kita harus benar-benar melihat ke dalam diri kita (saya terdengar sebagai seorang penulis buku self-help). Ini bukan jalan hidup yang mudah, tapi sangat-sangat mustahil dilakukan ketimbang ngutang beli tas LV. 


Bahkan hidup minimalis ini sudah ada dari zaman batu, yang mana orang-orang disaat itu hanya mengambil apa yang mereka perlukan saja tanpa merasa harus ada gengsi atau kebanggan memiliki banyak benda. 


Karenanya, jika begitu kita memutuskan untuk menjadi minimalis, kita telah benar-benar paham apa yang hendak kita kerjakan dan jalankan. Bukan karena ikut-ikutan tren dan sekedar penasaran lalu decluttering massal yang akhirnya menyesal. Mau pakai apa hari ini? Bosan pakai ini terus. Ya, bosan adalah salah satu kata kuncinya, nanti ditengah jalan kita bosan, bosan terus, shopping.


Masa ini yang disebut relapse. Padahal kita tahu kita sudah paham benar kalau kita memang sudah mulai progress kita menjadi minimalis, tetapi ternyata barang seadanya tidak cukup dan membosankan. Kita kembali ke hobi kita, hobi people zaman now; shopping.


Baca Juga  :      MEMULAI HIDUP MINIMALIS, APAKAH MASIH PERLU MENYIMPAN BARANG CADANGAN?



Memahami Masa Relapse Ditengah Proses Hidup Minimalis





Apakah saya berlebihan kalau mengatakan waktu dimana kita bosan dan lagi jenuh itu adalah masa relapse? Saya juga tidak tahu istilah lainnya di dalam kosakata minimalis untuk menggambarkan masa-masa seperti ini. Kalau diambil dari penjelasan, relapse berarti :



A relapse is defined as the worsening of a clinical condition that had previously improved. In addiction treatment, relapse is the resumption of substance use after an attempt to stop or period of abstinence. For example, someone who returns to drug use after months in rehab would be experiencing a relapse.


Pengertian ini saya ambil dari turnbdridge.com, sebuah website yang mempunyai program dalam membantu pecandu dan kesehatan mental, jadi rasanya cukup valid jika saya mengambil penjelasan mengenai relapse dari mereka.


Lalu kalau di cari di Google juga, relapse mencakup cukup besar termasuk kesehatan mental, yang mana rasanya hobi kita mengumpulkan barang dan excessive shopping yang mengarahkan kita menjadi hoarder adalah salah satu masalah mental. Bahkan saya sampai hobi nonton mengenai dokumentari mengenai hoarder di YouTube. Antara kaget dan cemas, tapi kebanyakan dari mereka (selama penayangan) akhirnya sadar kembali.


Anyway, rasanya sudah pas kalau relapse kita pakai untuk menggambarkan ‘jatuhnya’ semangat kita ditengah-tengah proses kita menjadi seorang minimalis yang baik menurut kepercayaan kita masing-masing. Contohnya saya percaya kalau minimalis itu didukung oleh kualitas pakaian yang bagus yang bisa saya pakai 3 tahun tanpa pudar. Ini contoh untuk saya, lho ya.


Mungkin beda lagi bagi pembaca, ikut selera dan penyesuaian saja. Tapi entah saya ogah rugi atau medit, kalau bisa pakaian saya tahan lama. Anehnya, saya masih punya pakaian dari saya masih kuliah dulu, masih aman cuma kok jadi pendek, ternyata saya masih bertumbuh (sampai kemarin).


Baca Juga (inside joke)  :  CURHAT HIDUP MINIMALIS DARI MINIMALIS YANG TIDAK AESTHETIC


Balik ke relapse, ini terjadi karena saya mulai merasa jenuh dan burnout lagi (dari banyak pengaruh dan faktor). Seperti biasa juga, saya adalah people zaman now yang hobi window shopping di e-commerce. Ya karena sekarang tidak aman belanja keluar, maka saya biasa membeli stock vitamin secara online selain juga murah.


Berawal dari vitamin, saya pun membeli hal-hal lain di e-commerce. Ini bukan penyangkalan diri, tapi saya biasa membeli sesuatu karena saya butuh saja. Well. sesekali terjebak hal konyol entah itu lagi diskon atau lucu. Tapi saya sudah melewati phase ‘beli karena lucu’. Saya beli karena diskon besar-besaran dan barangnya susah didapat.  Ini baru pembenaran diri yang tidak benar sama sekali.


Dari vitamin, saya melihat-lihat pakaian yang kiranya simple dan tidak ribet yang sesuai dengan style minimalis saya, saya akhirnya membeli pakaian yang sesuai dengan cara saya berhijab. Etapi ya, kenapa saya membeli pakaian lagi, karena saya sudah decluttering banyak pakaian yang tidak lagi sesuai dengan selera saya dan tidak lagi praktis dalam keseharian saya.


Meski harusnya belanja kali ini harusnya guilty free, saya masih tetap merasa bersalah. Tapi kalau tidak dibeli, saya mau pakai apa kalau ke kantor? Saya bukan extreme minimalist yang punya 5 lembar pakaian saja (contoh lho, ini, jangan marah), saya bahkan tidak ada waktu untuk mencuci pakaian setiap harinya (lagian boros sekali cuci tiap sebentar, bukannya minimalis harusnya juga aware dengan limbah).


Dari cari pakaian, saya berlanjut beli barang-barang pendukung terutama untuk dipakai di kantor. Sekali lagi, ini adalah pembelian rasional yang seharusnya sudah waktunya saya membeli produk tersebut, tapi kok ya, rasanya bersalah banget, ya? Tapi kalau tidak dibeli, saya selalu pulang dengan migrain dan meriang, literally selama bekerja. 


Penasaran saya beli barang apa? Selimut kepala. Iya, karena saya kerja pas dibawah AC, saban hari saya sakit kepala karena kedinginan. Malah harusnya saya beli selimut dari tahun lalu, tapi saya malah menyangkal tidak butuh, padahal sampai rumah, saya harus makan obat buat meredakan sakit kepala ini. Maunya gagah dan menguatkan mental, eh ujung-ujungnya saya lebih banyak mengkonsumsi obat. 


Kemudian ‘relapse’ saya cukup ‘spiraling out of control’ dengan membeli barang-barang yang saya ‘pikir’ saya butuhkan, just because sangat murah dan lagi diskon besar. Eeeiiiii.. I hate myself for this.


Tidak usah disebutkan saya beli barang apa, intinya saya membeli karena butuh dan tidak butuh, tetap membuat saya merasa bersalah. Bahkan sekedar beli es krim saja saya merasa bersalah. Antara wajar dan tidak, wajar karena saya butuh penghiburan dari es krim setelah melewati hari yang panjang dan tidak karena saya harus diet gula.






Selalu ada pro dan kontra jika menyangkut shopping dalam hidup seorang minimalis. Seharusnya ini adalah hal yang wajar, sama seperti relapse dimaksudkan untuk pecandu dan masalah mental, kita sudah lama terbelenggu oleh 1 cara hidup. Lalu kita merangkak keluar dari situ, dengan perjuangan yang tidak mudah, sweat and tears, berdarah-darah, kehilangan keluarga, teman, menyia-nyiakan waktu, masa muda, you name it, kita telah berkorban banyak karena adiksi kita.


Begitu kita sadar kalau adiksi kita salah, kita juga melakukan pengorbanan yang sama persis untuk bisa keluar dari cengkraman adiksi tersebut. Progress dan proses tercipta dari titik kesadaran (hidayah) tadi, yang mana kita tidak akan serta-merta, instant gitu, langsung jadi sembuh/sehat/kuat/menjadi minimalis.


Eeeiii! 


No, Fergusso, no! Akan ada proses, maka akan ada juga relapse.


Mungkin bisa saya tekankan, bahwa relapse ini adalah hal yang wajar dan manusiawi, kita tidak bisa lepas dari suatu belenggu dan langsung bersinar ketika rantai itu hancur. Sama seperti anggota boyband/girlbadn Korea, untuk sampai menjadi idol sekarang, mereka harus jadi trainee dulu dan melewati masa-masa down, ingin cabut saja dan jadi pekerja kantoran. 


But no, mereka tetap jalan karena mereka tahu begitu debut, ada banyak peluang terbuka untuk mereka. Dengan tekad yang up & down layaknya manusia lainnya, mereka tetap latihan joged dan nyanyi, lalu pulang ke kamar menangis meraung-raung pengen pulang kerumah. Selang berapa waktu, they bounced back stronger dan kembali fokus; debut menjadi idol.


Kira-kira begitulah analogi saya yang lowkey K-pop-er. Relapse adalah hal yang sangat, sangat manusiawi dan tidak ada yang boleh menghakiminya. Kita keluar dari adiksi dengan perjuangan kita sendiri (orang lain mah, paling cuma membantu seperlunya saja) karena kalau tidak ada tekad di diri kita, semua tidak akan jalan begitu juga menjadi seorang minimalis (duh, curhat banget ya, saya).


Baca Juga  :    SLOW FASHION DALAM KONSEP HIDUP MINIMALIS



Tips Masuk Akal Menghadapi Relapse Untuk Seorang Minimalis





Disclaimer lagi ya, ini adalah tips saya praktekkan sendiri dari trial and error, makanya saya kasih sub judul masuk akal karena kalau ghoib, saya tidak bisa melihatnya sesuai apa tidak untuk dilakukan. 


Setelah saya memahami kalau saya cepat bosan, saya tidak suka ini-itu, sukanya makan yang manis-manis, dan relapses on & off, saya jadi lumayan (masih progress lho) memahami dan memaafkan diri saya. Buat yang pertama kali baca blog saya, saya juga penderita anxiety, panic disorder dan depresi. Ini adalah pertempuran hidup dan cobaan dari Tuhan untuk saya di dunia ini dan beralih menjadi seorang minimalis, membuat pertempuran saya sedikit lebih kalem. Bukan berarti bisa menyembuhkan 100% ya, tidak.


Hanya saja, menjadi minimalis membuat anxiety akan keperluan dan haus kebendaan saya lebih baik, membuat saya bisa melihat dari sudut pandang yang lain. Saya tidak perlu lagi menjadi cemas untuk tampil lebih kece atau barang saya kelihatan lusuh dan ndak gaya. Bodo amat. Justru saya sekarang memahami, sebaiknya saya membeli barang karena butuh dan kualitasnya plus harganya sesuai dengan kantong saya.


Berikut tips masuk akal saya untuk memahami relapse dan mengatasinya, semoga sesuai untuk dicoba :


  • Cari tahu kenapa kamu tiba-tiba relapse, apa faktornya, penyebab, oknum, apa pun itu, bisa kamu tulis jika perlu untuk melihat gambaran lebih lengkapnya.

  • Apakah kamu juga dulunya hobi shopping? Apakah dengan shopping rasa bete, amarah, putus asa, muak, burnout akan tertolong? (ya, mungkin kalau beli es krim mood jadi baik, seperti kebiasaan saya).

  • Belilah sesuatu jika itu bisa membantu jiwa kamu sedikit tenang, tapi ingat kembali alasan pertama kamu jadi minimalis dan terpenting jujur pada kemampuan ekonomi kamu (ya kali, jangan beli Gucci cuma bete karena hal syepele).

  • Kamu berhak menggunakan uang yang susah payah kamu hasilkan untuk kesenanganmu. Kerja-kerja-kerja-tipus. Lalu duit yang dikumpulkan, dipakai untuk berobat. Point? Ya, tidak ada. Pakailah sedikit uang hasil jerih payahmu untuk membuat kamu bahagia sesekali. Sekali lagi, jangan beli hal konyol karena cuma karena..eh tapi kalau kamu happy karena hal konyol tersebut, siapa saya berhak menghakimi kamu?

  • Bahagia juga tidak harus mengalamatkannya kepada diri sendiri kok, kamu bisa beli vitamin mahal dan bagus untuk orang tuamu (ini ide bernas dari saya), membelikan mereka makanan enak sekali sebulan, kasih makan kucing dan anjing terlantar, belikan ponakan Beng-Beng, sedekah di masjid/gereja/vihara/kuil. Intinya, kamu sangat bisa bahagia meski sedang relapse lalu shopping alias pengen mengeluarkan uang biar lega, tapi bisa diberikan untuk orang lain (toh, intinya pen belanja aje dah, biar hepi!).



Baca Juga  :    CARA SIMPLE MEMAHAMI DAN MENJALANI KONSEP HIDUP MINIMALIS








Kalau dipikir ya, relapse buat minimalis itu adalah ketika kita kembali membeli dan menimbun barang yang tidak perlu. Kembali pada saya sebagai contoh disini, saya ‘sakaw’ banget pengen shopping dan mikir; mau shopping juga, pengen ngeluarin duit dan dapat barang juga, bagusnya kemana ya, beli dan untuk siapa ya, karena sesungguhnya saya tidak butuh apa-apa.


Jalan tengahnya, untuk tetap menyalurkan hasrat shopping dan lelah melawannya berminggu-minggu yang malah buat mood saya turun dan depresi (shopping ga boleh, traveling tidak memungkinkan, bosan nonton Netflix tidak ada hiburan tapi burnout), saya akhirnya belanja juga. Beli makanan, beli smartwatch karena saya seharusnya jangan denial karena saya memang tidak punya jam selama 2 tahun ini, dll. 


Bisa dibilang, saya akhirnya menyerah pada relapse saya setelah berhasil melewati tantangan no buy beberapa waktu. Ini adalah waktu dimana saya diuji sebagai minimalis, apakah saya melawannya dan menyelamatkan rekening saya, atau saya sedikit shopping buat menyenangkan diri dan orang lain. Saya pilih opsi kedua. Saya ingin menikmati sedikit hasil kerja keras saya setelah 2 tahun pandemi ini saya tidak mendapatkan hiburan apa-apa dan kelelahan mental.


Sungguh tidak apa-apa, sesekali kita give in (tapi tolong rasional, ya). Menjadi minimalis bukan berarti kita harus obsesi tetap mempertahankan apa yang kita punya sebegitu saja, menabung gila-gilaan, menjadi perhitungan terhadap segala hal termasuk kewarasan kita.


Wajib bagi manusia untuk menikmati kesenangan dan itu bisa bermacam-macam termasuk salah satunya belanja alias shopping. Juga sama dalam segala hal, ada 2 sisi mata uang, shopping bisa berakibat buruk tapi juga positif. Oleh karenanya, kembali lagi ke tips yang saya sebutkan diatas, ketahui kenapa kamu relapse pengen shopping untuk menarik jalan keluar yang logis demi mengatasi relapse yang kamu alami tersebut.


Kalau ditanya bagaimana relapse saya kemarin? Sudah tidak lagi, saya sedikit lega setelah makan donat, minum matcha dan olahraga pakai smartwatch. Hahay! Ternyata relapse saya ada juga manfaatnya.


Kamu pernah merasa dan berada di fase ini? Apakah kamu cukup jujur pada diri sendiri dalam proses menjadi minimalis? Saya penasaran bagaimana pengalaman pembaca Ann Solo yang sama-sama berjuang dalam jalan hidup minimalis ini, yuk, share curhat kamu di kolom komentar dibawah.






Mau tahu progress minimalis saya sampai pertengahan tahun 2021 ini? Saya sudah menyingkirkan banyak pakain sampai saya merasa sedikit aneh karena lemari pakaian menjadi ‘kosong melompong’. Ya, tidak kosong bergema juga sih, tapi tidak sepadat dulu dan pakaian yang dilipat lebih jauh mudah dilihat dengan sisi-sisi tepinya yang lebih legaan.


Lalu saya mengalami masa ‘delusional’. Rasanya rugi banget karena intinya semua pakaian yang saya beli dulu itu tidak memberikan apa-apa bahkan banyak diantaranya masih baru atau cuma dipakai sekali.


Itulah resikonya kalau belanja kalap gelap mata, just because ada diskon, bahannya bagus, bakalan dipakai kalau begini..


Barang darurat alias barang yang kita simpan dengan harapan suatu hari nanti akan dipakai, siapa saja pernah mengalami hal ini terutama orang tua kita yang selalu menyimpan barang dengan alasan tertentu padahal akhirnya tidak dipakai malah terlupakan.



Decluttering vs Menyimpan Barang Darurat


Saya salah satu orang yang dulu suka menyimpan barang karena berpikir pasti akan dipakai suatu saat nanti entah kapan, kadang bisa menyimpan hingga 10 tahun kali. Sering juga sampai kadaluarsa dalam hal ini teh. Spesifik ya, saya adalah peminum teh, tapi suka merasa sayang apalagi kalau teh dari oleh-oleh luar negeri, simpan punya simpan, bablas kadaluarsa.


Anehnya, saya cuma bisa menyimpan teh sedangkan untuk stocking barang makanan harian/mingguan adalah paling susah. Kontra banget, saya malah tidak suka menumpuk dan menyimpan makanan mau di dapur apalagi dikamar. Cuma teh, yang bisa awet saya simpan sampai literally 10 tahun-an.


Selain teh, saya tentu menyimpan produk skincare. Well, dulu sih, parah ya, sampai itu skincare berubah warna. Tapi sekarang, saya lebih kepada bingung karena stock skincare yang ada saat ini lebih cenderung ke travel dan tester size. Harapannya, saya akan pakai mereka kalau lagi traveling. Boro-boro traveling, ke warung depan rumah dengan aman saja sudah alhamdulillah.


Jadinya, skincare kecil-kecil itu menumpuk. Mau dipakai semua, saya masih ada stock skincare lain belum habis. Lagi, travel size kecil begini biasanya lebih nyampah, bikin saya anxious serba salah saja. 


Dari skincare, saya tentu saja punya pakaian cadangan banyak banget (dulu) yang saya pikir bakalan cocok kalau dipakai :


  • Unruk traveling di pantai

  • Untuk kemping di hutan

  • Untuk olahraga (who am I kidding?!)

  • Untuk ke kondangan outdoor 

  • Untuk ke kondangan hotel mewah (biar ikutan glamour, begitu)

  • Untuk kalau lagi demam dan butuh pakain tebal

  • Untuk kalau lagi traveling ke negara bersalju (??????!!!!!!)



Seterusnya, seterusnya dengan semua impian saya memakai pakaian ini itu saat ini itu. Delusional habis. 


Baca Juga  :     SLOW FASHION DALAM KONSEP HIDUP MINIMALIS



Kewajaran Menyimpan Barang yang Kiranya Diperlukan Nanti





Sebenarnya saya ingin sekali punya pakaian yang serba pas, bisa mix and match kayak fashion guru yang dandanin  capsule wardrobe, merasa bersyukur walau punya 10 lembar pakaian. Tapi tidak bisa Fergusso, walau saya tidak berniat jadi extreme minimalist, saya tidak bisa menyingkirkan barang yang sekiranya diperlukan nanti begitu saja hanya karena saya sudah convert jadi minimalis.


Malahan, saya merasa perlu adanya beberapa barang yang bisa kita simpan yang jelas-jelas akan berguna seperti :


  • Sikat gigi, karena disekitar rumah tidak ada warung terdekat, jadinya kalau sikat gigi nyemplung toilet, saya harus siap sedia dengan dengan simpanan sikat gigi baru lain

  • Pembalut, ya jelas, sudah kewajiban ini.

  • Stok obat dan vitamin (panik itu pas migraine, tapi ternyata panadol sudah habis 2 bulan lalu)

  • Toiletries, ya kawanku, jangan sampai Anda kehabisan stok deodorant, ya.

  • Pakaian, iya, pakaian karena kalau jemuran tidak kering atau malah lupa mencuci baju kemarin, hari ini kamu mau pakai apa? 

  • Makanan, karena tidak ada yang lebih menyedihkan ketika kelaparan tengah malam dan tidak bisa memesan delivery.



Khusus makanan, saya adalah contoh kasus orang yang paling paham betapa pentingnya menyetok makanan tetapi kenyataan dan praktiknya sering alfa. Jelas sekali, saya adalah tipe orang yang kalau apocalypse atau ada serangan zombie dan monster, bakalan kelaparan dan mengais-ngais dimana-mana. I just simply suck at this.



Baca Juga  :     CARA SIMPLE MEMAHAMI DAN MENJALANI KONSEP HIDUP MINIMALIS



Tips Sederhana  Memulai Hidup Minimalis







Korelasi antara menyimpan barang yang sekiranya diperlukan nanti versus hidup minimalis itu, tegas sekali; NO. Karena banyak dari minimalis yang menyarankan untuk decluttering termasuk menyingkirkan barang-barang yang dianggap tidak relevan. Tidak akan dipakai dalam waktu dekat atau 3 bulan? Ya sudah, buang.

Namun tidak semuanya bisa diaplikasikan pek ketiplek. Ini akan kembali pada masing-masing orang, seperti saya yang masih membutuhkan barang yang saya simpan untuk nanti. Malah saya harus belajar menyimpan makanan.

Memang banyak minimalis diluar sana yang menyarankan untuk membeli barang saat dibutuhkan saja. Beli makanan saat tahu akan dimakan, katakanlah 2 hari. Atau beli saat itu juga dan habiskan segera. Rasnaya mereka tahu benar apa yang mereka lakukan dan terlihat mudah (dari konten YouTube mereka). 

But heck, no. Tidak mudah bagi semua orang dan saya adalah salah satunya. Saya tidak punya kendaraan jadi saya hanya keluar ketika pulang pergi kerja dengan tebengan, jadi saya tidak bisa sesuka hati keluar membeli barang pas saya lagi butuh. Jatuhnya sama dengan belanja bulanan, saya harus mencari 1 hari khusus untuk keluar belanja dan membeli semua yang saya butuhkan baik memang sudah ada slotnya atau barang yang saya berli berdasarkan perkiraan saja.

Sampai rumah, saya jadi mumet melihat barang belanjaan saya jadi banyak dan tiba-tiba mikir; beli apaan sih, kok ya tidak penting begini, entah untuk apa. Lucu memang semesta bertindak eh tak berapa lama, saya membutuhkan barang tersebut.

Berdasarkan pengalaman saya ini, maka, untuk menjadi minimalis, kita tidak mempunyai pakem yang absolute. Semua orang bisa convert jadi minimalis, namun bisa di ‘kostumisasi’ berdasarkan kemampuan dan kebutuhan mereka. Tips mudahnya yang saya praktekkan sampai sejauh ini adalah :


  • Temukan dulu style dan kebutuhan berpakaian sebelum melakukan massive decluttering

  • Jangan terlalu berkiblat pada 1 minimalis saja, cari lebih banyak info tentang minimalist lain

  • Leburkan semua informasi dan cerita dari semua minimalis yang kamu tahu dan tarik kesimpulan/hikmahnya dari semua cerita itu

  • Progress untuk menjadi minimalis itu memakan waktu, take your time really,

  • Tidak ada salahnya menyimpan barang darurat dan yang sekiranya diperlukan nanti, asal jangan menjadi tumpukan lain yang unfaedah saja

  • Ingat, minimalis tidak harus berpusat pada furniture aesthetic, dinding putih, filter foto yang kece, pakaian hitam putih, style yang clean and edgy. Kamu bisa pakai warna kesayanganmu dan masih tetap seorang minimalis

  • Shopping dan atur keuangan dengan bijaksana karena sungguh, tidak perlu membeli barang hanya karena ingin terlihat kece dan diakui. Apa juga kan, biar kece walau kere? Sungguh tidak masuk akal.



Diingatkan kembali, semua yang saya tulis ini adalah hasil dari trial and error saya yang masih berproses menjadi minimalis seperti yang saya inginkan, bukan mengikut minimalis lain ya, walau memang tergiur pengen aesthetic (sepertinya ini jadi inside joke bagi pembaca khusus rubrik minimalis Ann Solo). 

Ini dia 'inside joke' :   CURHAT HIDUP MINIMALIS DARI MINIMALIS YANG TIDAK AESTHETIC



Perjalanan saya, kamu dan orang lain berbeda walau tujuan serta niat kita adalah satu yakni menjadi minimalis yang full faedah dan memperkaya rekening kita meski terlihat gembel diluar, ya paling tidak jadi ‘kelihatan’ minimalis seperti Zuckerberg walau kekayaan dibelakangnya menumpuk, ya.

Anyway, kalau kamu juga merasa seperti saya, yakni masih merasa menyimpan barang untuk keperluan tertentu nantinya, ya silahkan selama itu memang bisa memberi rasa aman dan bermanfaat. Anggap saja kamu punya backup atau safety net kalau pas, keadaan darurat datang.

Punya pengalaman yang serupa? Please do share di kolom komentar dibawah, ya.






APAKAH SAYA HARUS TERLIHAT AESTHETIC DENGAN MEMBELI PAKAIAN MONOKROM, PERABOTAN & DESAIN/INTERIOR RUMAH YANG AESTHETIC SEPERTI MINIMALIST KEBANYAKKAN?    

AM I MINIMALIST ENOUGH WITH WHAT I HAVE NOW?


Jujur saja, bagi pemula yang sedang berniat dan baru saja menjalankan gaya hidup ini, pasti punya pertanyaan yang sama seperti judul artikel saya kali ini. Ya, saya juga sama, dari niat di 2017 lalu sampai progress ‘jatuh dan berdarah’ hingga saat ini, saya masih bingung dan bertanya- tanya.


Buat saya pribadi, ada kalanya saya merasa down dan minimalism adalah penguat saya; mau punya wardrobe yang sesuai dengan kebutuhan, tabungan yang bagus dengan hidup frugal serta tentu saja kelegaan hidup yang tidak lagi membutuhkan validasi dari kebendaan. Tapi saya juga cemas, anxious karena, hampir semua minimalis yang saya tonton di YouTube, sejauh ini, sangat  AESTHETIC.


Saya tanpa sadar ‘berkiblat pada apa yang mereka tampilkan. Dari dinding rumah/kamar putih yang bersih, dengan curtain linen putih, lantai kayu vinyl, sofa empuk, meja kerja kayu dengan desain Scandinavian yang clean and sleek, lemari putih yang simple, hingga Macbook Pro dengan segelas kopi creamy disampingnya.


Ya, itu adalah gambaran umum yang biasa saya lihat dari banyak minimalis luar bahkan hingga dalam negeri. Kamar/rumah mereka sangat, sangat aesthetic dengan desain dan interior yang meneriakkan kata MAHAL. Sekali lagi, jujur saya menjadi anxious sehingga sadar atau tidak, membandingkan saya dengan mereka.


Karena saya seorang beauty blogger juga, yang mana seharusnya selalu up to date dengan tren kecantikan yang literally bermunculan tiap hari (saya sudah tidak lagi aktif ‘berburu’ tren beberapa bulan belakangan ini), saya jadi confuse karena niat saya ingin membatasi produk. Eh, ketemu minimalis yang memang, tidak mempunyai banyak produk kecantikan, tapi sekalinya punya, itu adalah merek jutaan rupiah.


Baca Juga :    SLOW FASHION DALAM KONSEP HIDUP MINIMALIS


Sekali lagi, ini adalah preferensi masing- masing orang, dan kebetulan mereka adalah seorang minimalis. Disini saya tekankan, apa yang saya rasakan adalah kebingungan pribadi akan produk kecantikan yang ampun dah, gaji 6 bulan mungkin baru bisa saya beli.


Cuma ya, kembali pada topik diatas, saya tetap bingung dengan minimalis yang serba aesthetic tadi. Membuat apa yang saya miliki sekarang, seakan kurang minimalis. Contohnya, saya masih tinggal dengan keluarga, jadi area diluar kamar bukanlah area saya. Jadi mari coret area itu karena barang saya di luar kamar mungkin cuma 5 buah atau kurang.


Tapi di kamar, semuanya serba ‘tidak aesthetic’. Dinding kamar saya biru laut yang dicat 12 tahun lalu, dengan curtain warna tacky dibeliu tak kalah jadulnya dekade lalu, meja kerja yang dibeli di pinggir jalan raya, lemari baju yang juga sudah usang, lemari buku dengan warna gelap, lantai keramik putih yang sudah ada sejak rumah ini dibangun. Sungguh tidak ada menariknya.


Rasanya saya bukan apa- apa dibandingkan dengan minimalis lainnya yang kece, dashing dan wow. Rumah dan perabotan bagus, bahkan bermerek dengan desain minimalis. Sungguh sangat menggugah dan mencerminkan minimalis.


Paling tidak itu menurut saya, ya.






Lalu ada extreme minimalis yang punya barang super sedikit, lagi, tentu saja tetap aesthetic. Bayangkan, walau barang yang mereka punya ada 50, tapi mereka tetap kece dan dashing. Menyilaukan.


Lagi- lagi, terinspirasi, saya pun ingin mengecat ulang kamar saya, mendekorasinya dengan lantai kayu yang bisa ditempel, mengganti lemari dan meja kerja serta membeli kursi (ini mah, karena alasan kenyamanan karena untuk kerja dan kesehatan juga), pokoknya di make over biar benar- benar sama, biar jadi ‘minimalis asli’. Pokoknya harus!


Baca Juga :      CARA SIMPLE MEMAHAMI DAN MENJALANI KONSEP HIDUP MINIMALIS


Sampai saya melihat ke rekening tabungan saya; TIDAK CUKUP. Lebih tepatnya tidak ada budget untuk itu. Untuk mengganti cat dinding, ternyata menurut adek saya, dinding harus di kikis dulu, baru bisa di cat putih. Jelas sekali, saya tidak ada waktu, sumber tenaga dan uang. Itu baru dinding saja. Namun, untuk mengganti lantai rasanya masih bisa, pikir saya.


Oh tidak, Ferguso! Cuaca di kota ini panas, lantai yang ditempeli dengan yang sintetis pasti akan membuat kamar saya makin panas. AC? Mau sampai kapan harus AC terus, listrik rumah akan jeblok. Arkh! Saya bingung! Beli lemari pun, sesudah melihat- lihat, tidak ada yang sesuai dengan kemauan saya. Meja kerja? Kalau seperti yang saya inginkan, maka siap- siap saja bokek beberapa bulan makan mie instan saja sampai usus gemetar.


Dari sini, tidak ada yang sesuai dengan ‘jalan ninja minimalis aesthetic’. Apalagi yang dari video TikTok, makeover kamar minimalis dengan budget, tetap tidak bisa saya ikuti. Ini membuat saya merasa tersisih, am I not minimalist enough for only having what I own?


Walau saya masih bisa memaksakan make over, tapi saya merasa sayang karena saya masih mempunyai target lain yang rasanya lebih penting. Awalnya saya ingin beralih kepada minimalis karena mengalami penyakit anxiety dan BPD yang sangat parah, malah jadi tambah stress karena saya mau ikut- ikutan jadi aesthetic yang sangat jelas sekali tidak mampu saya ikuti.


Kenapa saya harus menyiksa diri saya padahal niatnya adalah mencoba opsi penyembuhan jiwa dengan menjadi minimalis. Saya jelas- jelas tidak akan punya rasa percaya diri jika harus menunjukkan progress  dari decluttering dan kondisi kamar saya yang jauh lebih lega saat ini. Karena apa yang saya punya sebagai minimalis sangat tidak menarik, mungkin malah terlihat lusuh dan norak.


Aduh, saya sedih. Sungguh saya sedih. Saya tidak punya budget untuk menjadi one of those dashing minimalists. Selain juga saya kurang sabar harus menata barang supaya terlihat cantik selalu dan harus selalu membersihkannya setiap waktu. Intinya selain tidak mampu, saya juga tidak punya waktu serta kesabaran. Lengkap sudah.







Kemudian saya tidak sengaja melihat konten YouTube beberapa minimalis yang ‘a la kadarnya’ seperti saya. Mereka tidak punya furniture mahal, dinding rumah/kamar juga tidak putih cemerlang, malah ada yang pakai meja kecil biasa banget yang dijual di pinggir- pinggir jalan. Bahkan banyak yang memuji minimalis ini karena mereka lebih nyata dan relatable. Tidak semua minimalis mampu membeli perabotan mahal dengan ‘desain minimalis’ untuk melengkapi ‘hidup minimalis’ mereka.


Toh, bukannya inti dari menjadi minimalis adalah merelakan hal- hal yang membelenggu kita selama ini, mensyukuri apa yang kita punya dan mengatur pengeluaran hanya sebatas kemampuan kita? Ya, toh? Lha, iya.


Jika dipikir kembali pun, jauh sebelum saya mengenal konsep hidup ini, saya sebenarnya telah bertemu dengan orang-orang yang, entah sadar atau tidak, punya barang seadanya dan merasa cukup (walau kasurnya mahal...uhuhuhu). 


Baca Juga  :    MINIMALISM MEMBANTU MERINGANKAN STRUGGLING DALAM KEHIDUPAN


Jadi kenapa saya harus mengorbankan kewarasan saya hanya demi terlihat aesthetic? Ya, karena saya merasa rendah diri dan iri. Semua rasa ini jadi lelucon personal (hati dan otak saya) yang membuat saya literally LOL. Ketawa sampai keluar air mata, antara lucu, ngenes, marah, ironis, ah semuanya, deh.


Diri saya, tidak akan bisa dibandingkan dengan siapapun karena memang begitulah hakikatnya, kemampuan saya tidak akan sama dengan kemampuan orang lain. Apalagi para minimalis yang punya sofa dan dinding putih bersih suci. Sebatasnya kemampuan saya adalah bagaimana saya bisa merasa bersyukur akan apa yang saya miliki hingga sekarang ini.


Tidak ada kekurangan (duit sih, selalu merasa kurang ya..ohoho). Bahkan ketika menulis artikel ini, saya berhenti sejenak melihat ke sekeliling kamar, all good, cuma tinggal bersihkan debu sana sini saja. 






Alhamdulillah ya Rabb, maafkan saya yang sempat merasa tamak dan iri akan dinding putih minimalis lain.


Dengan ini, saya kembali kepada fokus utama saya dan kenapa saya ingin menjalani hidup minimalis dari niat awal saya. Mungkin ini yang dibilang dengan fase relapse alias kumat. Kalau tidak kalap belanja, ya membandingkan diri karena merasa not minimalist enough.


Mau mereka sibuk dengan aesthetic dan penataan rumah/kamar yang sesuai dengan konsep desain minimalis, ya silahkan, tidak ada yang salah dengan itu. Mereka juga bagian dari minimalis karena itu adalah bagian cerminan dari pilihan hidup ini. Terlebih lagi, sangat tidak ada salahnya menjadi minimalis dengan benar- benar seadanya dengan apa yang kita punya. Jauuuuhhh sekali dari kesan aesthetic, you are still a minimalist.


Kalau bisa saya ambil kesimpulan dari buku Goodbye Things - Fumio Sasaki, dari yang awalnya beliau merasa selalu kurang dan iri pada orang lain, menjadi pribadi yang legowo, santai dan bersyukur tanpa harus repot- repot menjadi aesthetic. Begitu juga kita, minimalis adalah jalan (ninja) hidup yang sudah tepat bahkan dari zaman Nabi Muhammad SAW, baginda tidak aesthetic, tapi sangat, sangat COOL.


Apapun keinginan dan kemampuanmu, kamu tetap minimalis jika sudah memahami serta menjalankan konsep hidup ini. Jadi, semoga artikel ini akan membantumu agar tetap istiqomah juga berpendirian teguh di jalan ini dan tidak merasa rendah diri. 










Sudah hampir sebulan sejak saya menulis di blog ini karena saya sedang jengah dan burnout belakangan ini. Lyfe,gitu lho. Anyway, meski agak malas, saya masih menjalani hidup minimalis saya. Ya, memang masih jauh dari idealnya seorang minimalis menurut kriteria saya, tapi paling tidak saya masih progressing. Karena sejatinya menjadi minimalis itu adalah proses yang akan memakan waktu. Bahkan sebenarnya saya harus membeli pujian pada diri saya sendiri karena telah berhasil menyingkirkan 70% barang- barang yang tidak lagi mempunyai makna dalam hidup saya. 

Kalau ditilik ke beberapa bulan lalu dan tahun lalu, saya cukup gila dengan menyingkirkan ratusan (yearp, literally) ratusan buku. Pakaian, sepatu, tas, alat jahit, alat lukis dan barang lainnya, telah berhasil saya donasikan. Ini adalah cara tercepat selain memang, orang- orang yang menerima barang- barang tersebut untungnya sangat menyukainya. Seringnya kita lupa, berhasil menyingkirkan barang dari pandangan bukan berarti akhir cerita kita dan barang tersebut telah berakhir. Ya, syukur- syukur kalau dijual, di beli orang. Kalau di donasikan, mereka yang menerima, akan senang.

Oya, bulan lalu saya semapat mengisi ngobrol santai denga komunitas Lyfe For Less di Telegram, judulnya adalah Slow Fashion for  Minimalist Living yang memang dekat dengan target minimalis saya sekarang.  Berikutnya saya akan berbagi pengalaman saya menjalani slow fashion.


Sedikit latar belakang awal mulanya saya memilih untuk menjalani konsep dan cara hidup ini adalah di tahun 2017 lalu saya melihat interview Fumio Sasaki dan terinspirasi. Meski mengalami kendala on and off, saya masih menyimpan hasrat ingin menjalani hidup tanpa lagi terbebani oleh kebendaan.

Beruntungnya, saya tidak lagi mempunyai masalah dalam melepaskan barang seperti dulu karena saya sudah merasa lelah dan overwhelming dengan kebendaan. Sangat berbeda dengan diri saya terdahulu yang selalu merasa kurang dan kebendaan terasa seperti jalan keluar yang mudah.

Baju, pakaian, sepatu, tas adalah fashion items yang biasa saya beli jika saya ada uang, baik saat itu saya membutuhkannya atau malah seringnya hanya lapar mata. Ada saja yang saya rasa saya ‘butuhkan’. Ini juga bagian dari habit keluarga dan orang- orang sekeliling saya.

Setiap lebaran identik dengan baju baru, setiap pesta pernikahan saya juga ikutan beli baju atau jahit seragam (saya hanya berapa kali saya jahit seragam pagar ayu, sejatinya saya tidak suka pakai seragaman). Pokoknya, selama ada keinginan untuk beli pakaian, maka saya akan berusaha mencari uang untuk itu.

Lagi, beruntungnya saya sudah menjadi lebih aware bahkan pakaian dan fashion statement itu tidak ada pentingnya sama sekali untuk saya. Toh, saya bukan artis bukan pula fashionista. Walau, saya sudah membeli pakaian secara thrifting, saya tetap tidak perlu tampil bergaya setiap hari.

Kocaknya, orang- orang menganggap saya sangat stylish. Bahkan orang asing banyak yang menyapa saya dan berkata “you look cool, where did you get that piece?”. Lalu saya menjawab “dari pasar loak”.

Iya, that coolest piece I got, dari pasar loak alias second hand alias hasil thrifting disana- sini. Lalu, saya mempunyai obsesi baru ‘berpakaian keren dari hasil thrifting’. Sama saja, jatuhnya saya masih punya obsesi terhadap pakaian yang tidak sehat.

Hanya karena pakain bekas sangat murah dan saya sering beruntung mendapatkan ‘harta karun’ dan ‘branded’, bukan berarti saya harus abusive terhadap ini. Tidak jarang pula, saya yang dulu menggunakan embel- embel ‘membantu pengusaha independen dan emak-emak penjual baju bekas supaya saya ikut gerakan slow fashion dan sustainability, begitu’.

But nope. Saya cuma mau justifikasi akan hobi tidak sehat saya; SHOPPING.












Jadi saya harus kembali mengevaluasi diri saya sendiri, istilah saya; mbatin berantem sama pikiran logika dan pikiran penuh akal bulus.

Ya, saya memang ingin menerapkan slow fashion dengan membeli pakaian bekas yang layak pakai, tapi tidak sampai lemari saya jadi roboh juga! Iya, lemari saya nyaris roboh dan bagian papannya melengkung.

Saya suka fashion, tapi saya ternyata lebih suka melihatnya jika dipakai orang lain. Malah, pakaian yang lebih sering saya pakai adalah jenis yang comfy dan praktis karena sifat saya yang ogah belibet atas nama apapun itu. Meski ya memang, ada waktu- waktu dimana saya melilit hijab sampai 20 peniti sekeliling kepala, tapi saya kembali ke common sense saya yaitu; OGAH RIBET.

Maka saya membuang jauh cara berhijab yang tidak praktis, pakaian yang membuat saya sesak, warna- warna yang terlalu bising (saya suka pattern dan warna, tapi sekali lagi, hanya suka melihat saja), atau juga pakaian yang berbahan panas. Catatan, saya tinggal di Pekanbaru, Riau, dimana panas kota ini bisa mencapai 40 derajat kalau sedang gila- gilanya.

Bisa bayangkan bagaimana keringat mengucur di balik pakaian?

Saya juga tidak lagi condong pada warna hitam (sekali lagi, panas!) dan hanya memakainya sesekali atau ketika saya tahu bahwa saya akan berada diruangan ber-AC saja. Bahkan saya tidak punya hijab hitam (baru mau beli) dan saat ini navy adalah warna tergelap saya.

Saat ini palette warna pakaian saya lebih dominan pastel untuk hijab dan basic alias seadanya untuk pakaian saya. Karena saya membeli pakaian di loakan, saya tidak bisa memilih warna tapi bisa memilih mode. 

Jujur saja, hampir semua isi lemari saya saat ini adalah 90% dari thrift store, hanya hijab, sepatu dan pakaian dalam yang saya beli baru. Awalnya memang orang tua saya heran kenapa saya membeli barang bekas, tapi saya orang yang candid; SAYA CUMA MAMPU MEMBELI SESUAI UANG SAYA.

Lagipula, belanja di loakan, dengan harga 100 ribu rupiah, saya bisa bawah pulang 20 - 30 pakaian jika sedang beruntung. Ya, murah, kebangetan! Saya pun bingung bagaimana ibu- ibu penjual loak disini bisa survive menjual semurah itu. 

Anyway,  ini adalah jalan ninja saya sebagai pelaku slow fashion sejak saya berumur 18 tahun, yakni awal saya kuliah. Pilihan ini selain diperkuat dengan kondisi keuangan yang pas-pasan tapi tetap ingin tampil gaya, adalah juga dari pengaruh teman sekitar saat itu.















Salah satu teman saya dulu sangat aware akan limbah fashion disaat kami, masih sangat ignorant akan cara pembuatan sehelai celana jeans. Dia, teman saya, mengedukasi saya bahwa betapa gilanya jumlah air yang diperlukan untuk membuat jeans. Belum lama ini juga saya melihat dokumenter seorang artisan celana jeans di Jepang yang membuat celana itu dari scratch alias nol.


Kain polos itu harus diwarnai hingga berapa kali, kemudian direndam, bilas, cuci juga berapa kali. Itu membuat saya mual, bayangkan betapa susahnya mendapat air bersih di Afrika sana, eh, kita malah menggunakan 1 galon besar air untuk membuat sehelai celana jeans.

Saya tekankan disini, bahwa saya tidak bermaksud apa- apa pada artisan dan pelaku kreatif lainnya. Hanya saja, saya merasa amat bersalah selama ini memakai pakaian tanpa tahu proses dibaliknya.

Terlebih lagi slow fashion, entah ditunggangi oleh kepentingan pihak tertentu, menganjurkan kita membeli pakaian, so-called eco friendly materials, yang mana sudah jelas mahal harganya. Kita sendiri yang baru menjadi minimalis pasti terperangah melihat harga yang harus kita bayarkan untuk selembar kaos, let’s say, RP 500.000.

Jadi apa bedanya dengan kaos designer? Atau dengan harga segitu kita dapat 3 potong baju saat H&M lagi diskon, misalnya.  

Saya tidak bisa menarik garis lurus untuk panduan mengikuti slow fashion karena setiap orang punya pendapat berbeda. Tapi, menurut HEMAT saya, slow fashion bagi saya adalah fashion items yang saya beli dari loakan agar, baju- baju tersebut, selain dapat membantu penjualnya juga tidak cepat menjadi limbah, teronggok di tengah gunungan limbah lainnya.

Intinya saya mencoba membeli waktu untuk pakaian- pakaian tersebut dengan cara saya sendiri. Tidak peduli bagaimana trend pakaian saat ini, karena tren selalu berputar, saya lebih berpusat pada apa yang bisa saya gunakan dari temuan di pasar loak.

Saya tidak lagi brand oriented, ya, memang ada harga ada kualitas, tapi tidak semuanya begitu. Ini tidak menjadi jaminan. Saya malah pernah beli kemeja dari suatu mereka yang dulu sempat beken waktu zaman saya sekolah, mahal. Begitu sampai rumah, bapak saya bilang; ini kain apa sih, panas, kayak kain goni.

Yearp. Tertohok. Tapi saya bilang; ah, papa tidak tahu model sekarang.

Saya membeli mode, merek, dengan sangat mahal, dengan kualitas yang buruk. Sedih memang kalau ingat kesalahan- kesalahan saat itu. Dari sini saya belajar :


  • Menemukan style dan palet warna saya

  • Belajar memadu-madankan pakaian dengan personal style dan kreatifitas sendiri

  • Tidak masalah memakai pakaian yang sama 10x sebulan selama masih bersih

  • Lebih baik membeli pakaian thrift selain murah juga banyak yang bagus

  • Saya buka artis, jadi masa bodoh dengan tuntutan tampil gaya selalu

  • Cara berpakaian kamu adalah pilihan kamu, selama itu sesuai dan nyaman, maka opini orang lain termasuk opini keluargamu, tidaklah penting

  • Mungkin awalnya kurang pede akan pandangan orang lain dengan pilihan berpakaianmu, beli loakan contohnya, itu kembali lagi pada prinsip yang kamu pegang, toh, nothing matters but your money in your pocket :)










Sekali lagi, bagi saya pribadi, berkaca dari pengalaman diatas, slow fashion adalah lebih memilih membeli pakaian bekas demi membantu mengurangi limbah, mengkurasi pakaian sesuai kebutuhan, tidak 10 lembar juga tidak 100 lembar pakaian. Melalui painful trial & error bertahun- tahun, walau saya jauh dari keberhasilan, paling tidak saya sudah mendekati cara hidup minimalis dengan penerapan slow fashion saya sendiri.

Intinya adalah, we’re not bound by possession nor fashion. Kita punya permasalah lebih berat dari sekedar berganti model pakaian setiap hari, yakni bagaimana mengurangi fashion waste akibat fast fashion yang membutakan manusia saat ini. Kita tidak perlu 10 baju pesta, 10 sepatu beda fungsi, 10 tas yang diniatkan jadi koleksi. Sungguh kita tidak perlu itu.

Logikanya jika kita tidak mengetahui banyak mengenai dampak limbah, seperti saya, saya hanya mengetahui garis besarnya saja cukup membuat saya ingin sedikit membantu dengan menerapkan slow fashion ini. Karena ini adalah cara yang paling mudah untuk dilakukan, tidak muluk- muluk juga bisa diterapkan siapa saja bahkan anak kecil sekalipun.











Newer Posts
Older Posts

Ann Solo

Ann Solo
Strike a pose!

Find Ann Here!

Ann Solo Who?!

Ann Solo adalah nama pena Ananda Nazief, seorang lifsestyle blogger yang terinspirasi oleh orang- orang sekitar, perjalanan, kisah- kisah, pop culture dan issue semasa.

Prestasi:

Pemenang Terbaik 2 Flash Blogging Riau : Menuju Indonesia,
Kominfo (Direktorat Kemitraan Komunikasi) - Maret 2018.

Pemenang 2 Flash Writing For Gaza (Save Gaza-Palestine),
FLP Wilayah Riau - April 2018.

Pemenang 3 Lomba Blog Lestari Hutan, Yayasan Doktor Syahrir Indonesia - Agustus 2019.

Pemenang Harapan 1 Lomba Blog, HokBen Pekanbaru - Februari 2020.

Contact: annsolo800@gmail.com

  • Home
  • Beauty
  • Traveling
  • Entertainment & Arts
  • What's News
  • Books & Stories
  • Our Guest
  • Monologue
  • Eateries

Labels

#minimalism Beauty Books & Stories Eateries Entertainment & Arts Film Gaming monologue Our Guest parfum Review Review Parfume sponsored Techie thoughts traveling What's News

Let's Read Them Blogs

  • Buku, Jalan dan Nonton

Recent Posts

Followers

Viewers

Arsip Blog

  • ▼  2025 (1)
    • ▼  April (1)
      • Asyik, Perang Tarif, Mari Kita Beli Barang KW
  • ►  2024 (18)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2023 (45)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (11)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2022 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2021 (27)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2020 (34)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (5)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2019 (34)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2018 (56)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (14)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (5)

Find Them Here

Translate

Sociolla - SBN

Sociolla - SBN
50K off with voucher SBN043A7E

Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Blogger Perempuan

Beauty Blogger Pekanbaru

Beauty Blogger Pekanbaru

Popular Posts

  • Review Axis-Y Toner dan Ampoule - Skincare Baru Asal Korea
    Sejak beberapa tahun kebelakangan ini kita telah diserbu oleh tidak hanya produk Korea baik itu skincare dan makeup, tetapi juga ...
  • Review Loreal Infallible Pro Matte Foundation
    Kalau dulu saya hanya tahu dan penggemar berat Loreal True Match Foundation sejak zaman kuliah, ternyata Loreal juga mengelua...
  • 2019 Flight Of Mind
    Cheers! Time flies indeed, terlebih lagi di zaman sekarang ini dan saya yang sudah mulai lupa sehingga semua terasa cepat. 2019...
  • Kampanye No Straw Dari KFC
    Kampanye No Straw Movement. Kemarin saya dan seorang teman berjanji untuk bertemu di KFC terdekat dan sambil menunggunya datang, saya ...
  • (Pertandingan Terakhir Liliyana Natsir Sebelum Pensiun) Dukung Bersama Asian Games 2018
    Hari ini berita yang cukup mengecewakan muncul di TV ketika saya dan Tante sedang makan siang dirumah: Liliyana Natsir akan menggantung...
  • Review Lip Balm 3 Merek - Nivea, Himalaya Herbals dan L'Occitane
    Dulu sekali, sebelum kenal dengan lipstick seakrab sekarang, saya dan   lip balm adalah pasangan yang kompak. Tidak hanya mengatasi ...
  • Review Sunblock Biore & Senka
    Oh my! Sekali lagi saya merasa bersalah 'menelantarkan' blog ini karena akhir bulan lalu saya mempunyai pekerjaan baru ya...
  • Review - Sakura Collagen Moisturizer
    Pertama-tama, saya hanya mau menginformasikan bahwa ini adalah artikel review yang sebenarnya sudah lumayan telat terlupakan oleh kek...
  • Review AXIS-Y Cera-Heart My Type Duo Cream
    Sudah lam aterakhir kali saya memakai cream moisturizer tipe konvensional, alasan utamanya adalah kondisi iklim di kota saya...
  • Review Lipstick Maybelline Superstay Ink Crayon
    2020 dimulai dengan racun lipstick terbaru dari Maybelline yang datang dengan Super Stay Ink Crayon yang sebenarnya sudah saya nant...

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates