Instagram Twitter Facebook
  • Home
  • Beauty
  • Entertainment & Arts
  • What's News
  • Traveling
  • Monologue

Ann Solo



Setelah me-review dua produk Iunik sebuah skincare berbasis bahan natural dan organik dari Korea (toner dan peeling gel), kali ini saya akan berbagi review produk mareka seleruhnya dengan 'formasi' lengkapnya; Noni Light Oil Serum.

Tagline produk ini sungguh sangat menarik jadi tidak mengherankan merek ini mudah diterima di pasaran Indonesia dan telah di rave oleh banyak beauty blogger. Berikut pengalaman pemakaian yang bisa saya bagikan:



Iunik Lime Moisture Mild Peeling Gel

Produk Iunik pertama yang saya coba dan cukup excited berhubung saat itu saya sedang beralih dari scrub sebagai eksfoliate fisik ke peeling gel yang lebih ke arah chemical namun katanya lebih ampuh. 

Rate : 3/5.

Review 2 Merek Peeling- Iunik dan 2NDESIGN


Iunik Vitamin Hyaluronic Acid Vitalizing Toner

Sebuah produk toner yang tidak cair seperti kebanyakkan, jadi toner ini saya gunakan lebih kepada serum/essence oleh teksturnya yang kental dan jauh lebih melembapkan dari toner cair biasa.

Mungkin toner ini lebih tepat jika digunakan pada kulit kering atau dehidrasi, sebaiknya di pakai denan cara dibaur dan di tepuk lembut pada kulit ketimbang di oles dengan menggunakan kapas yang mana cairan akan hanya lebih banyak terserap dan tidak maksimal.

Rate: 3.5/5

Review Toner Iunik Lembab dan Mencerahkan


Iunik Noni Light Oil Serum.




Mendengar kata Noni sebagai kandungan bahan serum ini membuat saya tertarik karena buah Noni adalah salah satu kandungan dalam melawan sel kanker dan sering dipakai dalam pengobatan tradisional sejak dulu.

Oil serum ini berwarna putih keruh tapi mudah dan cepat menyerap. Untuk progress hasil pemakaian, saya belum merasakan anti-aging/wrinkle yang berarti namun kulit terasa moist dan secara bertahap mengubah tekstur kulit menjadi rata.

Rate: 3.5/5.





Kalau sebelumnya saya sudah menulis artikel mengenai hutan Riau dulu dan sekarang dari masa kecil saya yang sejujurnya cukup emosional secara pribadi, terlebih lagi Riau kehilangan paru-parunya dan turut menyumbang bagi kerusakan tidak hanya ekosistem daratan bumi tapi juga punya andil dalam menipiskan atmosfirnya.


Sebuah ingatan yang tidak akan pernah luntur walau saya tua nanti, meski saya berharap saat itu hutan Riau sedikit banyaknya telah terperbaharui. Apakah ini harapan yang muluk?. 


Mungkin saja tidak, jika saya berbagi informasi dari acara Forrest Talk - Lestari Hutan yang diadakan oleh Yayasan Doktor Sjahrir di Grand Zuri Hotel Pekanbaru, 20 Juli 2019 kemarin dan berkesempatan mendengarkan langsung informasi dari beberapa pakar dibidangnya masing- masing yang kini saya tulis kembali demi meningkatkan awareness kita bersama.



Perubahan Iklim di Bumi Manusia




Dengan bukti jelas akan perubahan keadaan bumi, saya masih saja heran menemukan masih banyak yang menyangkal isu ini hanya sebatas rumor. Kenyataannya, planet yang kita tinggali ini mengalami banyak pergeseran seperti naiknya permukaan air laut atau mencairnya bongkahan es di kutub. Bagi kita yang hanya mempunyai 2 musim saja mungkin tidak begitu melihat banyak perbedaan selain musim hujan lebih lama atau musim panas/kemarau lebih panjang.






Namun bagi mareka yang mempunyai 4 musim, sedikit saja alterasi pada suhu seperti yang terjadi di Amerika ketika mengalami -40 Celcius saat musim dingin atau Australia yang panas membahang mencapai +50 Celcius di musim panas, dapat menyebabkan dampak significant. Tentu saja naik turunnya temperature  mempengaruhi banyak hal, kualitas udara dan air, keadaan fisik juga mental manusianya, flora serta fauna dalam ekosistem secara demografis spesifik suatu area dan keadaan bumi keseluruhannya.


Bagi Riau, tidak lain adalah banjir tahunan, erosi tepi laut dan kabut asap oleh pembakaran lahan, hutan dan gambut yang seolah menjadi ‘langganan’ propinsi ini. Kalau sudah begini tentu kerusakan alam Riau dan Indonesia secara luas  menjadi bencana hirometeorolgi dengan persentase tertinggi 97% dibanding bencana lainnya dan membuat jutaan orang mengungsi.







Dirunut kebelakang, kita sering bingung mengapa bumi berubah, oksigen terasa lembab berbau, air menjadi kuning keruh bahkan langit pun tertutup asap. Jawaban utamanya, menurut Dr. Amanda Katili Niode, manajer dari Climate Reality Indonesia selaku pembicara pertama mengenai iklim bumi- adalah sebab akibat kegiatan peradaban suatu kaum diatas suatu wilayah tempat tinggalnya.


Kaum tersebut berevolusi dan mencapai evolusi mengembangkan berbagai macam teknologi dan kemudahan akses lain yang mareka ambil dari sumber utama; bumi. Nama kegiatan ini adalah industri yang mengubah banyak wajah masyarakat socsal serta menimbulkan permasalahannya tersendiri.


Industri awal bagi kita semua adalah ‘memanen’ hasil sumber daya alami bumi seperti penambangan baru bara dan fossil yang diolah menjadi bahan bakar. Lalu disusul dengan pembukaan lahan dari hutan primer untuk kebutuhan tempat tinggal dan pertanian. 







Bahan bakar mengalami pembakaran dengan hasil akhir karbon monoksida disamping pembakaran lahan. Karbon akan naik ke atas bersama udara, sedikit demi sedikit melukai lapisan atmosfir bumi. Emisi tadi mengumpul dan mengendap sekian lama dari industri sederhana manusia awal zaman sampai manusia modern saat ini.


Fast Fashion versus Plastik.


Ada banyak jenis industry penyumbang emisi karbon, yang dulu sekali kita hanya mengetahui industri semacam pabrik pengolahan, penanambangan, pembukaan lahan/ladang baru, pertanian, perkapalan juga penerbangan. Kini semuanya berkembang pesat seperti industri retail yang sering disebut fast fashion.


Manusia adalah makluk visual yang mementingkan estetika yang membuat bisnis retail saat ini maju meski para produsen harus menggunakan banyak cara demi memenuhi selera pasar.  Musim demi musim produsen mengeluarkan model terbaru mereka, konsumen mengikuti arus dan membelinya padahal seringnya kita tidak  membutuhkannya. Akibatnya, pakaian, tas, sepatu yang kita punya dipakai lebih sedikit, menumpuk dan terlupakan.







Fashion yang berputar cepat turut mengalami banyak tata urutan pembuatan. Mulai dari pengolahan kain, pewarnaan, pemotongan, penjahitan, semuanya akan mengeluarkan energi emisi yang besar. Banyak dari perusahaan besar menggunakan bahan yang berpotensi mematikan demi mendapatkan ongkos pembuatan yang murah dengan harga penjualan  yang tinggi sesuai tuntutan pasar yang selalu cepat dinamis. Pewarnaan adalah salah satu contoh klasik penghasil limbah yang mencemari sumber air kita, merusak struktur tanah dan binatang serta tumbuhan disekeliling sebuah pabrik pakaian.


Negara berkembang terutama  negara pioneer pelaku fast fashion mengganggap timbunan used clothing adalah problematik yang mengganggu pemandangan. Seringnya timbunan pakaian tadi dikemas dan dijual sebagai ekspor baik legal atau illegal ke negara lain.  Pakaian yang masih layak pakai akan dijual kembali dan bagi yang sudah terlanjur rusak akan berakhir menjadi limbah di negara yang menerima eskpor tadi.






Permasalahan fast fashion tidak banyak berbeda dengan permasalahan plastik yang lebih dulu terkenal. Timbunan plastik yang mengandungi banyak komponen kimia yang terbiarkan ditanah/perairan dapat menggangu bahkan mengubah keadaan makhluk hidup yang ada disekitarnya (timbulnya penyakit aneh pada manusia dan binatang atau tumbuhan yang mengalami mutasi).


Kedua jenis limbah ini adalah limbah fisik yang tidak dapat dilenyapkan begitu saja, 1 botol plastik tidak bisa terurai secara alami dan bisa saja akan terus ada di bumi 500 tahun kemudian.



Penerapan Solusi Bersama.



Walau siklus kegiatan industri telah berlangsung lama, tetapi Dr. Amanda dan para penggiat perlindungan alam masih optimis dalam mengurangi polusi ini. Beliau menyebutkan beberapa langkah solusi seperti migitasi dan adaptasi. Migitasi adalah langkah upaya memperlambat laju perubahan iklim dengan memperlambat sumber emisi rumah kaca dan adaptasi cara lain dengan mencoba mengembangkan alternatif perlindungan kerentanan perubahan iklim terhadap ruang makhluk hidup.


Salah satu proyek yang telah dijalankan adalah penggunaan listrik tenaga angin di Sumba dan meminimalisir ketergantungan penggunaan kantong plastik. Langkah ini juga didukung oleh kearifan local setiap daerah demi menjaga wilayah dan lingkungan mereka masing- masing.







Dunia internasional sendiri tak ketinggalan dalam berbenah. Perusahaan otomotif seperti Tesla meluncurkan kendaraan yang tidak lagi mengandalkan bahan bakar fosil dan beralih ke tenaga yang sunstainable serta ramah lingkungan. KFC sebagai franchise fast food tidak ketinggalan dalam kampanye free straw mareka yang diterapkan di banyak negara termasuk Indonesia.




Hutan Sebagai Paru dan Lanskap/Bentang Lahan.





Setiap benda dan hal mempunyai arti atau definisinya tersendiri, tidak terkecuali hutan. Meskipun area yang terlihat mempunyai kumpulan pohon belum bisa disebut hutan karena hutan adalah suatu wilayah dengan luas  lebih dari 6.25 ha, mempunyai pohon dewasa tinggi dari 5 meter dan tutupan kanopi lebih dari 30%.


Itulah pembuka awal topickdari narasumber berikutnya, yaitu Dr. Atiek Widayati dari Tropenbos Indonesia dengan tema Pengolalan Hutan Lestari dan Lanskap. Sebuah tema yang cukup menggelikan dan satir jika saya mengingat kembali pengalaman masa kecil saya yang menonton ‘parade’ truk yang mengangkut bonggol- bonggol besar pohon Riau yang pernah jaya.  Kini hutannya yang pernah lebat telah gundul, mengalam deforestasi, degradasi dan koversi.






Deforestasi biasanya akibat dari perubahan permanen dari areal berhutan melalui cara pembersihan atau pemotongan yang diubah menjadi areal bebas pohon/tanaman demi kegunaan perladangan, pertanian atau penggunaan urban. Biasanya proses ini lebih sering terjadi di hutan- hutan tropis. Proses degradasi sendiri adalah perusakan dan penurunan kualitas hutan (tutupan, biomasa dan/atau aspek lainnya). 


Sedangkan bentuk konversi hutan sendiri  terbagi dua; menebang hutan dalam skala besar diikuti alih fungsi/status kepada pembangungan perkebunan dan hutan tanaman seperti sawit, karet, akasia dan lainnya juga penebangan hutan skala kecil oleh sekelompok masyarakat hanya memenuhi kebutuhan mereka saja.








Konversi skala kecil ini mengingatkan saya pada suku asli Riau yang sekarang sulit ditemukan atau bisa juga suku ini berkemungkinan meninggalkan kebiasaan adat hidup mareka. Dulu sekali ketika saya kecil, suku Sakai dan Talang Mamak adalah suku yang dominan dan khas dengan cara hidup yang sering berpindah- pindah, membuka hutan, menetap dan menanam tanaman pangan lalu pindah jika merasa tanah tidak lagi memberi kesuburannya. Suku ini akan membangun pondok- pondok kayu kecil, para pria sering terlihat duduk menghisap gulungan rokok daun dan para wanitanya menjual kendi- kendi tanah liat dengan anak- anak kecil yang berlarian riang.


Tiga proses diatas merubah banyak kehidupan, flora dan fauna penghuni hutan menjadi terancam punah, di Riau terutama menambah besar lahan gambut. Biomasa vegetasi alami berkurang, semakin rendah pohon semakin sedikitlah ia mampu menyerap karbon (CO2). Maka tidak mengeherankan bila suatu lahan hanya mempunyai rumput rendah atau barren sama sekali sehingga karbon polusi atau asap hanya ‘menggantung’ diatasnya tanpa mampu diserap. Padahal  satu pohon besar mampu menyerap jutaan ton karbon.


Mungkin ini juga menjadi alasan suku-suku tersebut tidak lagi menjalankan cara hidup mereka yang dulu rekat dengan hutan? Karena hutan sudan tidak ada? 




Upaya Pengembalian Fungsi Hutan.


Mengembalikan fungsi rain forrest  adalah ‘pekerjaan rumah’ yang tidak dapat dilakukan perorangan melainkan adanya kesatuan kesadaran sosial disertai awareness yang solid dan proses yang berkesinambungan. Bagi usaha skala luas pemerintah dan swasta adalah dengan menjadikannya sebagai perkebunan/pertanian dengan jenis tanaman yang selalu dapat diperbaharui tanpa merusak tekstur tanah.


Cara- cara ini termasuk penghijauan, restorasi, agroforestry, mendukung industri produk yang terdaftar dan bertanggung jawab, hasil hutan bukan berupa kayu (produk berbahan rotan dan bambu, minyak tanaman serta madu), mendukung ekonomi masyarakat tepi hutan (anyaman, industri kuliner kecil rumah tangga), memanfaatkan jasa ekosistem sebagai tujuan pariwisata dan juga penyebaran kesadaran merawat/menjaga/melestarikan hutan melalui social media.



Pohon dan Ekonomi Kreatif.





Topik selanjutnya adalah topik dari narasumber yang berhalangan hadir dan diwakilkan oleh narasumber yang ada. Dapat saya katakan disini, topik ini merupakan tema yang saya sukai karena saya menggemari kraft dari bahan tidak terpakai maupun bahan yang bahkan tidak pernah terpikirkan sebelumnya.


Contohnya saja pohon yang ternyata sangat multi fungsi, versatile  dengan ragam kegunaan yang ditawarkannya, selain mengubah karbon polusi menjadi oksigen  bagi para penduduk bumi- ia juga mampu memberi manfaat sebagai sumber serat, pewarna alami, bahan kuliner, dipoles menjadi furniture/barang dekorasi sampai mampu menghasilkan minya atsiri.







Rotan juga sebuah sample yang lentur nyaris bisa dibentuk apa saja entah itu furniture atau kerajinan tangan lainnya. Diikuti oleh daftar  tanaman; lontar, daun jati, kulit secang, infogofera, akar mengkudu, kelapa, hingga nipah yang mampu bertanformasi menjadi pewarna natural tekstil bebas unsur kimiawi serta menjadi bahan pengobatan tradisional.


Hendaknya kita terus mendukung sumber energi yang bisa terbarukan ini karena memang ia memiliki potensi yang sangat besar dalam factor ekonomi berbasis sumber alami yang tidak menambah pencemaran limbah yang telah ada.




Desa Makmur Peduli Api – Tapung, Riau.




Akhirnya kita masuk pada diskusi terakhir (lalu dilanjutkan dengan field trip) oleh Bapak Tahan Manurung dari Asia Pulp dan Paper. Sebelumnya saya tidak mengerti kenapa desa ini disebuah Desa Makmur Peduli Api (DMPA). Rupanya ini adalah perwujudan program Kebijakan Konversi Hutan (FCP) APP Sinar Mas yang melibatkan tiap masyarakat adat dan lokal  suatu daerah secara konstruktif dalam upaya menyelesaikan konflik sosial-ekonomi  serta pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.


Target utama proyek DMPA Riau adalah lima tahun dengan jumlah desa sebanyak 236 yang tersebar di Propinsi Riau. Desa-desa tersebut akan dipilih lagi berdasarkan kriteria tertentu, salah satunya adalah pernah terjadi kebakaran lahan/hutan di desa tersebut.


DMPA akan menyeleksi tiap desa yang layak menerima bantuan dan mendukung desa tersebut selama lima tahun berturut- urut. Sebuah desa di Tapung dipilih sebagai contoh studi kasus field trip kami dan dengan menaiki bus rombongan dibawa menuju desa selama dua jam perjalanan. Disepanjang perjalanan kami melihat petak-petak lahan yang kosong seakan semua pepohonan yang pernah hidup diatasnya dicabuti. Pemandangan silih berganti menjadi kawasan perkebunan sawit dan barisan teratur pohon ekaliptus yang dirawat khusus untuk kepentingan industri kertas.







Sesampainya di desa, para pemuka masyarakat dan penduduk desa telah bersiap sedia menyambut kami dengan berbagai macam penganan hasil kebun mareka sendiri. Kata sambutan dan pidato singkat silih berganti diucapkan oleh pihak desa dan panitia/perwakilan perusahaan. Bapak tetua desa juga tidak segan berbagi informasi mengenai proses tanam dan panen desa mareka. 


Susunan acara selanjutnya ialah demo kerajinan tangan setempat yang memanfaatkan daun pohon sangian sebagai topi caping tradisional serta demo masak/kuliner kering yang biasa dipasarkan warga sebagai produk UKM keluar desa. Program DMPA ini juga meliputi pembagian bibit sapi yang telak berkembang pesat yang menjadi kebaganggan masayarakat desa setempat.



Langkah Sederhana Unfug Perlindungan Bumi Selanjutnya.





Ilmu dan informasi yang kita dapatkan bersama dari acara ini sedikit banyaknya mampu menjawab pertanyaan pribadi saya mengenai keadaan hutan Riau dengan berbagai sumber terpercaya dan cara pandang yang beragam. Impian dari masa kecil saya akan penghijauan Riau kembali optimis.






Harapnya kita semua imenjadi sadar dan turut serta menyuarakan awareness ini dengan berbagai macam cara seperti melalui social media yang telah menjangkau pelosok negeri dan dunia. Kesadaran yang ada sebaiknya diikuti dengan cara- cara kecil pribadi nan berkesinambungan, mengurangi pemakaian bahan plastik dan menerapkan cara hidup minimalist, yang merupakan contoh sederhana yang bisa kita lakukan secara perorangan. Karena jika bukan kita yang merubah, siapa lagi yang menjaga dan mempersiapkan hutan kita nanti di masa depan.


*********

Terima kasih kepada:

Yayasan Doktor Sjahrir
Forest Talk - Lestari Hutan Indonesia.
Climate Reality Indonesia.
Tropenbos Indonesia.
Para narasumber, panitia dan sponsor.
DMPA Riau.
Masyarakat desa DMPA Tapung.
Katerina S.


Foto Ilustrasi, sumber: Unsplash




Begitu mendengar undangan acara Forrest Talk - Lestari Hutan dari Yayasan Doktor Sjahrir pada bulan Juli kemarin, saya merasa mungkin inilah saat yang tepat untuk bertanya atau mengetahui keadaan sebenar hutan Riau yang hampir, nyaris gundul dari propinsi ini. Tetapi, lebih dulu ini adalah pengalaman pribadi saya bagikan mengenai 'perasaan' saya terhadap negeri ini juga hutannya, dulu dan sekarang.

Sebelumnya sebagai penggemar kegiatan outdoor seperti kemping dan hiking, bisa dipastikan saya jarang bisa benar- benar 'menginap' di 'hutan', meskipun ada sungai yang masih asri tetapi pohon alami tidak ada lagi. Seringnya kami kemping di kebun sawit atau getah warga kawasan. 


Sumber: okeinfo.net


Di tahun 2011 dulu saya dan beberapa teman tidak sengaja menemukan desa yang mempunyai hutan adat walau memang bukan lagi dipenuhi pohon primer jaman dulu kala, tapi desa tersebut merawat sebidang tanah ulayat yang dinamakan Hutan Larangan Adat di daerah Kampar.

Untuk masuk ke tempat tersebut kita harus lebih dahulu meminta izin pemuka masyarakat dan mengikuti ritual doa mareka. Area pepohonan itu mungkin lebih tepat disebut pugaran ketimbang hutan karena mareka memang hanya menjaga satu bidang kecil yang dikelilingi sawah, jejeran pohon buah- buahan, karet atau sawit.

Pugaran kecil itu tentu tidak terlalu terlihat jika kita terbang diatasnya, terlebih lagi Riau kini terkenal dengan tanah 'botak' berpetak- petak hingga tak heran jika kali pertama datang orang- orang (terlebih lagi turis ketika saya menjadi pemandu mareka) akan menanyai saya kenapa ranah Melayu ini kosong melompong. Jikalau mareka melihat kehijaun dari atas, bisa dipastikan itu adalah kawasan sawit dan pepohonan untuk industri lainnya.

Kemudian di tahun 2017 saya juga kebetulan menyaksikan pembalakan liar disaat sedang kemping di area Kampar. Bonggol - bonggol kayu terlihat 'hanyut' mengahmbat aliran sungai, disana- sini badan pohon yang ditebang itu mulai coklat menghitam yang menurut seorang warga setempat telah lama tenggelam, tidak mampu di bawa para pembalak dan dibiarkan membusuk. Lingkar pohon- pohon itu bisa dibilang cukup besar menandakan bahwa mareka telah hidup cukup lama, liar dan sehat yang membuat saya berpikir apakah masih ada kawasan lagi di Riau ini yang bisa saja luput dari pantauan?



Sumber: merdeka.com


Rasanya cukup mustahil di era ini karena sebagai penduduk asli Riau dan membesar di era 80an dan 90-an, saya masih ingat dengan jelas tetangga- tetangga yang bekerja sebagai pengemudi truk lintas Sumatra yang mengangkut bonggol- bonggol kayu besar. Hampir raksasa, bahkan paman terbesar di perumahan pun tidak dapat melingkarkan tangannya pada bonggol kayu tersebut.

Rombongan truk akan melaju di jalan besar dekat rumah, sembrono tanpa diikat, berat dan doyong. Terkadang satu truk hanya mampu membawa satu pohon yang di potong- potong karena saking besarnya. Ini adalah kegiatan harian saya ketika kecil, memperhatikan jejeran truk yang membawa pohon, membunuh hutan, ekosistem dan satwa yang berlindung padanya (kegiatan ini masih berlangsung sampai sekarang meski truk hanya membawa pohon- pohon kurus kecil).


Sumber: Detak Indonesia

Selain penebasan hutan, kakek tetangga pun ikut mendapatkan untung dari para supir yang beliyau bayar untuk mencari pohon gaharu dan cendana. Kenangan potongan pohon  dengan bau khas yang di jemur memenuhi halaman dan anak tangga masih segar diingatan. 

Itu adalah masa- masa dimana transmigrasi masih digalakkan oleh pemerintah pusat. Berhektar- hektar hutan ditebang, dibakar dan dicungkil. Baik oleh pemerintah, swasta, suku asli Riau (Sakai dan Talang Mamak yang hidup berpindah- pindah mengikuti musim) maupun tentu saja cara ilegal. Terutama dalam penebangan pohon. 

Point penyebab diatas adalah faktor yang membuat faktor lainnya tersulut. Sebagai propinsi yang mempunyai demographis tanah berawa dan gambut,  jika satu faktor rusak maka akan merambat, tidak mengherankan beberapa tahun lalu tanah disekeliling rumah saya terbakar secara tiba- tiba saat siang panas karena pemilih tanah menebas semua pohon dan membiarkan tanah mareka kosong sedangkan dibawahnya adalah gambut yang rawan.

Setelah berbicara mengenai faktor utama pohon, kita tidak bisa mengabaikan faktor satwa. Berita mengenai binatang yang hangus terbakar, gajah yang lari ketakutan ke kampung warga (sering disalah artikan sebagai binatang yang mengamuk tanpa 'alasan'), diselundupkan (seorang teman pernah membeli anak harimau Sumatra) adalah hal yang biasa ketika saya membesar dulu. Bahkan pada suatu hari sebuah bayi beruang madu hitam (yang kami kira anak anjing) masuk kedalam sekolah kami, ketakutan bersembuyi didalam loker meja saya (ah kasihan, saya tidak ingat lagi apa yang terjadi padanya).


Sumber: Tirto


Semua kekacauan diatas adalah akibat faktor alam yang diganggu (dirusak) dengan sengaja oleh manusia atas nama peradaban.Terkadang kita tidak sadar bahwa tindakan kita berimbas balik cepat atau lambat. Memang sering tidak terlihat kasat mata tapi begitu gambut terbakar atau tanah tidak mampu lagi menampung air, maka terjadilah bencana asap dan banjir.

Riau tidak mempunyai jajaran bukit atau gunung, oleh karena itu lanskap negeri ini hampir datar. Karenanya jika kabut asap datang, tidak ada 'benteng' dan seluruh Riau hingga kedaerah tetangga pun turut merasakan asap tebal. 

Ditahun 1996 atau 1997 adalah tahun pertama kalinya saya merasakan bencana kabut asap, semua orang saling bertanya- tanya bahkan pasa supir truk pengakut bonggol pohon heran dan mengeluhkan bahwa mareka bisa saja mengalami kecelakaan jika terus mengemudi dengan jarak pandang yang pendek. 

Kabut asap amat sangat  tebal berbau turun menyelimuti kota, lampu= lampu jalanan dan rumah dinyalakan siang hari. Kegiatan sekolah dan kerja masih terus berjalan sampailah semua siswa jatuh sakit dan mobil ambulance datang silih berganti membawa siswa serta memberikan kami masker juga oksigen baru.

Kejadian yang sama kembali terulang di tahun 2015, kali ini kita lebih maju pada aset teknologi (BMKG) sehingga kita mampu memonitor (potensi) titik api. Disertai dengan kemajuan pulalah, kita bisa mengukur seburuk apakah kondisi tanah dan keadaan hutan kita.


Sumber: BMKG Riau


Sayangnya kemajuan hebat tersebut tidak dibarengi dengan majunya pola pikir dan keingian kita untuk mengetahui serta memahami keadaan persekitaran kita. Menutup mata, alfa dan meremehkan kekuatan dan potensi hutan bukan hal yang baru. Kenangan akan deretan hutan lebat penuh pohon beraneka ragam yang seakaan berlari kebelakang ketika kami sekeluarga menaiki kendaraan di masa kecil saya dulu akan menjadi kenangan yang akan selalu saya simpan sebagai kenang- kenangan sebagai seseorang yang beruntung menyaksikan betapa rimbun dan teduhnya Riau dulu pernah.


Aloe Vera Gel - Fruit Of The Earth


Bulan lalu saya mendapatkan oleh- oleh dari Ibu yang bisa dibilang berupa barang random dan itu adalah Aloe Vera Gel (AVG) dari merek lama Amerika, Fruit Of The Earth (FOTE). Mungkin di Indonesia belum begitu mengenali merek lawas satu ini, tetapi saya pernah melihat produk FOTE di beberapa drugsotre besar.

Kalau tidak salah, Fruit Of The Earth lebih dulu terkenal dengan sunblock/sunscreen mareka, sedangkan gel lidah buaya ini adalah produk pelengkap bagi mengatasi sunburn atau kulit kering setelah berjemur dan terkena matahari.

Selain FOTE, adalah Banana Boat juga yang merupakan merek lama selaku 'pesaing' FOTE di 'ranah pasar' yang sama dengan produk yang  nyaris serupa dengan range harga yang beda tipis (dengan FOTE yang lebih ramah kantong atau bundling sale).

AVG


Dan disaat bahan baku aloe vera atau lidah buaya terkenal kembali oleh merek- merek skincare Korea, harus saya akui saya lumayan terkejut dengan inovasi yang dilakukan pada tanaman yang satu ini. Belum lagi produsen juga menambahkan banyak klaim pada satu produk AVG hingga terdengar muluk- muluk.

Beberapa merek Korea yang terkenal dengan AVG-nya adalah Nature Republic yang mempunyai banyak tiruan, Innisfree, The Saem, Mediheal dan lainnya. Tidak jarang produsen menjual produk mareka dengan menambahkan infusi bahan, pelabelan premium sampai kepada kemurnian serta mengggaris besarkan jenis si lidah buaya itu sendiri.

Sejak dulu lidah buaya di kenal sebagai tanaman yang serba bisa, baik itu berupa pereda panas yang bisa dibalurkan ke kulit atau di konsumsi, jadi tidak mengherankan banyak merek Korea menjadi besar dengan membubuhkan khasiat tanaman ini pada produk AVG mareka. 

Aloe Vera Gel


Disamping sebagai produk gel, aloe vera juga diracik menjadi bahan pembantu pada produk skincare lain seperti sheet mask, toner, essence, moisturizer, serum dan lain- lain. 

Namun FOTE setia dengan gaya lama mareka, AVG hanya diperuntukkan untuk untuk meredakan kulit yang terbakar matahari atau kering, bukan sebagai skincare kecantikan. Bahkan bahan- bahan produk AVG ini pun tidak mengalami perubahan banyak dari yang saya ingat dulu.

Jadi saya tidak melihat peluang bahwa produk AVG dari FOTE ini bisa digunakan sebagai pelembab rambut, sleeping mask maupun pereda bibir yang kering karena FOTE sendiri tidak menuliskan kegunaan tersebut pada produknya. Lalu jika kamu sedang mencari AVG yang simple dan bosan dengan infusi berlebihan pada aloe vera, kamu bisa mencoba AVG sederhana satu ini.


Newer Posts
Older Posts

Ann Solo

Ann Solo
Strike a pose!

Find Ann Here!

Ann Solo Who?!

Ann Solo adalah nama pena Ananda Nazief, seorang lifsestyle blogger yang terinspirasi oleh orang- orang sekitar, perjalanan, kisah- kisah, pop culture dan issue semasa.

Prestasi:

Pemenang Terbaik 2 Flash Blogging Riau : Menuju Indonesia,
Kominfo (Direktorat Kemitraan Komunikasi) - Maret 2018.

Pemenang 2 Flash Writing For Gaza (Save Gaza-Palestine),
FLP Wilayah Riau - April 2018.

Pemenang 3 Lomba Blog Lestari Hutan, Yayasan Doktor Syahrir Indonesia - Agustus 2019.

Pemenang Harapan 1 Lomba Blog, HokBen Pekanbaru - Februari 2020.

Contact: annsolo800@gmail.com

  • Home
  • Beauty
  • Traveling
  • Entertainment & Arts
  • What's News
  • Books & Stories
  • Our Guest
  • Monologue
  • Eateries

Labels

#minimalism Beauty Books & Stories Eateries Entertainment & Arts Film Gaming monologue Our Guest parfum Review Review Parfume sponsored Techie thoughts traveling What's News

Let's Read Them Blogs

  • Buku, Jalan dan Nonton

Recent Posts

Followers

Viewers

Arsip Blog

  • ▼  2025 (1)
    • ▼  April (1)
      • Asyik, Perang Tarif, Mari Kita Beli Barang KW
  • ►  2024 (18)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2023 (45)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (11)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2022 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2021 (27)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2020 (34)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (5)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2019 (34)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2018 (56)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (14)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (5)

Find Them Here

Translate

Sociolla - SBN

Sociolla - SBN
50K off with voucher SBN043A7E

Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Blogger Perempuan

Beauty Blogger Pekanbaru

Beauty Blogger Pekanbaru

Popular Posts

  • Review Axis-Y Toner dan Ampoule - Skincare Baru Asal Korea
    Sejak beberapa tahun kebelakangan ini kita telah diserbu oleh tidak hanya produk Korea baik itu skincare dan makeup, tetapi juga ...
  • Review Loreal Infallible Pro Matte Foundation
    Kalau dulu saya hanya tahu dan penggemar berat Loreal True Match Foundation sejak zaman kuliah, ternyata Loreal juga mengelua...
  • 2019 Flight Of Mind
    Cheers! Time flies indeed, terlebih lagi di zaman sekarang ini dan saya yang sudah mulai lupa sehingga semua terasa cepat. 2019...
  • Kampanye No Straw Dari KFC
    Kampanye No Straw Movement. Kemarin saya dan seorang teman berjanji untuk bertemu di KFC terdekat dan sambil menunggunya datang, saya ...
  • (Pertandingan Terakhir Liliyana Natsir Sebelum Pensiun) Dukung Bersama Asian Games 2018
    Hari ini berita yang cukup mengecewakan muncul di TV ketika saya dan Tante sedang makan siang dirumah: Liliyana Natsir akan menggantung...
  • Review Lip Balm 3 Merek - Nivea, Himalaya Herbals dan L'Occitane
    Dulu sekali, sebelum kenal dengan lipstick seakrab sekarang, saya dan   lip balm adalah pasangan yang kompak. Tidak hanya mengatasi ...
  • Review Sunblock Biore & Senka
    Oh my! Sekali lagi saya merasa bersalah 'menelantarkan' blog ini karena akhir bulan lalu saya mempunyai pekerjaan baru ya...
  • Review - Sakura Collagen Moisturizer
    Pertama-tama, saya hanya mau menginformasikan bahwa ini adalah artikel review yang sebenarnya sudah lumayan telat terlupakan oleh kek...
  • Review AXIS-Y Cera-Heart My Type Duo Cream
    Sudah lam aterakhir kali saya memakai cream moisturizer tipe konvensional, alasan utamanya adalah kondisi iklim di kota saya...
  • Review Lipstick Maybelline Superstay Ink Crayon
    2020 dimulai dengan racun lipstick terbaru dari Maybelline yang datang dengan Super Stay Ink Crayon yang sebenarnya sudah saya nant...

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates