Cara Mengatasi Relapse Ditengah Berjuang Menjalankan Hidup Minimalis

by - Juni 30, 2021




Sudah akhir bulan Juni 2021, perjalanan saya menjadi seorang minimalis masih sangat panjang dan berliku-liku. Ya, namanya juga hidup, apalagi menjadi minimalis sering dikatakan ‘melawan’ cara hidup ‘normal’ yang bisa diketahui masyarakat. Siapa sih, yang hidup dengan seadanya (tapi duit di rekening banyak), mempunyai sedikit barang (tapi aesthetic?) dan memakai pakaian yang itu-itu saja.


Soal pakaian, saya mengalami kendala karena pakaian yang tadinya banyak menggunung, sekarang jadi sedikit dan rata-rata berpusat pada warna dasar. Sama ketika saya mempunyai banyak pakaian, saya punya masalah dalam memilih pakaian mana yang ingin saya pakai saat mau keluar rumah. Eh ternyata, saya juga masih mempunyai masalah setelah decluttering.


Cuma masalah pakaian kali ini adalah, saya cepat bosan kalau pakai baju yang itu-itu saja. Padahal juga waktu punya selemari pakaian, saya juga pakai baju yang itu-itu saja. Hei, ini masalahnya apa, sih? Kenapa saya begini?




Mengetahui dan Memahami Diri Sendiri Sebelum Menjadi Minimalis





Ini adalah pertanyaan mudah, masa sih, kita tidak mengetahui diri kita sendiri? Lha, buktinya kita tahu kalau kita suka barang branded dan membelinya. Kita tahu kita menyukai makanan pedas, alergi kayu manis (itu saya), suka warna hijau/biru/kuning/merah/pink, suka sekali tidur siang. Intinya, kita selalu yakin kalau kita mengetahui serta juga memahami diri kita sendiri baik itu kita maunya apa atau bencinya apa.


Tapi ternyata kita lebih seringnya tidak memahami diri kita juga. Semudah kita menyukai barang branded tetapi sebenarnya diri kita tidak membutuhkan apa-apa manfaat dari barang tersebut. Jadi sebenarnya kita mengikuti rasa, perasaan atau gengsi kita ketimbang maunya diri kita yang sesungguhnya. 


Jadi, sebelum kita merubah cara dan pola hidup kita menjadi minimalis yang, lekat dengan penerimaan serta pemahaman diri, hidup sekedarnya dan bersyukur dengan apa yang kita punya (buka berarti pasrah dan nrimo saja, ya), kita harus benar-benar melihat ke dalam diri kita (saya terdengar sebagai seorang penulis buku self-help). Ini bukan jalan hidup yang mudah, tapi sangat-sangat mustahil dilakukan ketimbang ngutang beli tas LV. 


Bahkan hidup minimalis ini sudah ada dari zaman batu, yang mana orang-orang disaat itu hanya mengambil apa yang mereka perlukan saja tanpa merasa harus ada gengsi atau kebanggan memiliki banyak benda. 


Karenanya, jika begitu kita memutuskan untuk menjadi minimalis, kita telah benar-benar paham apa yang hendak kita kerjakan dan jalankan. Bukan karena ikut-ikutan tren dan sekedar penasaran lalu decluttering massal yang akhirnya menyesal. Mau pakai apa hari ini? Bosan pakai ini terus. Ya, bosan adalah salah satu kata kuncinya, nanti ditengah jalan kita bosan, bosan terus, shopping.


Masa ini yang disebut relapse. Padahal kita tahu kita sudah paham benar kalau kita memang sudah mulai progress kita menjadi minimalis, tetapi ternyata barang seadanya tidak cukup dan membosankan. Kita kembali ke hobi kita, hobi people zaman now; shopping.


Baca Juga  :      MEMULAI HIDUP MINIMALIS, APAKAH MASIH PERLU MENYIMPAN BARANG CADANGAN?



Memahami Masa Relapse Ditengah Proses Hidup Minimalis





Apakah saya berlebihan kalau mengatakan waktu dimana kita bosan dan lagi jenuh itu adalah masa relapse? Saya juga tidak tahu istilah lainnya di dalam kosakata minimalis untuk menggambarkan masa-masa seperti ini. Kalau diambil dari penjelasan, relapse berarti :



A relapse is defined as the worsening of a clinical condition that had previously improved. In addiction treatment, relapse is the resumption of substance use after an attempt to stop or period of abstinence. For example, someone who returns to drug use after months in rehab would be experiencing a relapse.


Pengertian ini saya ambil dari turnbdridge.com, sebuah website yang mempunyai program dalam membantu pecandu dan kesehatan mental, jadi rasanya cukup valid jika saya mengambil penjelasan mengenai relapse dari mereka.


Lalu kalau di cari di Google juga, relapse mencakup cukup besar termasuk kesehatan mental, yang mana rasanya hobi kita mengumpulkan barang dan excessive shopping yang mengarahkan kita menjadi hoarder adalah salah satu masalah mental. Bahkan saya sampai hobi nonton mengenai dokumentari mengenai hoarder di YouTube. Antara kaget dan cemas, tapi kebanyakan dari mereka (selama penayangan) akhirnya sadar kembali.


Anyway, rasanya sudah pas kalau relapse kita pakai untuk menggambarkan ‘jatuhnya’ semangat kita ditengah-tengah proses kita menjadi seorang minimalis yang baik menurut kepercayaan kita masing-masing. Contohnya saya percaya kalau minimalis itu didukung oleh kualitas pakaian yang bagus yang bisa saya pakai 3 tahun tanpa pudar. Ini contoh untuk saya, lho ya.


Mungkin beda lagi bagi pembaca, ikut selera dan penyesuaian saja. Tapi entah saya ogah rugi atau medit, kalau bisa pakaian saya tahan lama. Anehnya, saya masih punya pakaian dari saya masih kuliah dulu, masih aman cuma kok jadi pendek, ternyata saya masih bertumbuh (sampai kemarin).


Baca Juga (inside joke)  :  CURHAT HIDUP MINIMALIS DARI MINIMALIS YANG TIDAK AESTHETIC


Balik ke relapse, ini terjadi karena saya mulai merasa jenuh dan burnout lagi (dari banyak pengaruh dan faktor). Seperti biasa juga, saya adalah people zaman now yang hobi window shopping di e-commerce. Ya karena sekarang tidak aman belanja keluar, maka saya biasa membeli stock vitamin secara online selain juga murah.


Berawal dari vitamin, saya pun membeli hal-hal lain di e-commerce. Ini bukan penyangkalan diri, tapi saya biasa membeli sesuatu karena saya butuh saja. Well. sesekali terjebak hal konyol entah itu lagi diskon atau lucu. Tapi saya sudah melewati phase ‘beli karena lucu’. Saya beli karena diskon besar-besaran dan barangnya susah didapat.  Ini baru pembenaran diri yang tidak benar sama sekali.


Dari vitamin, saya melihat-lihat pakaian yang kiranya simple dan tidak ribet yang sesuai dengan style minimalis saya, saya akhirnya membeli pakaian yang sesuai dengan cara saya berhijab. Etapi ya, kenapa saya membeli pakaian lagi, karena saya sudah decluttering banyak pakaian yang tidak lagi sesuai dengan selera saya dan tidak lagi praktis dalam keseharian saya.


Meski harusnya belanja kali ini harusnya guilty free, saya masih tetap merasa bersalah. Tapi kalau tidak dibeli, saya mau pakai apa kalau ke kantor? Saya bukan extreme minimalist yang punya 5 lembar pakaian saja (contoh lho, ini, jangan marah), saya bahkan tidak ada waktu untuk mencuci pakaian setiap harinya (lagian boros sekali cuci tiap sebentar, bukannya minimalis harusnya juga aware dengan limbah).


Dari cari pakaian, saya berlanjut beli barang-barang pendukung terutama untuk dipakai di kantor. Sekali lagi, ini adalah pembelian rasional yang seharusnya sudah waktunya saya membeli produk tersebut, tapi kok ya, rasanya bersalah banget, ya? Tapi kalau tidak dibeli, saya selalu pulang dengan migrain dan meriang, literally selama bekerja. 


Penasaran saya beli barang apa? Selimut kepala. Iya, karena saya kerja pas dibawah AC, saban hari saya sakit kepala karena kedinginan. Malah harusnya saya beli selimut dari tahun lalu, tapi saya malah menyangkal tidak butuh, padahal sampai rumah, saya harus makan obat buat meredakan sakit kepala ini. Maunya gagah dan menguatkan mental, eh ujung-ujungnya saya lebih banyak mengkonsumsi obat. 


Kemudian ‘relapse’ saya cukup ‘spiraling out of control’ dengan membeli barang-barang yang saya ‘pikir’ saya butuhkan, just because sangat murah dan lagi diskon besar. Eeeiiiii.. I hate myself for this.


Tidak usah disebutkan saya beli barang apa, intinya saya membeli karena butuh dan tidak butuh, tetap membuat saya merasa bersalah. Bahkan sekedar beli es krim saja saya merasa bersalah. Antara wajar dan tidak, wajar karena saya butuh penghiburan dari es krim setelah melewati hari yang panjang dan tidak karena saya harus diet gula.






Selalu ada pro dan kontra jika menyangkut shopping dalam hidup seorang minimalis. Seharusnya ini adalah hal yang wajar, sama seperti relapse dimaksudkan untuk pecandu dan masalah mental, kita sudah lama terbelenggu oleh 1 cara hidup. Lalu kita merangkak keluar dari situ, dengan perjuangan yang tidak mudah, sweat and tears, berdarah-darah, kehilangan keluarga, teman, menyia-nyiakan waktu, masa muda, you name it, kita telah berkorban banyak karena adiksi kita.


Begitu kita sadar kalau adiksi kita salah, kita juga melakukan pengorbanan yang sama persis untuk bisa keluar dari cengkraman adiksi tersebut. Progress dan proses tercipta dari titik kesadaran (hidayah) tadi, yang mana kita tidak akan serta-merta, instant gitu, langsung jadi sembuh/sehat/kuat/menjadi minimalis.


Eeeiii! 


No, Fergusso, no! Akan ada proses, maka akan ada juga relapse.


Mungkin bisa saya tekankan, bahwa relapse ini adalah hal yang wajar dan manusiawi, kita tidak bisa lepas dari suatu belenggu dan langsung bersinar ketika rantai itu hancur. Sama seperti anggota boyband/girlbadn Korea, untuk sampai menjadi idol sekarang, mereka harus jadi trainee dulu dan melewati masa-masa down, ingin cabut saja dan jadi pekerja kantoran. 


But no, mereka tetap jalan karena mereka tahu begitu debut, ada banyak peluang terbuka untuk mereka. Dengan tekad yang up & down layaknya manusia lainnya, mereka tetap latihan joged dan nyanyi, lalu pulang ke kamar menangis meraung-raung pengen pulang kerumah. Selang berapa waktu, they bounced back stronger dan kembali fokus; debut menjadi idol.


Kira-kira begitulah analogi saya yang lowkey K-pop-er. Relapse adalah hal yang sangat, sangat manusiawi dan tidak ada yang boleh menghakiminya. Kita keluar dari adiksi dengan perjuangan kita sendiri (orang lain mah, paling cuma membantu seperlunya saja) karena kalau tidak ada tekad di diri kita, semua tidak akan jalan begitu juga menjadi seorang minimalis (duh, curhat banget ya, saya).


Baca Juga  :    SLOW FASHION DALAM KONSEP HIDUP MINIMALIS



Tips Masuk Akal Menghadapi Relapse Untuk Seorang Minimalis





Disclaimer lagi ya, ini adalah tips saya praktekkan sendiri dari trial and error, makanya saya kasih sub judul masuk akal karena kalau ghoib, saya tidak bisa melihatnya sesuai apa tidak untuk dilakukan. 


Setelah saya memahami kalau saya cepat bosan, saya tidak suka ini-itu, sukanya makan yang manis-manis, dan relapses on & off, saya jadi lumayan (masih progress lho) memahami dan memaafkan diri saya. Buat yang pertama kali baca blog saya, saya juga penderita anxiety, panic disorder dan depresi. Ini adalah pertempuran hidup dan cobaan dari Tuhan untuk saya di dunia ini dan beralih menjadi seorang minimalis, membuat pertempuran saya sedikit lebih kalem. Bukan berarti bisa menyembuhkan 100% ya, tidak.


Hanya saja, menjadi minimalis membuat anxiety akan keperluan dan haus kebendaan saya lebih baik, membuat saya bisa melihat dari sudut pandang yang lain. Saya tidak perlu lagi menjadi cemas untuk tampil lebih kece atau barang saya kelihatan lusuh dan ndak gaya. Bodo amat. Justru saya sekarang memahami, sebaiknya saya membeli barang karena butuh dan kualitasnya plus harganya sesuai dengan kantong saya.


Berikut tips masuk akal saya untuk memahami relapse dan mengatasinya, semoga sesuai untuk dicoba :


  • Cari tahu kenapa kamu tiba-tiba relapse, apa faktornya, penyebab, oknum, apa pun itu, bisa kamu tulis jika perlu untuk melihat gambaran lebih lengkapnya.

  • Apakah kamu juga dulunya hobi shopping? Apakah dengan shopping rasa bete, amarah, putus asa, muak, burnout akan tertolong? (ya, mungkin kalau beli es krim mood jadi baik, seperti kebiasaan saya).

  • Belilah sesuatu jika itu bisa membantu jiwa kamu sedikit tenang, tapi ingat kembali alasan pertama kamu jadi minimalis dan terpenting jujur pada kemampuan ekonomi kamu (ya kali, jangan beli Gucci cuma bete karena hal syepele).

  • Kamu berhak menggunakan uang yang susah payah kamu hasilkan untuk kesenanganmu. Kerja-kerja-kerja-tipus. Lalu duit yang dikumpulkan, dipakai untuk berobat. Point? Ya, tidak ada. Pakailah sedikit uang hasil jerih payahmu untuk membuat kamu bahagia sesekali. Sekali lagi, jangan beli hal konyol karena cuma karena..eh tapi kalau kamu happy karena hal konyol tersebut, siapa saya berhak menghakimi kamu?

  • Bahagia juga tidak harus mengalamatkannya kepada diri sendiri kok, kamu bisa beli vitamin mahal dan bagus untuk orang tuamu (ini ide bernas dari saya), membelikan mereka makanan enak sekali sebulan, kasih makan kucing dan anjing terlantar, belikan ponakan Beng-Beng, sedekah di masjid/gereja/vihara/kuil. Intinya, kamu sangat bisa bahagia meski sedang relapse lalu shopping alias pengen mengeluarkan uang biar lega, tapi bisa diberikan untuk orang lain (toh, intinya pen belanja aje dah, biar hepi!).











Kalau dipikir ya, relapse buat minimalis itu adalah ketika kita kembali membeli dan menimbun barang yang tidak perlu. Kembali pada saya sebagai contoh disini, saya ‘sakaw’ banget pengen shopping dan mikir; mau shopping juga, pengen ngeluarin duit dan dapat barang juga, bagusnya kemana ya, beli dan untuk siapa ya, karena sesungguhnya saya tidak butuh apa-apa.


Jalan tengahnya, untuk tetap menyalurkan hasrat shopping dan lelah melawannya berminggu-minggu yang malah buat mood saya turun dan depresi (shopping ga boleh, traveling tidak memungkinkan, bosan nonton Netflix tidak ada hiburan tapi burnout), saya akhirnya belanja juga. Beli makanan, beli smartwatch karena saya seharusnya jangan denial karena saya memang tidak punya jam selama 2 tahun ini, dll. 


Bisa dibilang, saya akhirnya menyerah pada relapse saya setelah berhasil melewati tantangan no buy beberapa waktu. Ini adalah waktu dimana saya diuji sebagai minimalis, apakah saya melawannya dan menyelamatkan rekening saya, atau saya sedikit shopping buat menyenangkan diri dan orang lain. Saya pilih opsi kedua. Saya ingin menikmati sedikit hasil kerja keras saya setelah 2 tahun pandemi ini saya tidak mendapatkan hiburan apa-apa dan kelelahan mental.


Sungguh tidak apa-apa, sesekali kita give in (tapi tolong rasional, ya). Menjadi minimalis bukan berarti kita harus obsesi tetap mempertahankan apa yang kita punya sebegitu saja, menabung gila-gilaan, menjadi perhitungan terhadap segala hal termasuk kewarasan kita.


Wajib bagi manusia untuk menikmati kesenangan dan itu bisa bermacam-macam termasuk salah satunya belanja alias shopping. Juga sama dalam segala hal, ada 2 sisi mata uang, shopping bisa berakibat buruk tapi juga positif. Oleh karenanya, kembali lagi ke tips yang saya sebutkan diatas, ketahui kenapa kamu relapse pengen shopping untuk menarik jalan keluar yang logis demi mengatasi relapse yang kamu alami tersebut.


Kalau ditanya bagaimana relapse saya kemarin? Sudah tidak lagi, saya sedikit lega setelah makan donat, minum matcha dan olahraga pakai smartwatch. Hahay! Ternyata relapse saya ada juga manfaatnya.


Kamu pernah merasa dan berada di fase ini? Apakah kamu cukup jujur pada diri sendiri dalam proses menjadi minimalis? Saya penasaran bagaimana pengalaman pembaca Ann Solo yang sama-sama berjuang dalam jalan hidup minimalis ini, yuk, share curhat kamu di kolom komentar dibawah.



You May Also Like

2 comments

  1. ini kita banget lho sis, pernah gw ngalamin saat awal memutuskan beralih menjalani gaya hidup minimalis, gw declutter baju2 gw yg kebanyakan numpuk gak kapake, trus pernah suatu saat gw lagi buru2 mau masuk kerja dan gak nemu tuh baju yg biasa gw pake, padahal banyak baju lainnya yg gw bisa pake, akhirnya gw beli lagi satu baju, minggu depannya pas jalan2 di Un**lo, beli lagi dua baju yang sama, dan akhirnya apa, koq baju gw nambah lagi yah???

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wkwkwkwk kurang lebih ya kita, kak 🙈 sekarang kerja & keluar biasa, bajunya ku sama aja 🤣 tapi kemarin lihat wardrobe kak daniel, keceeee 👍🏽

      Hapus