Instagram Twitter Facebook
  • Home
  • Beauty
  • Entertainment & Arts
  • What's News
  • Traveling
  • Monologue

Ann Solo




Mungkin bagi pembaca Ann Solo sudah tahu kalau saya memulai karir blogger saya sebagai beauty blogger, yang sekarang menerapkan cara hidup minimalis. Jujur saja, ini cukup sulit karena saya mempunyai tanggung jawab untuk mencoba berbagai produk, yang biasanya dengan jumlah yang tidak sedikit.



Ya, walau saya tidak seterkenal Tasya Farasya ya, tapi bagi saya, saya sangat bersyukur dan menghargai brand yang telah mempercayai saya dan bekerjasama dengan saya hingga saat ini. Ah, jadi terharu. 



Lalu terlepas cocok atau tidaknya produk tersebut, saya sadar atau tidak sadar jadi telah memiliki banyak benda di lemari rias saya yang mungil. Ini sempat membuat saya resah, waduh, ini kapan habisnya, sih? Karena saya sangat- sangat menghargai setiap produk yang diberikan brand, tidak mungkin saya membuangnya.



Paling banter biasanya saya menghadiahkan produk tersebut pada anggota keluarga (tidak jarang saya mendapatkan banyak produk yang sama) atau beberapa dijual, seperti shade foundation yang tidak sesuai dengan shade saya. Intinya, saya ingin semua produk tersebut bermanfaat dan habis dipakai. Pakai sampai habis, begitu.



Baca Juga. : REKOMENDASI MICELLAR WATER TERJANGKAU DIBAWAH 50 RIBU





Beratnya Berpisah dari Produk Kecantikan 





Untuk beauty blogger, up date akan brand dan produk baru itu wajib. Meski ada jutaan brand diluar sana, kami harus mencoba setidaknya 1 atau 2 item. Jadi ya, tidak heran kalau rak dan lemari kami penuh banyak barang kecantikan. Maklum, profesi ini harus selalu rajin update karena ada brand dan produk yang muncul setiap waktunya.



Orang- orang mencari review, sehingga beauty blogger/review/vlogger harus cepat tanggap untuk memenuhi kebutuhan ini. Tapi sayangnya wajah cuma 1, jadi kadang saya sendiri jadi merasa overwhelming. Makanya saya berusaha untuk mengambil sedikit job untuk benar- benar mencobanya.



Seringnya sih, paling sebentar 2 minggu untuk mencoba suatu skincare dan membuat review-nya. Kalau ada job lain, maka saya mulai mengerjakan job tersebut. Terus, bagaimana nasib produk yang sebelumnya saya coba? Ya, rata- rata masih ada entah itu sudah setengah habis atau masih belum habis.



Secara pribadi, produk yang paling cepat habis adalah facial wash, sedangkan untuk moisturizer cream adalah produk yang susah habis dalam waktu dekat. Mau tidak mau, lemari mungil saya yang sudah doyong ini jadi menyimpan semua produk yang telah saya pakai.



Bikin pusing kalau lihat. Anxiety level saya naik. Saya paling takut jadi mubazir. Sedih rasanya. Makanya saya beralih jadi minimalis dan mencoba melakukan sesuatu agar produk- produk tersebut bisa tetap dipakai dan mendapat tuan yang menghargainya. 



Walau rasanya berat, karena beberapa produk selain mahal (ahem!), rasanya sayang juga karena saya tahu saya pasti tidak bisa membelinya lagi (seperti produk yang mahal atau susah di dapat). Tetapi, bagaimanapun, akan jauh lebih baik jika produk tersebut saya berikan pada orang yang memerlukan dan juga menghargainya seperti saya.



Makanya saya senang ketika keluarga dan teman- teman yang menerima produk tersebut merasa sangat terbantu dan kulitnya jadi ikutan kece dari produk yang saya berikan. Saya ingin glowing, kenapa tidak juga berbagi kepada orang- orang yang saya sayangi? Hitung- hitung dapat free sample, kalau mereka cocok dengan produk yang saya berikan, siapa tahu mereka membelinya dengan duit mereka sendiri? Wkwkwkw saya merasa seperti penjual kosmetik saja.


Baca Juga : REVIEW WESTCARE SKINCARE - PRODUK LOKAL DENGAN KOMBINASI BAHAN TERUNIK




Tips Memilih Skincare yang Tepat untuk Kebutuhan Kulit





Pertama kali saya tegaskan, setiap, catat, setiap orang itu mempunyai kondisi dan kulit berbeda. Tipe kulit bisa sama, ya berminyak, kombinasi, kering, tapi kondisinya akan kembali lagi pada empunya badan. Walau kita punya tipe kulit kombinasi nih, tapi belum tentu kita sama 100%.



Kulit saya kombinasi di bagian T-zone dan dagu, tapi di beberapa bagian lainnya malah kering dan itchy. Bahkan nih, baru saya sadari sekarang atau memang perubahan akibat umur, kulit badan saya ternyata cukup kering kerontang. Saya juga mempunyai skintag yang muncul karena faktor genetik dan usia (?). 



Pokoknya, kita beda begitu. Tapi produk kecantikan kalau tidak memadatkan semua permasalahan kulit dalam satu produk, malah memberikan banyak pilihan sampai bingung memilihnya? Ya, kan? Bahkan saya sendiri sampai bingungnya karena terlalu banyak dan juga, selalu ada kandungan/ingredients baru yang muncul dengan berbagai macam klaim.



Meski saya tidak bisa menggeneralisasi kebutuhan skincare setiap orang, paling tidak saya bisa berbagi tips sederhana dalam memilih skincare untuk orang yang menjalankan hidup minimalis lebih efektif :



  • Klise, tapi krusial, ketahui jenis kulit kamu: permasalahannya dan keluhannya. 



  • Cari tahu beauty blogger/guru/vlogger yang kira- kira mempunyai permasalahan kulit yang sama dengan kamu. Bisa juga langsung bertanya dengan mereka atau membaca review mereka. Paling tidak kamu telah mempunyai gambaran garis besar; oh ternyata produk Z berhasil untuk jerawatnya beauty guru X.



  • Jangan terlalu berpakem pada satu beauty guru saja, ada banyak bauty guru yang lain yang mempunyai permasalahan yang kurang lebih sama dengan kamu dan bisa juga memberikan opsi yang berbeda (misalnya, mereka menggunakan produk yang lebih sesuai dengan budget kamu).



  • Tidak semua produk yang di review oleh beauty guru itu 100% ampuh ya, namanya juga bisnis, tentu semua ingin menjual produk mereka lebih baik lagi, kan.



  • Pelajari kandungan isi skincare dan lihat bagaimana reaksinya di kulit kamu. Ada yang alergi kandungan tertentu, saya alergi sama pewangi dalam skincare, kulit saya bisa merah terbakar kalau kandungan pewanginya terlalu kuat atau buruknya, berada pada kandungan pertama dari produk itu.



  • Kulit saya cenderung lebih baik jika dibersihkan dengan facial wash yang water based, alias air atau water adalah daftar pertama dari pembersih wajah. Di luar itu, kulit saya akan jadi super kering tertarik dan bahkan bisa berdarah saking ketariknya.



  • Wajar kalau produk mempunyai alkohol (bermacam jenis alkohol untuk fungsinya masing- masing), tapi kulit saya tidak bisa mentolerir kalau kandungan alkoholnya berada dalam top 3 dari ingredients dan yang terlalu kencang.



  • Beberapa moisturizer cream bisa terlalu thick untuk saya hingga menimbulkan jerawat atau bruntusan, jadi saya cenderung menghindari moisturizer tipe ini. Pun, saya akan lebih memilih yang teksturnya ringan seperti gel atau perpaduan gel cream.




Semua list di atas ini saya tulis berdasarkan apa saya ketahui dari kulit saya, ya, setelah trial and error yang bukan main panjangnya. Fiiuhh. Akhirnya saya bisa mengenali, apa sih, yang dibutuhkan dan ditolak kulit saya. Ini juga berlaku bagi setiap orang karena skincare itu bersifat pribadi dan telah melalui suatu proses untuk bisa cocok sama kebutuhan kulit kita. Jadi kurang tepat kalau dibilang untung- untungan, menurut saya, lho.



Baca Juga : REVIEW ESSENHERB TEA TREE TONER DAN FOAM CLEANSER UNTUK MENGATASI JERAWAT BANDEL







Tips Memilih Skincare, Beli Travel Size atau Beli Preloved?





Sebagai orang minimalis, kita pasti sangat, sangat concern dengan sampah dan limbah; kalau skincare ini tidak sesuai, saya jadi mubazir, dong? Saya jadi menambah sampah, dong? Iya, sama, saya juga sering berpikir begitu.



Mau beli travel size, rasanya akan sangat bijaksana karena kalau tidak cocok, jadi kita tidak rugi, bahkan beberapa travel size punya packaging yang bisa dipakai kembali. Tapi kalau bentuknya sachet? (Duh, masalah hidup ini, ya!). Mana kita tidak mungkin mencoba hanya 1 kali saja, paling tidak butuh sekitar 2 minggu untuk melihat efek dari sebuah skincare (berdasarkan pengalaman saya, pasti juga ada penjelasan ilmiah lainnya?). Bayangkan berapa sachet dan travel size kecil mini lainnya yang kita perlukan untuk bisa melihat si skincare bekerja atau tidaknya?



Kasus paling singkat, sekali pakai, kulit terasa terbakar, gatal, kering ketarik, okay bye. Kita cuma punya sampah itu saja, tapi kita pasti cari skincare lain dong, masa menyerah? Ahahaha rasanya ini leingkaran yang tidak ada habisnya.



Makanya produk preloved bisa jadi pilihan yang cukup bijak; biasanya jauh lebih murah dan biasanya full size. Tapi tergantung juga ya, ada yang menjualnya setelah hanya memakai 2 kali, ada yang sudah ¾ dari isi produk. Ini bijaknya kamu mencari dimana harus membeli produk skincare preloved yang valid dan masih terjamin kebersihan serta kadaluarsanya.




Karena oh karena bagaimana pun, kulit kita adalah organ terbesar yang tugasnya selalu secara harafiah, melindungi kita. Ada minimalis yang memangkas semua skincare mereka dan menggunakan 1 produk untuk semua hal, tapi sekali lagi kulit, kebutuhan dan permasalahan setiap orang itu unik juga berbeda.




Saya bahkan pernah mencoba memakai produk body wash jadi shampoo dan pencuci wajah juga, alhasil, kulit muka saya kasarnya ampun dah, kering, bruntusan dan kusam bukan main. Rambut saya jadi sekeras ijuk, iya keras, keras. Tapi badan saya malah lembah. Sederhana, pH kulit kita berbeda ya, rupanya. Oalah.



  • Jangan memaksakan untuk menggunakan 1 produk untuk semua kebutuhan, kamu juga harus menghargai tubuhmu juga punya kebutuhan masing- masing, lho, Celana untuk kaki, baju untuk badan, lengan, masa pakai celana untuk muka dan kepala juga? Ya tidak, mungkin sobat!



  • Memberikan apa yang tubuh kita butuhkan bukan berarti itu adalah pemborosan, kecuali kita menumpuk barang yang tidak terpakai, itu jelas boros, beud!



  • Kesehatan dan kecantikan kulit adalah hak setiap orang, jadi minimalis bukan berarti kulit cuma dirawat seadanya, kenapa harus keki kalau kulit juga butuh perhatian? Toh, itu tubuh kita, ya, mari rawat dengan sesuai.



  • Kebutuhan setiap orang berbeda ya, jangan sampai menjadi minimalis membuat kamu juga ikut cara minimalist lain pek ketiplek. Minimalis itu sebenarnya bermaksud agar setiap orang melakukan dan mengambil yang sesuai dengan kebutuhannya saja, tidak mempunyai pakem dan juga tidak pula menghakimi.



  • Untuk mendapat kulit yang sehat, pasti ada trial and error sampai kamu bisa memahami kulitmu sendiri. Mau tidak mau, kita harus melewati proses ini, jadi jangan merasa terlalu bersalah.



  • 1 produk tidak selalu all purpose, manusia punya kompleksitasnya tersendiri, kita terdiri dari sel, bukan baja atau besi. Jadi pilih dan pakai produk sesuai dengan posisinya masing- masing.








Sekali lagi, saya mau disclaimer yak, ini semua adalah hasil proses panjang saya mencari skincare yang pas, untuk kulit juga dengan tujuan saya sebagai minimalis. Jadi kalau ada yang bertanya bagaimana cara memilih skincare, 1 produk/1 set saja dengan menepikan proses alami yakni mencoba terlebih dulu, jawaban ya, tidak bisa.



Jalan satu- satunya adalah kamu mencoba produk tersebut secara langsung, kamu juga bisa mencatat progress-nya juga, jadi kamu tahu apa produk itu sesuai atau malah membuat kondisi kulit kamu makin parah. Jangan lupa juga untuk mencari tahu dan mempelajari setiap kandungan/ingredients dari produk, Google saja, pasti kamu bisa tahu apa saja fungsinya.



Nikmati prosesnya, karena hidup adalah proses setiap waktunya! Ahahahaah (bijak ceunah Ann Solo!)



Baca Juga : CURHAT HIDUP MINIMALIS DARI MINIMALIS YANG TIDAK AESTHETIC




Foto dari Unsplash.



Number foto dari akun Instagram Sunny Dahye



Jarang- jarang nih, saya mau berbagi pendapat saya terhadap sesuatu yang lagi viral di jagad internet (takut dihujat netizen) tapi sebagai orang yang cukup aware dengan Sunny Dahye dan melihat beberapa konten- kontennya, saya jadi ikut tahu dengan kondisi berita terbarunya. Tidak Sunny Dahye saja, saya juga ngeh sama suaminya Chris Okano yang dulu adalah CEO-nya saluran YouTube Tokyo Creative. 


Long story short, saya merasa ada yang aneh dengan konten- konten Tokyo Creative dan beberapa YouTuber yang bergabung di dalamnya, kok ya ada yang berbeda, tapi apa? Begitu juga rasanya konten- konten Sunny yang kok, semakin cringe ya, somehow ‘agak’ putus asa (duh, maaf, ini hanya pendapat pribadi saya). Paling bikin kaget itu, konten Sunny Dahye lagi mandi! Kurang tahu konten itu masih ada apa tidak, tapi itu konten sukses bikin saya unsubscribe. 


Sekali lagi ini adalah pendapat pribadi saya, karena bukan saya menjadi picik atau apa, bagi saya pribadi itu cukup awkward kalau melihat orang lagi mandi di YouTube. Di film saja rasanya kalau bisa saya hindari, deh. wkwwk.




Kasus Sunny Dahye yang Dimulai Dari Akun Instagram Sunnyisaliar2



Saya tidak sengaja menemukan berita ini Ketika saya membuka YouTube dan menemukan thumbnail berita dari YouTuber yang memang fokus pada berita seputar Korea, yakni Yusril Kim. Asli kaget begitu lihat thumbnail-nya, saya pun langsung menuju TKP. Dari Yusril, saya menuju TKP berikutnya yakni akun Instagram sunnyisaliar2 yang kini sudan dihapus.


Jadi jika dikutip dari akun tersebut, Sunny ini :


  1. Menjelek- jelekkan netizen Indonesia dan menganggap audiensnya hanyalah ladang mencari view dan uang belaka.
  2. Netizen Indonesia tidak mampu atau tidak mau mengeluarkan biaya untuk mendukung Sunny (kurang tahu mendukung secara financial di bagian mana)
  3. Mantan editor Sunny mempunyai pengalaman buruk bekerjasama dengen YouTuber ini.
  4. Akun centang biru juga memberikan beberapa ‘masukan’ betapa bobroknya sang YouTuber yang pernah tinggal dan membesar di Indonesia ini.
  5.  Sunny pernah menyebarkan “fitnah” kepada sesama YouTuber yang mempunyai niche yang sama yaitu berbagi budaya Indonesia tapi dari Korea juga, yakni Han Yoora (duh, serem deh, “fitnahnya”) plus juga konten puasa yang kontroversial itu...



Ini adalah bagian permasalahan dari bagaimana sikap si Sunny terhadap netizen dan penontonnya saja, ya. Termasuk juga bagaimana dia memandang netizen, Sunny dan suaminya Chris.








Permasalahan Sunny Dahye dengan Artis/Desainer Grafis Natasha-Elle

Foto dari akun Instagram Natasha




Selanjutnya dari sini, adalah permasalahan dengan desainer grafis yang membuat header dan beberapa design lainnya untuk konten Sunny pada bulan Juli (kalau tidak salah, tahunnya lupa, mungkin tahun lalu). Akun sunnyisaliar2 juga menggunggah capture dari Natasha-Elle yang juga dikenal sebagai akun @sadshrimps di Instagram. 


Jadi, dari apa yang saya kutip dari akun sang designer, ia mengatakan bahkan tidak saja desain yang ia buat dibayar dengan “harga teman”, tetapi pihak Sunny dan Chris tidak mencantumkan siapa designer yang telah membuat konten- konten kece untuk Sunny. Bahkan, saya tidak melihat adanya watermark di desain yang Sunny gunakan. Tidak juga penjelasan lainnya di box atau apa saja, malah dulunya saya pikir semua desain dan animasi itu Sunny yang membuatnya sendiri.


Sedikit melenceng, saya dulu pernah “iseng” menjual karya- karya Doodle saya, dulu banget dan itu dasarnya for fun. Begonya lagi, saya memberikannya secara gratis dan berpikir bahwa desain saya itu tidak cukup menarik untuk bisa dibayar. Duh, padahal saya tidak boleh berpikir begitu, karena apa pun saya buat adalah karya saya yang melalui proses kreatif yang tidak sedikit, makanya saya jadi memahami bagaiamana perasaan Natasha.


Harga teman itu adalah hal yang paling memuakkan, kalau kamu benar teman, kamu akan membayar dan menghargai harga teman kamu itu. Wajar kalau kamu minta diskon kalau itu diluar budget kamu, wajar juga kalau teman kamu menolaknya karena harga yang kamu minta tidak sesuai dengan mereka. Lagipula, setahu saya, Chris itu bukannya CEO? CEO untuk Tokyo Creative yang bekerja sama dengan content creator dalam bidang kreatif, seharusnya dia lebih paham dan menghargai bagaimana seorang desainer bekerja.


Tapi ya, Natasha saat itu bekerja diperusahaan Chris yang membuatnya bisa saja segan kan, dimana mereka juga “berteman” (ini saya lihat dari akun IG Natasha ya, dia menuliskan tanda kutip untuk pertemanan mereka.) Chris juga digambarkan sebagai seseorang yang, hmm, ya, begitulah (silahkan ke akun IG @sadshrimps langsung untuk mencari tahu), sehingga Natasha merasa “terkibuli”, baik itu “harga teman” dan janji Sunny untuk acknowledge siapa sebenarnya designer yang membuat desain- desain tersebut.



Natasha juga memberikan bukti percakapannya dengan Sunny, yang kalau kita lihat dari percakapan tersebut, tidak ada solusi dari pihak Sunny. Mungkin juga janjinya pada Natasha dulu, sudah hilang, poofff, lupa begitu. 



Bagi yang heran kenapa Natasha marah, mungkin tidak tahu bagaimana desainer bekerja dan hak cipta kreatif. Secara sederhana, desain yang dipakai Sunny itu, dimaksudkan hanya untuk bulan Juli saja, tetapi sejauh yang lihat beberapa waktu lalu, desain itu masih dipakai sebagai header utama saluran YouTube Sunny Dahye. Nah, lho, bayarnya “harga teman” tapi dipakai seumur hidup padahal katanya hanya untuk jangka waktu tertentu saja. Disini bisa di lihat pihak mana yang tidak sesuai dengan perkataannya.



Rupanya tidak hanya itu saja, desain yang Natsaha buat juga dipakai untuk keperluan lain seperti akun gambar/doodle (saya juga kurang tahu ini untuk apa) milik Sunny yang lain dan tentu saja dalam animasi konten- kontennya selama bulan Juli tahun itu. Teman, untuk melakukan itu semua tidaklah gampang, hargailah sang kreator dengan harga yang pantas, toh, kau pun mendapat uang yang tidak sedikit dari itu, Sunny. Uhuhu





Sunny dan Overproud Netizen Indonesia


Unsplash.com





Dari kasus Sunny, maka istilah overproud marak kembali. Iya memang, netizen kita adalah ladang besar bagi banyak YouTuber. Tidak heran sih, kalau banyak YouTuber luar membuat konten- konten yang ada bau- bau Indonesia. Reaksi bule makan makanan Indonesia, lah, pokoknya selama itu melibatkan budaya Indonesia, netizen akan sagera klik dan nonton, salah satunya ya, saya. Wkwkwwk



Karena Sunny ini sedari dari TK hingga kuliahnya di Indonesia, dia telah mengenal budaya dan sangat fasih berbahasa Indonesia layaknya orang Indonesia tulen. Ya iyalah, kalau dari kecil sampai sebesar itu masih asing di tempat ia dibesarkan, mungkin Sunny tidak akan membuat konten- konten yang berhubungan dengan Indonesia yang membuatnya seterkenal (sekaya sekarang?).


Lagipula, dunia telah dilanda demam Hallyu yang semakin kuat tiap tahun. Kita pasti kepingin tahu apa saja mengenai Korea dan jika ada orang Korea yang menunjukkan kertetarikannya terhadap budaya kita, pasti akan disambut dengan baik.


Karena saking bagusnya dan betapa pahamnya Sunny terhadap budaya Indonesia, sampai ada yang ragu kalau dia adalah orang Korea tulen (saya itu, dulu). Cara dia bertutur bahasa itu sangat flawless tanpa aksen sama sekali. Sampai semua jargon bahasa pun, Sunnya juga tahu dan sering menggunakannya. Benar- benar Indonesia sejati, gitu.



Ya, makanya netizen jadi bangga, mengelu- elukan sang YouTuber sampai- sampai overproud, belebihan gitu, bangganya. Padahal, apapun yang berlebih- lebihan itu tidak baik kawan- kawan, air yang berlebih saja bisa jadi banjir, apalagi bangga pada manusia, sekali dikecewakan, kecewa bangets (ahem!).


Walau netizen memujinya setinggi langit, Sunny tetap akan memegang passport Korea, tidak passport Indonesia, Sunny juga manusia, jangan menutup mata, telinga dan mulut dari kesalahannya, wajar lho, dia salah. Cuma bagaimana dia menyikapinya, itu yang bereda. Ya, boleh unfollow, unsubscribe dari YouTube-nya, tapi jangan pernah meninggalkan ancaman untuk menyuruh Sunny bundir atau mengancam keselamatannya, kalian itu siapa, hey, wahai netizen? Manusia juga, toh? 



Dari kasus yang mencuat pertengahan bulan Augustus ini, pihak Sunny dan Chris juga telah membuat ‘klarifikasi’ yang somehow, bagi banyak orang dan saya juga, tidak memberikan penjelasan (ah, netizen selalu ingin solusi terbaik sebenarnya, yak). Mereka memang menyinggung Natasha tetapi itu rasanya lebih kepada bagaimana mereka “menghargai setiap seniman”, jelas tidak ada solusi untuk Natasha (yang saya rasa sebaiknya Sunny take down semua desain yang menggunakan karya Natasha atau memberinya upah yang lebih layak lagi).



Sedangkan dimana tuntutan benar atau tidaknya Sunny menjelek- jelekan Indonesia dan netizennya yang setia ini, Sunny tidak memberikan pernyataan terkait itu. Sunny hanya mengatakan bahwa ia cinta Indonesi. Kalau dari pihak Han Yoora yang terseret kasus ini (diambil dari “info” akun sunnyisaliar2), pihak Han Yoora mengatakan kalau mereka telah “berdamai” yang tentunya memang ada perseteruan sebelumnya entah itu penyebaran “fitnah” atau yang lainnya (saya pun tidak mau tahu).


Akun IG yang “memulai” kehebohan kasus ini sekarang sudah ditutup, hilang begitu saja membuat netizen bingung. Mungkin karena empunya akun merasa “saksinya” kurang valid dan takut diperkarakan, makanya dia menghilang. Tapi sukes lho, bikin netizen melek bagaimana konten kreator di YouTube itu bekerja, dengan menarik audiens dari Indonesia yang “mencintai YouTuber favorite mereka dengan buta dan akan melakukan apa saja untuk membela mereka”.


 

Mbok ya, jangan mencintai manusia seperti itu, mereka walaupun cakep, flashy, kaya, jago bahasa Indonesia, makan sambal dan ramah, tidak lepas dari kesalahan juga. Jangan overproud, sungguh jangan membutakan diri untuk hal- hal yang bersifat fana (aha!). Mendukung boleh, tapi juga menyertakan pikiran logis kita, makanya cintai dan sukai sewajarnya. Mending kita lebih fokus pada pengembangan diri sendiri, keluarga dan cita- cita ketimbang mengikuti perkembangan YouTuber, artis, selebriti sampai lupa daratan.




Jadi ya, jangan marah juga kalau dibilang overproud atau malah membandingkan mendingan mendukung konten kreator Indonesia saja, ih, kamu mah, bebas mau mendukung siapa saja dalam hidupmu asal jangan meng-hamba kepada mereka. Kamu itu hamba Tuhan, bukan hambanya manusia. Jangan bilang; ah mau mati, kakak YouTuber/artis ini kece/cantik/sempurna sekali, idolaku, hebat sekali, bunuh aku kak, aku tidak worth it.



unsplash.com





Coba pikirkan bagaimana orang tuamu dan Tuhan selaku penciptamu melihat ini? 



Saya sering shock dengar komentar- komentar seperti ini, ya ampun, sebegitu hebatkah manusia sampai kamu mau meninggal demi mereka?


Atau buat yang menyuruh orang untuk bundir dan mengancam nyawa mereka, siapa kamu? Ih, ayo sini, berkaca pada dirimu dan evaluasi semua tingkah lakumu, bertobat ayo!



Sekali lagi ini adalah pendapat saya pribadi, bagi saya manusia ya manusia, ada celahnya, ada bobroknya, tidak sempurna cantik dengan kepribadian bagai nabi. Kalau kita semua sempurna, kita bukan manusia dong? Wkwkw jadi ya, jangan overproud terhadap siapa saja, jangan bangga pada “visual” manusia lain yang “sempurna” dan menjadikannya idola, saya sampai sekarang tidak paham kenapa orang nge-fan pada tampilan luar seseorang (keadilan bagi rakyat good looking) dan menganggap mereka lebih dari kita para kentang.


Eeiii, kamu berharga, kentang mahal lho, kalau jadi French Fries, coba deh, beli di restoran cepat saji, mahal tidak? Bagi saya mahal, sih, saya lebih memilih paket yang sudah ada kentangnya sekaligus.



Semangat para netizen Indonesia, lebih bijak, lebih humble dan ingat, good looking itu bukan berarti jaminan sesuci malaikat, manusia tetaplah, manusia. Tetap poop dan kentutnya juga bau, okay? wkwkwkw jangan maraahhh...



ps : dari tadi nyari kata, Natasha itu animatornya wkwkwk & karyanya Juli 2019 ternyata.



Kadang saya lupa, kalau penulis Jepang itu selalu unik, kalau tidak absurd, surreal dan bikin resah, tapi juga nyata di kehidupan seharian masyarakat sana yang juga relevan dengan masyarakat dunia umumnya. Jadi kali ini, saya benar- benar lupa, sampai saya membaca beberapa lembar pertama novel dari Sayaka Murata ini.


Oya, disclaimer ya, sebelum melanjutkan membaca review buku ini, kurang lebih pasti ada spoiler. Ya, namanya juga review, kita pasti akan membicarakan alur ceritanya dan pasti nganu-nganu juga dari bukunya (apa itu nganu-nganu buku?).


Karena saya sudah beralih paperless dengan membeli Samsung Tab A7 Lite bulan Juni lalu, jadi rasanya semua serba ringan termasuk waktu saya membaca juga kini lebih banyak (apa iya?). Walau, kadang-kadang saya juga rindu pengen baca buku fisik yang khas dengan bau kertasnya itu. Tapi karena sudah niat paperless dan lagi pula, e-book lebih hemat tempat dan kebetulan saya sering dapat bantuan dari teman-teman sesama anggota book club.




Penulis Jepang, Selalu Aneh dan Eksentrik?


Sejauh ini, hampir semua hasil karya dari penulis Jepang pada unik semuanya, nyentrik begitu. Seringnya absurd, surreal dan sering juga freak. Bahkan ini juga bisa dilihat dari manga mereka, duh, saya sampai sekarang masih heran bagaimana mereka bisa memikirkan sesuatu yang out of this world, lebih dari batas pikiran ngaco sekalipun. 


Tidak terkecuali Sayaka Murata ini yang ternyata adalah penulis beken di Jepang dengan berbagai deretan penghargaan salah satunya penghargaan bergengsi Akutagawa Prize. Siapa yang menyangka kalau novel dengan latar belakang mencari jati diri yang sering dianggap sepele atau besar bagi tiap orang, bisa didapatkan dengan bekerja di toko serba ada atau convenience store yang di Jepang akrab dipanggil konbini.


Kalau di kita sih, biasanya disebut pekerja di Indomaret atau Alfamart begitu. Tapi ya, namanya juga mencari jati diri, bisa didapatkan dari mana saja, bahkan mungkin CEO besar yang kita kenal ternyata mendapatkan jati diri mereka sebenarnya setelah jadi CEO bernilai milan juta dollar. Atau malah sesederhana, tokoh protagonis dari novel ini, Keiko Furukara yang menemukan dirinya tidak dapat berfungsi tanpa jadwal rutinnya di convenience store. 


Unik memang, tapi masih bisa dipahami dan tidak menimbulkan keresahan (bagi saya pribadi) layaknya novel dari Murata yang berjudul Earthlings. Duh, lain kali deh, kalau saya punya ekstra mood dan mental yang kuat untuk menulis review-nya. Simak terus pendapat saya mengenai buku pertama yang saya baca dari Murata ini.



Baca Juga : BUKU- BUKU YANG DITERJEMAHKAN SECARA VISUAL - PART 1




Menemukan Jati Diri di Toko Serba Ada Konbini


Tokoh protagonis buku ini adalah Keiko Furukara yang sedari kecil sudah merasa dirinya aneh. Orang-orang disekelilingnya, terutama keluarga yang terdiri dari Ibu, Ayah dan adik perempuannya, juga merasa Keiko sangat berbeda sehingga Ibunya sampai risau bagaimana Keiko akan menjadi dewasa dan mampukah ia beradaptasi dengan masyarakat nantinya.


Dimulai dari insiden dari ketika sang protagonis masih kecil, dari menonjok (kalau tidak salah) teman sekolahnya hingga bagaimana ia ingin membawa burung mati agar bisa dimakan oleh Ayahnya, hingga ia tidak mengerti kenapa orang dewasa harus merasa risau dan cemas, membuat saya yakin; wah, ini orang pasti punya masalah mental.


Perjalanan Keiko yang tidak normal membuatnya sulit untuk mengerti bagaimana orang normal lainnya berpikir, tetapi untungnya si adik perempuan membatu Keiko dengan cara memberitahukan apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh seorang yang normal di masyarakat. Jadi, kurang lebih si adik menjadi life coach bagi kakaknya, karena Keiko jadi tergantung dengan bantuan si adik terlebih lagi kalau ia menemukan hal yang biasanya di ajarkan sang adik.


Ketika Keiko berkuliah, ia mencoba pekerjaan paruh waktu di convenience store yang merupakan bagian budaya Jepang; selalu ada dimana saja, buka 24 jam dan menyediakan apa pun yang dibutuhkan dengan instan. Ternyata Keiko menyukai pekerjaan ini dikarenakan ia merasa menjadi bagian masyarakat yang normal.


Saya kurang bisa menggambarkannya disini, tetapi Keiko adalah salah satu contoh klasik dari mereka yang mempunyai kekurangan emotional intelligence, yang selalu kebingungan akan tindakan yang diambil orang-orang yang ia temui. Karena kurang mengetahui emosional, jadinya ia kesulitan jika melakukan pekerjaan lain selain bekerja di toko serba ada.



Mungkin karena toko serba ada di Jepang sudah ada pakemnya sendiri, seperti menyapa pelanggan dengan tagline absolut dan rutin waktu pekerjaan, membuat sang tokoh utama merasa nyaman. Ia menganggap, dirinya yang berbeda ini somehow bisa melakukan sesuatu dalam pengertian normal, bekerja di toko serba ada adalah jawaban terbaiknya.



Tolak Ukur Kenormalan, Budaya dan Habit Masyarakat






Dari yang bekerja paruh waktu di usia 18 tahun, Keiko yang sudah merasa nyaman tetap bekerja sampai ia berusia 36 tahun (di dalam buku). Dari yang awalnya sempat kesulitan berteman, ia punya teman kantor yang selalu berganti-ganti dan rupanya berhasil menjaga lingkar pertemanannya dari zaman sekolah. Ya, walau Keiko sendiri tidak yakin dan hanya datang sebagai upaya menjadi normal.


Buku ini juga menyentil apa batas wajar bagi sebuah kenormalan, budaya dan habit di Jepang sana. Walau masyarakat Jepang tidak lagi terlalu obsesi dengan pernikahan dan banyak yang lebih memilih single, tetapi tentu saja menjadi wanita lajang masih dianggap “buruk” termasuk di negara timur lainnya (heellloooo...yuuhuuuu). 


Ini membuat Keiko jadi perhatian teman-temannya dan bagi Keiko sendiri, ia heran kenapa mereka ingin tahu dan mengapa ia harus menikah atau berpasangan? Saya bisa merasakan bagaimana bingungnya Keiko selaku orang yang kekurangan secara emosional. Jangankan Keiko, saya saja heran kenapa orang-orang kepo banget soal hidup lajang saya.


Jadi saat Keiko malah dekat dengan mantan pekerja bermasalah dari convenience store, Shiraha dan malah menampungnya di rumah Keiko yang lusuh dan sempit, maka hebohlah teman, keluarga dan pekerja di konbini. Sama eksentriknya dengan Keiko, Shiraha juga mempunyai masalahnya sendiri.


Kurang tahu istilah tepatnya di Jepang apa (mungkin hikikomori?), Shiraha adalah pria yang anti kemapanan, selalu marah pada society, menolak bekerja layaknya orang Jepang lainnya yang mengabdikan hidup mereka dengan bekerja. Tokoh pria ini bisa dibilang homeless, lari dari rumah dengan meninggalkan hutang disana-sini. 


Layaknya persepsi masyarakat, tentu saja Shiraha menjadi sosok yang dihindari oleh masyarakat dan dianggap sampah. Disisi lain, Keiko yang tidak ‘normal’ dalam standard umum, selalu mencari jalan supaya dianggap normal bahkan dengan menirukan siapa saja yang ia anggap menarik dan masuk dalam kriteria normal.



Mereka akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama karena Keiko bisa dibilang terpancing oleh iming-iming Shiraha bahwa kalau ia mereka tinggal berdua, mereka akan dianggap pasangan dan mereka sudah masuk dalam kategori normal di masyarakat. Mengingat kelebihan ini, Keiko pun bersetuju meski semakin lama Shiraha menjadi menunjukkan belang patriarki yang khas.


Shiraha selalu mengeluhkan makanan yang Keiko buat, keadaan kamar sewanya yang lusuh dan seadanya, bahkan Shiraha berani mengkritik bahwa konbini adalah tempat buruk untuk bekerja. Ia memaksa Keiko untuk mencari tempat kerja baru yang lebih sesuai dengan umurnya.


Well, karena kekurangannya Keiko akhirnya menuruti saran Shiraha dan mencoba kerja lain yang ia sendiri sebenarnya tidak mau. Keiko, yang sejak akhir masa remajanya hingga 36 tahun ini, akhirnya menyadari bahwa ia tidak dapat lepas dari konbini dan berada di konbini dengan rutinnya yang tertata adalah ritual, sebuah jalan yang bisa membuatnya normal. Bagian dirinya yang terbesar adalah konbini, therefore, jati dirinya yang sebenarnya tentu saja adalah bekerja di konbini.



Baca Juga. :     REVIEW MEMBACA E-BOOK DI SAMSUNG GALAXY TAB A7 LITE LTE



Rasional dan Merasionali


Sebenarnya ini bukanlah bacaan yang berat dan rumit, malah saya menghabiskan buku ini dengan cepat. Tapi tentu saja tidak ringan karena buku ini membawa tema rasional dan merasionali (apa ini, kata buatan karangan saya apa, ya) apa yang dianggap normal di masyarakat Jepang.


Kalau ditilik kembali, Keiko mungkin kurang memahami sisi emosional manusia, tapi sebenarnya tokoh Keiko ini bisa ditemukan di sekeliling kita walau memang tidak umum (atau mereka pandai menyamar seperti Keiko?). Diluar sana, ada kok, orang-orang yang membelakangi cara berpikir konvensional dan menolak masyarakat yang cenderung  berkompromi. Ada, salah satunya saya (hahay!) yang juga tidak habis pikir kenapa orang merasa rasional untuk mencampuri urusan pribadi saya, menikah apa tidaknya saya, contoh.


Begitu seseorang menemukan orang lain berbeda, mereka entah kenapa rasanya berhak untuk ikut campur dan meluruskan sesuai dengan standar mereka. Poor Keiko, karena saya juga merasakan keresahan yang kurang lebih sama. Sebagai bacaan sentilan habid sok rasionalnya masyarakat, saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca terutama jika kamu juga adalah perempuan/lelaki yang tidak masuk dalam ‘standar normal dan rasional’ masyarakat.



Newer Posts
Older Posts

Ann Solo

Ann Solo
Strike a pose!

Find Ann Here!

Ann Solo Who?!

Ann Solo adalah nama pena Ananda Nazief, seorang lifsestyle blogger yang terinspirasi oleh orang- orang sekitar, perjalanan, kisah- kisah, pop culture dan issue semasa.

Prestasi:

Pemenang Terbaik 2 Flash Blogging Riau : Menuju Indonesia,
Kominfo (Direktorat Kemitraan Komunikasi) - Maret 2018.

Pemenang 2 Flash Writing For Gaza (Save Gaza-Palestine),
FLP Wilayah Riau - April 2018.

Pemenang 3 Lomba Blog Lestari Hutan, Yayasan Doktor Syahrir Indonesia - Agustus 2019.

Pemenang Harapan 1 Lomba Blog, HokBen Pekanbaru - Februari 2020.

Contact: annsolo800@gmail.com

  • Home
  • Beauty
  • Traveling
  • Entertainment & Arts
  • What's News
  • Books & Stories
  • Our Guest
  • Monologue
  • Eateries

Labels

#minimalism Beauty Books & Stories Eateries Entertainment & Arts Film Gaming monologue Our Guest parfum Review Review Parfume sponsored Techie thoughts traveling What's News

Let's Read Them Blogs

  • Buku, Jalan dan Nonton

Recent Posts

Followers

Viewers

Arsip Blog

  • ▼  2025 (1)
    • ▼  April (1)
      • Asyik, Perang Tarif, Mari Kita Beli Barang KW
  • ►  2024 (18)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2023 (45)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (11)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2022 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2021 (27)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2020 (34)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (5)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2019 (34)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2018 (56)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (14)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (5)

Find Them Here

Translate

Sociolla - SBN

Sociolla - SBN
50K off with voucher SBN043A7E

Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Blogger Perempuan

Beauty Blogger Pekanbaru

Beauty Blogger Pekanbaru

Popular Posts

  • Review Axis-Y Toner dan Ampoule - Skincare Baru Asal Korea
    Sejak beberapa tahun kebelakangan ini kita telah diserbu oleh tidak hanya produk Korea baik itu skincare dan makeup, tetapi juga ...
  • Review Loreal Infallible Pro Matte Foundation
    Kalau dulu saya hanya tahu dan penggemar berat Loreal True Match Foundation sejak zaman kuliah, ternyata Loreal juga mengelua...
  • 2019 Flight Of Mind
    Cheers! Time flies indeed, terlebih lagi di zaman sekarang ini dan saya yang sudah mulai lupa sehingga semua terasa cepat. 2019...
  • Kampanye No Straw Dari KFC
    Kampanye No Straw Movement. Kemarin saya dan seorang teman berjanji untuk bertemu di KFC terdekat dan sambil menunggunya datang, saya ...
  • (Pertandingan Terakhir Liliyana Natsir Sebelum Pensiun) Dukung Bersama Asian Games 2018
    Hari ini berita yang cukup mengecewakan muncul di TV ketika saya dan Tante sedang makan siang dirumah: Liliyana Natsir akan menggantung...
  • Review Lip Balm 3 Merek - Nivea, Himalaya Herbals dan L'Occitane
    Dulu sekali, sebelum kenal dengan lipstick seakrab sekarang, saya dan   lip balm adalah pasangan yang kompak. Tidak hanya mengatasi ...
  • Review Sunblock Biore & Senka
    Oh my! Sekali lagi saya merasa bersalah 'menelantarkan' blog ini karena akhir bulan lalu saya mempunyai pekerjaan baru ya...
  • Review - Sakura Collagen Moisturizer
    Pertama-tama, saya hanya mau menginformasikan bahwa ini adalah artikel review yang sebenarnya sudah lumayan telat terlupakan oleh kek...
  • Review AXIS-Y Cera-Heart My Type Duo Cream
    Sudah lam aterakhir kali saya memakai cream moisturizer tipe konvensional, alasan utamanya adalah kondisi iklim di kota saya...
  • Review Lipstick Maybelline Superstay Ink Crayon
    2020 dimulai dengan racun lipstick terbaru dari Maybelline yang datang dengan Super Stay Ink Crayon yang sebenarnya sudah saya nant...

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates