Curhat Hidup Minimalis dari Minimalis yang Tidak Aesthetic

by - Juni 01, 2021




APAKAH SAYA HARUS TERLIHAT AESTHETIC DENGAN MEMBELI PAKAIAN MONOKROM, PERABOTAN & DESAIN/INTERIOR RUMAH YANG AESTHETIC SEPERTI MINIMALIST KEBANYAKKAN?    

AM I MINIMALIST ENOUGH WITH WHAT I HAVE NOW?


Jujur saja, bagi pemula yang sedang berniat dan baru saja menjalankan gaya hidup ini, pasti punya pertanyaan yang sama seperti judul artikel saya kali ini. Ya, saya juga sama, dari niat di 2017 lalu sampai progress ‘jatuh dan berdarah’ hingga saat ini, saya masih bingung dan bertanya- tanya.


Buat saya pribadi, ada kalanya saya merasa down dan minimalism adalah penguat saya; mau punya wardrobe yang sesuai dengan kebutuhan, tabungan yang bagus dengan hidup frugal serta tentu saja kelegaan hidup yang tidak lagi membutuhkan validasi dari kebendaan. Tapi saya juga cemas, anxious karena, hampir semua minimalis yang saya tonton di YouTube, sejauh ini, sangat  AESTHETIC.


Saya tanpa sadar ‘berkiblat pada apa yang mereka tampilkan. Dari dinding rumah/kamar putih yang bersih, dengan curtain linen putih, lantai kayu vinyl, sofa empuk, meja kerja kayu dengan desain Scandinavian yang clean and sleek, lemari putih yang simple, hingga Macbook Pro dengan segelas kopi creamy disampingnya.


Ya, itu adalah gambaran umum yang biasa saya lihat dari banyak minimalis luar bahkan hingga dalam negeri. Kamar/rumah mereka sangat, sangat aesthetic dengan desain dan interior yang meneriakkan kata MAHAL. Sekali lagi, jujur saya menjadi anxious sehingga sadar atau tidak, membandingkan saya dengan mereka.


Karena saya seorang beauty blogger juga, yang mana seharusnya selalu up to date dengan tren kecantikan yang literally bermunculan tiap hari (saya sudah tidak lagi aktif ‘berburu’ tren beberapa bulan belakangan ini), saya jadi confuse karena niat saya ingin membatasi produk. Eh, ketemu minimalis yang memang, tidak mempunyai banyak produk kecantikan, tapi sekalinya punya, itu adalah merek jutaan rupiah.


Baca Juga :    SLOW FASHION DALAM KONSEP HIDUP MINIMALIS


Sekali lagi, ini adalah preferensi masing- masing orang, dan kebetulan mereka adalah seorang minimalis. Disini saya tekankan, apa yang saya rasakan adalah kebingungan pribadi akan produk kecantikan yang ampun dah, gaji 6 bulan mungkin baru bisa saya beli.


Cuma ya, kembali pada topik diatas, saya tetap bingung dengan minimalis yang serba aesthetic tadi. Membuat apa yang saya miliki sekarang, seakan kurang minimalis. Contohnya, saya masih tinggal dengan keluarga, jadi area diluar kamar bukanlah area saya. Jadi mari coret area itu karena barang saya di luar kamar mungkin cuma 5 buah atau kurang.


Tapi di kamar, semuanya serba ‘tidak aesthetic’. Dinding kamar saya biru laut yang dicat 12 tahun lalu, dengan curtain warna tacky dibeliu tak kalah jadulnya dekade lalu, meja kerja yang dibeli di pinggir jalan raya, lemari baju yang juga sudah usang, lemari buku dengan warna gelap, lantai keramik putih yang sudah ada sejak rumah ini dibangun. Sungguh tidak ada menariknya.


Rasanya saya bukan apa- apa dibandingkan dengan minimalis lainnya yang kece, dashing dan wow. Rumah dan perabotan bagus, bahkan bermerek dengan desain minimalis. Sungguh sangat menggugah dan mencerminkan minimalis.


Paling tidak itu menurut saya, ya.






Lalu ada extreme minimalis yang punya barang super sedikit, lagi, tentu saja tetap aesthetic. Bayangkan, walau barang yang mereka punya ada 50, tapi mereka tetap kece dan dashing. Menyilaukan.


Lagi- lagi, terinspirasi, saya pun ingin mengecat ulang kamar saya, mendekorasinya dengan lantai kayu yang bisa ditempel, mengganti lemari dan meja kerja serta membeli kursi (ini mah, karena alasan kenyamanan karena untuk kerja dan kesehatan juga), pokoknya di make over biar benar- benar sama, biar jadi ‘minimalis asli’. Pokoknya harus!


Baca Juga :      CARA SIMPLE MEMAHAMI DAN MENJALANI KONSEP HIDUP MINIMALIS


Sampai saya melihat ke rekening tabungan saya; TIDAK CUKUP. Lebih tepatnya tidak ada budget untuk itu. Untuk mengganti cat dinding, ternyata menurut adek saya, dinding harus di kikis dulu, baru bisa di cat putih. Jelas sekali, saya tidak ada waktu, sumber tenaga dan uang. Itu baru dinding saja. Namun, untuk mengganti lantai rasanya masih bisa, pikir saya.


Oh tidak, Ferguso! Cuaca di kota ini panas, lantai yang ditempeli dengan yang sintetis pasti akan membuat kamar saya makin panas. AC? Mau sampai kapan harus AC terus, listrik rumah akan jeblok. Arkh! Saya bingung! Beli lemari pun, sesudah melihat- lihat, tidak ada yang sesuai dengan kemauan saya. Meja kerja? Kalau seperti yang saya inginkan, maka siap- siap saja bokek beberapa bulan makan mie instan saja sampai usus gemetar.


Dari sini, tidak ada yang sesuai dengan ‘jalan ninja minimalis aesthetic’. Apalagi yang dari video TikTok, makeover kamar minimalis dengan budget, tetap tidak bisa saya ikuti. Ini membuat saya merasa tersisih, am I not minimalist enough for only having what I own?


Walau saya masih bisa memaksakan make over, tapi saya merasa sayang karena saya masih mempunyai target lain yang rasanya lebih penting. Awalnya saya ingin beralih kepada minimalis karena mengalami penyakit anxiety dan BPD yang sangat parah, malah jadi tambah stress karena saya mau ikut- ikutan jadi aesthetic yang sangat jelas sekali tidak mampu saya ikuti.


Kenapa saya harus menyiksa diri saya padahal niatnya adalah mencoba opsi penyembuhan jiwa dengan menjadi minimalis. Saya jelas- jelas tidak akan punya rasa percaya diri jika harus menunjukkan progress  dari decluttering dan kondisi kamar saya yang jauh lebih lega saat ini. Karena apa yang saya punya sebagai minimalis sangat tidak menarik, mungkin malah terlihat lusuh dan norak.


Aduh, saya sedih. Sungguh saya sedih. Saya tidak punya budget untuk menjadi one of those dashing minimalists. Selain juga saya kurang sabar harus menata barang supaya terlihat cantik selalu dan harus selalu membersihkannya setiap waktu. Intinya selain tidak mampu, saya juga tidak punya waktu serta kesabaran. Lengkap sudah.







Kemudian saya tidak sengaja melihat konten YouTube beberapa minimalis yang ‘a la kadarnya’ seperti saya. Mereka tidak punya furniture mahal, dinding rumah/kamar juga tidak putih cemerlang, malah ada yang pakai meja kecil biasa banget yang dijual di pinggir- pinggir jalan. Bahkan banyak yang memuji minimalis ini karena mereka lebih nyata dan relatable. Tidak semua minimalis mampu membeli perabotan mahal dengan ‘desain minimalis’ untuk melengkapi ‘hidup minimalis’ mereka.


Toh, bukannya inti dari menjadi minimalis adalah merelakan hal- hal yang membelenggu kita selama ini, mensyukuri apa yang kita punya dan mengatur pengeluaran hanya sebatas kemampuan kita? Ya, toh? Lha, iya.


Jika dipikir kembali pun, jauh sebelum saya mengenal konsep hidup ini, saya sebenarnya telah bertemu dengan orang-orang yang, entah sadar atau tidak, punya barang seadanya dan merasa cukup (walau kasurnya mahal...uhuhuhu). 


Baca Juga  :    MINIMALISM MEMBANTU MERINGANKAN STRUGGLING DALAM KEHIDUPAN


Jadi kenapa saya harus mengorbankan kewarasan saya hanya demi terlihat aesthetic? Ya, karena saya merasa rendah diri dan iri. Semua rasa ini jadi lelucon personal (hati dan otak saya) yang membuat saya literally LOL. Ketawa sampai keluar air mata, antara lucu, ngenes, marah, ironis, ah semuanya, deh.


Diri saya, tidak akan bisa dibandingkan dengan siapapun karena memang begitulah hakikatnya, kemampuan saya tidak akan sama dengan kemampuan orang lain. Apalagi para minimalis yang punya sofa dan dinding putih bersih suci. Sebatasnya kemampuan saya adalah bagaimana saya bisa merasa bersyukur akan apa yang saya miliki hingga sekarang ini.


Tidak ada kekurangan (duit sih, selalu merasa kurang ya..ohoho). Bahkan ketika menulis artikel ini, saya berhenti sejenak melihat ke sekeliling kamar, all good, cuma tinggal bersihkan debu sana sini saja. 






Alhamdulillah ya Rabb, maafkan saya yang sempat merasa tamak dan iri akan dinding putih minimalis lain.


Dengan ini, saya kembali kepada fokus utama saya dan kenapa saya ingin menjalani hidup minimalis dari niat awal saya. Mungkin ini yang dibilang dengan fase relapse alias kumat. Kalau tidak kalap belanja, ya membandingkan diri karena merasa not minimalist enough.


Mau mereka sibuk dengan aesthetic dan penataan rumah/kamar yang sesuai dengan konsep desain minimalis, ya silahkan, tidak ada yang salah dengan itu. Mereka juga bagian dari minimalis karena itu adalah bagian cerminan dari pilihan hidup ini. Terlebih lagi, sangat tidak ada salahnya menjadi minimalis dengan benar- benar seadanya dengan apa yang kita punya. Jauuuuhhh sekali dari kesan aesthetic, you are still a minimalist.


Kalau bisa saya ambil kesimpulan dari buku Goodbye Things - Fumio Sasaki, dari yang awalnya beliau merasa selalu kurang dan iri pada orang lain, menjadi pribadi yang legowo, santai dan bersyukur tanpa harus repot- repot menjadi aesthetic. Begitu juga kita, minimalis adalah jalan (ninja) hidup yang sudah tepat bahkan dari zaman Nabi Muhammad SAW, baginda tidak aesthetic, tapi sangat, sangat COOL.


Apapun keinginan dan kemampuanmu, kamu tetap minimalis jika sudah memahami serta menjalankan konsep hidup ini. Jadi, semoga artikel ini akan membantumu agar tetap istiqomah juga berpendirian teguh di jalan ini dan tidak merasa rendah diri. 






You May Also Like

4 comments

  1. keren mba masyallah menginpirasi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah ☺ sama sama berteguh diri di jalan ninja minimalist kita semua ini ya, mas 🙏

      Hapus
  2. Nice sharing. Kadang aku pun merasakan begitu xjd skrg mslah udha jarang mampir ke channel youtube minimalia influencer lg, coba menerima yg ada dulu biar ga terpengaruh. Salam kenal ya. Saya member LAL juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga mba Ghina, terimakasih udah mampir baca 👍🏼
      Wkwkwk kyknya saya harus brenti nonton mereka jg deh, krn ga gitu relatable rata2 ya. tapi kmrn nemu yg baru, jauh banget dari aesthetic. Tapi bener sih, mau break lihat dulu, lama2 ikutan lelah krn tau kok, di balik aesthetic itu ada usaha ngerapihin & tahu diri ga bisa/ada waktu kyk gitu ahahaha

      Hapus