Memulai Hidup Minimalis, Apakah Masih Perlu Menyimpan Barang Cadangan?

by - Juni 15, 2021




Mau tahu progress minimalis saya sampai pertengahan tahun 2021 ini? Saya sudah menyingkirkan banyak pakain sampai saya merasa sedikit aneh karena lemari pakaian menjadi ‘kosong melompong’. Ya, tidak kosong bergema juga sih, tapi tidak sepadat dulu dan pakaian yang dilipat lebih jauh mudah dilihat dengan sisi-sisi tepinya yang lebih legaan.


Lalu saya mengalami masa ‘delusional’. Rasanya rugi banget karena intinya semua pakaian yang saya beli dulu itu tidak memberikan apa-apa bahkan banyak diantaranya masih baru atau cuma dipakai sekali.


Itulah resikonya kalau belanja kalap gelap mata, just because ada diskon, bahannya bagus, bakalan dipakai kalau begini..


Barang darurat alias barang yang kita simpan dengan harapan suatu hari nanti akan dipakai, siapa saja pernah mengalami hal ini terutama orang tua kita yang selalu menyimpan barang dengan alasan tertentu padahal akhirnya tidak dipakai malah terlupakan.



Decluttering vs Menyimpan Barang Darurat


Saya salah satu orang yang dulu suka menyimpan barang karena berpikir pasti akan dipakai suatu saat nanti entah kapan, kadang bisa menyimpan hingga 10 tahun kali. Sering juga sampai kadaluarsa dalam hal ini teh. Spesifik ya, saya adalah peminum teh, tapi suka merasa sayang apalagi kalau teh dari oleh-oleh luar negeri, simpan punya simpan, bablas kadaluarsa.


Anehnya, saya cuma bisa menyimpan teh sedangkan untuk stocking barang makanan harian/mingguan adalah paling susah. Kontra banget, saya malah tidak suka menumpuk dan menyimpan makanan mau di dapur apalagi dikamar. Cuma teh, yang bisa awet saya simpan sampai literally 10 tahun-an.


Selain teh, saya tentu menyimpan produk skincare. Well, dulu sih, parah ya, sampai itu skincare berubah warna. Tapi sekarang, saya lebih kepada bingung karena stock skincare yang ada saat ini lebih cenderung ke travel dan tester size. Harapannya, saya akan pakai mereka kalau lagi traveling. Boro-boro traveling, ke warung depan rumah dengan aman saja sudah alhamdulillah.


Jadinya, skincare kecil-kecil itu menumpuk. Mau dipakai semua, saya masih ada stock skincare lain belum habis. Lagi, travel size kecil begini biasanya lebih nyampah, bikin saya anxious serba salah saja. 


Dari skincare, saya tentu saja punya pakaian cadangan banyak banget (dulu) yang saya pikir bakalan cocok kalau dipakai :


  • Unruk traveling di pantai

  • Untuk kemping di hutan

  • Untuk olahraga (who am I kidding?!)

  • Untuk ke kondangan outdoor 

  • Untuk ke kondangan hotel mewah (biar ikutan glamour, begitu)

  • Untuk kalau lagi demam dan butuh pakain tebal

  • Untuk kalau lagi traveling ke negara bersalju (??????!!!!!!)



Seterusnya, seterusnya dengan semua impian saya memakai pakaian ini itu saat ini itu. Delusional habis. 


Baca Juga  :     SLOW FASHION DALAM KONSEP HIDUP MINIMALIS



Kewajaran Menyimpan Barang yang Kiranya Diperlukan Nanti





Sebenarnya saya ingin sekali punya pakaian yang serba pas, bisa mix and match kayak fashion guru yang dandanin  capsule wardrobe, merasa bersyukur walau punya 10 lembar pakaian. Tapi tidak bisa Fergusso, walau saya tidak berniat jadi extreme minimalist, saya tidak bisa menyingkirkan barang yang sekiranya diperlukan nanti begitu saja hanya karena saya sudah convert jadi minimalis.


Malahan, saya merasa perlu adanya beberapa barang yang bisa kita simpan yang jelas-jelas akan berguna seperti :


  • Sikat gigi, karena disekitar rumah tidak ada warung terdekat, jadinya kalau sikat gigi nyemplung toilet, saya harus siap sedia dengan dengan simpanan sikat gigi baru lain

  • Pembalut, ya jelas, sudah kewajiban ini.

  • Stok obat dan vitamin (panik itu pas migraine, tapi ternyata panadol sudah habis 2 bulan lalu)

  • Toiletries, ya kawanku, jangan sampai Anda kehabisan stok deodorant, ya.

  • Pakaian, iya, pakaian karena kalau jemuran tidak kering atau malah lupa mencuci baju kemarin, hari ini kamu mau pakai apa? 

  • Makanan, karena tidak ada yang lebih menyedihkan ketika kelaparan tengah malam dan tidak bisa memesan delivery.



Khusus makanan, saya adalah contoh kasus orang yang paling paham betapa pentingnya menyetok makanan tetapi kenyataan dan praktiknya sering alfa. Jelas sekali, saya adalah tipe orang yang kalau apocalypse atau ada serangan zombie dan monster, bakalan kelaparan dan mengais-ngais dimana-mana. I just simply suck at this.






Tips Sederhana  Memulai Hidup Minimalis







Korelasi antara menyimpan barang yang sekiranya diperlukan nanti versus hidup minimalis itu, tegas sekali; NO. Karena banyak dari minimalis yang menyarankan untuk decluttering termasuk menyingkirkan barang-barang yang dianggap tidak relevan. Tidak akan dipakai dalam waktu dekat atau 3 bulan? Ya sudah, buang.

Namun tidak semuanya bisa diaplikasikan pek ketiplek. Ini akan kembali pada masing-masing orang, seperti saya yang masih membutuhkan barang yang saya simpan untuk nanti. Malah saya harus belajar menyimpan makanan.

Memang banyak minimalis diluar sana yang menyarankan untuk membeli barang saat dibutuhkan saja. Beli makanan saat tahu akan dimakan, katakanlah 2 hari. Atau beli saat itu juga dan habiskan segera. Rasnaya mereka tahu benar apa yang mereka lakukan dan terlihat mudah (dari konten YouTube mereka). 

But heck, no. Tidak mudah bagi semua orang dan saya adalah salah satunya. Saya tidak punya kendaraan jadi saya hanya keluar ketika pulang pergi kerja dengan tebengan, jadi saya tidak bisa sesuka hati keluar membeli barang pas saya lagi butuh. Jatuhnya sama dengan belanja bulanan, saya harus mencari 1 hari khusus untuk keluar belanja dan membeli semua yang saya butuhkan baik memang sudah ada slotnya atau barang yang saya berli berdasarkan perkiraan saja.

Sampai rumah, saya jadi mumet melihat barang belanjaan saya jadi banyak dan tiba-tiba mikir; beli apaan sih, kok ya tidak penting begini, entah untuk apa. Lucu memang semesta bertindak eh tak berapa lama, saya membutuhkan barang tersebut.

Berdasarkan pengalaman saya ini, maka, untuk menjadi minimalis, kita tidak mempunyai pakem yang absolute. Semua orang bisa convert jadi minimalis, namun bisa di ‘kostumisasi’ berdasarkan kemampuan dan kebutuhan mereka. Tips mudahnya yang saya praktekkan sampai sejauh ini adalah :


  • Temukan dulu style dan kebutuhan berpakaian sebelum melakukan massive decluttering

  • Jangan terlalu berkiblat pada 1 minimalis saja, cari lebih banyak info tentang minimalist lain

  • Leburkan semua informasi dan cerita dari semua minimalis yang kamu tahu dan tarik kesimpulan/hikmahnya dari semua cerita itu

  • Progress untuk menjadi minimalis itu memakan waktu, take your time really,

  • Tidak ada salahnya menyimpan barang darurat dan yang sekiranya diperlukan nanti, asal jangan menjadi tumpukan lain yang unfaedah saja

  • Ingat, minimalis tidak harus berpusat pada furniture aesthetic, dinding putih, filter foto yang kece, pakaian hitam putih, style yang clean and edgy. Kamu bisa pakai warna kesayanganmu dan masih tetap seorang minimalis

  • Shopping dan atur keuangan dengan bijaksana karena sungguh, tidak perlu membeli barang hanya karena ingin terlihat kece dan diakui. Apa juga kan, biar kece walau kere? Sungguh tidak masuk akal.



Diingatkan kembali, semua yang saya tulis ini adalah hasil dari trial and error saya yang masih berproses menjadi minimalis seperti yang saya inginkan, bukan mengikut minimalis lain ya, walau memang tergiur pengen aesthetic (sepertinya ini jadi inside joke bagi pembaca khusus rubrik minimalis Ann Solo). 




Perjalanan saya, kamu dan orang lain berbeda walau tujuan serta niat kita adalah satu yakni menjadi minimalis yang full faedah dan memperkaya rekening kita meski terlihat gembel diluar, ya paling tidak jadi ‘kelihatan’ minimalis seperti Zuckerberg walau kekayaan dibelakangnya menumpuk, ya.

Anyway, kalau kamu juga merasa seperti saya, yakni masih merasa menyimpan barang untuk keperluan tertentu nantinya, ya silahkan selama itu memang bisa memberi rasa aman dan bermanfaat. Anggap saja kamu punya backup atau safety net kalau pas, keadaan darurat datang.

Punya pengalaman yang serupa? Please do share di kolom komentar dibawah, ya.



You May Also Like

4 comments

  1. Keren kak... Semangat.. Aku juga baru belajar perlahan jadi seorang minimalis.. Sangat pelan beralihnya, soalnya memang perlu penyesuaian.. Semangat nulis nya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. semangat kak! saya sudah berapa tahun, jatuh bangun, merangkak smp relapse berapa kali tapi tetap komitmen karena tahu prosesnya memang tidak mudah dan jadi prpgress seumur hidup. semoga kak eka juga tetap maju tak gentar jadi minimalis juga ya. terimakasih sudah mampir baca kak, nantikan tulisan berikutnya, ya

      Hapus
  2. Pada dasarnya minimalis adalah mainset dimana hidup berkesadaran dg apa yang kita beli, dg apa yg kita konsumsi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. yes, betul kak, jadinya kita mengubah cara pikir kita dan menyesuaikan semua hal dengan kebutuhan dan kemampuan kita, ya.

      Hapus