Perjalanan Menjadi Seorang Minimalist - Burnout dan Kelelahan Mental

by - Desember 20, 2020




Kapan terakhir kali saya berbagi mengenai perjalanan saya menjadi seorang minimalist sejati? Entahlah, saya pun tidak ingat, mungkin beberapa bulan lalu? Lalu apa yang terjadi setelah itu, apakah saya berhasil menjalankan misi hidup yang semestinya bisa dilakukan dan masuk akal ini ketimbang menunggu pangeran berkuda putih si Oppa Gong Yoo?


Sebenarnya tidak banyak, saya malah sempat relapsed berapa kali dengan membeli pakaian, sepatu, skincare dan hal- hal random lainnya. Macam- macam pembenaran dalam pembelian tersebut, intinya memang tidaklah begitu penting meski memang ada beberapa diantaranya adalah hal yang saya butuhkan seperti makanan, vitamin dan obat- obatan.


Bicara membeli makanan pun, saya lebih kepada impulsive buying atau ngaco saja, ya kalau tidak pengen makan atau minum sesuatu, ya lagi kelaparan. Pada dasarnya saya sangat payah dalam menyetok makanan untuk diri sendiri. Saya memang memerlukan stok makanan ringan atau instant, eh tapi begitu sampai di supermarket, rasa- rasanya saya tidak membutuhkan itu semua. Kemudian, kelaparan dan menyesal tidak membeli stok makanan.


Begitu pula dengan stok makanan alias snack yang tidak sehat dan random, pemakanan dan diet saya sangat buruk. Frustasi memang, karena saya mengalami eating disorder, jadi saya tidak begitu sensitif terhadap diet saya walau memang saya aware saya harus makan kalau tidak maag/gastritis akut saya akan kumat. Tapi, tidak belajar dari pengalaman sebelumnya, saya tetap saja tidak disiplins dalam diet pemakanan saya.


Sigh.



Belajar Menjadi Minimalist - Burnout dan Kelelahan Mental




Ada banyak hal yang bermain di pikiran saya sehingga menimbulkan stress dan depresi, salah satu penyumbang masalah mental terbesar tahun ini adalah pandemi covid. Paranoid-nya it lho, crippling banget.  Saya sampai merasa agak delusional karena rasanya ini tidak nyata melainkan hanya mimpi buruk dan lagi tidur saja. Semuanya membuat kemungkinan baik jadi ikut tertutup.


Untungnya saya mempunyai pekerjaan yang memang saya sukai meski pasti ada ups and downs juga, kan. Things you can’t avoid. Selebihnya saya lebih frustasi akan keadaan sekarang yang membuat ketidakpastian hidup semakin berat (padahal sejak kapan hidup saya ada kepastiaan? Saya hidup dengan ketidakpastian selama ini, begitu pandemi, kenapa jadi lebih panik, sih?).


Anyway, saya sudah mencoba bermain game di kantor, membaca buku sebagai hobi utama hidup ini, main sama keponakan, tapi saya tetap burnout. Sampai saat menulis ini pun, saya masih burnout. 


Heavy sigh.



Belajar Menjadi Minimalist - Anxiety Tertimbun Barang- Barang







Dari tahun kapan saya ingin mengurangi barang- barang di kamar saya (milik sendiri ya, bukan milik anggota keluarga yang lain). Bahkan saya sempat mendonasikan banyak buku (ratusan) dan merasa masih banyak buku yang harus saya donasikan. Karena buku- buku itu sudah saya baca dan rasanya akan lebih baik jika orang lain juga membacanya. Plus, berapa bulan ini saya telah mempunyai akun di Gramedia Digital dan mengunduh e-book lainnya.


Jadi selain buku- buku yang memang ingin saya simpan, selebihnya saya harus mendonasikannya supaya beban tertimbun barang ini lebih lega. Saya juga berhasil menyingkirkan beberapa sepatu dan banyak pakaian yang tidak lagi saya sukai (saya bosan dengan flanel, jadi saya menyingkirkan kemeja flanel). Celana jeans favorite yang tidak muat lagi pun berhasil saya singkirkan. 


Lega memang.


Tetapi, saya sudah shopping pakaian thrift sebelumnya bahkan sampai kalap 2 kali, dong. Uhuhuhu


Niat hati mau legaan menyingkirkan pakaian, malah jadi beli pakaian lagi. Tapi untungnya saya telah belajar trik menemukan style berpakaian yang lebih sesuai dengan diri (juga umur) saat ini. Makanya saya menyingkirkan pakaian yang rasanya tidak sesuai selera dan thrifting pakaian yang lebih sesuai dengan selera saya yang sekarang condong pada warna- warna netral, hitam dan putih.


Karena oh karena sejatinya, pakaian hitam putih adalah pakaian ‘resmi’ orang- orang minimalist alias memberikan kita penghematan waktu dalam memilih padukan pakaian. Ya tapi saya kan, berhijab, tidak segampang mereka yang tidak berhijab yang bisa langsung cabut dengan kaos dan jeans saja. Saya harus memilih pakaian dan memadukannya dengan hijab, tas, sepatu..arkh!


So anyway, lemari saya sekarang sudah legaan, tapi saya akan tetap mengurangi beberapa pakaian lagi. Lagipula saya juga bekerja kantoran, saya memerlukan pakaian yang layak pakai dan untungnya kantor saya tidak formal serta tidak ada seragam, berpakaian rasanya lebih mudah dan tidak terlalu membebani. Kalau lagi mood, ya sedikit dandan, seringnya tidak mood, saya pakai seadanya saja.


Oh, satu lagi yang membuat saya letih dan terbebani adalah tumpukan skincare dan makeup. Sebenarnya hampir semua skincare yang saya dapatkan selama bekerja sebagai beauty blogger, alhamdulillah, sangatlah terpakai dan membantu kulit saya. Hanya saja, saya memang harus mengerem pembelian skincare atau makeup sendiri karena saya berniat menghabiskan semua sisa skincare dan makeup dari sponsor.


Untungnya saya telah menghabiskan ½ dari produk sponsor tersebut, bahkan saya berencana ingin membeli beberapa diantaranya karena hasilnya bagus. Cuma nih, sebenarnya saya tidak mempunyai banyak produk (jika dibandingkan dengan beauty blogger lain), tapi saya merasa sudah kelelahan duluan karena saya punya niat mulia untuk menghabiskannya. Dedikasi yang luar biasa, ya?!


Kalau makeup, jangan ditanya kapan habis, lha wong, maskeran terus tiap hari. Rasanya mubazir makeup-an tapi yang kena malah masker dan pengap bikin jerawatan. Tapi saya harus, rus, rus! Eh tapi tidak harus sih, kenapa maksa kalau shade foundation tidak sesuai dengan kulit saya? Beberapa diantaranya saya bagikan kepada cewek- cewek di keluarga saya, deh.



Belajar Menjadi Minimalist - Keinginan Hidup Dengan Sedikit Barang dan Kebutuhan






Begitu banyak podcast di YouTube mengenai cara hidup minimalist yang saya tonton dengan rajin ya  hari demi hari. Mulai dari Ryan dan Joshua si The Minimalist, CK Space, sampai random video yang kiranya sesuai dengan arah tuju yang saya kehendaki. Ada yang bagus, ada yang bikin stress.


Tapi, saya memang setuju untuk membuat capsule wardrobe atau barang- barang yang disimpan di dalam kotak, dalam 30 hari, mari lihat apakah kita memerlukannya, memikirkannya atau tidak. Kalau tidak, ya barang- barang itu sebaiknya disingkirkan. Saya tidak melakukan cara ini karena kamar saya kecil dong, lagipula saya sudah tahu barang apa saja yang tidak lagi saya butuhkan atau rindukan (eh, masih ada beberapa barang yang kepikiran sayang dibuang, tapi itu hanya perasaan sementara saja, untungnya).


Selain itu saya juga ingin hidup dengan 10 pakaian, 1 sepatu, 2 skincare, 1 lip balm. Hei, itu tidak mungkin. Saya sangat menyukai skincare (juga makeup, nah, ya) dan merasakan manfaat dari pemakaian skincare. Sorry not sorry, saya tidak mau menjadi minimalist yang terlalu extreme sampai penjagaan kulit pun diabaikan. Banyak yang begitu, rata- rata disebut extreme minimalist yang melihatnya saja saya bingung, ini orang masih ingin hidup atau mau jadi pertapa di dalam goa, aja?.


Tidak ada salahnya memang jadi extreme minimalist, tapi seperti namanya yang extreme, ini bisa menyebabkan obsesi yang berujung penyakit mental. Saya sudah cukup dengan BPD, anxiety dan panic attack, saya tidak mau lagi menambah penyakit dan beban mental. Sejatinya saya hanya ingin mempunyai kamar yang hanya ada barang yang benar- benar saya butuhkan, rekening bank yang gendut dengan digit yang banyak, serta kelegaan berpikir tanpa terbebani oleh banyak benda yang sebenarnya tidak saya butuhkan apalagi gunakan.



Goodbye, Things







Semuanya tidak akan lengkap tanpa buku karangan Fumio Sasaki yang tidak sengaja saya temukan wawancaranya di YouTube 2017 silam. Saya masih struggle membaca bukunya yang selalu memberi saya semangat dan cita- cita untuk lebih rapi tidak hanya mengorganisir barang yang saya punya dan butuhkan, tapi keadaaan mental state saya juga.


Lalu, apakah saya masih akan terus berjuang menjadi minimalist di tahun 2021? Jawabannya adalah tentu saja. Meski ada ups and downs dalam menjalankan misi ini, tapi saya berusaha untuk tidak menyerah meski mood saya sangat parah dan tidak dapat diprediksi. Saya harus menyemangati diri sendiri karena ini adalah pertarungan saya dan hidup saya.


Oleh karenanya, saya akan mulai lagi membersihkan dan menyortir barang- barang yang rasanya membuat langkah saya menjadi berat dan berusaha mengatur keadaan keuangan saya. Secara, menjadi minimalist tentunya lebih hemat dan rasional dalam memakai my hard earned salary, gitu. 


Apakah kamu tertarik menjadi minimalist juga?





You May Also Like

6 comments

  1. sepertinya untuk di awal berat juga ya kak ? Tetapi ga ada salahnya dicoba demi kenyamanan juga. Aku baru tauloh kalau ada sebutan minimalis gini mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. bisa dicoba mas, yg ndak guna seperti barang kenangan mantannya mas, bisa dilemapr keluar demi kenyamanan jiwa raganya mas

      Hapus
  2. Ada banyak hal yang bermain di pikiran saya sehingga menimbulkan stress dan depresi.
    Cobadeh nonton Sobat ambyar kak,semoga membantu.

    Btw jadi minimalist sih baik, tapi jangan diekspektasikan terlalu tinggi. Jalanin saja, gluck siteerku 🥰😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. mana lucu dari bloggerpku kalo ngumpul seminar melawak, ca? wkwkwkw minimalist biasanya menyesuaiakan dengan tipe orang yg menjalaninya, akyu hanya ingin punya kamar legaan dan ga berdebu aja karena banyak barang ahahha

      Hapus
  3. Aku juga pengen jadi minimalist tapi memang susah yah, apalagi kalo ada barang lucu ambyaar hehe

    BalasHapus
  4. Setahun ini baru mengurangi baju dan cukup oke dengan 20 baju dan warnanya itu2 mulu hahahaa. Sisa bajunya blm dikemana2in. Baru dipisahkan dan kemas aja

    BalasHapus