#Minimalism And Decluttering Fashion Items

by - September 01, 2018



September telah tiba dan sekarang kembali lagi meng-up-date ‘niat’ saya menjalankan cara hidup minimalist, sejak tulisan terakhir saya telah mencapai kemajuan yang cukup ‘signifikan’. Melalui banyaknya rintangan baik itu kemalasan untuk berberes dan menyortir barang, tentu saja rasa nostalgia tidak masuk akal terhadap suatu benda mati masih mencoba menjegal kemajuan saya membersihkan jiwa raga dari kepemilikkan hal duniawi.

To be honest, saya cukup ragu bahkan bingung untuk memulainya dari mana mengingat saya kurang menikmati memilah barang apalagi membuat daftar kemanakah semua barang tersebut akan diberi/di donasikan.


Sejauh ini saya telah mengurangi tumpukan buku yang menggunung (literally) kepada teman- teman yang syukurnya, sangat menikmati membaca, membuat saya senang bahwa yang saya berikan bagi mereka akan berguna plus mendukung, mengembangkan minat baca di negara ini (dan kita akan membahan mengenai decluttering books di artikel berikutnya).



Kali ini saya akan focus dalam mengurangi barang- barang fashion karena, oh well, I  love fashion walaupun selera berbusana saya biasanya mempunyai path-nya sendiri, jadi mengurangi fashion jujur saja sangat berat. Begitu juga dalam membeli fashion itu sendiri, saya sangat menyukai thrift store atau bahasa ‘busuknya’ disini; barang bekas, juga jadi menahan diri atau berhenti sama sekali dari shopping, lebih berat lagi.

Ketika saya muda (sekarang lebih, muda), saya tumbuh tanpa banyak possession on stuff, sampai usia remaja dan kuliah pun, pakaian yang saya punya tidaklah sebanyak sekarang. Masih segar diingatan, betapa minimalisnya lemari pakaian saya yang seringnya kosong apa adanya. Tetapi, saya mempunyai banyak hal lain yang memenuhi rumah sewa saat itu; comics books, buku dan majalah, unidentified trinkets, koleksi mainan, kamera- kamera jadul, CDs, bahan- bahan craft dan projek seni, juga entah-apa-itu-lainnya.

Cukup mengherankan, semakin dewasa saya semakin mempunyai banyak barang. Normalnya jika sesorang telah mampu menghasilkan pundi- pundi secara mandiri, otomatis akan menaikkan kemampuannya dalam mencukupi dirinya sendiri. Mampu beli kendaraan sendri, mampu membayar makanan di fancy restaurant, lalu diatas semuanya tentu saja mampu belanja ini-itu.

Apalagi sejak saya mengenal wise shopping dan thrifty, aktif mencari potongan diskon dari retail seperti Zara, H&M, Uniqlo, Topshop dan lain- lain. Belum lagi factory outlet yang memberi harga super miring dari merek- merek fast fashion hingga label designer kondang internasional. Ditambah dengan 'skill' yang ‘serasah’ oleh waktu dan dimentori teman- teman seperjuangan (ingin keren bermerek dengan budget terbatas), saya kini bisa membedakan antara barang palsu dan asli meski barang tersebut tergulung di lautan pakaian bekas di pasar senggol.


Oh, sedikit berbicara mengenai ‘tempat shopping’ pakaian bekas, menariknya di Indonesia (terutama di Pekanbaru), baru- baru ini masyarakat kota ini yang biasanya skpetis dan ‘malu’ kini lumayan banyak memilih berbelanja di pasar senggol ketimbang menghabiskan ratusan ribu di mall demi 1 barang saja. 

Kalau di negara ini segala macam bekas identic dengan pasar yang kumuh, bau dan kotor, lain hal nya di 2 negara tetangga. Juga kalau, barang bekas disini jarang sekali mengalami ‘make over’ seperti dicuci/dibersihkan/di tata ulang sebelum di jual kembali, barang bekas di negara jiran justru mempunyai ‘martabat’ dengan menempati lot butik layaknya toko pakaian baru. Yearp.

Begitu barang bekas tersebut di bersihkan dan ditata di sebuah toko di mall, maka secara logika, naiklah juga harga jualnya ketimbang barang bekas yang sama jika dijual di pasar jongkok. Seorang teman pernah mengeluhkan harga kemeja flannel yang bermerek sama bisa begitu berbeda; harga asli- baru dari toko, harga bekas- butik mall dibandingkan dengan harga bekas- pasar jongkok.



Terus, progress apa yang telah saya lakukan dalama mengurangi barang- barang fashion di lemari?. Pertama, saya hampir tidak pernah mengalami masalah jika itu menyangkut mengurangi jumlah pakaian, akan tetapi, ada beberapa fashion item yang  sungguh berat bagi saya jika harus berpisah darinya. Blazer/suit/jacket adalah item yang sedari dulu sudah melekat dengan saya, jauh sebelum blazer kembali trend, saya sudah mengenakan blazer berpadu santai dengan jeans dan kaos sejak tahun 2003 (sungguh bukan sesuatu yang bisa di banggakan).

Jeans/celana, simple saja; karena sulit sekali mencari ukuran dan celana yang mampu meng-accentuate pinggang, panggul kecil dan kaki saya yang cukup panjang. You know, being skinny doesn’t mean anything goes smooth on me. 

Sepatu, sneakers, dan tas adalah guilty pleasure saya yang memalukan. Baju- baju untuk acara tertentu, seriously I’m not into events nor parties, ke kondangan saja jarang sekali. Pakaian khusus demi acara khusus, ini adalah contoh betapa berhasilnya kita di brainwash oleh suatu norma tak tertulis turun temurun.

Pesta ini sebaiknya menggunakan pakaian ini, pesta semacam itu lebih tepat dengan pakaian seperti itu pula, selalu ada celah untuk menjustifikasi bagi kita untuk berbelanja mengikuti nafsu dan permainan psikologis dari iklan- iklan komersial kapitalis.

Dulu sekali (meski sudah disebutkan pakaian saya dulu tidaklah sebanyak sekarang), saya dan teman serumah mempunyai koleksi jacket dan blazer lebih dari 20 pasang (gabungan). We kept buying just because it was on sale or thrifty or cool or vintage or rare, you name it, kami 2 orang yang tidak pernah puas walau segudang jacket dan blazer menimpa kami.

Looking back, I could say it is nauseating almost disgusted even, saat ini sambil menulis pun saya berpaling pada lemari yang padat tak bisa menutup rapat, penuh dengan pakaian (apa karena belum dilipat tapi di gulung lalu di paksa masuk) membuat kepala saya pening. Kenapa saya harus mempunyai begitu banyak barang namun tidak merasa ada kepuasan karenanya?.



Sejujurnya hati, saya merasa tidak ada gunanya membeli pakaian baru tiap raya menjelang, tapi lagi- lagi masyarakat dan budaya kita sudah melekat erat dengan ‘benalu’ budaya mempercantik diri. I supposed people would demand me to get a new, proper raya outfit, no?. Do they?.

Seringkali saya mendapat teguran dari kerabat, teman bahkan orang asing tentang (pilihan) pakaian yang saya kenakan; kenapa saya tidak memakai pakaian baju kurung ke acara perkawinan, kenapa tidak memakai dress/kemeja apapun itu menyesuaikan kode etisnya suatu event.

Then here comes the bitter part of all; kenapa saya terus memakai pakaian yang sama di acara A sampai acara Z. Masyarakat sadar atau tidak sadar menetapkan hukum , penghakiman menyakitkan kepada anggotanya yang tidak terlalu mengikuti selera berbusana pasar, anti-mainstream, unik dan quirky, serta yang tidak masalah memakain pakaian yang sama berulang kali. Semua golongan yang saya tulis tadi (saya salah satunya) bisa dipastikan mengalami pertanyaan bodoh seperti itu.

Dan, sedikit pengakuan disini; saya sendiri pun pernah bertanya (serta membatin dalam hati) kepada orang lain mengapa mereka tetap memakai pakaian yang sama di kesempatan berbeda seperti tidak mampu/pelit saja dalam memanjakan diri (dengan shopping). Truly sorry, I really am.

Jika saya tidak kuat mental menanggapi pertanyan bodoh tersebut (heck yes, bahkan kemarin seseorang bertanya kenapa saya sering sekali memakai jacket denim bersulamkan nama website ini seolah- olah saya tidak punya jacket lain, heck yes, jacket saya syukurnya cuma tinggal 3 helai), saya tidak akan mampu mengatasi gejolak muak dan benci pada diri sendiri akan ketamakkan dalm membeli belah ini.

At some point saya pernah mengalami depresi khusus akan barang- barang yang menggunung di kamar ini, tapi tidak berdaya mendepaknya malah semakin keranjingan belanja. Saya menyadari, seperti di artikel saya sebelumnya, kalau saya memerlukan bantuan dan untunglah bantuan itu datang dari browsing iseng di YouTube mengenai cara hidup minimalis. 



Rasa sadar sangat menampar begitu saya melihat video mengenai tumpukkan pakaian yang tidak bisa di daur ulang dan berakhir di kubangan sampah, orang yang membutuhkan saja tidak mampu mendapatkan donasi pakaian, above all we kept spending without thinking, mindless bagai zombie menarik pakaian demi pakaian dari rak bertuliskan SALE diatasnya. 

Shame, shame, shame.

Terus menerus saya mendebat hati dan common sense sendiri; SAYA TIDAK MEMERLUKAN SEMUA BARANG UNTUK MEMVALIDASI DIRI DI KEHIDUPAN SOSIAL. Soal validasi secara social, I don’t give a damn even when I was little, mungkin itu yang menjadikan saya selalu betah jadi lone, solo ranger, terus kenapa tetap menumpuk/hoarding seperti ini?. 

Adalah rupanya kebiasan menumpuk barang/hoarding merupakan bentuk penyakit, kelainan jiwa (semakin gila saja saya, hari demi hari) yang biasanya dilakukan tanpa sadar atau sadar dengan mencari kepuasan tersendiri (I don’t feel any joy let alone being satisfied). 

Artikel ini akan terus di up-date mengikuti perkembangan saya dalam menjalankan misi hidup sederhana dan bebas, sepenuhnya menutup telinga terhadap komentar masyarakat nanti mengenai pilihan hidup saya untuk menolak konsumerisme berpakaian.

Link dari video berikut bisa kamu, pembaca budiman klik dan tonton, harapan saya mungkin bisa saja memercikkan rasa empati dan logika untuk mengevaluasi kembali pola hidup serta pemikiran kita bersama (this video membuat saya jijik dan merasa bersalah karena menganggap remeh rezeki, uang, waktu dan kemampuan sendiri sedangkan bumi dan masyarakat kurang mampu di luar sana berada dalam kesulitan).



You May Also Like

4 comments

  1. Aku pernah memulai ini, Kak. Decluttering karena ingin mulai minimalism, tapi di sisi lain kayak ada yg belum bisa kujalani hehe. Kakak mungkin tertarik mencoba minimalism dalam fashion dengan capsule wardrobe? Hehe :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. berasa banget ya, main goal nya sih isi kamar di kurangin smp 80% - 90& lah, tapi ini masih megap2..capsule wardrobe cukup menarik, cuma harus pandai mix & match kan..sejauh ini pakaian masih ada 60% lagi....wweellppp!

      Hapus