Pic : www.unsplash.com |
Di jaman saya kuliah, saya mengikuti beberapa demo protes salah satunya demo protes pembebasan Palestina yang kalau tidak salah saat itu tentang tragedi meninggalnya Rachel Corrie (rest in peace, sister) yang begitu heroic demi menyelamatkan masyarakat sipil dari serangan bulldozer merelakan tubuhnya sendiri di bulldozer (betapa samar ingatan saya akan Rachel yang kalau lagi, tidak salah di bidik kamera sedang membungkuk memeluk seorang bocah).
Jujur, saya dan teman- teman saya bergidik, mempertanyakan sanggupkah kami- terlebih lagi sesama Muslim akan sanggup melakukan hal yang sama, lha wong, pesanan makanan di restaurant telat sebentar saja sudah ngamuk-ngamuk. Rachel, kalau mau di tilik dari latar belakangnya bukanlah seorang Muslim, bliyau hanyalah manusia biasa yang tersentuh hatinya. Cuma sesedehana itu; hati yang tersentuh yang membawanya sejauh itu ke negeri asing dan berkorban jiwa raga (literally).
Di saat itu dunia menjadi heboh, kontroversi kematian bliyau membuat munculnya konspirasi teori, salah satunya pengakuan bahwa tentara Israel yang ‘tidak melihat’ bahwa Rachel sedang berada di tempat kejadian. Yeah, right.
Anyhow, buat kami- para anak muda di jaman itu (di awal 2000-an, kejadian terjadi pada tahun 2003, saya masih semester 2), apa yang menimpa Rachel sangat mengguncang. Seperti yang kita tahu, remaja dan anak muda terutama yang datang dari negara bebas merdeka konflik biasanya cenderung apathy, absent dari apa yang berada di luar lingkunngan mareka. Jika sekalipun mareka menonton berita, mendengar kabar tentang seuatu kejadian baik itu perang, wabah penyakit dan bencana alam- maaf nih, ya, ini berdasarkan pengalaman saya sendiri; kita manusia muda tidaklah begitu pusing untuk ambil tahu terlebih lagi berhenti sebentar untuk mendoakan mareka ataupun menyisihkan uang saku kita (jaman sekarang sibuk pada beli kuota internet, jaman saya dulu mungkin majalah dan kaset music).
Miris memang, tapi begitulah kita yang lupa terlena oleh kesenangan dan kenyamanan yang kita dapati bahkan sejak lahir. Indonesia sudah merdeka sejak generasi orang tua kita meskipun tidak di pungkiri negara kita juga mengalami konflik internal tapi, hey, kita semua yang ada saat ini tidak pernah mengalami apalagi mengetahuinya. Manja much, kids. Alay sih, kita ya.
Namun semakin ke depan generasi muda kita mengalami evolusi tidak hanya secara fisik yang bisa kita lihat tetapi juga secara mentality, simpati dan kesadaran kian tumbuh. Tidak hanya membantu sesama kita juga di luar zona nyaman kita, gambaran yang lebih besar adalah betapa konsistennya kita membantu saudara- masyarakat di luar negara kita seperti Palestine, Syria dan Rohingya contohnya.
Penyaluran bantuan telah terarah dan terusun, sumbangsih kita dalam bentuk materi, tenaga untuk me-lobby ke negara- negara lain juga doa yang tidak pernah putus- saya secara pribadi a firm believer of miracles, karena Tuhan itu ada dan apapun usaha kita suatu saat nanti akan berbuah manis.
Lalu kembali lagi dengan kita sebagai manusia muda (anak gaul lebih gaul lagi kalau kamu menjadi pribadi yang sensitive terhadap sekelilingmu dan mengulurkan bantuanmu, trust me your level of gaul-ness will reach up to the sky), kalau kamu masih bingung dan ragu; saya harus melakukakn apa ya buat Palestine (Syria, Rohingya dan lainnya)?. Okay ini yang harus kamu coba lakukan; kamu tahu bahwa doa itu tidak pernah merugikan apapun walau hanya sepersekian detik dalam kehidupanmu?. Nah, berdoalah. Apapun bahasa yang kamu pakai, agama yang kamu anut, anak dangdut apa anak EDM (Avichii meninggal ya, innalillah), anak sekolah mana, anak metal apa lebih heavy metal- berdoa tidak membatasi suatu makhluk. Bisa kita mulai berdoa?.
Sedekah, ini juga tidak mengurangi uang jajanmu untuk traktir pacar mu atau bujet nonton Avengers-mu minggu depan. Tidak muluk- muluk harus 100 ribu Rupiah kok, sedekahkan menurut kamu apa yang termampu serta seikhlasnya hati kamu bisa menerima. Kan, ada banyak tuh, kotak- kotak derma- cemplungin deh, tuh sedikit duit.
Educate yourself, edukasi dirimu dengan rajin membaca dan menganalisa tapi please, jangan langsung menjadi judgmental menuduh tanpa dasar pengetahuan yang banyak. Hanya karena kamu telah membaca, mendengar beberapa informasi bisa membuatmu menjadi ahli akan subjek tersebut. Ada waktu dimana saya menghabiskan bertahun- tahun membaca semua artikel, bahkan novel yang terinspirasi dari masalah Palestine dan Israel ini (saya sampai membaca beberapa cuplikan kitab mareka, sejarah mareka dari jaman mareka masih pakai kain dari kulit binatang) meskipun begitu saya masih tetap belum jadi seorang yang bisa berbicara banyak tentang masalah ini. Jadi akan lebih baik kita mempersenjatai diri kita dengan ilmu dan ketenangan melakukan pertolongan ketimbang marah- marah dan mengamuk memaki tanpa ada usaha pertolongan sama sekali. Apa coba, kan?. Buang waktu dan buang tenaga, balik lagi ke point diatas: berdoa dan bersedakah jauh lebih bermanfaat dan bermakna.
Teruntuk kids jaman now yang sibuk banget posting foto selfie mareka dan latah akan ganti profile picture mareka tiap kalau kejadian di Palestine/Syria/Rohingya lagi di blow up di media saja, ask yourself- tanya diri kamu; apakah saya tulus, apakah saya hanya mengikuti tanpa tahu apa sih, sebenarnya yang sedang terjadi di luar sana, apakah saya memang keren?. Kamu akan lebih keren kalau kamu menemukan empati, common sense- pikiran logis kamu terhadap sesama.
Kalau kamu sudah menemukan rasa simpati dan empatimu, mulailah untuk bergerak maju, ambil detik dalam hidupmu untuk berdoa, sedikit rezekimu untuk di bagi.
Donasimu akan tersalurkan, insha Allah, dalam nama Allah kepada saudara kita sesama manusia (Muslim bagi yang beragama Islam) ke;
Komite Nasional Untuk Rakyat Palestina Provinsi Riau.
Bank Syariah Mandiri cabang Pekanbaru a/n KNRP RIAU 7047466614.
Dan please stop memakai atribut Palestina hanya karena terlihat keren (kamu terlihat konyol dan palsu, beneran, karena jika kamu menanyai hati kecilmu dengan jujur), memasang foto- foto korban yang terbaring penuh darah, have some respect; hargai mareka karena mareka bukan bahan komoditi untuk di bagi dari grup social media ke social media lainnya demi di beri simpati sesaat.
Jadilah manusia yang keren, muda, teredukasi dan penuh simpati serta empati tanpa posting-an selfie berlatar belakang kesusahan orang lain.
Bismillah. Merdeka!
Ps.
Heal The World adalah lagu dari mendiang Michael Jackson tentang kemanusian.
Rest in peace, Sir.
Pic : www.unsplash.com |
Kalau perempuan kepo itu rasanya wajar banget ya, tanya kenapa saya masih jomblo, kenapa kok, keliatan awet muda- apa rahasianya, tapi kenapa kalau laki yang tanya kenapa saya jomblo sampai memojokkan itu, rasanya seksis dan misoganis banget. Belum lagi dengan nada patronizing, situ kagak kenal saya kenapa harus tanya dan bernada seperti itu?.
Bahkan mareka sampai ke pertanyaan apakah saya lebih memilih perempuan, apakah saya ‘dingin’, apakah saya masih perawan, apakah saya bahkan bukan perempuan tulen. Mareka akan ‘menasehati’ dengan ‘sebijaksananya’ mungkin; bahwa kodratnya perempuan itu ya, harus jadi bininya bagi si lelaki.
My Goat!.
Seringnya kadang yang ngomong begini adalah orang- orang yang tidak saya kenal apalagi mareka mengenal saya, baru kenalan saja sudah tanya begini, bikin empet, deh. Pendapat yang cukup dewasa dari teman adalah bahwa para lelaki ini tidak bahagai jika ia sudah menikah, dan sendirinya tidak laku karena pribadinya buruk jika ia masih lajang. Juga kali ti*itnya kecil. Setuju.
Beberapa minggu lalu saya di kenalkan oleh teman kepada teman kantornya, di awal perkenalan (lewat Whatsapp) semuanya terlihat wajar; asal dari mana, umur, tanggal lahir, hobi, pekerjaan dan pertanyaan standard lainya. Nah, selang seminggu (padahal juga chatting nya juga ala kadar dan tidak setiap hari), mulai deh, doi bertanya tentang semua diatas, melalui audio call yang karena itu saya bisa bilang dengan nada patronizing.
Okay, pertama doi lebih muda 6 tahun dari saya- yang mana doi telah menganggap saya seorang perempuan 30-an yang telah putus asa dan akan rela menikahi siapa saja daripada tidak menikah sama sekali. Kedua, doi bertanya tentang sejarah percintaan saya. Ketiga, apakah saya masih perawan ting-ting apa bukan (serious shit, doi bilang ting-ting). Apakah saya punya kecenderungan seksual yang aneh, kinky, vanilla, BDSM, atau bahkan biseksual. Hal seperti apakah yang akan menaikkan gairah seksual saya (duit, coba kasih saya duit 100 milyar, pasti saya horny), apakah saya punya riwayat penyakit yang bisa mematikan, menular atau genetika. Mampukah saya mengandung dan membesarkan anak nantinya?. Apakah saya punya tato, bekas luka dan korengan (belum tahu doi, saya di panggil FrankeNda oleh sahabat- sahabat karena saya punya beberapa bekas luka yang menurut mareka cool). Bagaimana menurut saya kalau doi kawin dua, kira- kira Jokowi akan menjabat lagikah, kemarin saya nyoblos Prabowo apa Jokowi, bisakah Ahok kembali ke jalan yang lurus, tidakkah Tesla terlalu muluk- muluk. Sebaiknya saya menjawab, saya mendapatkan cemoohan dan tawa kecil mengejek; tahu apa sih, kamu perempuan soal yang ‘serius begitu’?.
Semua bullshit di atas membuat saya kontan berteriak HAIL HYDRA yang mebuat doi kebingungan dan bertanya- tanya; ‘Kamu kenal cowok yang namanya Hydra?’.
HAIL HYDRA!.
Pilihan tentang music, film dan buku juga tidak ada titik temu. Doi adalah penganut ‘apapu-yang-trend-gue-ikutin-walaupun-gue-kagak-ngarti’, music adalah yang nge-beat bisa di joget-in, film mengikuti apa yang lagi booming di bioskop (nonton Avengers, tapi tidak bisa membedakan mana Marvel atau DC, please jangan ngomong jelek soal my king T’challa atau saya akan tombak sampean dari Wakanda kemanapun sampean lari), bahkan yang lebih parahnya; doi benci sekali membaca, jangankan buku, artikel berita saja bliyau ini ogah baca. Jenis manusia apa kau, ini, hah?!.
Sampai disini, kita semua pasti setuju kalau lelaki ini so enggak banget, bisa di buang ke laut saja nambah sampah yang merusak biota laut, tetapi- tidaklah semua manusia itu penuh kekurangan melainkan mempunyai kelebihan juga.
Dan mempunyai wajah yang rupawan, body yang bagus, karir yang mapan dan kemampuan sosialiasi yang mumpuni adalah, sayangnya, tolak ukur seseorang itu sukses menjadi dan menjalani hidupnya. Ketika lelaki belum juga menikah setelah kriteria di atas lengkap; pasti dia lagi selektif, masih mau bersenang-senang, atau jaman sekarang; gay.
Apabila si perempuan juga mempunyai kriteria di atas (buruknya saya tidak masuk kriteria itu, nahas banget), dan masih melajang- perempuan ini bisa jadi; lesbian, tidak perawan/perawan tua yang takut lelaki, tamak, egois, kalau make-up nya di hapus pasti jelek, terlalu berebihan menuntut jodoh yang sempurna, punya penyakit tersembunyi, mandul, hysteria, bisa jadi mentally ill, high maintenance, bodoh tidak terpelajar dan berbudaya. Serta semua negative label lainnya yang mungkin lebih parah dialami oleh perempuan- perempuan di luar sana.
Entah berapa banyak kali saya harus berhadapan dengan tipikal lelaki seperti ini yang- membuat kecewa adalah mareka yang mempunyai imej bagus di masyarakat dengan kerja dan materi yang menggiurkan belum lagi pendidikan yang mareka enyam dulunya; S1, S2, S3, STONNGTONG, SKRIMAICE, SKRIMWALLS apapun, lah, tidak menjamin para lelaki ini berbudaya, mempunyai common sense yang peka maupun empati terhadap lawan jenis mareka.
Berbudaya harusnya erat dengan berpendidikan, tapi justru tidak selamanya mareka berdua ini bisa berbarengan. Dulu sekali satu contoh, saya mengenal seorang teman yang tidak pernah menamatkan sekolah SMU-nya, tapi bliyau adalah seorang yang amat sangat berbudaya, bahkan berpendidikan!. Jaman sebelum Google mengetahui apapun di muka bumi ini, perpustakaan dan semua bahan bacaan konvensional merupakan sesuatu yang bikin kita semua mengejarnya hanya untuk mengetahui sesuatu kejadian dan informasi (seringnya telah lama berlalu namun masih valid). Bliyau ini menghabiskan waktunya dengan membaca, mendengarkan orang (jaman sekarang semuanya mau ngomong tapi ogah mendengar), menganalisa orang, mendidik dirinya, mengasah otaknya secara otodidak. Sensitifitas muncul sebagai bibit yang mengakar menjadi budaya; memahami orang dengan karekter mareka masing- masing, latar belakang pola asuhan orang tua, kebiasaan, adat istiadat, gaya yang di pakai dan selera yang di sukai.
Bliyau ini yang menurut buku teks sekolah saya dulu (tidak tahu kalau sekarang, ya) adalah contoh rakyat yang fakir ilmu juga biasanya akan disertai dengan fakir materi. Somehow tidak semua orang bisa di golongkan dengan labelisasi serupa karena manusia akan berevolusi.
Jika saya membandingkan lelaki blangsak di atas dengan teman saya ini, pasti masyarakat akan menilainya jomplang, padahal menurut saya justru teman saya inilah yang harusnya lebih unggul. Meskipun dia tidak pernah mengenyam pendidikan formal tinggi namun bliyau adalah seorang pengusaha sukses, patron of arts!. Bliyau mempunyai koleksi buku- buku langka (sorry uncle, I lost that Tagore book entah dimana), piringan hitam klasik dan bahkan lukisan- lukisan mahal original karya sang seniman langsung di beli kontan!.
Tidak sekalipun- menurut istri dan anak-anaknya, bliyau ini merendahkan mareka dan berkata kasar dengan nada patronizing khas seksis dan misoganis. Bliyau lebih menganggap kaum perempuan adalah penggerak motor kehidupan sejati; Ann, we men won’t be here without our mothers.
Sungguh bikin baper sekali!.
Asuhan utama dari masa kecil seseorang itu amatlah berpengaruh, yha, bisa jadi si lelaki blangsak mempunyai keluarga yang dimana ayahnya adalah sosok patriaki ‘sejati’ yang menempatkan wanitanya di ‘posisinya’. Kamar dan dapur. Sosok ibu memang di muliakan tetapi juga terbatas di bawah sosok ayah. Apaan coba?. Pernah mikir tidak sih, kok bisa begitu?. Surga di bawah telapak kaki ibu, tapi kenapa bapak menempatkan ibu di ranjang dan dapur saja. Di pamerin dikit- dikitlah sesekali.
HAIL HYDRA!.
Terus kita rada heran, ada ya hari gini model yang beginian masih berkeliaran di masyarakat jaman now, ya masih dong. Yang memproduksi kids jaman now adalah kids jaman old yang masih hidup dan belum pensiun. Kids antara jaman old dan now juga masih banyak dan mulai membentuk keluarga mareka sendiri yang biasanya nih, lebih rasional dan seimbang. Yha, semoga saja produk hasil kids jaman menengah lebih masuk akal.
Di masa depan saya harap para perempuan dan lelaki tidak lagi saling seksis, misoganis dan semua term yang mengaju pada pembedaan gender secara menyakitkan itu akan segera jadi mitos dan bahan tulisan di buku sejarah pada tahun 2050.
Lalu, lalu bagaimana nasib si lelaki blangsak tadi?. Well, saya tidak banyak berkata- kata karena saya merasa dia itu beyond saving; tidak bisa di selamatkan lagi. Juga ini bukanlah kasus serupa pertama yang saya alami, beberapa orang sebelumnya kini telah ‘terselamatkan’ oleh pikiran logis mareka sendiri setelah saya konfrontasi. Coba deh mas, abang, akang, mau perempuan itu punya bekas koreng, perawan apa tidak, pernah melahirkan sebelum dia sama situ atau mampu melahirkan apa tidaknya, cantik rambut lurus panjang kulit putih bagai kunti, tomboy atau feminine, semua kelebihan dan kekurangannya tidaklah membuatnya kurang perempuan. Hello, para perempuan di sebut perempuan itu memang dari pabriknya setelah di tentukan oleh Tuhan, lengkap dengan alat kelamin pembedanya adalah akan tetap menjadi seorang perempuan terlepas dia punya maternal instinct, bisa cetak bayi- bayi apa tidaknya. Apa urusannya situ yang sibuk banget menilai dan menghakimi mareka?. Emangnya situ orang jaksa penuntut umum dari surga?. Tuhan tidak butuh bantuan jaksa, bro.
Lagian juga, benar kata-kata jadul ini deh; cinta itu buta, karena jika sudah cinta kita akan menerimanya unconditionally, sekelam apapun masa lalu seseorang itu tidak akan pernah menjamin masa depannya juga turut kelam. Etapikan manusia berevolusi kan yak, dari monyet jadi manusia bisa, masa merubah penyesalan menjadi prestasi dan cinta tidak bisa?. HAHA. Yha toh, lek?.
Saya pernah jualan onde-onde narkoba dulunya apa tidak, pernah jogged- jogged di dangdutan massal apa tidak, punya 11 mantan pacar yang bisa saja manejeri untuk bikin klub sepakbola (plus kamu jadi cadangannya) apa tidak, itu semua bukan urusan situ. Itu urusan saya sama Tuhan saya, cukup. Kenapa sih, nambahin beban hidup dan dosa dengan menguak aib dan kepoin hidup orang lain (itulah kenapa saya tidak follow akunnya Lambe Turah dll), you can go f*ck yourself and let others live in peace.
Oh, kalau kamu sudah merasa cukup dengan pendidikanmu, mungkin ini saatnya menjadi manusia yang berbudaya, ajari dirimu untuk menempatkan dirimu di posisi orang lain sebelum kamu menyakiti dan menggores hatinya dengan perkataanmu (karena jika kau gores pakai pisau, kau ku laporkan ke polisi!). Rasanya gampang kok, mikir sebelum mulut berkoar, ya toh?.
Berikut ini adalah kira- kira cuplikan adegan dialog saya dan si blangsak:
Blangsak : Jadi, kamu tidak butuh laki-laki?. Kamu terlalu pemilih, lihat umurmu makin naik, lho. Nanti keburu keriput dan layu, mana ada yang mau? (terus ngikik seram).
Saya : HAIL HYDRA!!!
Blangsak : SIAPA ITU HHYYDDRRRAAAA????!!!!
Pic : www.unsplash.com |
Kalau dulu sebelum berhijab, barang bawaan saya selama traveling sangat simple dan ringan, bahkan saya bisa menyesuaikan berat ransel sesuai dengan regulasi maskapai penerbangan, lagipula penerbangan pergi selalunya hanya 1 ransel (pulang malah beranak-pinak).
Pakaian yang biasa saya bawa dulu biasanya di pakai berulang- ulang kali paling banter diselang-selingi dengan jacket atau scarf, seringnya tabrak warna dan rada ngasal di akhir- akhir perjalanan. Bahannya pun sebisa mungkin adalah kaus katun atau apapun yang cepat kering mengingat cuci kilat ala backpacker yang hanya di gantung di ujung ranjang, dalam keadaan lembab tak jarang sudah di lipat masuk ke ransel. Duh, bau lembabnya itu lho, menguar begitu ransel di buka di tujuan berikutnya.
Terkadang saya iseng menggantung pakaian basah saya di dalam plastic kemudian di gantung di ransel yang di sandang kemana-mana seharian berharap panas kota dan matahari akan mengeringkannya. Ya kali, jangan pula memilih kresek putih transparent dan menggantung pakaian dalam terus di bawa keliling kota. Tapi ya, beberapa backpacker emang cuek dan perduli amat, saya pernah bertemu pengelana asal Eropa yang menggantung sempaknya di ransel lalu dengan santainya duduk minum kopi sambil baca buku dengan ransel yang ditutupi pakaian untuk dikeringkan. Keren. Dan masa bodoh.
Tahun pertama saya memakai hijab, semuanya serba awkward- baik itu cara pakai jilbab saya yang bingung-penuh-lilitan sampai pilihan bahan dan motifnya. Dengan tiga pentul kecil yang wajib bawa (asli merepotkan belum lagi resiko hilang atau ketusuk), trik menghindari wajah bulat chubby dengan lilitan rempong hingga rumbai-rumbai kecil di ujung hijab yang bikin saya kesangkut beberapa kali. Beneran deh, kikuk banget.
Sebisanya saya selalu memakai warna- warna polos natural, tapi apalah daya saya pun terseret arus model hijab dengan motif penuh, ramai dan meriah. Which is pasti bentrok dengan motif pakaian yang biasa saya kenakan; kemeja flannel atau motif kotak 1 warna dan bunga. Belum lagi saya hanya bisa memakai hijab pashmina di karenakan jika saya memakai hijab segiempat yang di lipat dua menjadi segitiga, beuh, muka saya akan menjadi sebulat bulan!. Kalau lihat foto- foto jadul awal saya memakai jilbab yang terkesan (sebenarnya sih, iya) serampangan dan ala kadarnya, bikin ngakak kabeh!
Lalu bicara soal bahan, saya paling tidak bisa memakai bahan yang kelewat keras dan tegang, atau yang terlalu lembut dan jatuh maupun yang berkilat. Bahan yang keras bisa bikin kulit di wajah dan leher saya gatal karena mungkin benang kain yang terlalu rapat membuatnya panas. Kain yang terlalu jatuh amat susah di gayakan dan memerlukan banyak jarum pentul. Sedangkan yang berkilat, aduh, bikin muka saya kusam kalau di foto, terlebih kalau terkena flash-nya kamera, minyak muka, tambah sumuk saja nih, wajah. Padahal make-up saya on fleek banget, somehow saya tidak jodoh dengan hijab yang berkilat-kilat.
Ketika lagi trend-nya hijab motif bunga, saya pun turut serta sampai kemudian hari keponakan saya mengatakan dia menghindari motif bunga yang penuh dan besar karena itu akan membuatnya semakin kelihatan besar. Butuh waktu lama untuk saya menjauhi motif hijab bunga (karena belum ketemu pashmina polos yang seperti saya mau), dan selama itu pulalah sedapat mungkin saya hanya memakai pakaian monochrome atau serba polos sewarna sekalian. Demi menghindari tabrak motif, warna yang bikin sakit mata dan mengundang kecaman orang- orang dalam hati mareka masing-masing (malah nambah dosa juga, lagi).
Trial and error saya dalam berhijab sungguh kocak, ngenes dan panjang. Saya belajar otodidak, baik itu mencari style hijab yang sesuai dengan wajah dan kepribadian saya (no, no more hijab lilit) , bahan kain yang nyaman hingga panjang hijab itu sendiri. Karena pada dasarnya saya adalah orang yang mau serba praktis, menghindari membeli dan memakai sesuatu yang bikin saya mikir bagaimana menyetrika atau memakainya, namun begitu tetap fashionable. Ketika saya hendak sholat, saya tidak mau repot melepas hijab saya, apalagi memasangnya setelah sholat. Intinya, saya paling males ribet toh esensi saya memakai hijab kan, demi perubahan yang baik dan sebaiknya perubahan baik itu juga tidak merepotkan di dalam prosesnya. Begitu, kah?.
Sama seperti traveling yang menjadi ekstra sejak saya berhijab, kalau hanya sekedar kemping, biasanya saya membawa hijab yang bahannya seperti jenis kusut karena bahan sebegitu juga di setrika sekalipun tidak akan mulus. Nah, kalau traveling yang benaran; packing, naik pesawat gitu, baru saya rada ketar-ketir. Kalau saya memutuskan untuk backpacking dengan ransel saya harus siap dengan resiko adanya lipatan- lipatan di hijab saya. Mustahil membawa setrikaan walau yang kecil sekalipun (nambah beban tas). Hampir sama sih, kalau saya membawa koper- pasti tetap di lipat dan berbekas. Tinggal bagaimana saya mengakalinya nanti (biasanya bête di awal tapi lama- lama juga lupa kalau hijab saya kurang rapi).
Masuk ke kordinasi warna, saya akui saya stress memilih pakaian yang saya bawa harus match dengan bujet hijab yang saya bawa nanti. Saya harus rela memakai beberapa hijab untuk beberapa kali walau bakalan basah oleh keringat. Geli ya?. Ha!. Sama!.
Untunglah saya selalu sedia body mist (yang tidak pernah sekalipun menyentuh body melainkan pakaian dan hijab) yang akan di ‘guyur’ ke hijab demi menyamarkan bau matahari. Coba gitu, produsen- produsen yang biasanya bikin shampoo untuk rambut berhijab (serius, GA NGARUH), buat parfume- atau kalau mau lebih affordable; cologne, mist atau eau de toilette khusus untuk pakaian dan hijab. Ya kan, yang penting di bikin harum itu mah, bukan body lagi, tapi hijab yang biasanya di pakai lebih dari 1 kali. Hello, kalau para produsen baca ini, itu kredit idenya ke saya ya, sini bayar royalty untuk ide saya. Serius lho, ini.
Lalu bicara bahan, rasanya susah sekali menemukan bahan hijab yang adem untuk negara tropis begini. Biasanya para penjual hijab akan mengklaim kalau hijab yang mareka jual itu akan bikin kepala adem dan tidak gatal, tapi kenyataannya mareka biasanya hanya mementingkan motif dan model hijab (di kasih sulaman kah, di kasih mutiara kah, di kasih beads kah). Jarang sekali saya temukan produsen hijab yang serius, mengadakan riset di lab demi mencari, menemukan dan membuat bahan kain yang adem dan eco-friendly, plus yang paling penting; cepat kering secepat tangan lihai pesulap David Blaine.
Mungkin kalau semua kriteria di atas terpenuhi, baggage saya selama traveling meningkat (di akali dengan selektif memilih pakaian) khusus hijab. Sesungguhnya saya lebih mendingan memakai kaos yang sama 2 kali (aslinya sih, geli, tapi sering banget ketika traveling yang untungnya adalah bahan kaus dan longgar berangin) ketimbang pakai hijab 2 kali, karena selain hijab itu sendiri saya juga memakai alas agar hijabnya tidak merosot turun, dengan rambut yang di ikat otomatis membuat kepala saya pengap dan lembab oleh keringat. Belum lagi kalau bekas keringat bercampur residu make-up (moisturizer, bb cream/foundation, bedak, blush on, dll) menempel di hijab, bikin saya jengkel harus buru- buru cari detergen dan V*nish. Okay deh, tambah ya kriteria hijab yang ‘sempurna’ menurut saya; anti noda, apapun!. Hahay!.
Dikarenakan untuk mencari kepraktisan, ada waktu dimana saya hanya mengenakan hijab berwarna hitam atau gelap. Selain tidak mudah menampakkan noda, warna hitam dan gelap juga menyamarkan beberapa bolong kecil di hijab saya oleh peniti. Duh, ada tidak sih, kain hijab yang anti bolong oleh peniti juga?. Banyak maunya, ya?. Ahem.
Mungkin saya masih banyak belajar bagaimana mengakali traveling terutama backpacking dengan hijab namun tetap gaya layaknya para hijabers yang ngakunya backpacking tapi gaya, sepatu, tas, baju dan hijabnya ganti dari hari kehari (bawa ransel apa bawa lemari?). Terpikir untuk membawa lempeng besi pipih ringan dan lilin, di hostel yang ala kadarnya itu paling tidak saya bisa menyetrika hijab saya dengan memanaskan besi pipih itu tadi. Atau sekalian beli hijab khusus atlet (yang mahalnya ampun dah, belum masuk di kota saya, lagi), tidak hanya akan di pandangi aneh; hijab atlet tapi pakaiannya grunge/emo/girly abis tapi juga pasti bikin saya tidak nyaman karena hijab saya adalah yang menutupi dada (sekalian menutupi betapa kurusnya saya, gitu).
Semua harapan saya untuk diciptakannya hijab (pasti di kasih SNI atau cap halal nih, nanti) asyik nan murah meriah (please deh, 1 orang punya minimum 15 lembar hijab) akan segera di pertimbangkan demi kelancaran ibadah para wanita dan berkurangnya ketombe di kepala mareka. Amin.
Pic: www.unsplash.com |