Istirahat Dari Minimalism, Tertekan Dengan Extreme Minimalism & Sakit Kepala Gegara Maximalism

by - Agustus 09, 2023

  



Panjang sekali judul artikel kali ini, ya. Karena saya memang merasa demikian, lagi istirahat dari minimalism, tertekan melihat konten-konten extreme minimalism di Instagram (dari beberapa orang yang saya follow) dan sakit kepala lihat maximalism (agak, culture shock, rasanya). 


  Dari manakah saya harus memulai? 



  Dari kenapa saya beristirahat dari jadi seorang minimalist...



Minimalist Membuat Masalah & Trauma Eating Disorder Menjadi Parah





Sebelum jadi minimalist, saya sudah punya masalah pemakanan dari kecil yang disebabkan faktor seseorang. Meski saya sudah lama menyadari akar masalahnya, saya masih berjuang untuk mengatasi eating disorder ini yang, susah untuk diatasi karena sudah mengakar lama.



Jadi seorang minimalist, memang membantu masalah mental saya yang lainnya, paling tidak mengurangi decluttering barang yang akan membuat kepala saya ingin pecah.



Namun ternyata, menjadi minimalist terasa lebih ‘membunuh’ selera makan saya yang telah lama rusak. Rasanya kok, jadi parah.



Ditambah lagi, indera pengecap di mulut saya kurang ‘mantap’ karena beberapa kali lidah saya pernah seperti terbakar karena makanan yang panas. Saya masih bisa membedakan asin, pedas, manis dan asam. Tapi saya agak mati rasa jika membedakan makanan enak atau tidak enak.



Bagaimana korelasinya, benar atau tidak, saya kurang pasti. 



Intinya, saya tidak begitu paham soal makanan, bagi saya selama mulut saya bisa paling tidak membedakan 4 rasa di atas, makanan akan sama saja akhirnya.



Jalan minimalist dalam hal pemakanan, membuat saya semakin tidak peduli pada makanan, plus ditambah trauma terhadap makanan oleh seseorang dulu, saya hanya jadi makan untuk tetap hidup. Sesuatu telah lama hilang sehingga saya tidak bisa menikmati makanan seperti orang lain (selama ini saya terbiasa meniru orang; oh ini enak/sedap!).



Lagi malas menjabarkan panjang lebar, intinya minimalism agak kurang selaras dengan trauma dan masalah pemakanan saya. Mungkin saya perlu waktu untuk mencari jalan keluarnya.




Depresi Memburuk Melihat Konten Extreme Minimalist





Sudah berapa kali saya bertanya-tanya apakah saya bisa hidup dengan 100 barang?.



Beberapa kali juga saya selalu berniat menjadi extreme minimalist dan mengikuti beberapa content creator dalam bidang ini di Instagram dan YouTube. Kok, mereka bisa happy meski cuma punya 100 barang?



Sampai saya menemukan seorang minimalist Jepang (bukan Mas Fumio, ya) yang, tinggal di ruangan (cukup luas) dengan 1 furniture. Awalnya saya pikir itu cukup bagus dan praktis, tapi setelah beberapa waktu, ini membuat depresi saya bertambah.



Padahal orang yang punya hidup, malah saya yang depresi melihatnya.



Minimalist asal Jepang ini menggunakan sofa lipat untuk duduk dan kasur jika malam. Sebuah robot vacuum yang mengepel lantai, beberapa helai pakaian, dapur kecil yang super bersih, lantai kayu yang bebas debu dan si pemilih ruangan yang duduk dilantai dengan memakai VR.



Depressing.



Seolah-olah warna telah mati. 



Sesuatu di dalam diri saya merasa gelisah, marah, ingin lari dan muntah. Panic attack saya tiba-tiba kambuh apalagi teman saya saat itu juga mengomentari kalau cara hidup ini tidak baik. 



Kamu seperti membunuh kesenangan diri dan memenjarakan semua keinginanmu atas nama hidup sederhana dan mindfulness.



Well, memang eye opening sih, buat saya yang memang memikirkan untuk menerapkan gaya hidup ini di penghujung 2023 nanti.



Seperti penyadaran dari teman saya (dia tidak tahu dia telah menyadarkan saya), maka saya memutuskan untuk tidak lagi mengikuti konten extreme seperti ini.





Terkejut & Pusing Lihat Hidup Maximalist





Tak perlu jauh-jauh, keluarga saya jelas merupakan maximalist. Keluarga besar dan kerabat juga begitu. 



Entah kenapa saya malah jadi kena culture shock saat melihat teman-teman saya lainnya juga maximalist. Bisa jadi karena mereka juga bercerita membeli ini-itu. No idea why.



Sulit untuk melupakan kecemasan dan nafas yang saya tahan waktu saya mendengar dan melihat bagaimana hidup maximalism mereka. Lucunya, lha, saya kan, juga dulunya maximalism dan hoarder (untung masih tahap level 1).



Terlebih lagi waktu abang saya bercerita kalau saya masih mempunyai beberapa kotak besar dengan barang-barang saya (sudah lama tahu kalau ini memang ada). Kenapa sih, tidak dibuang saja?



Begitu kotak dibuka, saya seperti menemukan harta karun; yang membebani saya dan membuat saya bahagia juga. 



Terimakasih untuk Ibu dan abang yang telah menampung barang-barang saya karena mereka menghargai saya sebagai pemiliknya (walau juga enggan berpisah karena kenangan).



Secepat kilat saya melakukan decluttering begitu sampai dirumah, mengambil apa yang saya butuhkan, membuang yang tidak berguna lagi dan memberikan yang bisa dipakai/disukai 3 keponakan saya.



Tetap ya, begitu kotak jadi kosong dan barang-barang sudah saya alamatkan sebagaimana seharusnya (juga memutus overthinking takut lama dihisab), saya mencoba berdialog dengan inner self saya; tenang, hanya karena kamu minimalist, bukan berarti orang-orang maximalist itu bersalah padamu karena membuatmu sakit kepala, cemas dan mual.



Mereka tidak berhutang apapun pada saya dan pilihan hidup saya.



Oh Tuhan, saya tidak mau lagi mengalami panic attack dan anxiety yang memualkan hanya karena saya mendengar cerita shopping ini itu dari orang-orang yang saya sayang.



Let them be happy with whatever they choose.



Grant me strength for not judging them.




Saatnya Istirahat…





“Nanti decluttering, ah!”, adalah afirmasi saya setiap kali saya berada diluar rumah dan bertemu orang-orang. Namanya juga afirmasi, ini cukup ampuh meredakan social anxiety saya.



Pokoknya, mau pulang cepat dan bersih-bersih rumah. Padahal sampai rumah, saya malah lupa mau decluttering.



Perlahan saya menyadari kalau menjadi minimalist hanya cara lain untuk saya lari dari suatu kenyataan dan depresi lainnya. Ya, pastinya memang minimalism mampu menenangkan diri saya beberapa tahun ini karena tidak lagi mencari hal-hal yang ‘memenuhi kekosongan’ diri.



Masa bodoh dengan validasi, lupa dengan FOMO, gengsi semakin jatuh ke lantai.



Itulah yang saya rasakan selama jadi minimalist.



Namun, saya juga merasakan hal lainnya, saya merasa saya semakin hambar, kehilangan fashion sense, bingung, bingung dan bingung yang bertambah.



Sampai saat menulis ini, saya masih bingung, hendaknya saya berjalan ke arah mana. Jelasnya, saat ini saya mau istirahat sampai akhir tahun. Lihatlah kemana angin membawa saya, yang jelas, saya memang masih ingin hidup mindfulness dan mencoba membawa warna kembali pada hidup saya yang kelabu.





PS.


Pembaca Ann Solo budiman dan siluman, semoga kamu tidak berlebihan dan berkekurangan pula dalam hidupmu.


 








You May Also Like

0 comments