Instagram Twitter Facebook
  • Home
  • Beauty
  • Entertainment & Arts
  • What's News
  • Traveling
  • Monologue

Ann Solo



Dua hari lalu saya dan seorang teman dari komunitas Blogger Pekanbaru mendapatkan staycation 1 malam di hotel Fox Harris Pekanbaru yang sebelumnya akhir- akhir ini sering saya dan komunitas kunjungi, baik untuk lunch bareng klien, pesta ulang tahun klien, nongkrong acara ngobrol ringan, maupun merayakan kelulusan (kayak sekolah ya, tapi memang ada ‘ujiannya’ kok, biar ‘naik kelas’) Fox Harris mendapatkan bintang 4. Yay!. Congratulations, Foxy!.

Sedikit berbagi (saya juga baru tahu), ternyata untuk mendapatkan bintang itu tidak mudah. Makanya bukan berarti hotel itu otomatis akan mendapatkan bintang karena mengikut franchise-nya yang sama; kalau hotel A di tempat lain bintangnya 4, bukan berarti hotel A yang sama ditempat berbeda secara natural/otomatis akan mendapat bintang yang sama. Oh, begitu. Baiklah.

Kasur empuk putih, awas jangan ileran.

Juga seperti yang saya sebutkan diatas, bahwa untuk mendapatkan bintang, hotel tersebut harus melalui tahapan dan standarisasi kriteria tertentu. Mulai dari kebersihan, staff yang dituntut ramah dan helpful, sampai ke dekor si hotel sendiri. So, begitu si hotel naik bintangnya, naiklah service dan mutunya.

Well, kalau selama ini saya cuma sampai restaurant dan kolam renang tingkat paling atas (biasa, duduk-duduk manis bercengkrama dengan squad atau ikut merayakan ulang tahunnya squad), kali ini bisa sampai level lain; menginap dan merasakan keseruan menghabiskan malam di hotel.

Begitu saya memasuki kamar Deluxe Room, langsung heboh sendiri menemukan lampu baca (bed lamp) yang sangat berbeda; praktikal, bisa di bending mengikut posisi baca, kecil dan memang useful. Bukan hanya lampu gede biasa yang tiap mau baca, saya harus memindahkan lampu ke kasur, didekatkan dengan dipeluk itu supaya tidak jatuh semata-mata biar bisa baca lebih jelas. You know what I mean?. 


2 lampu baca kurus.

Kemudian langsung melipir ke toilet (kebiasaan kalau masuk penginapan yang saya check duluan itu: bed lamp dan toilet) yang cukup spacious; toilet seat yang ada jarak dari pintu (kaki tidak akan kebentur meskipun kakimu jenjang bak model), glass box buat mandi tersendiri dan sinki dengan kaca berlampu dikedua sisinya.

Toiletries-nya juga bagus, di kemas dalam kotak stylish berbahan daur ulang (sepertinya). Lagi- lagi saya happy menemukan pasta gigi merek terkenal di dalam perlengkapan mandinya!. Bukan apa- apa, saya pernah mengalami pengalaman buruk dengan pasta gigi yang tidak mencantumkan komposisi dan tanggal kadaluarsa, itu lho, pasta gigi kecil dalam tabung plastic tanpa ‘penjelasan’. Apes banget mungkin dapat yang sudah kadaluarsa, begitu gosok gigi kok, rasanya aneh, apek, membuat mulut kebas. Sejak saat itu saya selalu sedia pasta gigi meskipun menginap di hotel (mewah) sekalipun.

Tabung toiletries. 

Masuk ke dalam glass box mandi, disitu saya menemukan 2 tube shower gel (gel, not cream, Foxy, you’re the best!) dan shampoo. Sungguh kemasan yang praktis dan ekonomis.

Shower GEL!
Balik ke kamar, lay-out dan interior kamar di Fox Harris cukup simple dan minimalis, dengan design meja tanpa kaki, flat screen TV, lemari di sisi kanan pintu masuk dengan rak- rak untuk kulkas kecil, safe box serta beberapa rak kosong lainnya. Dia atas tempat tidur tergantung collage pemenang lomba tahun ini; kebetulan saya mendapatkan collage bertema Melayu. Kalau bisa dibilang cukup lumayan karena bosan juga melihat lukisan printing yang sama disetiap kamar (dengan corak yang seragam pula).

Meja dan kursi kerja.

Kejutan yang seru berikutnya adalah space untuk kerja, dengan kursi kerja beneran!. Itu lho, armchair dengan sandaran tinggi kakinya bisa diputar- putar. Meja kerja yang luas, di lengkapi dengan lampu kerja (yes!) yang juga bisa di posisikan (yes lagi!), colokannya pun (plug) berada di dinding meja kerja, jadi tidak harus repot membungkuk ke bawah kalau hendak memasang kabel charger, sungguh praktis.

Plug/colokan internasional 3 lubang.

Bicara soal colokan (plug), saya akan memberi 1 lagi point; Fox Harris Pekanbaru mempunyai tidak hanya 2 mata colokan biasa (yang kita pakai di Indonesia) tapi 3 mata colokan (plug) internasional. Yay!. Amat praktis terutama bagi turis asing. 

Tempat tidurnya pun tak kalah simple dan praktis, dengan memakai tema putih (untung saya tidak ileran) dengan 2 bantal kecil bulat bergambar ekornya si Foxy. Disisi kanan tempat tidur, menghadap jendela ada sepasang kursi dan meja kecil, asik buat duduk minum merenung menikmati kota malam hari (atau berjemur dari kamar karena kebetulan kamar yang saya tempati menghadap matahari terbit).

Berhubung disaat kami menginap sedang ada persiapan pesta pernikahan di restaurant, acara berbuka puasa yang biasanya prasmanan di ganti dengan service makan yang bisa diantar ke kamar, namun saya (dan beberapa tamu lain) memutuskan untuk makan di smoking area yang terbuka (makan sambil lihat petir dicakrawala, merasakan hembusan angin).

Di karenakan sedang rangka bulan ramadhan, selain sarapan normal bagi tamu non-muslim, sahur juga diadakan dengan cara prasmanan. Fox Harris Pekanbaru menyediakan banyak ragam pilihan makanan yang bisa kita coba semua (saya yang biasa sahur ala kadar tidak semangat, ikut terpacu semangat dan seru melihat mareka yang ikut sahur), tetapi favorite saya saat itu adalah bubur ayam, garlic potato (roasted, not fried, penting banget, nih) dan jagung saus krim.

Menurut info dari pihak marketing Fox Harris Pekanbaru, mareka akan mengganti menu setiap hari, jadi kalau kamu menginap 2 hari atau lebih, jangan takut merasa jenuh dengan menu yang itu melulu, ya.           

Apalagi ya, yang bisa kamu dapatkan jika kamu menginap di Fox Harris Pekanbaru baik selama ramadahan atau hari biasa;

1.     Memanjakan dan relaksasi diri di spa.

2.     Gym sambil menikmati pemandangan kota.

3.    Berenang atau nongkrong makan di lantai atas juga sembari menikmati kota.

4.     Buffet dengan makanan yang seru di restaurant WTF-nya Fox Harris (coba teh tariknya, deh).

5.  Merchandise yang bisa kamu beli; kaus keren berkualitas bagus (cukup kaget, kan, merchandise seperti kaus biasanya berbahan dan ber-design ala kadarnya) tanpa terlihat lagi pakai baju sponsoran, topi snap back (sungguh gaul kekinian), pin, pouch dan lainnya yang up to date mengikuti perkembangan kids jaman now.

6.  Lokasi strategis di kota, kamu bisa shopping di mall yang berada didepan hotel atau menyusuri Sungai Siak yang terkenal itu (go Pekanbaru, go!), atau mengunjungi spot wisata yang tak jauh dari lokasi hotel.

7.   Free wi-fi yang memudahkan saya dalam bekerja dan browsing (rekomen deh, buat yang kebetulan lagi dinas di Pekanbaru dan harus online ke kantor dengan cepat).

8.    Dekorasi yang mengikut kearifan budaya local (restaurant-nya berdinding latar belakang songket khas Melayu) dan instgramable banget.

Kaus dan celana pendek.

Topi Snab Back.

 Demikianlah pengalaman seru staycation saya di Fox Harris Hotel Pekanbaru, untuk keterangan menginap lebih lanjut kamu bisa menghubungi alamat berikut ini:


Fox Harris Pekanbaru.

Jl. Riau No.147,  Kampung Baru, Senapelan - Pekanbaru 28154

+62761-741-5999

info-foxharris-pekanbaru@tauzia.com










Tahun lalu ketika sedang kemping, saya kelabakan begitu ingat bahwa saya lupa ­membawa shampoo. Untunglah sebelum memasuki hutan rombongan kami mampir sejenak di kedai kelontong kecil. Sang bapak pemilik toko menganjurkan saya memakai Emeron hitam Black Shine yang saya terima tanpa banyak tanya lagi (ya pak, bapak cuma jual 1 jenis shampoo sih, ya).

Rupanya salah 1 peserta kemping adalah pengguna Emeron ‘garis keras’, begitu doi membuka hijabnya saat mandi di sungai, saya lumayan shock melihat rambutnya yang wangi (padahal kita trekking 4 jam, lho) dan halus (walau berbalut peluh menetes- netes). Dengan sedikit basa- basi, saya minta izin untuk melihat kedalam tas toiletries-nya (ah perempuan milenial kekinian, pantang tahu resep bening, langsung kepo mau tahu apa dan bagaimana). Jadi, doi penggemar setia set Emeron Soft and Care berwarna Pink (Soft and Smooth) toh, okay, noted. Dan meskipun doi berhijab, mahkotanya tetap terjaga dan terpelihara, suatu usaha yang memang membutuhkan niat, penjagaan baik dalam maupun luar serta pelaksanaan yang disiplin.


(Apa yang terjadi dengan Emeron hitam Black Shine-nya, it was good, tapi tidak memenuhi keinginan saya hingga saya pun turut ‘hijrah’ ke varian Pink).


Masalah rambut basic langganan.

Well, sejak saya memutuskan memakai hijab, persoalan rambut bertambah tidak hanya ketombe, gatal, rontok, kasar dan kini ada bau keringat yang terperap lama ikut menguarkan bau lembab yang menjadi masalah utama saya saat ini . Euw banget, deh, baunya!.

Juga ketika belum berhijab, dengan kegiatan yang seringnya di luar ruangan, rambut menempati posisi perawatan terakhir dan sering ala kadarnya padahal si rambut sering mengalami berbagai macam styling  gaya mulai dari di keriting, di wax, catok, diwarnai berkali- kali, juga dibiarkan terkena asap polusi kendaraan, tidak dicuci berhari- hari (euw, I know!), terpanggang sinar matahari (sampai merah gosong), lembab dan lengket berpasir setelah berenang di laut/sungai.

Belum lagi  level stress yang naik-turun, mood dan tekanan kerja sehari- hari juga ternyata turut mempengaruhi keadaan rambut.  Nyatanya treatment yang diterima rambut amat minim sampai pernah suatu saat rambut saya pun mengalami stress fisik; kaku, tegang, kusam, crack bercabang hingga sinar alami rambut pun hilang (duh, kulit saya juga ikutan stress sampai di bawa berobat, dokternya menyarankan saya untuk lebih relax, minum air putih yang banyak dan mengkonsumsi multivitamin tambahan).


Emeron Complete Hair Care - Soft and Smooth.


Dalam memilih Emeron Complete Hair Care.­­

Oleh karena terpacu ingin rambut ‘outdoor yang wangi’ itulah,  saya memutuskan untuk berdisplin mengganti cara merawat rambut yang dulu sekedarnya saja kepada 3 langkah mudah nan praktis Emeron Complete Hair Care ; shampoo, conditioner dan hair vitamin (harus displin lho, kalau mau paripurna).

Memang wajar kerusakan dari tahun-tahun terdahulu itu tidak bisa dipulihkan dengan sekelip mata, tetapi saya tetap optimis mampu mengembalikan kesehatan rambut. Begitu berketetapan untuk mencoba menggunakan varian Soft and Smooth, saya pun melakukan riset browsing review di Google, membaca seluruh informasi dibelakang botolnya (ah, pada dasarnya saya senang membaca informasi disetiap kemasan, kok) dan tak lupa kembali memastikannya dengan teman kemping kemarin, akhirnya dengan mantap hati saya memilih si Pink ini karena ia mengedepankan beberapa keunggulan;


1. Perawatan rambut alami ekstrak Sun Flower berkualitas tinggi yang telah teruji dan terjamin serta higienis (hygiene freak, I am!).


2. Mengandung active provit amino (plus Sun Flower di varian Pink, mungkin inilah yang membuat wanginya awet) disemua rangkaian varian yang ada.


3. Selain cukup lengkap, set Emeron ini juga praktis tidak memakan waktu lama dan tepat sasaran (duh, capek membayangkan harus duduk lama di salon, belum lagi menunggu antriannya).


4. 
Formulanya sudah disempurnakan (begitu juga lisensi) di Jepang  (hati- hati ya, jangan tergoda beli shampoo abal- abal yang tidak ada lisensi dan BPOM-nya).


Setelah yakin dengan keunggulan Emeron, dengan leluasa saya tetap terus menjalankan hobby outdoor saya yang aktif itu dengan percaya diri (traveling, hiking dan kemping  yang memang banyak berjalan di bawah terik matahari langsung dan tak jarang bersimbah hujan).


Kalau kamu perempuan milenial mempunyai hobby outdoor yang sama dengan saya, segudang aktivitas, sibuk, mobile  kesana- kemari mengendarai motor, tetapi bingung caranya mengatasi masalah dan bau keringat rambut, ini saatnya kamu #DengarkanRambutmu, kamu harus  coba Emeron varian Soft and Smooth ini deh, rekomen banget!.



Nah, berikut ini adalah cara simple dan cepat yang biasa saya lakukan agar mendapatkan hasil yang optimal:

1. Basahkan rambut hingga sangat basah, tuangkan shampoo menurut keperluan (kalau kebetulan pulang dari camping, biasanya saya akan shampoo-an 2 kali hingga benar- benar bersih), jangan lupa untuk memijat ringan merelaksasikan kulit kepala yang lelah dan berkemungkinan berpasir.


2. Gunakan conditioner hanya pertengahan rambut hingga ujungnya saja  (jangan sampai terkena kulit kepala karena bisa memicu ketombe dan gatal).


3. Hair vitamin digunakan saat rambut dalam keadaan setengah kering (hanya di helai rambut saja, ya) kemudian bisa di keringkan dengan hair dryer suhu rendah.


Sedikit tips dari trial dan error sejauh ini: baik itu shampoo, conditioner serta hair care sebaiknya di gunakan sesuai dengan panjang rambut kamu. Contoh; potongan rambut saya saat ini bob pendek, jadi saya tidak menggunakan keseluruhan hair serum, hanya secukupnya saja karena jika tidak ia akan membuat rambut kelihatan greasy



Lalu bagaimana hasil yang saya dapatkan setelah melalui 3 tahap tersebut:

1. Mampu mengusir bau paling kuat sekalipun (bau rokok tuh, terkenal paling dahsyat susah dibersihkan yang herannya bisa masuk ke dalam rambut melalu serat hijab).

2. Wangi rambut yang tahan lama, bisa bertahan selama 3 hari dengan rutinitas berhijab normal harian (top markotop!).

3. Rontok dan gatal mulai berkurang, soothing effect-nya berasa banget.

4. Helai rambut lebih smooth dan kalem, jujur saya kaget sewaktu sisiran; kok, lembut banget, ya? (padahal tidak sengaja menekan tombol hair dyer suhu tinggi pada saat pengeringan).

5. Skip-nya perawatan salon bulanan (bahkan nyaris tidak ada lagi,  bye mbak salon yang suka banget keramasi rambut saya sampai ditarik- tarik segala), praktis menghemat waktu dan uang, bebas antrian panjang.

6. Tidak ada lagi rambut lepek walau berada dibalik hijab seharian (sangat penting, nih, buka hijab langsung goyang- goyangin rambut wangi buat pamer).

7. Iritnya belanja groceries bulanan (juga tidak kalah penting).

There, there, kalau masalah rambut sudah beres adem begini, saya jadi semakin semangat mengikuti acara kemping dan always ready to go (karena stock Emeron sachet-nya selalu siap di pouch, sayang belum ada sachet untuk conditioner, hingga saya menyediakan 1 jar kecil untuknya), dan ya syukur- syukur bisa menginspirasi para perempuan tangguh tak takut peluh nan aktif gesit yang bakalan ikut acara kemping bulan depan, lah.

Masih bingung, mau mencoba Emeron Complete Hair Care varian yang mana, jangan risau, jangan bimbang karena kamu bisa klik link ini untuk pencerahan varian spesifik mana sih, yang sesuai kebutuhanmu.


Marina Bright and Fresh Facial Foam & Marina UV Protection Loose Powder

Berawal dari iseng mencari facial foam dan bedak tabur murah meriah, tanpa melihat review, saya akhirnya memutuskan untuk membeli Marina di karenakan harganya yang super mencengangkan; Rp 10.000 untuk facial foam dan hanya Rp 6.000 untuk bedak taburnya. Kaget ya?. Iya, sama.

Marina memang sudah di kenal dengan brand yang affordable, khususnya menargetkan pasar gadis remaja namun  mbak- mbak seperti kita (mas- mas juga boleh) juga bisa pakai lho, karena memang skincare atau make-up terkadang cocok- cocokan (yang memang sampai bisa memakan waktu, bongkar pasang, coba sana- sini).


1. Marina Bright and Fresh Facial Foam.

Dengan harga Rp 10.000 saya sudah skeptic dari awalnya, perubahan hormone dan kulit wajah yang awalnya super oily menjadi berminyak dan dehidrasi (masih mencari FF yang bisa mengatasi tuntas atau tidak memperparahlah), hingga saya tidak berharap banyak pada FF Marina ini. 

Menurut beberapa review yang saya baca, FF yang menargetkan untuk memutih/mencerahkan kulit sebaiknya di diamkan beberapa saat ketika mencuci muka, tetapi jangankan untuk mendiamkan foam-nya selama 30 detik, begitu muka di cuci kulit muka saya berasa amat sangat kering. Kesat, kayak iklan pencuci piring itu, lho. Benar- benar tidak meninggalkan sedikit minyak alami wajah. Untungnya nih (masih berpikir positif), tidak membuat dry patches ataupun gatal memerah. Jadi setelah 3 kali pemakaian (untuk lebih memastikan) akhirnya saya memutuskan untuk tidak menjadikan FF ini sebagai pembersih harian (pagi dan malam teratur) dan hanya memakainya jika kulit lagi sangat kotor dan hormone lagi baik. 

Conclusion (a la saya, sih), kalau kamu berkulit kering sebaiknya hindari FF ini, sepertinya lebih cocok bagi kulit pure berminyak (minyak yang menetes- netes dari muka gitu..).

Buat yang mencari FF bebas sabun, sebaiknya FF Marina ini di skip saja (very soapy).


2. Marina UV Protection Loose Powder.

Di katakan disini dengan perlindungan UVA dan UVB (plus vitamin E), namun tidak di ketahui SPF –nya berapa. Harganya hanya RP 6.000 saja dan ini adalah kemasan baru, kemasan lama berwarna pink dan harganya sekitar tahun lalu lebih dahsyat; Rp 4.000, jadi tidak heran kalau target pemasarannya kepada remaja- remaja yang lagi puber dan masih mengandalkan duit jajan dari uang tua tapi mau tetap syantik (duh, jadi ingat ponakan- ponakan syentil). 

Shade yang saya ambil adalah 04-Natural, saat itu cuma ada 2 pilihan, 01 atau 04. Selain waktu belinya malam hari berpedomankan lampu supermarket, 01 terlihat terlalu putih dan 04 terlihat lebih masuk akal. 

Tekstur bedak ini tidak menyerbuk (sebagian memang suka tekstur begini), hanya saja susah sekali di ratakan. Tidak ada sponge bawaan (sudah dipastikan pasti mutunya ala kadar, daripada buang uang juga mending tidak di beri sekalian), saya menggunakan sponge bagus tapi tetap susah sekali untuk meratakan bedak ini yang anehnya bisa di bilang rada ‘menggumpal’. Mungkin bisa lebih baik kalau memakai brush. 

Marina sejauh ini (saya pernah coba compact powder-nya yang tidak kalah murah juga) memiliki shade untuk kulit Indonesia; kuning langsat ataupun tone yang olive. Rasa penasaran membuat saya tetap membelinya meskipun saya tahu tone kulit saya tidak cocok (pantang lihat yang affordable dikit, begitu sadar sudah sampai dirumah itu barang, impulsive sekali). Dan ternyata benar, sambil nyanyi- nyanyi saya mencoba meratakan bedak ini di muka, begitu ngeh (cahaya dari pintu lebih cerah karena matahari terik kembali), ya ampun, ini muka jadi oren semua!. Bedak menumpuk tidak karuan, kulit muka saya sudah seperti fake tanning, oren dengan olive tone dan kusam sumuk. Argh!

Syukurlah saya belum keluar rumah dan menebar pesona ke khayalak ramai, buru- buru saya menghapus seluruh muka dan shock melihat kapasnya berubah jadi super oren dan gelap (cepat amat oksidasinya). 

Mungkin saya bisa simpulkan kalau shade 04-Natural ini lebih cocok dengan kamu yang mempunyai tone wajah sangat olive (gelap namun masih ada kuningnya) yang memang kalau di lihat dari bedaknya lucu juga tidak begitu ketara. Bagi yang ingin mencoba, bedak ini mengalami oksidasi (di kulit saya), bisa mempertimbangkan membeli 1 shade lebih muda dari shade biasanya. 

Kemudian membahas kemasannya, sangat ringkih, jelas tidak ada sponge tetapi masih ada kotak ketimbang cuma kemasan bulat bedaknya begitu saja, kan. Bedak di lapisi plastic bening (bisa di lubangi kecil-kecil agar tidak bleber), netto-nya ada 25 gram, cukup banyak menilik  bedak ini di tidak menyerbuk (kayak di press ke wadahnya). Tidak dapat meng-cover bekas jerawat atau noda di wajah ya, not bad kalau cuma bedak untuk sekolah sehari-hari.



Ps.
Hasil bisa berbeda di setiap kulit dan kondisi. Review murni tanpa endorsement. 


       



Entah kenapa saya belum begitu antusias untuk mendokumentasikan hotel, motel, hoStel, wisma, losmen atau dimana saja saya pernah menginap. Karena mungkin prinsip dasarnya saya menginap ya, hanya untuk istirahat dan menyimpan barang saja, walaupun beberapa penginapan tersebut sebenarnya sih, lumayan keren atau unik.

            Namun, selalu ada cerita di hampir setiap penginapan yang pernah saya singgahi, dari harganya hanya Rp 35.000/malam, tetangga sebelah kamar yang lenguhan nikmatnya begitu jelas seolah-olah doi berdua lagi baring sekasur sama saya, sampai ke lobby hotel yang remang-remang kayak di film horror.

            Pada tahun 2000, saya dan beberapa teman sekolah berlibur ke daerah yang terkenal dengan perbukitan dan gunungnya plus udaranya yang sejuk. Tahun segitu, dengan harga yang ampun-dah-murah RP 35.000 per malam tetap saja berasa mahal buat kami para siswa SMU (ya iyalah, masih di kasih duit jajan dari orang tua), hingga dengan berat hati saya rela berbagi kasur ukuran queen dengan 3 orang teman lainnya.

            Kasur tua yang penuh bekas noda para ‘pasien’ sebelumnya menjadi saksi bisu kami para gadis yang berusaha tidur tanpa mematahkan ke-empat kaki reotnya. Seorang dari kami mengeluh betapa bau pesingnya bantal atau selimut yang lembab (kemungkinan tidak pernah di cuci bersih dan penuh kutu). Belum lagi pegas besi dari si kasur yang memantul menusuk punggung. Yes. Dengan Rp 35.000/malam, kamu mengharapkan apa, sih?. Jelas tidak ada kamar mandi di dalam apa lagi air hangat (hanya bisa di pesan dan di bakar manual dengan tungku bakar kayu, diangkut pakai emaber), jarak kamar mandi yang tidak masuk akal; berada di bawa penginapan (ini penginapan rumah kayu 2 tingkat), dengan memakai pencahayaan super alami, kalau tidak sinar matahari yang menyelip diantara balok- balok kayu penghubung, ya, obor api. Untuk menambah kedahsyatan; kubikel kamar mandi di bangun dari batu-batu kali, hitam, licin dan berlumut. Mantab!. Airnya?. Langsung dialirkan dari mata air pegunungan. Brrr!.

            Bisa ditebak tidak satupun dari kami yang mampu untuk mandi pagi itu dan begitu kami tiba di kota selanjutnya yang lebih hangat, semua pada mandi balas dendam. Kota yang kedua pun penginapannya tidak kalah serunya, mulai dari menemukan hostel yang namanya Eden tapi penampakkannya so bloody Hell (neraka). Dinding seluruh kamar penuh dengan noda air yang bocor dari atap, kasur- kasur bunk bed yang tidak pernah terjamah pembersihan, toilet yang berkarat (airnya juga keruh berlumpur), lampu yang hidup-mati sesukanya, bahkan seorang teman kesentrum ketika mencoba menekan tombol lampu (heboh banget sampai doi nyaris pingsan ke lantai), dan yang paling horror adalah lobby-nya yang sepi dan panjang. Kayak di film The Shinning, saya sempat mikir; kapan kira-kira si kembar bakalan nongol di ujung lorong. Semuanya tambah komplit ketika yang punya hostel songong sekali, keluhan kami di anggap angin lalu, harga yang tidak mau kurang dan ogah untuk paling tidak menyapu lantai yang tebal berdebu. Setelah briefing singkat, kami (yang syukurnya belum membayar full) memutuskan untuk langsung angkat kaki.

            “Aku bisa mati karena 2 hal di Eden (read; surga) itu; kalau tidak kesentrum, ya karena ketemu hantu!”, quote bijaksana dari si teman yang kesentrum, dan juga penakut.

            Wisma berikut akhirnya dipilih dengan terpaksa karena sesuai bujet, cukup layak walau mengingatkan saya pada wisma tahun 70-an, dengan kolam ikan tua butek di dalam ruangan, dinding yang penuh pahatan relief timbul dengan warnanya yang mulai terkelupas dan buram. Nothing fancy, kecuali kami mematahkan 2 kaki kasur ketika sedang heboh duduk ketawa-tawa di kasur.

            Penginapan- penginapan tua di kala itu masih bisa bersaing dengan hotel yang belum terlalu banyak baik itu franchise dan harganya yang lebih mahal. Namun ada juga penginapan tua yang tidak tahu diri menaikkan harga tanpa mengubah pelayanan dan bentuk fisik penginapan mareka. Menurut salah satu pemilik wisma tua yang iseng saya ‘wawancarai’, mareka merasa kesal dengan hotel- hotel dan merasa penginapan mareka lebih legenda dan patut di apresiasi. Lha pak, legenda sih iya, tapi naiknya harga kok, tidak di imbangi dengan meningkatnya mutu pelayanan dan kondisi wisma yang harusnya ya, di cat ulang.

            Kadang-kadang ya…(masih ingat wajah si bapak yang ngotot, kesal dan penuh kebencian terhadap jaringan hotel yang lagi naik daun kala itu).

            Hostel juga tidak kalah sumuknya (pakai S di tengahnya ya, lebih familiar di kalangan para backpacker), karena hanya turis asing lah yang lebih tertarik pada hostel (menunggu turis asing nan langka hingga lupa untuk merawat penginapan). Di kala itu menjadi backpacker belumlah setrendi dan semudah sekarang namun beberapa pemilik hostel cukup antusias membangun penginapan bujet karena mengincar backpacker asing (kere dan beransel lusuh yang lebih suka nginap berhari-hari dengan bujet minim full petualangan eksotis). Jadi tidaklah mengherankan ketika hostel (tapi di tulis hotel) Eden itu lebih layak dijadikan setting-nya film horror karena jarang tersentuh turis. Menurut para owner yang saya ‘wawancarai’ lagi, bisnis mareka diantara hidup dan mati sedangkan mareka tidak ingin menjual penginapan mareka (yang biasanya strategis) kepada jaringan hotel besar atau cukong- cukong ruko.

            Setelah hobi ber-backpacking menjamur, para pemilik hostel, wisma, losmen, penginapan konvensional kini mulai berbenah diri. Meskipun beberapa dari mareka masih mempertahankan ‘gaya jadul’, paling tidak dari segi service kini mengalami perubahan signifikan (riset berdasarkan yang saya alami, ya). Salah satu contohnya adalah wisma jadul di kampong saya, mareka masih mengekalkan interior lama; kolam ikan butek penuh relief dinding (tapi kali ini ikannya ada walau puntung rokok dan sampah mengambang diatasnya), bangunan jadul (mungkin di bangun tahun 70-an) yang terpisah-pisah di hubungkan dengan jalur setapak kecil berkerikil, lukisan alam terkembang khas setempat (dilukis diatas kain velvet hitam, tema lukisan kalau ya tidak kerbau, sawah, gunung atau rumah adat), semuanya nyaris tidak berubah kecuali service-nya. Sekarang tidak perlu lagi memanaskan air dengan kayu bakar, ada set sabun dan handuk, heater mulai lebih praktis serta cepat, kamar mandi sudah berada di dalam ruangan dan kasurnya nih, sudah jenis springbed walau mereknya ecek-ecek (kapan terakhir saya menginap di tempat yang kasurnya dari kapuk). Saya akui saya cukup terkesan walau bête karena mareka seenak hatinya menaikkan harga ketika demand yang tinggi saat lebaran. Oh, kini para penginapan jadul telah melek teknologi dengan bergabungnya mareka ke jaringan pencarian penginapan online. Well done, you old people!. (well, biasanya kini di kelola oleh generasi baru; penginapan model begini adalah bisnis keluarga turun termurun).

            Dengan meningkatnya mutu, maka meningkat pulalah interior penataan demi menarik minat para pelancong, semakin unik dan nyeleneh, semakin di cari. Ini mengingatkan saya pada hostel yang di pesan oleh sahabat saya ketika kami backpacking ke negara sebelah, dari namanya kok ya, kayak hostel metal yang, instead of throwing regular party, pasti mareka bikin pesta sesajen ngundang the devil himself, but no, beda banget. Begitu menaiki tangga ke lantai atas, kita di sambut tumpukan buku di seluruh anak tangga, seekor buaya awetan menggantung di dinding tangga (ya, mungkin memang bekas hostel-nya dark metal). Saya dan 2 teman berbagi 1 kamar dengan attached bathroom, 1 kasur bunk bed; single diatas, queen size di bawah, sedangkan teman yang 1 lagi harus rela tidur di ruang tengah (disitulah tidur, disitulah mingle sebagai ruang tamu) di co-ed room. Hostel unik ini hanya mempunyai 1 kamar mandi di dapur (bayangkan jika yang tidur di luar semuanya kebelet) dan dapur yang memudahkan kita untuk masak sendiri (bersihkan dan cuci piring sendiri, ya). Pemiliknya (yang terlihat nerd ketimbang gothic) mengisi semua perabotan yang ada dari barang terpakai yang di daur ulang; lemarinya adalah kulkas, tempat suratnya terbuat dari microwave besi jadul, kursi duduknya terbuat, jeng, jeng, jeng; TOILET DUDUK. Yes, semua di daur ulang, di poles lagi dan menjadi ciri khas hostel ini. Quirky sekali. Mejanya adalah meja mesin jahit jadul. Sofanya pun kemungkinan sofa bekas yang di buang orang di sudut jalan. Komputernya jangan ditanya: Windows 98!.

            (Btw, ini kursi toilet, kebayang deh, berapa banyak yang telah boker situ, just FYI).

            Ada lagi 1 hostel yang tak kalah unik, eh tapi lebih aneh sih tepatnya, tidak ada jendelanya, berada di tingkat 2 sebuah ruko, semua kamar berbentuk kubus berjejer. Semalaman saya begitu pengap (cuma ada AC tua yang sepoi-sepoi), untunglah ruangan yang idealnya hanya untuk 2 orang kala itu hanya ada saya seorang (kebayang rebutan udara). Hostel unik yang bangunannya sudah ada dari jaman colonial pun tidak kalau seru; semua lantai dibuat dari kayu jadi ketika jalan berderik- derik seram. Resepsionis hostel menempatkan saya di ruangan attic (ya ampun, itu cita- cita banget punya ruangan tidur di attic) dikarenakan saat itu bukan peak season, jadi bisa menawar harga. Sayangnya mareka tidak begitu memperhatikan ruangan paling atas sekali ini yang nyaris terbengkalai; binding untuk jendela sudah rusak menjuntai, namun yang lainnya perfecto; tidak ada bunk bed, cuma ruangan dengan 3 kasur single yang saya huni sendiri, cukup spacious walau ranjangnya kreor- kreot, plus sinki untuk cuci tangan tanpa kamar mandi (cukup jalan lurus turun 6 anak tangga di depan kamar).

            Lalu bicara soal sarapan di penginapan, biasanya hostel jarang menyediakan makanan, karena harga mareka sudah terlalu murah (minta breakfast, ya mimpilah!). Tetapi tidak sedikit hostel juga berbaik hati menyediakan sarapan yang lumayan (daripada cuma air putih dong, harus bayar). Kami mendapatkan sarapan yang luar biasa di sebuah wisma jadul (full lukisan perempuan tempo dulu yang-entah-siapa, patung- patung kayu, besi, batu segala bentuk rupa, sisi ruangan yang gelap dingin) dengan harga yang lebih sesuai dengan hotel bintang 1 paling tidaknya (wisma sih, tapi cukup mahal juga apalagi tambah ekstra bed), sarapannya itu lho; kalah deh, Club Med (hahay!). Awalnya kita tidak mengira mareka akan menyajikan sarapan, begitu sampai dari sarapan di luar, sang bapak pemilik wisma dengan sedikit kesal bilang untuk kita segera menghabiskan semua sarapan yang telah disisihkan untuk kita!. Ada lontong sayur, pecal, katupek gulai paku, bihun goreng, mie goreng, nasi goreng, roti tawar dengan bermacam selai, sate padang, sate kacang, dadih, teh, kopi, susu, milo, jus jeruk,  dan lain-lain. Melongo, saya mencoba mencicipi ala kadarnya dikarenakan perut sudah penuh duluan.
            Sarapan terkocak adalah ketika kami menginap di wisma (satu-satunya saat itu) dekat perkebunan teh, lagi- lagi hanya Rp 35.000/ malam (padahal jarak cerita penginapan murah dari pengalaman di atas cukup jauh, 6 tahun), yang dengan muka datar si pemilik bilang kami mendapatkan 1 kali makan malam dan 1 kali sarapan. Ketika di tanya menunya apa, si pemilik bilang ‘mie something’, saling berpandangan semua teman berharap saya mengerti apa yang di ucapkan oleh si pemilik (yang sangat datar namun sebenarnya canggih). Begitu makan malam terhidang (harusnya supper karena kami sampai tengah malam setelah nyasar setengah hari, maklum belum ada GPS dan tidak bawa peta, bermodalkan tanya sana-sini), ternyata oh ternyata ‘mie something’ itu adalah INDOMIE REBUS SPECIAL PAKAI TELUR (hallo Indomie, sponsor saya, dong!). RASA KARI AYAM.

            Chimicanga!
.
            Posisi strategis juga berpengaruh besar melebihi layanan atau interiornya (banyak yang memilih akses cepat ke spot pariwisata ketimbang bentuk hotel-nya), bahkan posising gang jalan juga ternyata bisa mempengaruhi kamu bakalan di cap wanita malam apa tidaknya (padahal kamu sebenarnya turis yang tidak bersalah). Ibu warung memanggil saya yang lagi celingak-celinguk cari hostel di tepi jalan.

            “Mbak, jangan kesana, di sana tempatnya para cewek jalananan!”, teriaknya pada saya.

            Okay, dengan hanya merentangkan tangan saja saya bisa di anggap kategori cewek jalanan di sebelah kiri dan turis lugu di sebalah kanan karena pemisah ‘tak kasat mata’ penginapan yang saya hendak tuju dan rumah mesum hanyalah got kecil yang mengalir di samping keduanya. Baiklah.

            Serba- serbi dalam menemukan maupun menginap sungguh sangat seru dan menarik (service hotel berbintang memang dahsyat sesuai tarifnya), terkadang kocak (sesama backpacker yang mencoba ngobrol tapi salah pengertian karena tidak bisa berbahasa Inggris, pakai bahasa tubuh dan jari), mencengangkan (ukuran kamar tidurnya 4 kali ukuran kamar saya), creepy (dengar suara- suara seram) maupun sedih (curhat owner-nya bercucuran air mata sampai ke masalah anak-anaknya atau menginap di kantor polisi karena nyasar kemudian dengan baiknya si bapak mengantar kita dengan mobil polisi sambil meraung-raungkan sirene-nya yang khas itu) memperkaya kisah petualangan saya juga turut mengasah skill berakting saya; muka memelas sedikit, di kasih sarapan lebih.

            Namun lagi- lagi secara pribadi saya memilih menggunakan hostel ketimbang hotel atau cottage jika sedang lagi backpacking (yalah, sesuai isi dompet), karena dasarnya; itu hanyalah tempat saya menumpang tidur namun jika beruntung menemukan keunikan (dan keanehan; mural Little Prince di sebuah hostel yang sama sekali tidak nyambung dengan bentuk hostel-nya sendiri, berhantu yang mindahin barang seenaknya) karena biasanya saya traveling dengan jumlah orang yang minim bahkan seorang diri. Entahlah, penginapan bujet biasanya di ‘huni’ oleh orang- orang yang lebih ramah, suka bercerita, bergaul dan lebih mau berbagi (tempat makan murah, jalan tikus, event setempat). Tidak menutup kemungkinan juga orang- orang yang juga menginap di hotel mewah pun, kemungkinan berbagi juga (tempat party yang asyik, shopping dimana, trik selfie yang menutup background dan menampilkan full muka).

            Mungkin sedikit disayangkan saya begitu menghayati keunikan penginapan yang pernah saya ‘hinggapi’ sampai lupa mendokumentasikannya. Karena oh karena hari begini butik hotel sudah mulai menjamur dan sangat instagramable membuat orang berlomba-lomba mengunduhnya dengan caption kata-kata mutiara yang sering salah translate. Maybe next time saya akan lebih ‘aware’ dalam hal dokumentasi dan menghindari caption ngaco biar terlihat bijaksana itu.  

            Masih begitu banyak lagi cerita seru lainnya yang kalau di tulis mungkin bisa jadi buku ’pengalaman somplak selama menginap’, dari judulnya kurang menjual, ya. Kamu bisa berbagi pengalaman seru kamu di kolom komentar dan mari kita tertawa ngenes bersama. Di tunggu, lho.
Pic : www.unsplash.com

Kemarin saya menghadiri seminar radio Ruang Publik KBR tentang gerakan perempuan untuk menentang rokok dengan mendukung naiknya harga rokok hingga Rp 50.000 mengusung tagline #rokokharusmahal dan #rokok50ribu. Sebagai mantan social smoker ecek- ecek yang telah berhenti merokok sejak tahun 2007, saya sangat mendukung penuh. Kalau bisa sih, di buat mahal sekalian sampai Rp 200.000 per bungkus!. Geram ya!.

Kenapa saya bisa geram, gengges dan syebel sampai sebegininya, karena para perokok terbanyak menurut riset (dan saya lihat dengan mata sendiri, saya juga adalah korbannya) adalah mareka yang masih di bawah umur. 

Kalau dulu di tahun- tahun saya membesar, narkoba, rokok, clubbing dan miras adalah hal yang lagi beken. Kamu mau gaul dan di terima oleh ‘teman-teman’, ya, lakukanlah salah 1 hal diatas (menurut kemampuan duit jajajanmu, jelas duit jajan saya cuma bisa beli rokok doang, ah nasib, bukan sedih karena nasib tidak mampu beli rokok 1 kotak, nasib duit jajan sedikit tidak mampu beli ice cream tiap hari). Tapi kalau kamu banyak duit sih, biasanya melakukan semua diatas, biar dikata gaul!.

Di tahun saya tumbuh (menjadi wanita yang urm, bit bitter, getir), 1990 – 2007 (tahun-tahun labil dan beradaptasi, menemukan jati diri), itu rokok lagi keren-kerennya, di TV sang protagonisnya ngerokok, di film tentu saja; sang leading actor/actress merokok sambil ngomongin ideology, filosopi, whatever clever, that is tentang hidup. Rockstars apalagi, padahal saya malah heran; nyanyi bukannya pernafasan, paru dan rongga dada harus di jaga bersih, ya?. (Eh juga itu iklan rokok yang kids jaman now; sekolah lancar, larian sana- sini aktif, bergaul bersosialisasi bahkan olahraga ekstrim tapi tetap merokok. Bagaimana coba, kalau sudah merokok, lari sebentar saja saya sudah sesak nafas. Iklannya kontradiktif , mana di letaknya di daerah persekolahan lagi).

There, there, karena itulah saya jadi ikut-ikutan merokok (narkoba dan lain-lain tidak begitu menarik karena kondisi keuangan tidak mampu), jujur saja selain lingkungan teman yang merokok sedari dini, saya kebanyakkan nonton dan berpikir; merokoklah lalu kamu akan tahu tentang kehidupan. HAHA!. (ya, ya kamu akan tahu kalau kamu kena sakitnya dan nyusahin orang- orang di sekeliling kamu).

Pertemanan kala itu menganggap merokok bareng (1 batang di gilirkan karena mau hemat) itu adalah bonding yang baik. Oh tetapi itu jauh dari mengeratkan persahabatan karena jika kamu merokok 1 batang beramai – ramai, kemungkinan kamu tertular penyakit sangat besar. Plus juga euw banget!. Jigongnya nempel!. Euw!.

Tidak dapat di pungkiri kita akan tumbuh dan melalui fase dimana kita membutuhkan validasi di luar dari lingkaran pertama kita (keluarga), salah satunya agar di bilang keren dan di validasi dalam berteman adalah merokok (juga yang saya sebutkan di atas). Oleh karena itu, bermula dari ingin terlihat asik dan gaul, kita menjadi perokok aktif yang berkelanjutan atau seperti saya yang merokok hanya untuk bersosial saja (kini saya menjadi pribadi introvert setelah masa bodoh dengan validasi). Alam bawah sadar saya juga menge-set rasa kebutuhan saya untuk merokok hanya ketika sedang gaul atau stress (kerja sampai larut malam, kurang tidur, merokok dan minuman bersoda adalah kombinasi yang bisa mematikan). Begitu juga sampai sekarang, setiap saya merasa stress rokok adalah hal pertama yang saya cari mengingat reaksi tenang (padahal mah, cuma sugesti) tubuh di saat merokok meredam stress.

Saya mengalami relapse setelah tahun berhenti merokok itu sekitar 3 kali (mungkin, ya), di karenakan mungkin stress dan bosan. I wasn’t proud, namun syukurlah saya hanya merokok beberapa batang kadang tidak sampai habis juga (ah, mencari pembenaran nih, malu!).

Selain saya, ada beberapa teman sesama perokok juga telah berhenti dan sekarang juga turut mendukung gerakan penghapusan rokok (ekstrim sekalian dari bekas mantan perokok berat). Begitu juga adik dan bapak saya, beberapa anggota keluarga lainnya pun telah mencoba untuk melepas jerat rokok. 

Pencerahan datang menghampiri, bukan hanya demi kesehatan terutama; kita juga tidak ingin anak, cucu, mareka yang masih kecil mengikuti jejak kita karena orang- orang dewasa di sekelilingya merokok dengan santai yang bisa membuat otak kecil mareka memprogram dengan alaminya bahwa rokok itu natural dan bisa di terima dimana saja. Melihat seorang bayi di TV yang dengan santainya merokok (gayanya bak orang dewasa) membuat saya paranoid takut kalau- kalau keponakan dan anak sendiri mencontohnya. Aduh, saya begitu geram, tetapi itu bukan salah sang anak melainkan orang tuanya. 

Para perokok pasif yang hanya menghirup asap rokok saja sudah bisa membuat sakit apatah lagi dengan para perokok aktifnya. Dulu saya punya tetangga yang anaknya sakit batuk berbulan-bulan kemudian di bawa ke dokter yang mengabarkan si anak terkena TBC. Gila memang, TBC!. Cukup duduk di dalam rumah sambil main boneka dan menghirup asap rokok si ayah yang tebal mengepul tanpa jeda. Kalau sudah begini, barulah si ayah berhenti merokok. Memang begitulah sifat manusia, setelah jatuh sakit, bangkrut; barulah kita berubah. 

Lantas bagaimana kalau kita semua berhenti merokok dan mereformasi harganya, apakah para petani tembakau akan gulung tikar?. Surprisingly not, they won’t. karena jujur nih ya, yang saya dapat sebelum seminar KBR kemarin adalah counter attack-nya untuk menggagalkan kampanye anti rokok dengan memainkan rasa bersalah kita akan matinya usaha para petani tembakau. Saya sungguh shock ketika mengetahui justru kita malah mengimpor tembakau terbagus dari Brazil dan China. Lha, tembakau local ternyata tidaklah begitu bagus kualitasnya mengingat letak geografis kita yang musim panasnya tidak begitu kering dan masih turun hujan. Ternyata tembakau itu harus di tanam di tempat yang kering dan panas kemarau. 

Tembakau kita adalah salah satu grade yang paling rendah mutunya, kalau di jual sekalipun pasti akan dalam jumlah yang banyak namun dengan bayaran sedikit sekali. Para pabrikan besar tidak berani mengambil resiko tersebut jadilah berjamurnya merek rokok local dengan menggunakan tembakau local (dengan puntung filter yang di pungut untuk di pakai lagi) yang lembab dan grade rendah hingga harga jualnya pun, sangat- sangat murah serendah Rp 300 – Rp 500 per batang. Coba, bagaimana anak- anak kita tidak menjadi konsumen nomor satunya kalau rokok sedemikian murahnya?. Yang murah bagi anak- anak itu harusnya ice cream, bukan rokok!.

Petani tidak pernah lebih miskin dari sekarang, tidak juga akan menjadi kaya. Selain mutu tembakau yang rendah, mareka menjual hasil panen mareka biasanya melalu agen yang jelas- jelas akan menjualnya lagi dengan keuntungan tersendiri. Ini membuat saya berpikir, kalau memang geografis kita tidak memungkinkan untuk menanam tembakau, kenapa tidak banting stir menanam yang lain seperti buah, pohon jati?. Karena saya pribadi akan sangat tertekan jika apa yang saya jual, kerjakan, bisa membuat orang lain sakit bahkan kehilangan nyawa. Aduh!.

Balik lagi ke validasi agar jadi keren dengan merokok, sungguh tidak ada yang lebih keren dari tidak merokok, melawan mainstream dan unik menjadi non-smoker diantara teman- teman yang  pada ngepul semuanya. Ah, jadi ingat quote ini; manusia membeli sesuatu hanya untuk membuat orang lain terkesan meskipun mareka tidak menyukai orang itu. 

Karena awal dari merokok adalah coba- coba, merasa keren dan bablas ke dalam lingkaran asap. But hey, worry not, jika kamu punya kemauan yang kuat, peduli pada orang- orang tercinta (jangan ngerepotin emak kalau sakit), kamu pasti bisa berhenti merokok. Sudah banyak kasus berhenti merokok yang sukses kok, saya sendiri, keluarga terdekat contoh kasusnya, lho. Rahasia saya?. Pikiran logis (wanjir, duit habis, saya malah sakit, mendingan duitnya saya tabung buat backpacking dan beli buku)  dan disiplin (seriously nothing beats this). Kamu bisa bikin list apa yang bisa kamu beli atau lakukan dari jumlah uang yang telah kamu ‘bakar’ buat rokok, karena pikiran logis adalah pikiran yang paling clear nan membantu memusatkan goal kita. Di susul dengan disiplin untuk tetap berupaya mewujudkannya.

Contoh pikiran logis saya ya itu tadi, suatu hari kesal menemukan dompet nyaris kosong saat mau makan mie ayam, perasaan tadi ada, deh. Tahunya saya tanpa sadar (karena sudah jadi kebiasaan) malah beli sebungkus rokok!. Bego banget, dah!. 

Insiden konyol itu tambah di perparah oleh teman yang nyeletuk; bakar tuh, duit, makan tuh, asap!. Bakar duit, selama ini kalau orang ngomong begitu saya tidak begitu perduli dan hanya menganggap lelucon sambil lalu. Tapi tidak hari itu, comrades!. I was craving for mie ayam like crazy, saya terduduk bengong; man, gone my money gone!. Itulah salah satu titik balik (jadi koma?) dalam hidup saya, selama seminggu saya hanya merokok 1 batang/hari (masih sayang di buang rokok yang sudah di beli), di minggu berikutnya saya menyibukkan diri apa saja dan menjaga stress level saya. Rocky weeks it was , but really worth it. Kemarahan, kesedihan dan penyesalan membuat saya ingin balas dendam (kayak Thor ya, aduh, sorry spoiler, I’m not sorry), eh, berhenti merokok dan menabung anggaran rokok saya biasanya (yearp, tak lama saya sudah backpacking asyik plus sehat malah bisa kemping dan hiking).

Bebas rokok juga membebaskan saya untuk harus rela berbagi rokok kalau lagi ngumpul (syukurlah merek rokok saya itu bukan rokok yang di konsumsi pada umumnya, asli dalam hati dongkol kalau ada yang minta rokok saya), melepaskan saya dari validasi gaul harus turut ngepul demi obrolan yang asyik. Pokoknya bawaan saya lebih enteng dan bebas bau asap. Uang saya jadi lebih banyak dan bisa makan mie ayam 4 mangkuk sekali duduk (yah, setara harga 2 bungkus rokok saat itu, lah). Asyik deh, pokoknya kalau berhasil menabung dari berhenti merokok ini. 

Kalau kamu mempunyai niat (lurus nan mulia) untuk berhenti merokok atau ingin membantu orang- orang tersayang, kamu bisa menghubungi Puskesmas terdekat dan berkonsultasi dengan para ahlinya. Jangan risau jangan gundah, gratis, kok. Kamu juga bisa klik www.kbr.id untuk mengetahui program Perempuan Dukung Rokok Harus Mahal lebih lanjut. Oh, para lelaki- lelaki macho yang juga keren (niat) bebas rokok juga boleh mampir, kok (dikampanye kali ini lebih ditujukan pada kaum perempuan selaku ‘bendahara/akuntan’ di keluarga yang mau tidak mau mengeluarkan anggaran rokok untuk suami serta jadi ‘korban’ rokok pasif dari si suami). 

     Ayo Dek, Mas, Abang, Pak dan Om kita dukung gerakan ini bersama- sama karena anda- andalah adalah konsumen teratas rokok (riset berdasarkan gender), lepaskan cara pikir merokok itu keren dan lebih penting dari makan serta kesehatan (apalagi merokok di bilang jantan, jantan dari mananya?), mari kita gunakan pikiran logis kita, berdisiplin dalam menjalankannya. 

YOU CAN DO IT, MAN!.


Pic : www.unsplash.com

Ketika saya menceritakan pengalaman saya yang di tolak cowok, sahabat saya menganggap omongan saya hanyalah bualan belaka. Well, first of all this BFF, doi rada mengidolakan saya (bukan KPop idol gitu, ya), yang menganggap saya cewek keren, gaul dan cerdas untuk bisa berbagi topic apa saja untuk di diskusi dan di bicarakan (bahkan super konyol sekalipun). Namun bagi saya apa yang doi lihat dari saya adalah apa yang doi- ingin lihat tentang saya, his own version of ideal female yang doi tempatkan pada saya. Yah, saya semacam template dasar lah, untuk merakit ke-ideal-annya terhadap wanita. Ya kali cewek keren mana pernah di tolak, harusnya nolak. Coba tanya Angelina Jolie.

Karena pada dasarnya saya tentu saja mengalami patah hati dan penolakkan. Baik itu dalam hubungan asmara, pertemanan, keluarga atau secara interaksi social. Penolakan bisa menimpa siapa saja bahkan orang terkenal seperti celebrities, contoh ketika saya membaca bukunya Aziz Ansari yang berjudul Modern Romance, dia halaman perkenalan awal bliyau bercerita tentang Tanya, wanita yang tiba-tiba ‘gantung’ nasibnya Aziz dengan tidak menghubungi, membalas pesannya Aziz walaupun sudah ada centang tanda sudah di terima/baca, dan malah online di Facebook dan posting foto di Instagram. Tetap tidak membalas dan mengabari si Aziz jadi apa tidaknya mareka nonton konsernya Beach House malam besok.

Padahal, menurut Aziz, walaupun bliyau tidak head-over-heels alias jatuh cinta gila-gilaan sama Tanya, tapi mareka got the connection, the chemistry. Ya kali, siapa tahu bisa berlanjut ke hubungan yang bagaimana- gimana, gitu.

Akhirnya Aziz memutuskan ke klub-nya stand up comedy dan ‘curhat’ disana ketimbang nonton konser sendirian (halah, padahal si Aziz, mah, lagi dapat ide tuh, buat cuap-cuap). Cerita si Aziz banyak yang ngena ke hati para penonton karena memang topic itu sangat ‘manusiawi’ dan realita yang pernah kita alami paling tidak sekali dalam hidup (kalau kamu seberuntung itu menemukan soulmate-mu).

Kalau pengalaman ini membuat Aziz mencari buku manual untuk percintaan, terutama percintaan masa kini yang melibatkan dan dipengaruhi gadget dan teknologi, kemudian tidak menemukan satu buku pun untuk referensi yang membuat bliyau membuat buku referensinya sendiri; MODERN ROMANCE.

Penasaran?. Silahkan cari sendiri bukunya, e-book atau beli langsung maupun online, karena saya tidak di endorse dan tidak akan membahas ataupun me-review buku bliyau, hanya sepenggal issue yang memang saya pernah alami sendiri dan merasa ada connection dengan orang-orang yang pernah mengalami hal yang sama; di ‘gantung iya apa tidak’ tanpa kabar.

Kalau seingat saya, saya mengalami gantung tanpa kabar ini sepertinya lebih dari 3 kali. Ngenes memang, tapi semakin saya dewasa, selain ngenes juga membuat saya dewasa (terus kejadian lagi), lebih sinis, sarkastis dan skeptic. Halah, paling nanti doi kabur habis ‘kencan’ pertama. Dan memang, kejadian sekali lagi tahun ini walau saya sangat- sangat tidak sadar kalau saya sedang ‘dating’. Tidak akan saya sebut sebagai lugu sih, tapi ya kok, heran saja. I thought we’re friends, eh begitu saya tanya kabar dan ajak nongkrong lagi, balasannya lama sekali dan dengan embel-embel sibuk ini itu, terus PPOOOFFF!. Hilang tanpa jejak seriously moving out of town or something, what?.

(Dude got me thinking, jadi bahan tulisan, worth it!)

Sama seperti Aziz yang impressed by Tanya, good vibes and all, nyambung gitu kalau ngobrol. Cowok yang baru-baru ini juga amazed sama saya dan tanpa ragu dia langsung bilang, well, chill dude, I know I’m coolest, so chill (padahal saya aslinya blur banget kita ngobrolin apa malam kita pertama kenal, I was exhausted, too crowded and got distracted). Yang saya ingat hanyalah asam di mulut saya dari makanan random dari menu yang saya pilih (and overpriced, was calculating how much money I have in my wallet that night).

Long story short beberapa hari kemudian, kita duduk santai menikmati ‘panasnya’ kota, atau lebih tepatnya saya menerima panasnya kota dan doi tak henti-hentinya komplain tentang panasnya ini kota. Sejuta keluhan tentang panas, ‘panasnya, panasnya, panasnya’, like a broken record (atau sekarang di sebut glitch karena record yang traditional seperti kaset sudah punah, CD pun akan segera punah karena kepraktisan MP3 yang kecil dan compact).

Kita ngobrolin issue yang sedang trending, baik itu politik (ah jadi ingat seseorang yang bilang; ‘tahu apa kamu soal politik?), kemanusian (yang tidak adil dan kurang beradab), pop culture, sampailah kepada pilihan dan impian pribadi (saya menahan diri untuk tidak memberitahunya kalau saya ingin menjadi filthy rich hingga Benedict Cumberbacth bisa jadi butler saya yang akan selalu menyapa dengan suara berat dan seksinya itu, ah, Abang Ben..). Bagi yang mengenal saya (setdah, saya sendiri malah tidak kenal diri saya), maupun orang baru yang bisa membuat saya nyaman (atau lebih tepatnya I can’t shut my mouth), saya akan spontan meng-iya atau me-tidakkan suatu opini. Okay, banyak sekali opini dan pandangan hidup kami yang berbeda (no wonder he ran away) karena doi bisa melihat ketidak-cocokkan sedari dini, doi kabur. Sedangkan saya yang- sedari awal hanya menganggap ini pertemuan layaknya lagi adaptasi sama teman baru, ya, kurang sensitive. I was like, hell yeah, spitting my pros dan cons. Don’t give a shit.

Seperti yang saya bilang sebelumnya bahwa ini bukanlah pengalaman pertama kalinya, dulu sekali saya mengalami di gantung tanpa kabar, yang- saat itu masih polos dan lugu, saya berusaha mencari tahu dan menemukan jawaban (bahkan saat itu saya sudah anggap konyol, kekanakan dan egois namun anehnya mengerti dengan membuat diri saya melihat dari kacamata orang yang bersangkutan) yang; oh okay, baiklah, whatever. Saya punya ‘whatever’ attitude alias cuek setelah malas untuk mikir. Ya, standard lah, karena rata-rata kita mempunyai kebiasaan yang ‘masa bodoh’ setelah capek mikir dan bosan.

Pengalaman itu berlanjut, namun kali ini saya punya ‘sepasukan’ teman perempuan yang- memang perempuan terkenal suka berasumsi (sendiri secara kiasan tapi percayalah mareka sesungguhnya beramai-ramai memikirkan 1001 asumsi dengan teman-teman perempuannya yang lain, pernah dengar gossip?) akan memberikan ‘masukan’ kenapa si lelaki hilang tanpa kabar setelah (biasanya) kencan atau pertemuan pertama. Bakalan ada 2 masukan, kalau mareka mengikuti perkembangan awal sebelum kamu pergi kencan inilah contohnya; please jangan ngomongin soal Star Wars, doi tidak bakalan suka cewek yang terlalu geeky. Masukan kedua adalah asumsi setelah kencan.

Bagaimana tindakan pencegahan/escape route di saat kencan yang ternyata what the hell banget dan ingin segera lepas bebas; kamu bilang kamu menderita Herpes.  Apa? Herpes?. Ampuh  untuk menghalau kejaran cowok yang kamu tidak suka (saya pernah kenal seorang cewek yang bilang doi punya Herpes karena cowok yang datang ke blind date- setelah mengaku dirinya cakep seperti Takeshi Kaneshiro, namun, hadir dengan bedak putih cemong di muka, rendahnya self-esteem, pushy dan suka ngambek serta tentu saja million zillion killion years away jauh dari Takeshi Kaneshiro). I was there, duduk di belakang mareka, ngakak sampai keluar air mata. Suatu ‘scene’ yang tidak bisa saya lupakan walau telah berlalu 15 tahun lamanya, ya bagaimana bisa lupa, si cowok datang dengan muka kabuki. Wanjer! But anyway paling tidak yang di lakukan perempuan ini walau ekstrim tapi  cukup terus terang untuk tidak melanjutkan interaksi dan berhenti di saat itu juga, menolak dengan kejutan agar di jauhi, kejutan di balas kejutan lah, kira-kira. Am I right?.

Siapa itu Takeshi Kaneshiro, apa itu Herpes?. Don’t be lazy, Google it.

Perempuan bisa berasumsi apapun, menetaskan teori apapun, bahkan bisa menetapkan apapun sebagai sebuah ‘UUD dan Hukum’ (setelah diskusi yang panjang yang dalam waktu 1 jam saja). Like this guy was cute and all, kita pergi nonton, main di Timezone, makan es krim dan nyemil santai. Lagi- lagi doi ilang tanpa kabar, sehari pertama saya bingung kemana sih, pesan dan telepon tidak di jawab. Hari kedua kok, bikin kesal yang disusul sampai seminggu hampa. Di balik itu, teman-teman perempuan saya sudah mulai berpikir dalam tentang segala kemungkinan, memanggil saya (apa saya yang memanggil mareka untuk bala bantuan untuk mengurai segala macam kemungkinan, ya), menggelar rapat dan mengajukan dakwaan (jelas tanpa pembela karena kita mah, pasti mendakwa situ). Medengarkan asumsi, dakwaan dan teori yang sambung menyambung membuat saya jadi jengkel namun manut saja (yang paling banyak bacot biasanya yang paling sedikit sekali bahkan nyaris tidak pernah pacaran). Keputusan akhir (ya seperti biasanya lagi, akan berubah hari demi hari sampai kasus ini terlupakan) kami menetapkan bahwa si lelaki itu seorang gay. Kasus di tutup.

Whatever.

Dari kasus yang lain ke kasus lain dengan tema dan pola yang sama, biasanya ‘menelan korban’ perempuan saja, karena jika kamu perempuan yang menggantung si lelaki, kamu di anggap sok kecakepan, jual mahal, ternyata janda anak 3, penyihir, masalah mental atau low self-esteem, whatever. Selain di ‘gantung’, saya pastilah pernah ‘menggantung’ (ngaku, kok), terus cowok itu nekad nyamperin saya yang lagi leha-leha duduk di kursi stasiun dengan BFF perempuan saya saat itu, tanpa tendeng aling bilang saya sombong dan sok cool, sok gaul dan yang paling krusial; sok kecakepan.

Yay!. Kalau saya di bilang sok cakep, saya cakep dong?.

Otomatis BFF saya langsung pasang sikap defensive dan saya?. Saya masih ingat perasaan geli hati waktu itu, tapi maksain diri acting kaget dan terluka. Hahay!. Bagi saya, itu kocak banget terutama waktu dia bilang saya sok kecakepan, terus mulutnya mengerucut kesal. Doi minta pertanggung jawaban saya yang ogah balas SMS dan jawab telepon, dan lebih parahnya doi menuduh saya ganti nomor. Iya sih, saya memang ganti nomor tapi bukan menghindar, lagi dapat promo nomor baru dan, uh, merchandise Star Wars, sih.

Itu adalah dari sedikit kasus yang akhirnya di konfrontasi ketika sudah gengges di gantung tanpa kejelasan naksir apa malah turn off.  Respect, karena saya tidak akan melakukan hal itu, datang mengkonfrontasi orang yang gantungin saya, sudah terlanjur malas dan ikutan hilang penasarannya (setelah nulis ngalor ngidul baru sampai pada kata penasaran). Iya, penasaran sama nasib yang di gantung. Bak tagline iklan yang ada benarnya juga; KESAN PERTAMA BEGITU MENGGODA, SELANJUTNYA TERSERAH ANDA (masih penasaran menggoda apa malah bikin muntah).

Rasa penasaran adalah insting dasar kita dalam interaksi, begitu bertemu orang baru, kelihatanya menarik secara fisik dulu, di bawa cerita jadi klik, terus diajakin ketemuan. Baik itu jadi kencan atau pertemanan tergantung balik kepada motif masing- masing. Nah, setelah menghabiskan waktu yang dirasa cukup (kalau belum cukup  bisa jadi 2 film kayak Before Sunrise dan Before Sunset), rasa penasaran akan teroksidasi oleh mood hari itu; tertarik untuk hubungan lebih lanjutkah, turn off lalu kabur atau malah sesuai jadi teman.

Kalau kamu mengalami hal seperti ini , dengan tegas saya tekankan ini bukanlah manual book untuk percintaan ya (penulis jomblo kabeh, lagi cari pasangan yang serasi bak sendok dan garpu walau penulis lebih milih makan pakai sumpit), cuma sharing is caring saja. Meskipun kamu bête, malah nangis ternyata kamu sudah kadung suka (terlanjur cinta kok ya, complete nonsense yang ada mah, obsesi), coba tahan situ. Analisa lagi awal kalian bertemu, apa yang membuat kalian klik, dan tidak, ya bisa jadi dia pro genocide ala Thanos sedangkan kamu jelas-jelas penggemar Gandhi yang anti kekerasan, beri point setiap pro dan kontra. Kalau doi tidak merespon (tapi Twitter, FB, Instagram, WA, Line bahkan blog aktif dan terus di penuhi postingan), lalu (mungkin someday bosan dan pengen cari teman main, keingat kamu) menghubungi setelah kian ratus purnama, percayalah doi bukan Rangga yang sibuk bertahan hidup di New York dan rada minder, tapi doi adalah blangsak yang harus kamu segera delete dan block nomornya di kontak. Tidak ada yang lebih kejam setelah di cuekin terus di datangi lagi laksana tidak pernah terjadi apa-apa plus beribu alasan ketika kamu tanya kenapa tidak ada kabar.

Dude is not for you. HE EVEN, IS NOT INTO YOU.

Move one deh, and whatever.


Newer Posts
Older Posts

Ann Solo

Ann Solo
Strike a pose!

Find Ann Here!

Ann Solo Who?!

Ann Solo adalah nama pena Ananda Nazief, seorang lifsestyle blogger yang terinspirasi oleh orang- orang sekitar, perjalanan, kisah- kisah, pop culture dan issue semasa.

Prestasi:

Pemenang Terbaik 2 Flash Blogging Riau : Menuju Indonesia,
Kominfo (Direktorat Kemitraan Komunikasi) - Maret 2018.

Pemenang 2 Flash Writing For Gaza (Save Gaza-Palestine),
FLP Wilayah Riau - April 2018.

Pemenang 3 Lomba Blog Lestari Hutan, Yayasan Doktor Syahrir Indonesia - Agustus 2019.

Pemenang Harapan 1 Lomba Blog, HokBen Pekanbaru - Februari 2020.

Contact: annsolo800@gmail.com

  • Home
  • Beauty
  • Traveling
  • Entertainment & Arts
  • What's News
  • Books & Stories
  • Our Guest
  • Monologue
  • Eateries

Labels

#minimalism Beauty Books & Stories Eateries Entertainment & Arts Film Gaming monologue Our Guest parfum Review Review Parfume sponsored Techie thoughts traveling What's News

Let's Read Them Blogs

  • Buku, Jalan dan Nonton

Recent Posts

Followers

Viewers

Arsip Blog

  • ▼  2025 (1)
    • ▼  April (1)
      • Asyik, Perang Tarif, Mari Kita Beli Barang KW
  • ►  2024 (18)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2023 (45)
    • ►  Desember (3)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (11)
    • ►  September (7)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (1)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2022 (20)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (2)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (5)
  • ►  2021 (27)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (1)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (3)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2020 (34)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (5)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (2)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2019 (34)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (3)
    • ►  Mei (4)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (3)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2018 (56)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (5)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (14)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (5)
    • ►  Maret (5)

Find Them Here

Translate

Sociolla - SBN

Sociolla - SBN
50K off with voucher SBN043A7E

Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Blogger Perempuan

Beauty Blogger Pekanbaru

Beauty Blogger Pekanbaru

Popular Posts

  • Review Axis-Y Toner dan Ampoule - Skincare Baru Asal Korea
    Sejak beberapa tahun kebelakangan ini kita telah diserbu oleh tidak hanya produk Korea baik itu skincare dan makeup, tetapi juga ...
  • Review Loreal Infallible Pro Matte Foundation
    Kalau dulu saya hanya tahu dan penggemar berat Loreal True Match Foundation sejak zaman kuliah, ternyata Loreal juga mengelua...
  • 2019 Flight Of Mind
    Cheers! Time flies indeed, terlebih lagi di zaman sekarang ini dan saya yang sudah mulai lupa sehingga semua terasa cepat. 2019...
  • Kampanye No Straw Dari KFC
    Kampanye No Straw Movement. Kemarin saya dan seorang teman berjanji untuk bertemu di KFC terdekat dan sambil menunggunya datang, saya ...
  • (Pertandingan Terakhir Liliyana Natsir Sebelum Pensiun) Dukung Bersama Asian Games 2018
    Hari ini berita yang cukup mengecewakan muncul di TV ketika saya dan Tante sedang makan siang dirumah: Liliyana Natsir akan menggantung...
  • Review Lip Balm 3 Merek - Nivea, Himalaya Herbals dan L'Occitane
    Dulu sekali, sebelum kenal dengan lipstick seakrab sekarang, saya dan   lip balm adalah pasangan yang kompak. Tidak hanya mengatasi ...
  • Review Sunblock Biore & Senka
    Oh my! Sekali lagi saya merasa bersalah 'menelantarkan' blog ini karena akhir bulan lalu saya mempunyai pekerjaan baru ya...
  • Review - Sakura Collagen Moisturizer
    Pertama-tama, saya hanya mau menginformasikan bahwa ini adalah artikel review yang sebenarnya sudah lumayan telat terlupakan oleh kek...
  • Review AXIS-Y Cera-Heart My Type Duo Cream
    Sudah lam aterakhir kali saya memakai cream moisturizer tipe konvensional, alasan utamanya adalah kondisi iklim di kota saya...
  • Review Lipstick Maybelline Superstay Ink Crayon
    2020 dimulai dengan racun lipstick terbaru dari Maybelline yang datang dengan Super Stay Ink Crayon yang sebenarnya sudah saya nant...

Created with by BeautyTemplates | Distributed by blogger templates