![]() |
Pic : www.unsplash.com |
Di jaman saya kuliah, saya mengikuti beberapa demo protes salah satunya demo protes pembebasan Palestina yang kalau tidak salah saat itu tentang tragedi meninggalnya Rachel Corrie (rest in peace, sister) yang begitu heroic demi menyelamatkan masyarakat sipil dari serangan bulldozer merelakan tubuhnya sendiri di bulldozer (betapa samar ingatan saya akan Rachel yang kalau lagi, tidak salah di bidik kamera sedang membungkuk memeluk seorang bocah).
Jujur, saya dan teman- teman saya bergidik, mempertanyakan sanggupkah kami- terlebih lagi sesama Muslim akan sanggup melakukan hal yang sama, lha wong, pesanan makanan di restaurant telat sebentar saja sudah ngamuk-ngamuk. Rachel, kalau mau di tilik dari latar belakangnya bukanlah seorang Muslim, bliyau hanyalah manusia biasa yang tersentuh hatinya. Cuma sesedehana itu; hati yang tersentuh yang membawanya sejauh itu ke negeri asing dan berkorban jiwa raga (literally).
Di saat itu dunia menjadi heboh, kontroversi kematian bliyau membuat munculnya konspirasi teori, salah satunya pengakuan bahwa tentara Israel yang ‘tidak melihat’ bahwa Rachel sedang berada di tempat kejadian. Yeah, right.
Anyhow, buat kami- para anak muda di jaman itu (di awal 2000-an, kejadian terjadi pada tahun 2003, saya masih semester 2), apa yang menimpa Rachel sangat mengguncang. Seperti yang kita tahu, remaja dan anak muda terutama yang datang dari negara bebas merdeka konflik biasanya cenderung apathy, absent dari apa yang berada di luar lingkunngan mareka. Jika sekalipun mareka menonton berita, mendengar kabar tentang seuatu kejadian baik itu perang, wabah penyakit dan bencana alam- maaf nih, ya, ini berdasarkan pengalaman saya sendiri; kita manusia muda tidaklah begitu pusing untuk ambil tahu terlebih lagi berhenti sebentar untuk mendoakan mareka ataupun menyisihkan uang saku kita (jaman sekarang sibuk pada beli kuota internet, jaman saya dulu mungkin majalah dan kaset music).
Miris memang, tapi begitulah kita yang lupa terlena oleh kesenangan dan kenyamanan yang kita dapati bahkan sejak lahir. Indonesia sudah merdeka sejak generasi orang tua kita meskipun tidak di pungkiri negara kita juga mengalami konflik internal tapi, hey, kita semua yang ada saat ini tidak pernah mengalami apalagi mengetahuinya. Manja much, kids. Alay sih, kita ya.
Namun semakin ke depan generasi muda kita mengalami evolusi tidak hanya secara fisik yang bisa kita lihat tetapi juga secara mentality, simpati dan kesadaran kian tumbuh. Tidak hanya membantu sesama kita juga di luar zona nyaman kita, gambaran yang lebih besar adalah betapa konsistennya kita membantu saudara- masyarakat di luar negara kita seperti Palestine, Syria dan Rohingya contohnya.
Penyaluran bantuan telah terarah dan terusun, sumbangsih kita dalam bentuk materi, tenaga untuk me-lobby ke negara- negara lain juga doa yang tidak pernah putus- saya secara pribadi a firm believer of miracles, karena Tuhan itu ada dan apapun usaha kita suatu saat nanti akan berbuah manis.
Lalu kembali lagi dengan kita sebagai manusia muda (anak gaul lebih gaul lagi kalau kamu menjadi pribadi yang sensitive terhadap sekelilingmu dan mengulurkan bantuanmu, trust me your level of gaul-ness will reach up to the sky), kalau kamu masih bingung dan ragu; saya harus melakukakn apa ya buat Palestine (Syria, Rohingya dan lainnya)?. Okay ini yang harus kamu coba lakukan; kamu tahu bahwa doa itu tidak pernah merugikan apapun walau hanya sepersekian detik dalam kehidupanmu?. Nah, berdoalah. Apapun bahasa yang kamu pakai, agama yang kamu anut, anak dangdut apa anak EDM (Avichii meninggal ya, innalillah), anak sekolah mana, anak metal apa lebih heavy metal- berdoa tidak membatasi suatu makhluk. Bisa kita mulai berdoa?.
Sedekah, ini juga tidak mengurangi uang jajanmu untuk traktir pacar mu atau bujet nonton Avengers-mu minggu depan. Tidak muluk- muluk harus 100 ribu Rupiah kok, sedekahkan menurut kamu apa yang termampu serta seikhlasnya hati kamu bisa menerima. Kan, ada banyak tuh, kotak- kotak derma- cemplungin deh, tuh sedikit duit.
Educate yourself, edukasi dirimu dengan rajin membaca dan menganalisa tapi please, jangan langsung menjadi judgmental menuduh tanpa dasar pengetahuan yang banyak. Hanya karena kamu telah membaca, mendengar beberapa informasi bisa membuatmu menjadi ahli akan subjek tersebut. Ada waktu dimana saya menghabiskan bertahun- tahun membaca semua artikel, bahkan novel yang terinspirasi dari masalah Palestine dan Israel ini (saya sampai membaca beberapa cuplikan kitab mareka, sejarah mareka dari jaman mareka masih pakai kain dari kulit binatang) meskipun begitu saya masih tetap belum jadi seorang yang bisa berbicara banyak tentang masalah ini. Jadi akan lebih baik kita mempersenjatai diri kita dengan ilmu dan ketenangan melakukan pertolongan ketimbang marah- marah dan mengamuk memaki tanpa ada usaha pertolongan sama sekali. Apa coba, kan?. Buang waktu dan buang tenaga, balik lagi ke point diatas: berdoa dan bersedakah jauh lebih bermanfaat dan bermakna.
Teruntuk kids jaman now yang sibuk banget posting foto selfie mareka dan latah akan ganti profile picture mareka tiap kalau kejadian di Palestine/Syria/Rohingya lagi di blow up di media saja, ask yourself- tanya diri kamu; apakah saya tulus, apakah saya hanya mengikuti tanpa tahu apa sih, sebenarnya yang sedang terjadi di luar sana, apakah saya memang keren?. Kamu akan lebih keren kalau kamu menemukan empati, common sense- pikiran logis kamu terhadap sesama.
Kalau kamu sudah menemukan rasa simpati dan empatimu, mulailah untuk bergerak maju, ambil detik dalam hidupmu untuk berdoa, sedikit rezekimu untuk di bagi.
Donasimu akan tersalurkan, insha Allah, dalam nama Allah kepada saudara kita sesama manusia (Muslim bagi yang beragama Islam) ke;
Komite Nasional Untuk Rakyat Palestina Provinsi Riau.
Bank Syariah Mandiri cabang Pekanbaru a/n KNRP RIAU 7047466614.
Dan please stop memakai atribut Palestina hanya karena terlihat keren (kamu terlihat konyol dan palsu, beneran, karena jika kamu menanyai hati kecilmu dengan jujur), memasang foto- foto korban yang terbaring penuh darah, have some respect; hargai mareka karena mareka bukan bahan komoditi untuk di bagi dari grup social media ke social media lainnya demi di beri simpati sesaat.
Jadilah manusia yang keren, muda, teredukasi dan penuh simpati serta empati tanpa posting-an selfie berlatar belakang kesusahan orang lain.
Bismillah. Merdeka!
Ps.
Heal The World adalah lagu dari mendiang Michael Jackson tentang kemanusian.
Rest in peace, Sir.
![]() |
Pic : www.unsplash.com |
Kalau perempuan kepo itu rasanya wajar banget ya, tanya kenapa saya masih jomblo, kenapa kok, keliatan awet muda- apa rahasianya, tapi kenapa kalau laki yang tanya kenapa saya jomblo sampai memojokkan itu, rasanya seksis dan misoganis banget. Belum lagi dengan nada patronizing, situ kagak kenal saya kenapa harus tanya dan bernada seperti itu?.
Bahkan mareka sampai ke pertanyaan apakah saya lebih memilih perempuan, apakah saya ‘dingin’, apakah saya masih perawan, apakah saya bahkan bukan perempuan tulen. Mareka akan ‘menasehati’ dengan ‘sebijaksananya’ mungkin; bahwa kodratnya perempuan itu ya, harus jadi bininya bagi si lelaki.
My Goat!.
Seringnya kadang yang ngomong begini adalah orang- orang yang tidak saya kenal apalagi mareka mengenal saya, baru kenalan saja sudah tanya begini, bikin empet, deh. Pendapat yang cukup dewasa dari teman adalah bahwa para lelaki ini tidak bahagai jika ia sudah menikah, dan sendirinya tidak laku karena pribadinya buruk jika ia masih lajang. Juga kali ti*itnya kecil. Setuju.
Beberapa minggu lalu saya di kenalkan oleh teman kepada teman kantornya, di awal perkenalan (lewat Whatsapp) semuanya terlihat wajar; asal dari mana, umur, tanggal lahir, hobi, pekerjaan dan pertanyaan standard lainya. Nah, selang seminggu (padahal juga chatting nya juga ala kadar dan tidak setiap hari), mulai deh, doi bertanya tentang semua diatas, melalui audio call yang karena itu saya bisa bilang dengan nada patronizing.
Okay, pertama doi lebih muda 6 tahun dari saya- yang mana doi telah menganggap saya seorang perempuan 30-an yang telah putus asa dan akan rela menikahi siapa saja daripada tidak menikah sama sekali. Kedua, doi bertanya tentang sejarah percintaan saya. Ketiga, apakah saya masih perawan ting-ting apa bukan (serious shit, doi bilang ting-ting). Apakah saya punya kecenderungan seksual yang aneh, kinky, vanilla, BDSM, atau bahkan biseksual. Hal seperti apakah yang akan menaikkan gairah seksual saya (duit, coba kasih saya duit 100 milyar, pasti saya horny), apakah saya punya riwayat penyakit yang bisa mematikan, menular atau genetika. Mampukah saya mengandung dan membesarkan anak nantinya?. Apakah saya punya tato, bekas luka dan korengan (belum tahu doi, saya di panggil FrankeNda oleh sahabat- sahabat karena saya punya beberapa bekas luka yang menurut mareka cool). Bagaimana menurut saya kalau doi kawin dua, kira- kira Jokowi akan menjabat lagikah, kemarin saya nyoblos Prabowo apa Jokowi, bisakah Ahok kembali ke jalan yang lurus, tidakkah Tesla terlalu muluk- muluk. Sebaiknya saya menjawab, saya mendapatkan cemoohan dan tawa kecil mengejek; tahu apa sih, kamu perempuan soal yang ‘serius begitu’?.
Semua bullshit di atas membuat saya kontan berteriak HAIL HYDRA yang mebuat doi kebingungan dan bertanya- tanya; ‘Kamu kenal cowok yang namanya Hydra?’.
HAIL HYDRA!.
Pilihan tentang music, film dan buku juga tidak ada titik temu. Doi adalah penganut ‘apapu-yang-trend-gue-ikutin-walaupun-gue-kagak-ngarti’, music adalah yang nge-beat bisa di joget-in, film mengikuti apa yang lagi booming di bioskop (nonton Avengers, tapi tidak bisa membedakan mana Marvel atau DC, please jangan ngomong jelek soal my king T’challa atau saya akan tombak sampean dari Wakanda kemanapun sampean lari), bahkan yang lebih parahnya; doi benci sekali membaca, jangankan buku, artikel berita saja bliyau ini ogah baca. Jenis manusia apa kau, ini, hah?!.
Sampai disini, kita semua pasti setuju kalau lelaki ini so enggak banget, bisa di buang ke laut saja nambah sampah yang merusak biota laut, tetapi- tidaklah semua manusia itu penuh kekurangan melainkan mempunyai kelebihan juga.
Dan mempunyai wajah yang rupawan, body yang bagus, karir yang mapan dan kemampuan sosialiasi yang mumpuni adalah, sayangnya, tolak ukur seseorang itu sukses menjadi dan menjalani hidupnya. Ketika lelaki belum juga menikah setelah kriteria di atas lengkap; pasti dia lagi selektif, masih mau bersenang-senang, atau jaman sekarang; gay.
Apabila si perempuan juga mempunyai kriteria di atas (buruknya saya tidak masuk kriteria itu, nahas banget), dan masih melajang- perempuan ini bisa jadi; lesbian, tidak perawan/perawan tua yang takut lelaki, tamak, egois, kalau make-up nya di hapus pasti jelek, terlalu berebihan menuntut jodoh yang sempurna, punya penyakit tersembunyi, mandul, hysteria, bisa jadi mentally ill, high maintenance, bodoh tidak terpelajar dan berbudaya. Serta semua negative label lainnya yang mungkin lebih parah dialami oleh perempuan- perempuan di luar sana.
Entah berapa banyak kali saya harus berhadapan dengan tipikal lelaki seperti ini yang- membuat kecewa adalah mareka yang mempunyai imej bagus di masyarakat dengan kerja dan materi yang menggiurkan belum lagi pendidikan yang mareka enyam dulunya; S1, S2, S3, STONNGTONG, SKRIMAICE, SKRIMWALLS apapun, lah, tidak menjamin para lelaki ini berbudaya, mempunyai common sense yang peka maupun empati terhadap lawan jenis mareka.
Berbudaya harusnya erat dengan berpendidikan, tapi justru tidak selamanya mareka berdua ini bisa berbarengan. Dulu sekali satu contoh, saya mengenal seorang teman yang tidak pernah menamatkan sekolah SMU-nya, tapi bliyau adalah seorang yang amat sangat berbudaya, bahkan berpendidikan!. Jaman sebelum Google mengetahui apapun di muka bumi ini, perpustakaan dan semua bahan bacaan konvensional merupakan sesuatu yang bikin kita semua mengejarnya hanya untuk mengetahui sesuatu kejadian dan informasi (seringnya telah lama berlalu namun masih valid). Bliyau ini menghabiskan waktunya dengan membaca, mendengarkan orang (jaman sekarang semuanya mau ngomong tapi ogah mendengar), menganalisa orang, mendidik dirinya, mengasah otaknya secara otodidak. Sensitifitas muncul sebagai bibit yang mengakar menjadi budaya; memahami orang dengan karekter mareka masing- masing, latar belakang pola asuhan orang tua, kebiasaan, adat istiadat, gaya yang di pakai dan selera yang di sukai.
Bliyau ini yang menurut buku teks sekolah saya dulu (tidak tahu kalau sekarang, ya) adalah contoh rakyat yang fakir ilmu juga biasanya akan disertai dengan fakir materi. Somehow tidak semua orang bisa di golongkan dengan labelisasi serupa karena manusia akan berevolusi.
Jika saya membandingkan lelaki blangsak di atas dengan teman saya ini, pasti masyarakat akan menilainya jomplang, padahal menurut saya justru teman saya inilah yang harusnya lebih unggul. Meskipun dia tidak pernah mengenyam pendidikan formal tinggi namun bliyau adalah seorang pengusaha sukses, patron of arts!. Bliyau mempunyai koleksi buku- buku langka (sorry uncle, I lost that Tagore book entah dimana), piringan hitam klasik dan bahkan lukisan- lukisan mahal original karya sang seniman langsung di beli kontan!.
Tidak sekalipun- menurut istri dan anak-anaknya, bliyau ini merendahkan mareka dan berkata kasar dengan nada patronizing khas seksis dan misoganis. Bliyau lebih menganggap kaum perempuan adalah penggerak motor kehidupan sejati; Ann, we men won’t be here without our mothers.
Sungguh bikin baper sekali!.
Asuhan utama dari masa kecil seseorang itu amatlah berpengaruh, yha, bisa jadi si lelaki blangsak mempunyai keluarga yang dimana ayahnya adalah sosok patriaki ‘sejati’ yang menempatkan wanitanya di ‘posisinya’. Kamar dan dapur. Sosok ibu memang di muliakan tetapi juga terbatas di bawah sosok ayah. Apaan coba?. Pernah mikir tidak sih, kok bisa begitu?. Surga di bawah telapak kaki ibu, tapi kenapa bapak menempatkan ibu di ranjang dan dapur saja. Di pamerin dikit- dikitlah sesekali.
HAIL HYDRA!.
Terus kita rada heran, ada ya hari gini model yang beginian masih berkeliaran di masyarakat jaman now, ya masih dong. Yang memproduksi kids jaman now adalah kids jaman old yang masih hidup dan belum pensiun. Kids antara jaman old dan now juga masih banyak dan mulai membentuk keluarga mareka sendiri yang biasanya nih, lebih rasional dan seimbang. Yha, semoga saja produk hasil kids jaman menengah lebih masuk akal.
Di masa depan saya harap para perempuan dan lelaki tidak lagi saling seksis, misoganis dan semua term yang mengaju pada pembedaan gender secara menyakitkan itu akan segera jadi mitos dan bahan tulisan di buku sejarah pada tahun 2050.
Lalu, lalu bagaimana nasib si lelaki blangsak tadi?. Well, saya tidak banyak berkata- kata karena saya merasa dia itu beyond saving; tidak bisa di selamatkan lagi. Juga ini bukanlah kasus serupa pertama yang saya alami, beberapa orang sebelumnya kini telah ‘terselamatkan’ oleh pikiran logis mareka sendiri setelah saya konfrontasi. Coba deh mas, abang, akang, mau perempuan itu punya bekas koreng, perawan apa tidak, pernah melahirkan sebelum dia sama situ atau mampu melahirkan apa tidaknya, cantik rambut lurus panjang kulit putih bagai kunti, tomboy atau feminine, semua kelebihan dan kekurangannya tidaklah membuatnya kurang perempuan. Hello, para perempuan di sebut perempuan itu memang dari pabriknya setelah di tentukan oleh Tuhan, lengkap dengan alat kelamin pembedanya adalah akan tetap menjadi seorang perempuan terlepas dia punya maternal instinct, bisa cetak bayi- bayi apa tidaknya. Apa urusannya situ yang sibuk banget menilai dan menghakimi mareka?. Emangnya situ orang jaksa penuntut umum dari surga?. Tuhan tidak butuh bantuan jaksa, bro.
Lagian juga, benar kata-kata jadul ini deh; cinta itu buta, karena jika sudah cinta kita akan menerimanya unconditionally, sekelam apapun masa lalu seseorang itu tidak akan pernah menjamin masa depannya juga turut kelam. Etapikan manusia berevolusi kan yak, dari monyet jadi manusia bisa, masa merubah penyesalan menjadi prestasi dan cinta tidak bisa?. HAHA. Yha toh, lek?.
Saya pernah jualan onde-onde narkoba dulunya apa tidak, pernah jogged- jogged di dangdutan massal apa tidak, punya 11 mantan pacar yang bisa saja manejeri untuk bikin klub sepakbola (plus kamu jadi cadangannya) apa tidak, itu semua bukan urusan situ. Itu urusan saya sama Tuhan saya, cukup. Kenapa sih, nambahin beban hidup dan dosa dengan menguak aib dan kepoin hidup orang lain (itulah kenapa saya tidak follow akunnya Lambe Turah dll), you can go f*ck yourself and let others live in peace.
Oh, kalau kamu sudah merasa cukup dengan pendidikanmu, mungkin ini saatnya menjadi manusia yang berbudaya, ajari dirimu untuk menempatkan dirimu di posisi orang lain sebelum kamu menyakiti dan menggores hatinya dengan perkataanmu (karena jika kau gores pakai pisau, kau ku laporkan ke polisi!). Rasanya gampang kok, mikir sebelum mulut berkoar, ya toh?.
Berikut ini adalah kira- kira cuplikan adegan dialog saya dan si blangsak:
Blangsak : Jadi, kamu tidak butuh laki-laki?. Kamu terlalu pemilih, lihat umurmu makin naik, lho. Nanti keburu keriput dan layu, mana ada yang mau? (terus ngikik seram).
Saya : HAIL HYDRA!!!
Blangsak : SIAPA ITU HHYYDDRRRAAAA????!!!!
![]() |
Pic : www.unsplash.com |
Kalau dulu sebelum berhijab, barang bawaan saya selama traveling sangat simple dan ringan, bahkan saya bisa menyesuaikan berat ransel sesuai dengan regulasi maskapai penerbangan, lagipula penerbangan pergi selalunya hanya 1 ransel (pulang malah beranak-pinak).
Pakaian yang biasa saya bawa dulu biasanya di pakai berulang- ulang kali paling banter diselang-selingi dengan jacket atau scarf, seringnya tabrak warna dan rada ngasal di akhir- akhir perjalanan. Bahannya pun sebisa mungkin adalah kaus katun atau apapun yang cepat kering mengingat cuci kilat ala backpacker yang hanya di gantung di ujung ranjang, dalam keadaan lembab tak jarang sudah di lipat masuk ke ransel. Duh, bau lembabnya itu lho, menguar begitu ransel di buka di tujuan berikutnya.
Terkadang saya iseng menggantung pakaian basah saya di dalam plastic kemudian di gantung di ransel yang di sandang kemana-mana seharian berharap panas kota dan matahari akan mengeringkannya. Ya kali, jangan pula memilih kresek putih transparent dan menggantung pakaian dalam terus di bawa keliling kota. Tapi ya, beberapa backpacker emang cuek dan perduli amat, saya pernah bertemu pengelana asal Eropa yang menggantung sempaknya di ransel lalu dengan santainya duduk minum kopi sambil baca buku dengan ransel yang ditutupi pakaian untuk dikeringkan. Keren. Dan masa bodoh.
Tahun pertama saya memakai hijab, semuanya serba awkward- baik itu cara pakai jilbab saya yang bingung-penuh-lilitan sampai pilihan bahan dan motifnya. Dengan tiga pentul kecil yang wajib bawa (asli merepotkan belum lagi resiko hilang atau ketusuk), trik menghindari wajah bulat chubby dengan lilitan rempong hingga rumbai-rumbai kecil di ujung hijab yang bikin saya kesangkut beberapa kali. Beneran deh, kikuk banget.
Sebisanya saya selalu memakai warna- warna polos natural, tapi apalah daya saya pun terseret arus model hijab dengan motif penuh, ramai dan meriah. Which is pasti bentrok dengan motif pakaian yang biasa saya kenakan; kemeja flannel atau motif kotak 1 warna dan bunga. Belum lagi saya hanya bisa memakai hijab pashmina di karenakan jika saya memakai hijab segiempat yang di lipat dua menjadi segitiga, beuh, muka saya akan menjadi sebulat bulan!. Kalau lihat foto- foto jadul awal saya memakai jilbab yang terkesan (sebenarnya sih, iya) serampangan dan ala kadarnya, bikin ngakak kabeh!
Lalu bicara soal bahan, saya paling tidak bisa memakai bahan yang kelewat keras dan tegang, atau yang terlalu lembut dan jatuh maupun yang berkilat. Bahan yang keras bisa bikin kulit di wajah dan leher saya gatal karena mungkin benang kain yang terlalu rapat membuatnya panas. Kain yang terlalu jatuh amat susah di gayakan dan memerlukan banyak jarum pentul. Sedangkan yang berkilat, aduh, bikin muka saya kusam kalau di foto, terlebih kalau terkena flash-nya kamera, minyak muka, tambah sumuk saja nih, wajah. Padahal make-up saya on fleek banget, somehow saya tidak jodoh dengan hijab yang berkilat-kilat.
Ketika lagi trend-nya hijab motif bunga, saya pun turut serta sampai kemudian hari keponakan saya mengatakan dia menghindari motif bunga yang penuh dan besar karena itu akan membuatnya semakin kelihatan besar. Butuh waktu lama untuk saya menjauhi motif hijab bunga (karena belum ketemu pashmina polos yang seperti saya mau), dan selama itu pulalah sedapat mungkin saya hanya memakai pakaian monochrome atau serba polos sewarna sekalian. Demi menghindari tabrak motif, warna yang bikin sakit mata dan mengundang kecaman orang- orang dalam hati mareka masing-masing (malah nambah dosa juga, lagi).
Trial and error saya dalam berhijab sungguh kocak, ngenes dan panjang. Saya belajar otodidak, baik itu mencari style hijab yang sesuai dengan wajah dan kepribadian saya (no, no more hijab lilit) , bahan kain yang nyaman hingga panjang hijab itu sendiri. Karena pada dasarnya saya adalah orang yang mau serba praktis, menghindari membeli dan memakai sesuatu yang bikin saya mikir bagaimana menyetrika atau memakainya, namun begitu tetap fashionable. Ketika saya hendak sholat, saya tidak mau repot melepas hijab saya, apalagi memasangnya setelah sholat. Intinya, saya paling males ribet toh esensi saya memakai hijab kan, demi perubahan yang baik dan sebaiknya perubahan baik itu juga tidak merepotkan di dalam prosesnya. Begitu, kah?.
Sama seperti traveling yang menjadi ekstra sejak saya berhijab, kalau hanya sekedar kemping, biasanya saya membawa hijab yang bahannya seperti jenis kusut karena bahan sebegitu juga di setrika sekalipun tidak akan mulus. Nah, kalau traveling yang benaran; packing, naik pesawat gitu, baru saya rada ketar-ketir. Kalau saya memutuskan untuk backpacking dengan ransel saya harus siap dengan resiko adanya lipatan- lipatan di hijab saya. Mustahil membawa setrikaan walau yang kecil sekalipun (nambah beban tas). Hampir sama sih, kalau saya membawa koper- pasti tetap di lipat dan berbekas. Tinggal bagaimana saya mengakalinya nanti (biasanya bête di awal tapi lama- lama juga lupa kalau hijab saya kurang rapi).
Masuk ke kordinasi warna, saya akui saya stress memilih pakaian yang saya bawa harus match dengan bujet hijab yang saya bawa nanti. Saya harus rela memakai beberapa hijab untuk beberapa kali walau bakalan basah oleh keringat. Geli ya?. Ha!. Sama!.
Untunglah saya selalu sedia body mist (yang tidak pernah sekalipun menyentuh body melainkan pakaian dan hijab) yang akan di ‘guyur’ ke hijab demi menyamarkan bau matahari. Coba gitu, produsen- produsen yang biasanya bikin shampoo untuk rambut berhijab (serius, GA NGARUH), buat parfume- atau kalau mau lebih affordable; cologne, mist atau eau de toilette khusus untuk pakaian dan hijab. Ya kan, yang penting di bikin harum itu mah, bukan body lagi, tapi hijab yang biasanya di pakai lebih dari 1 kali. Hello, kalau para produsen baca ini, itu kredit idenya ke saya ya, sini bayar royalty untuk ide saya. Serius lho, ini.
Lalu bicara bahan, rasanya susah sekali menemukan bahan hijab yang adem untuk negara tropis begini. Biasanya para penjual hijab akan mengklaim kalau hijab yang mareka jual itu akan bikin kepala adem dan tidak gatal, tapi kenyataannya mareka biasanya hanya mementingkan motif dan model hijab (di kasih sulaman kah, di kasih mutiara kah, di kasih beads kah). Jarang sekali saya temukan produsen hijab yang serius, mengadakan riset di lab demi mencari, menemukan dan membuat bahan kain yang adem dan eco-friendly, plus yang paling penting; cepat kering secepat tangan lihai pesulap David Blaine.
Mungkin kalau semua kriteria di atas terpenuhi, baggage saya selama traveling meningkat (di akali dengan selektif memilih pakaian) khusus hijab. Sesungguhnya saya lebih mendingan memakai kaos yang sama 2 kali (aslinya sih, geli, tapi sering banget ketika traveling yang untungnya adalah bahan kaus dan longgar berangin) ketimbang pakai hijab 2 kali, karena selain hijab itu sendiri saya juga memakai alas agar hijabnya tidak merosot turun, dengan rambut yang di ikat otomatis membuat kepala saya pengap dan lembab oleh keringat. Belum lagi kalau bekas keringat bercampur residu make-up (moisturizer, bb cream/foundation, bedak, blush on, dll) menempel di hijab, bikin saya jengkel harus buru- buru cari detergen dan V*nish. Okay deh, tambah ya kriteria hijab yang ‘sempurna’ menurut saya; anti noda, apapun!. Hahay!.
Dikarenakan untuk mencari kepraktisan, ada waktu dimana saya hanya mengenakan hijab berwarna hitam atau gelap. Selain tidak mudah menampakkan noda, warna hitam dan gelap juga menyamarkan beberapa bolong kecil di hijab saya oleh peniti. Duh, ada tidak sih, kain hijab yang anti bolong oleh peniti juga?. Banyak maunya, ya?. Ahem.
Mungkin saya masih banyak belajar bagaimana mengakali traveling terutama backpacking dengan hijab namun tetap gaya layaknya para hijabers yang ngakunya backpacking tapi gaya, sepatu, tas, baju dan hijabnya ganti dari hari kehari (bawa ransel apa bawa lemari?). Terpikir untuk membawa lempeng besi pipih ringan dan lilin, di hostel yang ala kadarnya itu paling tidak saya bisa menyetrika hijab saya dengan memanaskan besi pipih itu tadi. Atau sekalian beli hijab khusus atlet (yang mahalnya ampun dah, belum masuk di kota saya, lagi), tidak hanya akan di pandangi aneh; hijab atlet tapi pakaiannya grunge/emo/girly abis tapi juga pasti bikin saya tidak nyaman karena hijab saya adalah yang menutupi dada (sekalian menutupi betapa kurusnya saya, gitu).
Semua harapan saya untuk diciptakannya hijab (pasti di kasih SNI atau cap halal nih, nanti) asyik nan murah meriah (please deh, 1 orang punya minimum 15 lembar hijab) akan segera di pertimbangkan demi kelancaran ibadah para wanita dan berkurangnya ketombe di kepala mareka. Amin.
![]() |
Pic: www.unsplash.com |
Bagaimana caranya berteman di jaman sekarang: tanya partai politiknya, tanya kandidat yang di dukungnya, tanya aliran agamanya yang seagama denganmu (ahem!), tanya siapa saja mantannya (krusial), tanya klub sepakbolanya (jangan sampai salah pakai warna), tanya KW premium atau KW super tas yang sedang di pakainya, tanya kebijakan pemerintah yang di dukung dan di sanggahnya, tanya etos kerjanya yang bebas korupsi atau malah korupsi (cocokkan saja dengan sang penanya), tanya kemana saja ia pernah berkunjung, tanya (e)S berapa kah ia sudah kini (S!, S2, SE, STONGTONG, SWALLS), tanya perawan apa tidaknya dia (sangat seksis dan misoganis ketika pertanyaan hanya boleh di lontarkan oleh lelaki semata namun jika sang perempuan yang bertanya jawabannya seperti bintang-bintang di angkasa; jauh dan tidak tahu pastinya berapa biji itu bintang).
Beda sekali dengan cara berteman paling tidak 1 dekade lalu: tanya sukanya apa, bencinya apa, alumni mana, biasa jerawatan parah apa tidak, potong rambut dimana, penyanyi dan actor siapa saja yang disukai, tinggalnya di daerah mana, kenal iini, kenal itu.
Yang masih sama: kok jomblo, kenapa belum menikah, apa masalahnya sampai belum menikah, kapan menikah. Kepo yang tidak penting yang sejauh ini belum ada perubahan; baru kenal, kadang tidak berniat kenalan (apalagi di jadikan teman), kok malah tanya hal- hal pribadi.
Itu kenapa saya tulis pick instead making a new friends, karena jaman sekarang kita harus memilih teman untuk berinteraksi ketimbang membuat pertemanan yang sering bikin masalah dan menambah beban hidup: apa masalahnya kalau saya masih jomblo?. Emang situ di dipengaruhi ya, pergerakkan bulan hidupnya kalau saya jomblo?. Coba deh, dipikir, apa hubungannya status jomblo dengan membuat perkenalan- terutama sekali; kenapa dia jomblo.
Di dalam bahasa Indonesia itu ada KENALAN, lalu TEMAN, kemudian SAHABAT. Itu adalah 3 langkah kita bersosial, justru sekarang kita hanya melakukan 2 atau bahkan 1 tahap saja. Kita akan mudah sekali menganggap seseorang itu teman atau bahkan sahabat hanya dengan ngobrol beberapa saat, tipikal orang kita yang merasa ‘nyambung’ dan ‘nyaman’, padahal tidak semua kesan pertama itu benar. Kenalan itu kini samar-samar mengingatkan kita pada dialong film Indonesia tahun 80-an.
“Ah, dia hanya kenalan saya di pasar”.
Dari penampilan luar saya sering di klaim sebagai cold heart bitch; eksterior yang dingin, dengan resting bitch face syndrome (you should see my sister), bahasa tubuh yang acuh tak acuh, ngomong asal (yang di klaim oleh beberapa orang; justru saya berusaha jujur dengan ngomong apa adanya dan sering sekedarnya), intinya saya itu tidak approachable. Lalu kemudian justru orang- orang yang merasa saya begitu berakhir menjadi orang- orang terdekat saya, sebaliknya orang yang merasa saya mudah di dekati malah menjauh waktu demi waktu. Aneh, ya.
Dengan tampilan luar saya yang sudah ‘keras’ banget, bergaul, membuat pertemanan baru semakin sulit saja sejak semua pertanyaan diatas menjadi dasar cocok tidaknya seseorang untuk menjadikan saya teman mareka. Supaya lebih afdol; seorang teman meminta saya menjalani tes kepribadian online (yang linknya di kirim bliyau lewat Whatsapp), hasilnya di screenshot dan dikirim, lalu dia akan menganalisa tingkat match kami untuk menjadi teman baik.
D.A.H.S.Y.A.T!
(Hello there!)
Jika dulu pertemanan menjadi unik karena chemistry alami yang membangunnya, kini pertemanan jadi unik kalau cerita di balik pertemanan itu adalah karena kesukaan fanatic kami terhadap boyband Korea yang sama (G-Dragon forever!!!). Kalau kamu salah menyebutkan boyband yang kamu suka, kesempatan mendapatkan teman yang kamu bisa tebengin wi-fi nya akan menguap hilang, kayak kentut yang bisu namun meninggalkan bekas bau yang menyakitkan karena tidak bisa numpang download episode Drakor terbaru. Puffff!!!
Apalagi kalau masa pemilihan Presiden dan Pilkada mulai hangat, di group chat dan social media semua teman akan mulai menaikkan status, link artikel, foto (baik itu benar maupun hoax), yang akan di like atau di tampik keras oleh teman lainnya. Perperangan di dunia maya telah dimulai. Masih segar di ingatan saya 2 orang teman yang bertikai (padahal mareka bisa di bilang punya hubungan yang baik walau bukan bersahabat), teman A memilih Wowo1, teman Z memilih Wowo2.
Saban hari thread, timeline, wall saya penuh dengan propaganda dan berita- berita yang di hujat dan dimaki pengikutnya. Beberapa teman dan keluarga dengan senyap- senyap telah saya unfollow, terutama teman- teman yang bertikai dalam hal agama; bagi saya tidak penting, agama saya lebih benar dari agama lainnya karena semua umat akan mengklaim hal yang serupa. Ya kalau kamu beragama, ya beribadah saja dengan benar, hakim menghakimi orang lain itu bukan urusanmu.
Hatchui!.
Hanya karena partai politik saya warnanya lebih gonjreng dari partai anutan kamu, kenapa kita yang harus bertikai?. Sejatinya partai- partai yang baik adalah partai yang sadar diri; mareka ada untuk bersatu melayani rakyat bukan malah memasang boneka sebagai pemimpin negara dan meloloskan anggota partai yang lainnya demi meraup, melakukan agenda partai sepihak saja.
Kalau saya ngomong begini cuma ada 2 responnya; iya-kamu-benar, atau, sorry not sorry nih, ini respon seksis, misoganis yang biasa saya dapati dari kaum pria: TAHU APA SIH, KAMU (read: saya, perempuan) SOAL POLITIK?!.
Respon begini sungguh bikin ngacung.
Dan lagi nih, biasanya jika saya memberi jawaban yang menggelitik para ‘pemberi respon’ di paragraph atas, saya tidak bisa di jadikan teman yang baik, lebih- lebih menjadi PASANGAN HIDUP yang sempurna. Lha wong, baru kenal saja saya sudah bisa stand for what I believe, mampu menjawab, mempunyai pemahaman sendiri (saya pernah ditanya bekas pacar dulu, dengan nada geli melecehkan; apa itu, ideology- saya maksudnya, oleh karena itu untuk menghindari hal yang sama saya tidak menulis ideology melainkan pemahaman, lagipula saya capek ditanya ideology itu Inggris apa boso Indonesia, kak?).
Sifat manusia jika ia tidak mengerti hal yang asing, mendapatkan jawaban di luar jangkaannya, kejutan kepribadian yang beda dari yang biasa ia hadapi di lingkungan social sekitarnya, mareka cenderung merasa terancam dan balik menyerang. Ya, kan?. Ya, lah.
Lebih kurang sama dengan sifat hewan, bedanya kita tidak bisa mengembangkan lemak leher kita seperti Iguana mengembangkan lemak leher kerah badutnya ketika terancam bahaya, malahan sebagai benteng pertahanan, kita melontarkan perkataan yang sadar atau tidaknya menyinggung orang.
Mareka yang telah menolak saya baik itu terang- terangan atau halus khas budaya kita, berakhir menjadi bahan pelajaran (trimakasih lho, bisa bahan tulisan, lho), baik itu yang saya terima dengan hati yang lapang (cowok yang saya taksir dulu lebih milih Kangen Band, padahal saya sukanya ST12, kan, clash gitu!), asem kecut berasa nyesep jeruk nipis, lucu karena betapa konyolnya manusia ya, atau sedih sampai mengeluarkan air mata (tetiba doi bilang chemistry diantara kami telah hilang, saya karbon monoksida, dan dia- karbon dioksida, nempel di pohon tepi jalan namun sejatinya kita itu tidak bisa nge-blend walau ada mono sebagai jenis pengklasifikasian tunggal sekalipun).
Ternyata fenomena ini telah menyebar hampir rata (sepertinya) di muka bumi; saya membaca suatu artikel tentang bagaimana sepasang suami istri yang bercerai hanya karena aliranisme yang mareka anut itu berbeda; democrat versus republican, bro, sis, itu musuh bebuyutan akut, tuh, kronis garis keras yang orang-orang di bawahnya sangat fanatic (dan, mengerikan, don’t care you guys are teribble, chill, please).
Bagi kita yang golongan super chill ini, hal- hal surealis, abstrak, absurd, seperti ini akan terlihat- terdengar konyol dan childlike, but hey, these are fully, completely- grown up people!. Hanya karena saya pro hukuman mati bagi pemerkosa, pedopil, serial killer, cowok yang naksir saya jadi putar stir mengarungi sungai esok harinya ketimbang ngajak saya nge-date untuk kedua kalinya. Yearp. Jika seseorang mengulas suatu topic untuk mencari persamaan dan perbedaan (dalam situasi sedang ‘berkencan’), beberapa orang akan sangat berhati- hati karena mareka tidak ingin opini mareka tidak masuk kolom kriteria (calon pasangan) mareka. Kalau pertanyaan; kamu suka duren muncul- walaupun kamu bisa mati hanya dengan menyentuh cepat pentil duri itu duren namun kamu menyukai cowok/cewek ini, kamu akan berkata: A, saya suka atau B, okay bye, dan waktu bagimu menjawab hanyalah sepersekian detik- kamu harus rela menerima jika yang beratanya justru lebih milih Duku sebagai King Of Fruits (seriously shite ini terjadi pada teman saya).
Dalam masa penjajakan awal sebuah hubungan yang menjurus pada romansa, pencocokan adalah dimana kamu mentally listing, unconsciously, mencentang persen kesempatan kelanjutan hubungan itu apa tidak. Sebagai pribadi yang baik (dan jujur pada dirinya sendiri), cowok yang saya temui kemarin dulu itu memilih untuk melipir, yang- sebaliknya bagi beberapa orang disini memakai jurus basa- basi yang membingungkan. Apabila, ternyata semua daftar kecocokan lebih banyak missed, alangkah baiknya jika sang cowok/cewek mengambil langkah terus terang untuk menolak (terkadang kita memilih ilusi doi lagi sibuk ngurusin blog-nya, jadi masih belum bisa ketemu untuk nonton minggu ini- ya begitu seterusnya tiap minggu).
“Dude, this girl would likely killing everyone while me likes peace” (mungkin kurang lebih inilah yang di batin sang cowok kemarin), atau saya mempunya kecenderungan jadi psikopat (saya dengan gembiranya menjabarkan detil hukuman mati seperti apa untuk para criminal tersebut). Factor dasar kita juga mempunya andil yang besar- yang sebagai orang Asia factor bawaan ini justru dianggap aneh yang tidak relevan: introvert, extrovert dan yang bak kata Susanna Kaysen; ambivalent, si ambivert yang sepertinya masih belum masuk kamus secara resmi. Kita, saya dan doi adalah dua pribadi yang kelihatan mirip dari luar (doi ramah begitu juga saya, hanya itu yang sama sepertinya, ya) tapi bila semua opini telah keluar- kami nyaris tidak menemukan titik aman untuk kami bisa duduk santai sambil minum teh dan saling menatap satu sama lain dengan senyum sumringah. Saya memintanya untuk memberi rating seberapa extrovert-nya doi, doi memberi saya angka 9. Almost 10.
Sekelebat pikiran saya membayangkan betapa tidak nyamannya ketika rumah kami di kunjungi kenalan dan saudara terus menerus tanpa putus- tanpa sempat bagi saya untuk menarik nafas menikmati ruang dan waktu untuk diri sendiri bahkan waktu bersamanya. Lebih mengerikan, doi ingin membangun komuniti yang dimana orang tinggal bersama, mengiris bawang untung makan malam bersama, menikmati malam bersama sambil meminum tuak dari botol yang di gilirkan dilingkaran para anggota komuniti yang menikmati api unggun di malam yang cerah berbintang.
What a nightmare!
Kecuali kemping ya, itu saya suka minus tuak yang di gilirkan.
Membayangkan saya harus berbagi pakaian yang sama (take turn memakainya, semua perempuan di komuniti telah memakai pakaian itu silih berganti), duduk berderet sambil mengepang rambut (atau menggayakan hijab), membesarkan bayi- bayi bersama (sampai bingung ini anak siapa jadi harus di beri spidol), sabun batangan yang di pakai kesemua tubuh anggota komuniti tanpa terkecuali, 1 penggorengan untuk 10 orang wanita (yang tidak dapat saya terima karena telah mencoreng harga diri saya sebagai maunya-ratu-sendiri), dengan muka datar saya hanya mengangguk ketika semua ide-ide yang ideal dari doi keluar berapi-api. Mau tahu respon saya?.
I can’t, even. Nope.
Untuk mencari teman yang sesuai dengan do’s dan don’ts sudah teramat sulit apatah lagi mencari pasangan hidup yang akan kita hadapi begitu bangun membuka mata. Seawal pagi TV telah menyiarkan perolehan suara kubu 1 merangkak naik yang disambut erangan sang suami (erangan kesal, mind you) lalu sarapan percekcokan mulai terhidang yang berujung dengan curhatnya masing- masing insan dalam rumahtangga yang mulai tidak harmonis ini ke teman lain jenisnya yang berujung perselingkuhan karena sang selingkuhan mendukung kubu yang sama (ada, ini bukan fiksi, lho).
Coba kita runut kembali, jujur pada diri sendiri- apakah sang selingkuhan benar setuju dengan kubu yang sama atau hanya YES demi menyenangkan hati semata?. Karena itulah yang biasanya kita lakukan untuk diterima di masyarakat; kita turut mengikuti arus daripada terkucilkan oleh pilihan kita yang berbeda sendiri. Saya pribadi- disini mengakui kekurangan yang masih sering saya lakukan ini sebanyak, yang saya inginkan untuk selalu jujur pada diri saya sendiri terkadang saya lost dan mengikuti arus. Seseorang bertanya apakah saya menyukai The Walking Dead, seseorang ini adalah dear friend dan demi menyenangkan hatinya saya berkata YES. Beberapa tahun kemudian, dengan leganya saya mengakui; I HATE THAT FUCKING THE WALKING DEAD. Then again sorry not sorry, sejatinya saya tidak menikmati series itu kenapa saya harus menontonnya demi menyenangkan hati orang lain?.
Apakah kami masih berteman?.
Menurut saya, kami masih dalam konteks teman yang baik walau- ada satu dan lain hal yang membuat kami tidak lagi akrab seperti dulu. No, not because that zombie series.
Sebuah hubungan akan melewati trial and error, kita akan menerimanya dengan baik atau tidak akan kembali pada individu itu sendiri. Manusia adalah makluk social sekaligus makluk individualis, tidak pernah ada salahnya meluangkan waktu untuk dirimu sendiri tanpa takut di tinggalkan, mengeluarkan pendapatmu (tanpa takut tidak masuk seleksi calon pendamping hidup impian) jika kamu yakin akan hal itu, kamu tidak harus menconteng semua persamaan kriteria dari manusia lainnya, pertemanan tidak perlu validasi melainkan hanya perlu chillex; chill and relax.
So, mau sang calon teman (pasangan) masih berpikir Tan Malaka dan Pramoedya Ananta Toer itu aliran kiri atau tidak, jangan di pusingkan, kalau mareka tidak bisa menerima penjelasan darimu- pergi. All you have to do is chillex, karena yang alami itu lebih bagus dan awet- kamu akan mendapatkan orang- orang yang akan pergi menemanimu ke kampanye politik yang sama atau hanya duduk ngakak nonton berita tanpa ada tinta biru gelap di kelingkingnya.
With all these freaking shits, saya mempercayai saya akan menemukan seseorang yang membenci durian dan kerupuk as much as I hate them- atau memakan semua itu di belakang punggung saya, sembunyi- sembunyi dan menahan sendawanya.
Semoga sebuah validasi dari manusia lainnya akan menjadi sejarah dan mitos karena yang akan tetap tinggal hanyalah email verifikasi dari akun website online shopping baru dan pekerja bank yang menelepon sanak saudaramu untuk memastikan kamu nyata apa setan demi lolosnya pengajuan kartu kredit limit rendahmu.
![]() |
Pic: www.unsplash.com |
Ketika adik perempuan saya masih mengandung, berolok-olok saya mengatakan kepada seorang teman baik bahwa saya akan menjalani motherhood. Saat itu saya tidak terlalu berpikir panjang betapa repot dan susahnya mengurus seorang bayi, saya- mengurus bayi, mulai dari membersihkan kotorannya, meracik susu formulanya dengan takaran tepat seimbang, hingga berusaha mengetahui di setiap arti tangisan bayi yang ternyata berbeda. Dulu sekali saya pernah lihat salah satu episode dari The Oprah Winfrey Show tentang setiap tangisan bayi itu mempunyai makna dan tujuan berbeda. Yeah right!
Ada gitu ya, orang- orang yang mengususkan hidup mareka mengabdi mencari tahu hal seperti ini. Padahal kan sih, bagi telinga kita ya kalau nangis, ya nangis aja, mau itu masuk angin, susu agak panas, lapar, mengantuk, bahasa bayi ya cuma tangisan universal. Oooeeekkkk!
Anyway, begitu bayi adik saya brojol, saya merasa jatuh cinta dan sumringah banget saat melihat wajah merah keriput kecilnya itu. Dia begitu, uh, besar- lahir dengan berat hampir 4 kilogram, namun saya takut untuk menggendongnya untuk pertama kali- karena saya sedikit clumsy dan kepikiran si bayi akan kesakitan di pelukan saya. Tetapi dia begitu anteng dan terlelap, aduh, saya tidak akan pernah lupa bagaimana rasanya menggendong bayi- bayi yang pernah saya gendong untuk pertama kalinya. Seperti beberapa keponakkan sebelumnya dan beberapa anak dari teman-teman baik saya.
Setiap hari saya selalu memainkan wajah kecil sang bayi di ingatan, ingin cepat pulang kerumah dan bermain dengannya yang masih belum bisa bereaksi terhadap nyanyian dan lelucon konyol (plus doktrin-doktrin) saya. Senyum akan mengembang di wajah tanpa sadar, seakan kasmaran. Mungkin begitulah rasanya punya anak untuk pertama kalinya, kali ya?.
Namun, sampai sekarang saya belum mampu membersihkan kotorannya seorang diri (walaupun saya pernah impromptu membersihkan kotoran keponakan yang lain dan seorang bayi random berumur 1 minggu ketika saya masih 18 tahun, saya lupa bayi siapa persisnya, mungkin tetangga seseorang, ketika semua orang dewasa bertanya dengan heran kenapa saya bisa membersihkan kotoran bayi seorang diri, saya merasa lebih heran lagi kenapa saya bisa). Apalagi memandikannya, keponakan saya baru saja berulang tahun yang ke-1, dan memandikan bliyau ini adalah suatu pekerjaan yang butuh tenaga esktra dikarenakan bliyau sedang dalam masa-masa aktifnya.
Bayi di usia bisa mulai berjalan justru lebih membutuhkan perhatian dan tenaga ekstra (juga kemauan yang berkobar) untuk meladeni dan mengawasinya. Contoh, keponakan saya itu somehow, just like me, is nocturnal. Semakin malam, semakin melek. Jarang sekali saya mendapatinya tertidur ketika saya sampai dirumah pukul 10 malam keatas. Pasti itu bocah, kalau tidak merengek, ya ketawa- ketawa main di kamar. Aduh, denger ketawa dan tangisnya bisa bikin senang dan sedih, terutama jika bliyau menangis meraung- raung, hati ini bagai diiris sembilu. Ciyus!
Nah, di saat bliyau sedang aktif, kiat sebagai dewasa yang sedang mengawasinya harus ekstra melek, lengah sedikit bliyau akan jatuh dari tempat tidur, kejedot atau memakan sandal. Keponakan saya mempunyai obsesi aneh dengan sandal. Lil dude is sandal eater. Saya jadi ingat nih, namu kerumah teman dengan sandal baru, anjing tetangganya nyomot sandal saya, dikunyah dan di biarkan jatuh tergeletak 50 meter dari rumah. Sandal baru gitu, lho!
Sejauh ini keponakan saya beberapa kali kejedot, jatuh dari kasur (yang membuat kita memindahkan kasurnya lebih dekat ke lantai), memasukkan random object ke mulut serta hal absurd lainnya. Sekilas detik lalu bliyau sedang tertidur pulas, sepersekian detik berikutnya kita akan mendapatinya tegak bengong di ujung kasur. Ajaib! Jujur, kadang saya takut, kayaknya harus dikasih stopwatch untuk memastikan berapa lama saya mengalihkan pandangan darinya. Benar apa tidak, dia bisa tidur, bangun dan tegak secepat kilat begitu.
Keponakan saya yang satu ini adalah salah satu sahabat terbaik saya dalam hidup ini, tahun lalu ketika saya mengalami demam (akumulasi sakit tahunan yang langganan) dan diare (ditambah menstrual cramps yang ampun, dah, kumplit), saya terbaring disamping si bayi dan menangis menahan sakit, lalu, man, I’ll never forget this: sang bayi memeluk wajah saya, menciumi setiap air mata yang mengalir ke pipi saya!. Seolah- olah bliyau kecil ini mengerti sakit dan arti tangisan saya. Tangan kecilnya memeluk erat leher saya, bibirnya yang mungil menciumi pipi saya yang basah.
Dan ajaibnya, sakit perut saya mulai berkurang (dude, heavy flow period is sick!), mood saya jadi lebih baik dan semangat makan saya mulai kembali (kalau kamu lagi menstruasi dan kehilangan selera makan, paksalah dirimu untuk tetap makan karena tubuhmu sedang membutuhkan bantuan).
Untuk beberapa saat bliyau kecil berbaring dalam dekapan saya sampai ia mulai kembali aktif, melempar atau menggigit mainan-mainannya (padahal saya butuh di peluk lebih lama, lho).
Ada banyak hal yang menurut saya ajaib, hampir mukjizat dan juga pelajaran berharga yang saya dapat dari keponakan kecil ini. Tiap hari tanpa henti dia membuat saya terkagum- kagum pada kemampuan-kemampuan baru yang di tunjukkannya. Hanya kepada saya seorang dia akan menyapa: Hai!. Hai, hai, hai..
Darimana sang bayi bisa mengetahui kata Hai dengan tepat dan hanya ditujukan khusus pada saya seorang (dia akan memanggil yang lainnya; Eh!), ternyata meskipun baru lahir dan berada di 3 bulan awal, otak bayi menyerap dan menyimpan semua ingatan di alam bawah sadarnya. Saya selalu menyapa Hai kepada bliyau yang- direkam dan dimainkannya kembali ketika ia mulai bisa mengucap bentuk kata. Hebat!. Hai itu Cuma untuk saya seorang lho, kalau ada anggota keluarga lainnya bertanya dimana saya, sang bayi akan menjawab; Hai!. Yang berarti dia mengenali pertanyaan tentang saya dan Hai adalah respon pemahaman darinya. Gilak! Hebat!.
Lalu respon senyum; senyum manis, senyum geli hati (beneran lho, ini), senyum sopan (serius!), senyum penuh arti (artikan saja sendiri), coba, darimana bliyau belajar itu semua?!. Kami berada di swalayan tempo hari, bliyau kecil berada di dalam trolley sedang memperhatikan dua bocah lelaki berumur sekitar 7 tahun-an sedang bermain, respon yang bliyau tunjukkan adalah senyum geli yang akan kita- orang dewasa tunjukkan ketika melihat keadaan yang sama. Untuk sesaat saya tidak tahu harus merasa kocak apa justru takut; bagaimana bayi umur 1 tahun bisa merasa geli hati seperti itu?!. Saya harus minta email orang- orang yang mendengarkan semua jenis tangisan bayi dari Oprah!. Artikan senyum- senyum itu please!. No kidding!.
Juga ketika sang bayi bereaksi atas nyanyian Twinkle Twinkle Little Star yang biasa saya nyanyikan 3 bulan pertama ia lahir. Baru- baru ini saya kembali menyanyikan lagu itu (saya sangat gandrung mengubah aransmen lagu anak- anak dalam versi jazz, metal lengkap dengan grunting-nya, rock, blues dengan sedikit alternative yang eksperimental, the baby loves it apparently), reaksi pertamanya adalah senyum lebar dan mata yang membulat excited tanda dia mengenali lagu itu dari awal- awal ia di lahirkan.
Man, so dope!
Mungkin begitu bliyau kecil bisa berbicara dengan artikulasi yang baik, ia akan kembali mengulang hapalan doktrin- doktrin yang selalu saya bisikkan ke telinganya; you is smart, you is kind, you is beautiful, you is perfect, pemerintah harus mendengarkan rakyatnya, lakukan revolusi menggulingkan rezim kediktatoran, sosialis bagi masyarakat yang adil, Allah itu satu dan esa, baca semua buku, Luke Skywalker ternyata bukan Jedi terakhir, dukung penuh kebebasan visa agar kita bisa traveling kemana saja, Palestina adalah negara bebas berdaulat utuh dan dukung agar ia kembali berdiri tanpa Israel, kita tidak membenci negara kita- kita membenci pemerintahan yang korup dan kapitalis, setiap generasi harus beradaptasi dan menerima pembaharuan demi bertahan dan relevansi, music adalah hal terindah kesekian setelah Adzan, pembacaan Al-Quran, panggilan nama menang lotere, setelah semua orang berkata SAH dan selamat-bayi-dan-ibunya-sehat.
Can’t wait!
![]() |
Pic: www.unsplash.com |
Hari ini saya menang lomba flash blogging (yea~ah, kilat habis, dah!),
Mama saya bertanya kenapa saya menang, MENGAPA anaknya ini bisa menang,
Terdecak kagum dan kebingungan, banyaknya tak percaya meragukan,
So, I explained to my mom why am I sweetly wining today,
Karena saya menulis; hal- hal yang di proses berbeda dalam otak saya,
Menjadi tulisan berbumbu sarkastik dan ironis,
Then my mom were like: the fuck is sarcastic (no she said no fuck here, just me, lebay much),
Terus kenapa saya tidak menjadi nomor 1 saja?
You see this typical us here (terutama orang tua, ya),
Yang menginginkan anaknya menjadi nomor 1 di dalam hal apa saja termasuk hal sepele,
Saya masih ingat mama saya bertanya kenapa saya makannya lambat,
Sedangkan teman saya juara 1 dalam makan, lomba makan, kerupuk,
Mom, I hate fucking kerupuk, and fuck, if I ate that fast saya akan mati keselek konyol oleh kerupuk!
You see, how ironic my life is, how can I not be bitter and sarcastic, keadaan mendukung.
Tetapi semua itu tidak dilihat sebagai ‘bahasa yang tinggi’ , ya sarkastik itu adalah bahasa tinggi menurut hemat saya,
Jika saya melontarkan sesuatu yang sarkastik, dalam topic tertentu, menjawab kapan saya menikah contohnya kepada anggota keluarga yang lain,
Saya akan di anggap tidak sopan dan getir (emang!),
Namun kocaknya, Mama saya tidak menyadari bahwa komentar balik saya adalah sarkasme itu sendiri,
Sehingga hari ini saya harus menjelaskan apa itu sarkasme kepada Emak saya sendiri yang menginjak kaki saya karena komentar pedas terhadap pertanyaan kapan kawin di atas,
Ngenes banget tidak, ya?
My mom with her beautiful mind trying to catch, malah menyamakan term itu dengan cara lebay anak muda jaman now; cara ngomong dan nulisnya.
Mom, no! Argh!
Sarkasme itu bukan alay maupun lebay,
Melainkan penggunaan ke-ironis-an atau penyampain suatu content dengan cara di olok- olok,
(saya yakin kamu yang baca juga baru tahu, kan?)
Beda sama lebay dan alay, argh!
Mom, NNOOOOO!!!
Saya minta maaf Ma, jangan jadikan saya anak durhaka, tapi ini sungguh kocak untuk tidak di tulis!
Jika saya menjelaskan apa itu sarkasme, cara saya menjelaskan menjadi sarkasmes itu sendiri,
Kemudian mansplaining, to womansplaining then now is daughtersplaining to their mom,
We mean no harm by belittling you, mothers out there,
Just you mothers are simply hilarious,
And us daughters are fucking sarcastic bitches you gave born with no regrets.
Kiss, kiss!
Ps.
My daughters are going to be those sarcastic bithces I might, slightly, regretted making them. Nah, I’m good, girls. Genetics passed perfectly then.
![]() |
Pic : www.unsplash.com |
Okay, ini adalah post pertama saya
mengenai negara sendiri, oh well lebih tepatnya saya harus mematuhi aturan
seminar yang mewajibkan para pesertanya (the bloggers) untuk menulis tentang
tema hari ini: Menuju Indonesia Maju.
Maju, itu sangat jelas seperti
yang kita lihat hari ini dimana teknologi telah menjadi nafas terutama bagi
para pemuda-pemudinya, infrakstruktur yang baik dan ambisius; pemerintah kota
Pekanbaru baru- baru ini memangkas deretan pohon di sepanjang jalur hijau di
beberapa tempat, menggusur bangunan- bangunan liar (yang sedari dulu saya
selalu penasaran kapan mareka akan direlokasi, di masa pemerintahan siapa sih,
lebih tepatnya), demi membangun jembatan flyover baru.
Saya tidak berani
membandingkan kota tempat saya tinggal dengan kota lainnya di Indonesia, karena
tidak hanya saya belum menjelajah kesemua pelosok Indonesia, namun juga rasanya
saya bisa menjadi pribadi yang sombong dan tidak bersyukur jika saya terlalu
bangga akan yang Pekanbaru capai hingga tahap ini. Ketika slideshow
memperlihatkkan betapa banyak di sudut Indonesia sana yang belum tercapai dan
miskin infrastruktur, membuat saya malah menjadi miris. Beberapa tahun lalu
Pekanbaru mengalami putusnya supply bahan bakar, di tepi jalan banyak kendaraan
yang mogok dan orang- orang berjalan kaki. Serasa di dalam film zombie dimana
kota menjadi lumpuh dan masyarakat berbondong- bondong berjalan kaki untuk
mencari bantuan.
Lebay, much?!.
Kini semua yang
saya ingat dari tahun itu menjadi sebuah rasa malu jika di bandingkan dengan
saudara- saudara kita di daerah luar terpencil sana yang harga minyak bahan
bakarnya bisa mencapai Rp 200.000 untuk beberapa liter saja, aliran listrik
yang setelah puluhan tahun (mungkin bisa jadi mitos itu yang namanya listrik,
kali ya) baru hadir. Dude, we’re so fucking spoil!. So ungrateful!. Mati lampu
sebentar saja kita disini sudah misuh- misuh dan mengancam akan membakar PLN
(ancaman klasik, sih). Ingin rasanya saya meminta slide dari panitia seminar
hari ini dan menyiarkannya setiap hari di seantero Pekanbaru agar kita berhenti
sejenak, memperhatikan dan mengucap syukur. Memperhatikan sekeliling kita dan
mengelus dada mengakui betapa manja, konyol dan demanding-nya kita seolah- olah
hanya kitalah yang berhak akan semua infrastruktur yang baik di negara ini. Yeah!.
Di slideshow ini
juga di beritakan mengenai pembangunan jalan tol Pekanbaru – Dumai oleh Pak
Jokowi yang berkerjasama dengan setiap pemerintah kota setempat (asik banget Pak, sudah seperti vlogger saja, coolest!). Oh well,
speaking of Jokowi, saya mengerti bahwa kubu rakyat terbelah dua, pro dan anti.
Bahkan sekarang untuk membuat pertemanan baru, mareka akan bertanya saya berada
di kubu mana. Aduh.
Anyway, saya
melihat bahwa presiden kita yang satu ini adalah seorang visionaris yang
menjalankan misinya, jika itu belum sempurna, hey, nobody is fucking perfect,
am I right?. Let the man do his job, yang mana bliyau sudah cukup mencapai
sasarannya sejauh 4 tahun ini dengan harga bahan bakar yang merata di seluruh Indonesia
dan listrik yang kini menerangi hingga kedalaman gua sana. Bahkan kita bisnis
pariwisata lebih meningkat pesat oleh meratanya pembangunan di Indonesia, yang
untung bukan hanya rakyat setempat tetapi juga membantu naiknya ekonomi dan
nama kita di planet bumi ini. Kalau dulu saya harus menjelaskan di mana Riau
itu ke bule yang saya temui di online dating (ahem), kini hanya melihat profile
saya, bule- bule itu akan nyeletuk; saya pernah ke Bono. Hell yeah, saya saja
belum pernah ke Bono. Shame on me.
Jadi, tahun ini
saya mungkin akan ke Bono, bersyukur sepanjang jalan akan kelebihan dan
kemudahan yang saya terima dalam hidup, mensyukuri kelancaran pembangunan (no
kidding, saya serius, hari ini eye opening banget) yang Riau telah lakukan
untuk masyarakatnya yang mulai manja. Tak lupa berdoa untuk mareka yang
terluar, terpencil dan terdepan agar mareka segera mengecap kenikmatan yang
sama, yang saat ini di upayakan oleh pemerintah kita.
Merdeka!
#flashbloggingriau, #menujuindonesiamaju,
![]() |
Pic: www.unsplash.com |
Saya mengalami writer’s block selama bebarapa tahun ini (gayanya yang sok penulis terkenal saja) kemudian memutuskan untuk berhenti menulis walaupun hati dan pikiran saya tetap aktif menulis secara batin. Dan memakai nama samaran membuat saya lebih nyaman, leluasa tanpa perlu takut orang-orang yang mengenal saya- setelah membaca tulisan saya mulai mempertanyakan kewarasan dan arah tuju hidup saya. Atau lebih parahnya membenci saya atas apa yang saya tulis; pemikiran gelap terdalam, curhatan jujur dan fantasi liar, yang belum tentu saya sebagai penulisnya mengalami itu.
Namanya seni dalam menulis belum tentu di pahami terlebih lagi jika sang penulis adalah temanmu sendiri, kamu akan meminta penjelasan kenapa ia menulis sedemikian rupa. Ketahuilah bahwa yang namanya seni akan mencapai setiap orang dalam bentuk persepsi yang berbeda, jadi tolonglah untuk menikmatinya sebagai seni murni, tulisan, rupa dan lukisan, apapun itu.
Jujurnya saya takut dihakimi oleh orang- orang yang saya sayangi, keluarga dan teman-teman dekat, calon pasangan (saya tidak tahu siapapun kamu nantinya, adalah orang yang cerdas, berpikiran terbuka dan santai namun penuh dukungan dan pengertian terhadap saya, mwah!) ketika mareka tahu saya menulis cacian, makian, pikiran kritis, masa lalu, humor kasar dan sarkastik (namun asyik, ya bukan?), kering dan seakan mati rasa. Tak pernah bosan saya mengingatkan diri saya untuk tetap terus berkarya dan masa bodoh akan kritikan jahat tidak membangun, pertanyaan- pertanyaan konyol kenapa saya begini begitu, saya harus maju karena saya tahu saya sangat menyukai hal ini; menulis.
Tentang cerita mantan- mantan saya, jika ada yang bertanya apa saya belum move on, let me tell you this: saya sudah lama move on, hanya saja semua perjalanan hidup saya begitu absurd, surreal, membuat saya terinspirasi dan itu worth telling and hilarious yet pathetic ke tahap semua orang harus baca dan tertawa miris bersama saya. Because dudes, begitulah hidup ini hampir kurang lebih sama hanya tergantung kepada kamu, saya, kita semua bagaimana menyikapinya: ditulis dan ditertawai bersama atau di pendam dan di obok- obok lalu galau.
Jika sekalipun para mantan membaca ini (menemukan blog ini), saya harap anda semua juga menikmatinya; bahwa kita pernah muda, ceroboh dan perbuatan kita pada saat itu sesuai dengan situasi dan kondisinya. Let it go and laugh.
Saya tidak bermaksud jahat atau menjual cerita tentang tema percintaan masa lalu, seriously again all those memories menjadi lucu dan pelajaran yang berharga seiring dewasanya kita, menjadi cerminan bagi yang muda, yang baru saja memulai cerita mareka sendiri- mungkin berkaca pada tulisan di blog ini dan menghindari kesalahan yang sama yang pernah kita buat. Wise, huh?. Like Master Yoda or Master Luke?.
Sekali lagi, lepaskan dan ayo tertawa ngenes bersama.
Bon Appetit!