Pic : www.unsplash.com |
Ketika saya menceritakan pengalaman saya yang di tolak cowok, sahabat saya menganggap omongan saya hanyalah bualan belaka. Well, first of all this BFF, doi rada mengidolakan saya (bukan KPop idol gitu, ya), yang menganggap saya cewek keren, gaul dan cerdas untuk bisa berbagi topic apa saja untuk di diskusi dan di bicarakan (bahkan super konyol sekalipun). Namun bagi saya apa yang doi lihat dari saya adalah apa yang doi- ingin lihat tentang saya, his own version of ideal female yang doi tempatkan pada saya. Yah, saya semacam template dasar lah, untuk merakit ke-ideal-annya terhadap wanita. Ya kali cewek keren mana pernah di tolak, harusnya nolak. Coba tanya Angelina Jolie.
Karena pada dasarnya saya tentu saja mengalami patah hati dan penolakkan. Baik itu dalam hubungan asmara, pertemanan, keluarga atau secara interaksi social. Penolakan bisa menimpa siapa saja bahkan orang terkenal seperti celebrities, contoh ketika saya membaca bukunya Aziz Ansari yang berjudul Modern Romance, dia halaman perkenalan awal bliyau bercerita tentang Tanya, wanita yang tiba-tiba ‘gantung’ nasibnya Aziz dengan tidak menghubungi, membalas pesannya Aziz walaupun sudah ada centang tanda sudah di terima/baca, dan malah online di Facebook dan posting foto di Instagram. Tetap tidak membalas dan mengabari si Aziz jadi apa tidaknya mareka nonton konsernya Beach House malam besok.
Padahal, menurut Aziz, walaupun bliyau tidak head-over-heels alias jatuh cinta gila-gilaan sama Tanya, tapi mareka got the connection, the chemistry. Ya kali, siapa tahu bisa berlanjut ke hubungan yang bagaimana- gimana, gitu.
Akhirnya Aziz memutuskan ke klub-nya stand up comedy dan ‘curhat’ disana ketimbang nonton konser sendirian (halah, padahal si Aziz, mah, lagi dapat ide tuh, buat cuap-cuap). Cerita si Aziz banyak yang ngena ke hati para penonton karena memang topic itu sangat ‘manusiawi’ dan realita yang pernah kita alami paling tidak sekali dalam hidup (kalau kamu seberuntung itu menemukan soulmate-mu).
Kalau pengalaman ini membuat Aziz mencari buku manual untuk percintaan, terutama percintaan masa kini yang melibatkan dan dipengaruhi gadget dan teknologi, kemudian tidak menemukan satu buku pun untuk referensi yang membuat bliyau membuat buku referensinya sendiri; MODERN ROMANCE.
Penasaran?. Silahkan cari sendiri bukunya, e-book atau beli langsung maupun online, karena saya tidak di endorse dan tidak akan membahas ataupun me-review buku bliyau, hanya sepenggal issue yang memang saya pernah alami sendiri dan merasa ada connection dengan orang-orang yang pernah mengalami hal yang sama; di ‘gantung iya apa tidak’ tanpa kabar.
Kalau seingat saya, saya mengalami gantung tanpa kabar ini sepertinya lebih dari 3 kali. Ngenes memang, tapi semakin saya dewasa, selain ngenes juga membuat saya dewasa (terus kejadian lagi), lebih sinis, sarkastis dan skeptic. Halah, paling nanti doi kabur habis ‘kencan’ pertama. Dan memang, kejadian sekali lagi tahun ini walau saya sangat- sangat tidak sadar kalau saya sedang ‘dating’. Tidak akan saya sebut sebagai lugu sih, tapi ya kok, heran saja. I thought we’re friends, eh begitu saya tanya kabar dan ajak nongkrong lagi, balasannya lama sekali dan dengan embel-embel sibuk ini itu, terus PPOOOFFF!. Hilang tanpa jejak seriously moving out of town or something, what?.
(Dude got me thinking, jadi bahan tulisan, worth it!)
Sama seperti Aziz yang impressed by Tanya, good vibes and all, nyambung gitu kalau ngobrol. Cowok yang baru-baru ini juga amazed sama saya dan tanpa ragu dia langsung bilang, well, chill dude, I know I’m coolest, so chill (padahal saya aslinya blur banget kita ngobrolin apa malam kita pertama kenal, I was exhausted, too crowded and got distracted). Yang saya ingat hanyalah asam di mulut saya dari makanan random dari menu yang saya pilih (and overpriced, was calculating how much money I have in my wallet that night).
Long story short beberapa hari kemudian, kita duduk santai menikmati ‘panasnya’ kota, atau lebih tepatnya saya menerima panasnya kota dan doi tak henti-hentinya komplain tentang panasnya ini kota. Sejuta keluhan tentang panas, ‘panasnya, panasnya, panasnya’, like a broken record (atau sekarang di sebut glitch karena record yang traditional seperti kaset sudah punah, CD pun akan segera punah karena kepraktisan MP3 yang kecil dan compact).
Kita ngobrolin issue yang sedang trending, baik itu politik (ah jadi ingat seseorang yang bilang; ‘tahu apa kamu soal politik?), kemanusian (yang tidak adil dan kurang beradab), pop culture, sampailah kepada pilihan dan impian pribadi (saya menahan diri untuk tidak memberitahunya kalau saya ingin menjadi filthy rich hingga Benedict Cumberbacth bisa jadi butler saya yang akan selalu menyapa dengan suara berat dan seksinya itu, ah, Abang Ben..). Bagi yang mengenal saya (setdah, saya sendiri malah tidak kenal diri saya), maupun orang baru yang bisa membuat saya nyaman (atau lebih tepatnya I can’t shut my mouth), saya akan spontan meng-iya atau me-tidakkan suatu opini. Okay, banyak sekali opini dan pandangan hidup kami yang berbeda (no wonder he ran away) karena doi bisa melihat ketidak-cocokkan sedari dini, doi kabur. Sedangkan saya yang- sedari awal hanya menganggap ini pertemuan layaknya lagi adaptasi sama teman baru, ya, kurang sensitive. I was like, hell yeah, spitting my pros dan cons. Don’t give a shit.
Seperti yang saya bilang sebelumnya bahwa ini bukanlah pengalaman pertama kalinya, dulu sekali saya mengalami di gantung tanpa kabar, yang- saat itu masih polos dan lugu, saya berusaha mencari tahu dan menemukan jawaban (bahkan saat itu saya sudah anggap konyol, kekanakan dan egois namun anehnya mengerti dengan membuat diri saya melihat dari kacamata orang yang bersangkutan) yang; oh okay, baiklah, whatever. Saya punya ‘whatever’ attitude alias cuek setelah malas untuk mikir. Ya, standard lah, karena rata-rata kita mempunyai kebiasaan yang ‘masa bodoh’ setelah capek mikir dan bosan.
Pengalaman itu berlanjut, namun kali ini saya punya ‘sepasukan’ teman perempuan yang- memang perempuan terkenal suka berasumsi (sendiri secara kiasan tapi percayalah mareka sesungguhnya beramai-ramai memikirkan 1001 asumsi dengan teman-teman perempuannya yang lain, pernah dengar gossip?) akan memberikan ‘masukan’ kenapa si lelaki hilang tanpa kabar setelah (biasanya) kencan atau pertemuan pertama. Bakalan ada 2 masukan, kalau mareka mengikuti perkembangan awal sebelum kamu pergi kencan inilah contohnya; please jangan ngomongin soal Star Wars, doi tidak bakalan suka cewek yang terlalu geeky. Masukan kedua adalah asumsi setelah kencan.
Bagaimana tindakan pencegahan/escape route di saat kencan yang ternyata what the hell banget dan ingin segera lepas bebas; kamu bilang kamu menderita Herpes. Apa? Herpes?. Ampuh untuk menghalau kejaran cowok yang kamu tidak suka (saya pernah kenal seorang cewek yang bilang doi punya Herpes karena cowok yang datang ke blind date- setelah mengaku dirinya cakep seperti Takeshi Kaneshiro, namun, hadir dengan bedak putih cemong di muka, rendahnya self-esteem, pushy dan suka ngambek serta tentu saja million zillion killion years away jauh dari Takeshi Kaneshiro). I was there, duduk di belakang mareka, ngakak sampai keluar air mata. Suatu ‘scene’ yang tidak bisa saya lupakan walau telah berlalu 15 tahun lamanya, ya bagaimana bisa lupa, si cowok datang dengan muka kabuki. Wanjer! But anyway paling tidak yang di lakukan perempuan ini walau ekstrim tapi cukup terus terang untuk tidak melanjutkan interaksi dan berhenti di saat itu juga, menolak dengan kejutan agar di jauhi, kejutan di balas kejutan lah, kira-kira. Am I right?.
Siapa itu Takeshi Kaneshiro, apa itu Herpes?. Don’t be lazy, Google it.
Perempuan bisa berasumsi apapun, menetaskan teori apapun, bahkan bisa menetapkan apapun sebagai sebuah ‘UUD dan Hukum’ (setelah diskusi yang panjang yang dalam waktu 1 jam saja). Like this guy was cute and all, kita pergi nonton, main di Timezone, makan es krim dan nyemil santai. Lagi- lagi doi ilang tanpa kabar, sehari pertama saya bingung kemana sih, pesan dan telepon tidak di jawab. Hari kedua kok, bikin kesal yang disusul sampai seminggu hampa. Di balik itu, teman-teman perempuan saya sudah mulai berpikir dalam tentang segala kemungkinan, memanggil saya (apa saya yang memanggil mareka untuk bala bantuan untuk mengurai segala macam kemungkinan, ya), menggelar rapat dan mengajukan dakwaan (jelas tanpa pembela karena kita mah, pasti mendakwa situ). Medengarkan asumsi, dakwaan dan teori yang sambung menyambung membuat saya jadi jengkel namun manut saja (yang paling banyak bacot biasanya yang paling sedikit sekali bahkan nyaris tidak pernah pacaran). Keputusan akhir (ya seperti biasanya lagi, akan berubah hari demi hari sampai kasus ini terlupakan) kami menetapkan bahwa si lelaki itu seorang gay. Kasus di tutup.
Whatever.
Dari kasus yang lain ke kasus lain dengan tema dan pola yang sama, biasanya ‘menelan korban’ perempuan saja, karena jika kamu perempuan yang menggantung si lelaki, kamu di anggap sok kecakepan, jual mahal, ternyata janda anak 3, penyihir, masalah mental atau low self-esteem, whatever. Selain di ‘gantung’, saya pastilah pernah ‘menggantung’ (ngaku, kok), terus cowok itu nekad nyamperin saya yang lagi leha-leha duduk di kursi stasiun dengan BFF perempuan saya saat itu, tanpa tendeng aling bilang saya sombong dan sok cool, sok gaul dan yang paling krusial; sok kecakepan.
Yay!. Kalau saya di bilang sok cakep, saya cakep dong?.
Otomatis BFF saya langsung pasang sikap defensive dan saya?. Saya masih ingat perasaan geli hati waktu itu, tapi maksain diri acting kaget dan terluka. Hahay!. Bagi saya, itu kocak banget terutama waktu dia bilang saya sok kecakepan, terus mulutnya mengerucut kesal. Doi minta pertanggung jawaban saya yang ogah balas SMS dan jawab telepon, dan lebih parahnya doi menuduh saya ganti nomor. Iya sih, saya memang ganti nomor tapi bukan menghindar, lagi dapat promo nomor baru dan, uh, merchandise Star Wars, sih.
Itu adalah dari sedikit kasus yang akhirnya di konfrontasi ketika sudah gengges di gantung tanpa kejelasan naksir apa malah turn off. Respect, karena saya tidak akan melakukan hal itu, datang mengkonfrontasi orang yang gantungin saya, sudah terlanjur malas dan ikutan hilang penasarannya (setelah nulis ngalor ngidul baru sampai pada kata penasaran). Iya, penasaran sama nasib yang di gantung. Bak tagline iklan yang ada benarnya juga; KESAN PERTAMA BEGITU MENGGODA, SELANJUTNYA TERSERAH ANDA (masih penasaran menggoda apa malah bikin muntah).
Rasa penasaran adalah insting dasar kita dalam interaksi, begitu bertemu orang baru, kelihatanya menarik secara fisik dulu, di bawa cerita jadi klik, terus diajakin ketemuan. Baik itu jadi kencan atau pertemanan tergantung balik kepada motif masing- masing. Nah, setelah menghabiskan waktu yang dirasa cukup (kalau belum cukup bisa jadi 2 film kayak Before Sunrise dan Before Sunset), rasa penasaran akan teroksidasi oleh mood hari itu; tertarik untuk hubungan lebih lanjutkah, turn off lalu kabur atau malah sesuai jadi teman.
Kalau kamu mengalami hal seperti ini , dengan tegas saya tekankan ini bukanlah manual book untuk percintaan ya (penulis jomblo kabeh, lagi cari pasangan yang serasi bak sendok dan garpu walau penulis lebih milih makan pakai sumpit), cuma sharing is caring saja. Meskipun kamu bête, malah nangis ternyata kamu sudah kadung suka (terlanjur cinta kok ya, complete nonsense yang ada mah, obsesi), coba tahan situ. Analisa lagi awal kalian bertemu, apa yang membuat kalian klik, dan tidak, ya bisa jadi dia pro genocide ala Thanos sedangkan kamu jelas-jelas penggemar Gandhi yang anti kekerasan, beri point setiap pro dan kontra. Kalau doi tidak merespon (tapi Twitter, FB, Instagram, WA, Line bahkan blog aktif dan terus di penuhi postingan), lalu (mungkin someday bosan dan pengen cari teman main, keingat kamu) menghubungi setelah kian ratus purnama, percayalah doi bukan Rangga yang sibuk bertahan hidup di New York dan rada minder, tapi doi adalah blangsak yang harus kamu segera delete dan block nomornya di kontak. Tidak ada yang lebih kejam setelah di cuekin terus di datangi lagi laksana tidak pernah terjadi apa-apa plus beribu alasan ketika kamu tanya kenapa tidak ada kabar.
Dude is not for you. HE EVEN, IS NOT INTO YOU.
Move one deh, and whatever.
Pic : www.unsplash.com |
Di jaman saya kuliah, saya mengikuti beberapa demo protes salah satunya demo protes pembebasan Palestina yang kalau tidak salah saat itu tentang tragedi meninggalnya Rachel Corrie (rest in peace, sister) yang begitu heroic demi menyelamatkan masyarakat sipil dari serangan bulldozer merelakan tubuhnya sendiri di bulldozer (betapa samar ingatan saya akan Rachel yang kalau lagi, tidak salah di bidik kamera sedang membungkuk memeluk seorang bocah).
Jujur, saya dan teman- teman saya bergidik, mempertanyakan sanggupkah kami- terlebih lagi sesama Muslim akan sanggup melakukan hal yang sama, lha wong, pesanan makanan di restaurant telat sebentar saja sudah ngamuk-ngamuk. Rachel, kalau mau di tilik dari latar belakangnya bukanlah seorang Muslim, bliyau hanyalah manusia biasa yang tersentuh hatinya. Cuma sesedehana itu; hati yang tersentuh yang membawanya sejauh itu ke negeri asing dan berkorban jiwa raga (literally).
Di saat itu dunia menjadi heboh, kontroversi kematian bliyau membuat munculnya konspirasi teori, salah satunya pengakuan bahwa tentara Israel yang ‘tidak melihat’ bahwa Rachel sedang berada di tempat kejadian. Yeah, right.
Anyhow, buat kami- para anak muda di jaman itu (di awal 2000-an, kejadian terjadi pada tahun 2003, saya masih semester 2), apa yang menimpa Rachel sangat mengguncang. Seperti yang kita tahu, remaja dan anak muda terutama yang datang dari negara bebas merdeka konflik biasanya cenderung apathy, absent dari apa yang berada di luar lingkunngan mareka. Jika sekalipun mareka menonton berita, mendengar kabar tentang seuatu kejadian baik itu perang, wabah penyakit dan bencana alam- maaf nih, ya, ini berdasarkan pengalaman saya sendiri; kita manusia muda tidaklah begitu pusing untuk ambil tahu terlebih lagi berhenti sebentar untuk mendoakan mareka ataupun menyisihkan uang saku kita (jaman sekarang sibuk pada beli kuota internet, jaman saya dulu mungkin majalah dan kaset music).
Miris memang, tapi begitulah kita yang lupa terlena oleh kesenangan dan kenyamanan yang kita dapati bahkan sejak lahir. Indonesia sudah merdeka sejak generasi orang tua kita meskipun tidak di pungkiri negara kita juga mengalami konflik internal tapi, hey, kita semua yang ada saat ini tidak pernah mengalami apalagi mengetahuinya. Manja much, kids. Alay sih, kita ya.
Namun semakin ke depan generasi muda kita mengalami evolusi tidak hanya secara fisik yang bisa kita lihat tetapi juga secara mentality, simpati dan kesadaran kian tumbuh. Tidak hanya membantu sesama kita juga di luar zona nyaman kita, gambaran yang lebih besar adalah betapa konsistennya kita membantu saudara- masyarakat di luar negara kita seperti Palestine, Syria dan Rohingya contohnya.
Penyaluran bantuan telah terarah dan terusun, sumbangsih kita dalam bentuk materi, tenaga untuk me-lobby ke negara- negara lain juga doa yang tidak pernah putus- saya secara pribadi a firm believer of miracles, karena Tuhan itu ada dan apapun usaha kita suatu saat nanti akan berbuah manis.
Lalu kembali lagi dengan kita sebagai manusia muda (anak gaul lebih gaul lagi kalau kamu menjadi pribadi yang sensitive terhadap sekelilingmu dan mengulurkan bantuanmu, trust me your level of gaul-ness will reach up to the sky), kalau kamu masih bingung dan ragu; saya harus melakukakn apa ya buat Palestine (Syria, Rohingya dan lainnya)?. Okay ini yang harus kamu coba lakukan; kamu tahu bahwa doa itu tidak pernah merugikan apapun walau hanya sepersekian detik dalam kehidupanmu?. Nah, berdoalah. Apapun bahasa yang kamu pakai, agama yang kamu anut, anak dangdut apa anak EDM (Avichii meninggal ya, innalillah), anak sekolah mana, anak metal apa lebih heavy metal- berdoa tidak membatasi suatu makhluk. Bisa kita mulai berdoa?.
Sedekah, ini juga tidak mengurangi uang jajanmu untuk traktir pacar mu atau bujet nonton Avengers-mu minggu depan. Tidak muluk- muluk harus 100 ribu Rupiah kok, sedekahkan menurut kamu apa yang termampu serta seikhlasnya hati kamu bisa menerima. Kan, ada banyak tuh, kotak- kotak derma- cemplungin deh, tuh sedikit duit.
Educate yourself, edukasi dirimu dengan rajin membaca dan menganalisa tapi please, jangan langsung menjadi judgmental menuduh tanpa dasar pengetahuan yang banyak. Hanya karena kamu telah membaca, mendengar beberapa informasi bisa membuatmu menjadi ahli akan subjek tersebut. Ada waktu dimana saya menghabiskan bertahun- tahun membaca semua artikel, bahkan novel yang terinspirasi dari masalah Palestine dan Israel ini (saya sampai membaca beberapa cuplikan kitab mareka, sejarah mareka dari jaman mareka masih pakai kain dari kulit binatang) meskipun begitu saya masih tetap belum jadi seorang yang bisa berbicara banyak tentang masalah ini. Jadi akan lebih baik kita mempersenjatai diri kita dengan ilmu dan ketenangan melakukan pertolongan ketimbang marah- marah dan mengamuk memaki tanpa ada usaha pertolongan sama sekali. Apa coba, kan?. Buang waktu dan buang tenaga, balik lagi ke point diatas: berdoa dan bersedakah jauh lebih bermanfaat dan bermakna.
Teruntuk kids jaman now yang sibuk banget posting foto selfie mareka dan latah akan ganti profile picture mareka tiap kalau kejadian di Palestine/Syria/Rohingya lagi di blow up di media saja, ask yourself- tanya diri kamu; apakah saya tulus, apakah saya hanya mengikuti tanpa tahu apa sih, sebenarnya yang sedang terjadi di luar sana, apakah saya memang keren?. Kamu akan lebih keren kalau kamu menemukan empati, common sense- pikiran logis kamu terhadap sesama.
Kalau kamu sudah menemukan rasa simpati dan empatimu, mulailah untuk bergerak maju, ambil detik dalam hidupmu untuk berdoa, sedikit rezekimu untuk di bagi.
Donasimu akan tersalurkan, insha Allah, dalam nama Allah kepada saudara kita sesama manusia (Muslim bagi yang beragama Islam) ke;
Komite Nasional Untuk Rakyat Palestina Provinsi Riau.
Bank Syariah Mandiri cabang Pekanbaru a/n KNRP RIAU 7047466614.
Dan please stop memakai atribut Palestina hanya karena terlihat keren (kamu terlihat konyol dan palsu, beneran, karena jika kamu menanyai hati kecilmu dengan jujur), memasang foto- foto korban yang terbaring penuh darah, have some respect; hargai mareka karena mareka bukan bahan komoditi untuk di bagi dari grup social media ke social media lainnya demi di beri simpati sesaat.
Jadilah manusia yang keren, muda, teredukasi dan penuh simpati serta empati tanpa posting-an selfie berlatar belakang kesusahan orang lain.
Bismillah. Merdeka!
Ps.
Heal The World adalah lagu dari mendiang Michael Jackson tentang kemanusian.
Rest in peace, Sir.
Pic : www.unsplash.com |
Kalau perempuan kepo itu rasanya wajar banget ya, tanya kenapa saya masih jomblo, kenapa kok, keliatan awet muda- apa rahasianya, tapi kenapa kalau laki yang tanya kenapa saya jomblo sampai memojokkan itu, rasanya seksis dan misoganis banget. Belum lagi dengan nada patronizing, situ kagak kenal saya kenapa harus tanya dan bernada seperti itu?.
Bahkan mareka sampai ke pertanyaan apakah saya lebih memilih perempuan, apakah saya ‘dingin’, apakah saya masih perawan, apakah saya bahkan bukan perempuan tulen. Mareka akan ‘menasehati’ dengan ‘sebijaksananya’ mungkin; bahwa kodratnya perempuan itu ya, harus jadi bininya bagi si lelaki.
My Goat!.
Seringnya kadang yang ngomong begini adalah orang- orang yang tidak saya kenal apalagi mareka mengenal saya, baru kenalan saja sudah tanya begini, bikin empet, deh. Pendapat yang cukup dewasa dari teman adalah bahwa para lelaki ini tidak bahagai jika ia sudah menikah, dan sendirinya tidak laku karena pribadinya buruk jika ia masih lajang. Juga kali ti*itnya kecil. Setuju.
Beberapa minggu lalu saya di kenalkan oleh teman kepada teman kantornya, di awal perkenalan (lewat Whatsapp) semuanya terlihat wajar; asal dari mana, umur, tanggal lahir, hobi, pekerjaan dan pertanyaan standard lainya. Nah, selang seminggu (padahal juga chatting nya juga ala kadar dan tidak setiap hari), mulai deh, doi bertanya tentang semua diatas, melalui audio call yang karena itu saya bisa bilang dengan nada patronizing.
Okay, pertama doi lebih muda 6 tahun dari saya- yang mana doi telah menganggap saya seorang perempuan 30-an yang telah putus asa dan akan rela menikahi siapa saja daripada tidak menikah sama sekali. Kedua, doi bertanya tentang sejarah percintaan saya. Ketiga, apakah saya masih perawan ting-ting apa bukan (serious shit, doi bilang ting-ting). Apakah saya punya kecenderungan seksual yang aneh, kinky, vanilla, BDSM, atau bahkan biseksual. Hal seperti apakah yang akan menaikkan gairah seksual saya (duit, coba kasih saya duit 100 milyar, pasti saya horny), apakah saya punya riwayat penyakit yang bisa mematikan, menular atau genetika. Mampukah saya mengandung dan membesarkan anak nantinya?. Apakah saya punya tato, bekas luka dan korengan (belum tahu doi, saya di panggil FrankeNda oleh sahabat- sahabat karena saya punya beberapa bekas luka yang menurut mareka cool). Bagaimana menurut saya kalau doi kawin dua, kira- kira Jokowi akan menjabat lagikah, kemarin saya nyoblos Prabowo apa Jokowi, bisakah Ahok kembali ke jalan yang lurus, tidakkah Tesla terlalu muluk- muluk. Sebaiknya saya menjawab, saya mendapatkan cemoohan dan tawa kecil mengejek; tahu apa sih, kamu perempuan soal yang ‘serius begitu’?.
Semua bullshit di atas membuat saya kontan berteriak HAIL HYDRA yang mebuat doi kebingungan dan bertanya- tanya; ‘Kamu kenal cowok yang namanya Hydra?’.
HAIL HYDRA!.
Pilihan tentang music, film dan buku juga tidak ada titik temu. Doi adalah penganut ‘apapu-yang-trend-gue-ikutin-walaupun-gue-kagak-ngarti’, music adalah yang nge-beat bisa di joget-in, film mengikuti apa yang lagi booming di bioskop (nonton Avengers, tapi tidak bisa membedakan mana Marvel atau DC, please jangan ngomong jelek soal my king T’challa atau saya akan tombak sampean dari Wakanda kemanapun sampean lari), bahkan yang lebih parahnya; doi benci sekali membaca, jangankan buku, artikel berita saja bliyau ini ogah baca. Jenis manusia apa kau, ini, hah?!.
Sampai disini, kita semua pasti setuju kalau lelaki ini so enggak banget, bisa di buang ke laut saja nambah sampah yang merusak biota laut, tetapi- tidaklah semua manusia itu penuh kekurangan melainkan mempunyai kelebihan juga.
Dan mempunyai wajah yang rupawan, body yang bagus, karir yang mapan dan kemampuan sosialiasi yang mumpuni adalah, sayangnya, tolak ukur seseorang itu sukses menjadi dan menjalani hidupnya. Ketika lelaki belum juga menikah setelah kriteria di atas lengkap; pasti dia lagi selektif, masih mau bersenang-senang, atau jaman sekarang; gay.
Apabila si perempuan juga mempunyai kriteria di atas (buruknya saya tidak masuk kriteria itu, nahas banget), dan masih melajang- perempuan ini bisa jadi; lesbian, tidak perawan/perawan tua yang takut lelaki, tamak, egois, kalau make-up nya di hapus pasti jelek, terlalu berebihan menuntut jodoh yang sempurna, punya penyakit tersembunyi, mandul, hysteria, bisa jadi mentally ill, high maintenance, bodoh tidak terpelajar dan berbudaya. Serta semua negative label lainnya yang mungkin lebih parah dialami oleh perempuan- perempuan di luar sana.
Entah berapa banyak kali saya harus berhadapan dengan tipikal lelaki seperti ini yang- membuat kecewa adalah mareka yang mempunyai imej bagus di masyarakat dengan kerja dan materi yang menggiurkan belum lagi pendidikan yang mareka enyam dulunya; S1, S2, S3, STONNGTONG, SKRIMAICE, SKRIMWALLS apapun, lah, tidak menjamin para lelaki ini berbudaya, mempunyai common sense yang peka maupun empati terhadap lawan jenis mareka.
Berbudaya harusnya erat dengan berpendidikan, tapi justru tidak selamanya mareka berdua ini bisa berbarengan. Dulu sekali satu contoh, saya mengenal seorang teman yang tidak pernah menamatkan sekolah SMU-nya, tapi bliyau adalah seorang yang amat sangat berbudaya, bahkan berpendidikan!. Jaman sebelum Google mengetahui apapun di muka bumi ini, perpustakaan dan semua bahan bacaan konvensional merupakan sesuatu yang bikin kita semua mengejarnya hanya untuk mengetahui sesuatu kejadian dan informasi (seringnya telah lama berlalu namun masih valid). Bliyau ini menghabiskan waktunya dengan membaca, mendengarkan orang (jaman sekarang semuanya mau ngomong tapi ogah mendengar), menganalisa orang, mendidik dirinya, mengasah otaknya secara otodidak. Sensitifitas muncul sebagai bibit yang mengakar menjadi budaya; memahami orang dengan karekter mareka masing- masing, latar belakang pola asuhan orang tua, kebiasaan, adat istiadat, gaya yang di pakai dan selera yang di sukai.
Bliyau ini yang menurut buku teks sekolah saya dulu (tidak tahu kalau sekarang, ya) adalah contoh rakyat yang fakir ilmu juga biasanya akan disertai dengan fakir materi. Somehow tidak semua orang bisa di golongkan dengan labelisasi serupa karena manusia akan berevolusi.
Jika saya membandingkan lelaki blangsak di atas dengan teman saya ini, pasti masyarakat akan menilainya jomplang, padahal menurut saya justru teman saya inilah yang harusnya lebih unggul. Meskipun dia tidak pernah mengenyam pendidikan formal tinggi namun bliyau adalah seorang pengusaha sukses, patron of arts!. Bliyau mempunyai koleksi buku- buku langka (sorry uncle, I lost that Tagore book entah dimana), piringan hitam klasik dan bahkan lukisan- lukisan mahal original karya sang seniman langsung di beli kontan!.
Tidak sekalipun- menurut istri dan anak-anaknya, bliyau ini merendahkan mareka dan berkata kasar dengan nada patronizing khas seksis dan misoganis. Bliyau lebih menganggap kaum perempuan adalah penggerak motor kehidupan sejati; Ann, we men won’t be here without our mothers.
Sungguh bikin baper sekali!.
Asuhan utama dari masa kecil seseorang itu amatlah berpengaruh, yha, bisa jadi si lelaki blangsak mempunyai keluarga yang dimana ayahnya adalah sosok patriaki ‘sejati’ yang menempatkan wanitanya di ‘posisinya’. Kamar dan dapur. Sosok ibu memang di muliakan tetapi juga terbatas di bawah sosok ayah. Apaan coba?. Pernah mikir tidak sih, kok bisa begitu?. Surga di bawah telapak kaki ibu, tapi kenapa bapak menempatkan ibu di ranjang dan dapur saja. Di pamerin dikit- dikitlah sesekali.
HAIL HYDRA!.
Terus kita rada heran, ada ya hari gini model yang beginian masih berkeliaran di masyarakat jaman now, ya masih dong. Yang memproduksi kids jaman now adalah kids jaman old yang masih hidup dan belum pensiun. Kids antara jaman old dan now juga masih banyak dan mulai membentuk keluarga mareka sendiri yang biasanya nih, lebih rasional dan seimbang. Yha, semoga saja produk hasil kids jaman menengah lebih masuk akal.
Di masa depan saya harap para perempuan dan lelaki tidak lagi saling seksis, misoganis dan semua term yang mengaju pada pembedaan gender secara menyakitkan itu akan segera jadi mitos dan bahan tulisan di buku sejarah pada tahun 2050.
Lalu, lalu bagaimana nasib si lelaki blangsak tadi?. Well, saya tidak banyak berkata- kata karena saya merasa dia itu beyond saving; tidak bisa di selamatkan lagi. Juga ini bukanlah kasus serupa pertama yang saya alami, beberapa orang sebelumnya kini telah ‘terselamatkan’ oleh pikiran logis mareka sendiri setelah saya konfrontasi. Coba deh mas, abang, akang, mau perempuan itu punya bekas koreng, perawan apa tidak, pernah melahirkan sebelum dia sama situ atau mampu melahirkan apa tidaknya, cantik rambut lurus panjang kulit putih bagai kunti, tomboy atau feminine, semua kelebihan dan kekurangannya tidaklah membuatnya kurang perempuan. Hello, para perempuan di sebut perempuan itu memang dari pabriknya setelah di tentukan oleh Tuhan, lengkap dengan alat kelamin pembedanya adalah akan tetap menjadi seorang perempuan terlepas dia punya maternal instinct, bisa cetak bayi- bayi apa tidaknya. Apa urusannya situ yang sibuk banget menilai dan menghakimi mareka?. Emangnya situ orang jaksa penuntut umum dari surga?. Tuhan tidak butuh bantuan jaksa, bro.
Lagian juga, benar kata-kata jadul ini deh; cinta itu buta, karena jika sudah cinta kita akan menerimanya unconditionally, sekelam apapun masa lalu seseorang itu tidak akan pernah menjamin masa depannya juga turut kelam. Etapikan manusia berevolusi kan yak, dari monyet jadi manusia bisa, masa merubah penyesalan menjadi prestasi dan cinta tidak bisa?. HAHA. Yha toh, lek?.
Saya pernah jualan onde-onde narkoba dulunya apa tidak, pernah jogged- jogged di dangdutan massal apa tidak, punya 11 mantan pacar yang bisa saja manejeri untuk bikin klub sepakbola (plus kamu jadi cadangannya) apa tidak, itu semua bukan urusan situ. Itu urusan saya sama Tuhan saya, cukup. Kenapa sih, nambahin beban hidup dan dosa dengan menguak aib dan kepoin hidup orang lain (itulah kenapa saya tidak follow akunnya Lambe Turah dll), you can go f*ck yourself and let others live in peace.
Oh, kalau kamu sudah merasa cukup dengan pendidikanmu, mungkin ini saatnya menjadi manusia yang berbudaya, ajari dirimu untuk menempatkan dirimu di posisi orang lain sebelum kamu menyakiti dan menggores hatinya dengan perkataanmu (karena jika kau gores pakai pisau, kau ku laporkan ke polisi!). Rasanya gampang kok, mikir sebelum mulut berkoar, ya toh?.
Berikut ini adalah kira- kira cuplikan adegan dialog saya dan si blangsak:
Blangsak : Jadi, kamu tidak butuh laki-laki?. Kamu terlalu pemilih, lihat umurmu makin naik, lho. Nanti keburu keriput dan layu, mana ada yang mau? (terus ngikik seram).
Saya : HAIL HYDRA!!!
Blangsak : SIAPA ITU HHYYDDRRRAAAA????!!!!
Pic : www.unsplash.com |
Kalau dulu sebelum berhijab, barang bawaan saya selama traveling sangat simple dan ringan, bahkan saya bisa menyesuaikan berat ransel sesuai dengan regulasi maskapai penerbangan, lagipula penerbangan pergi selalunya hanya 1 ransel (pulang malah beranak-pinak).
Pakaian yang biasa saya bawa dulu biasanya di pakai berulang- ulang kali paling banter diselang-selingi dengan jacket atau scarf, seringnya tabrak warna dan rada ngasal di akhir- akhir perjalanan. Bahannya pun sebisa mungkin adalah kaus katun atau apapun yang cepat kering mengingat cuci kilat ala backpacker yang hanya di gantung di ujung ranjang, dalam keadaan lembab tak jarang sudah di lipat masuk ke ransel. Duh, bau lembabnya itu lho, menguar begitu ransel di buka di tujuan berikutnya.
Terkadang saya iseng menggantung pakaian basah saya di dalam plastic kemudian di gantung di ransel yang di sandang kemana-mana seharian berharap panas kota dan matahari akan mengeringkannya. Ya kali, jangan pula memilih kresek putih transparent dan menggantung pakaian dalam terus di bawa keliling kota. Tapi ya, beberapa backpacker emang cuek dan perduli amat, saya pernah bertemu pengelana asal Eropa yang menggantung sempaknya di ransel lalu dengan santainya duduk minum kopi sambil baca buku dengan ransel yang ditutupi pakaian untuk dikeringkan. Keren. Dan masa bodoh.
Tahun pertama saya memakai hijab, semuanya serba awkward- baik itu cara pakai jilbab saya yang bingung-penuh-lilitan sampai pilihan bahan dan motifnya. Dengan tiga pentul kecil yang wajib bawa (asli merepotkan belum lagi resiko hilang atau ketusuk), trik menghindari wajah bulat chubby dengan lilitan rempong hingga rumbai-rumbai kecil di ujung hijab yang bikin saya kesangkut beberapa kali. Beneran deh, kikuk banget.
Sebisanya saya selalu memakai warna- warna polos natural, tapi apalah daya saya pun terseret arus model hijab dengan motif penuh, ramai dan meriah. Which is pasti bentrok dengan motif pakaian yang biasa saya kenakan; kemeja flannel atau motif kotak 1 warna dan bunga. Belum lagi saya hanya bisa memakai hijab pashmina di karenakan jika saya memakai hijab segiempat yang di lipat dua menjadi segitiga, beuh, muka saya akan menjadi sebulat bulan!. Kalau lihat foto- foto jadul awal saya memakai jilbab yang terkesan (sebenarnya sih, iya) serampangan dan ala kadarnya, bikin ngakak kabeh!
Lalu bicara soal bahan, saya paling tidak bisa memakai bahan yang kelewat keras dan tegang, atau yang terlalu lembut dan jatuh maupun yang berkilat. Bahan yang keras bisa bikin kulit di wajah dan leher saya gatal karena mungkin benang kain yang terlalu rapat membuatnya panas. Kain yang terlalu jatuh amat susah di gayakan dan memerlukan banyak jarum pentul. Sedangkan yang berkilat, aduh, bikin muka saya kusam kalau di foto, terlebih kalau terkena flash-nya kamera, minyak muka, tambah sumuk saja nih, wajah. Padahal make-up saya on fleek banget, somehow saya tidak jodoh dengan hijab yang berkilat-kilat.
Ketika lagi trend-nya hijab motif bunga, saya pun turut serta sampai kemudian hari keponakan saya mengatakan dia menghindari motif bunga yang penuh dan besar karena itu akan membuatnya semakin kelihatan besar. Butuh waktu lama untuk saya menjauhi motif hijab bunga (karena belum ketemu pashmina polos yang seperti saya mau), dan selama itu pulalah sedapat mungkin saya hanya memakai pakaian monochrome atau serba polos sewarna sekalian. Demi menghindari tabrak motif, warna yang bikin sakit mata dan mengundang kecaman orang- orang dalam hati mareka masing-masing (malah nambah dosa juga, lagi).
Trial and error saya dalam berhijab sungguh kocak, ngenes dan panjang. Saya belajar otodidak, baik itu mencari style hijab yang sesuai dengan wajah dan kepribadian saya (no, no more hijab lilit) , bahan kain yang nyaman hingga panjang hijab itu sendiri. Karena pada dasarnya saya adalah orang yang mau serba praktis, menghindari membeli dan memakai sesuatu yang bikin saya mikir bagaimana menyetrika atau memakainya, namun begitu tetap fashionable. Ketika saya hendak sholat, saya tidak mau repot melepas hijab saya, apalagi memasangnya setelah sholat. Intinya, saya paling males ribet toh esensi saya memakai hijab kan, demi perubahan yang baik dan sebaiknya perubahan baik itu juga tidak merepotkan di dalam prosesnya. Begitu, kah?.
Sama seperti traveling yang menjadi ekstra sejak saya berhijab, kalau hanya sekedar kemping, biasanya saya membawa hijab yang bahannya seperti jenis kusut karena bahan sebegitu juga di setrika sekalipun tidak akan mulus. Nah, kalau traveling yang benaran; packing, naik pesawat gitu, baru saya rada ketar-ketir. Kalau saya memutuskan untuk backpacking dengan ransel saya harus siap dengan resiko adanya lipatan- lipatan di hijab saya. Mustahil membawa setrikaan walau yang kecil sekalipun (nambah beban tas). Hampir sama sih, kalau saya membawa koper- pasti tetap di lipat dan berbekas. Tinggal bagaimana saya mengakalinya nanti (biasanya bête di awal tapi lama- lama juga lupa kalau hijab saya kurang rapi).
Masuk ke kordinasi warna, saya akui saya stress memilih pakaian yang saya bawa harus match dengan bujet hijab yang saya bawa nanti. Saya harus rela memakai beberapa hijab untuk beberapa kali walau bakalan basah oleh keringat. Geli ya?. Ha!. Sama!.
Untunglah saya selalu sedia body mist (yang tidak pernah sekalipun menyentuh body melainkan pakaian dan hijab) yang akan di ‘guyur’ ke hijab demi menyamarkan bau matahari. Coba gitu, produsen- produsen yang biasanya bikin shampoo untuk rambut berhijab (serius, GA NGARUH), buat parfume- atau kalau mau lebih affordable; cologne, mist atau eau de toilette khusus untuk pakaian dan hijab. Ya kan, yang penting di bikin harum itu mah, bukan body lagi, tapi hijab yang biasanya di pakai lebih dari 1 kali. Hello, kalau para produsen baca ini, itu kredit idenya ke saya ya, sini bayar royalty untuk ide saya. Serius lho, ini.
Lalu bicara bahan, rasanya susah sekali menemukan bahan hijab yang adem untuk negara tropis begini. Biasanya para penjual hijab akan mengklaim kalau hijab yang mareka jual itu akan bikin kepala adem dan tidak gatal, tapi kenyataannya mareka biasanya hanya mementingkan motif dan model hijab (di kasih sulaman kah, di kasih mutiara kah, di kasih beads kah). Jarang sekali saya temukan produsen hijab yang serius, mengadakan riset di lab demi mencari, menemukan dan membuat bahan kain yang adem dan eco-friendly, plus yang paling penting; cepat kering secepat tangan lihai pesulap David Blaine.
Mungkin kalau semua kriteria di atas terpenuhi, baggage saya selama traveling meningkat (di akali dengan selektif memilih pakaian) khusus hijab. Sesungguhnya saya lebih mendingan memakai kaos yang sama 2 kali (aslinya sih, geli, tapi sering banget ketika traveling yang untungnya adalah bahan kaus dan longgar berangin) ketimbang pakai hijab 2 kali, karena selain hijab itu sendiri saya juga memakai alas agar hijabnya tidak merosot turun, dengan rambut yang di ikat otomatis membuat kepala saya pengap dan lembab oleh keringat. Belum lagi kalau bekas keringat bercampur residu make-up (moisturizer, bb cream/foundation, bedak, blush on, dll) menempel di hijab, bikin saya jengkel harus buru- buru cari detergen dan V*nish. Okay deh, tambah ya kriteria hijab yang ‘sempurna’ menurut saya; anti noda, apapun!. Hahay!.
Dikarenakan untuk mencari kepraktisan, ada waktu dimana saya hanya mengenakan hijab berwarna hitam atau gelap. Selain tidak mudah menampakkan noda, warna hitam dan gelap juga menyamarkan beberapa bolong kecil di hijab saya oleh peniti. Duh, ada tidak sih, kain hijab yang anti bolong oleh peniti juga?. Banyak maunya, ya?. Ahem.
Mungkin saya masih banyak belajar bagaimana mengakali traveling terutama backpacking dengan hijab namun tetap gaya layaknya para hijabers yang ngakunya backpacking tapi gaya, sepatu, tas, baju dan hijabnya ganti dari hari kehari (bawa ransel apa bawa lemari?). Terpikir untuk membawa lempeng besi pipih ringan dan lilin, di hostel yang ala kadarnya itu paling tidak saya bisa menyetrika hijab saya dengan memanaskan besi pipih itu tadi. Atau sekalian beli hijab khusus atlet (yang mahalnya ampun dah, belum masuk di kota saya, lagi), tidak hanya akan di pandangi aneh; hijab atlet tapi pakaiannya grunge/emo/girly abis tapi juga pasti bikin saya tidak nyaman karena hijab saya adalah yang menutupi dada (sekalian menutupi betapa kurusnya saya, gitu).
Semua harapan saya untuk diciptakannya hijab (pasti di kasih SNI atau cap halal nih, nanti) asyik nan murah meriah (please deh, 1 orang punya minimum 15 lembar hijab) akan segera di pertimbangkan demi kelancaran ibadah para wanita dan berkurangnya ketombe di kepala mareka. Amin.
Pic: www.unsplash.com |
Bagaimana caranya berteman di jaman sekarang: tanya partai politiknya, tanya kandidat yang di dukungnya, tanya aliran agamanya yang seagama denganmu (ahem!), tanya siapa saja mantannya (krusial), tanya klub sepakbolanya (jangan sampai salah pakai warna), tanya KW premium atau KW super tas yang sedang di pakainya, tanya kebijakan pemerintah yang di dukung dan di sanggahnya, tanya etos kerjanya yang bebas korupsi atau malah korupsi (cocokkan saja dengan sang penanya), tanya kemana saja ia pernah berkunjung, tanya (e)S berapa kah ia sudah kini (S!, S2, SE, STONGTONG, SWALLS), tanya perawan apa tidaknya dia (sangat seksis dan misoganis ketika pertanyaan hanya boleh di lontarkan oleh lelaki semata namun jika sang perempuan yang bertanya jawabannya seperti bintang-bintang di angkasa; jauh dan tidak tahu pastinya berapa biji itu bintang).
Beda sekali dengan cara berteman paling tidak 1 dekade lalu: tanya sukanya apa, bencinya apa, alumni mana, biasa jerawatan parah apa tidak, potong rambut dimana, penyanyi dan actor siapa saja yang disukai, tinggalnya di daerah mana, kenal iini, kenal itu.
Yang masih sama: kok jomblo, kenapa belum menikah, apa masalahnya sampai belum menikah, kapan menikah. Kepo yang tidak penting yang sejauh ini belum ada perubahan; baru kenal, kadang tidak berniat kenalan (apalagi di jadikan teman), kok malah tanya hal- hal pribadi.
Itu kenapa saya tulis pick instead making a new friends, karena jaman sekarang kita harus memilih teman untuk berinteraksi ketimbang membuat pertemanan yang sering bikin masalah dan menambah beban hidup: apa masalahnya kalau saya masih jomblo?. Emang situ di dipengaruhi ya, pergerakkan bulan hidupnya kalau saya jomblo?. Coba deh, dipikir, apa hubungannya status jomblo dengan membuat perkenalan- terutama sekali; kenapa dia jomblo.
Di dalam bahasa Indonesia itu ada KENALAN, lalu TEMAN, kemudian SAHABAT. Itu adalah 3 langkah kita bersosial, justru sekarang kita hanya melakukan 2 atau bahkan 1 tahap saja. Kita akan mudah sekali menganggap seseorang itu teman atau bahkan sahabat hanya dengan ngobrol beberapa saat, tipikal orang kita yang merasa ‘nyambung’ dan ‘nyaman’, padahal tidak semua kesan pertama itu benar. Kenalan itu kini samar-samar mengingatkan kita pada dialong film Indonesia tahun 80-an.
“Ah, dia hanya kenalan saya di pasar”.
Dari penampilan luar saya sering di klaim sebagai cold heart bitch; eksterior yang dingin, dengan resting bitch face syndrome (you should see my sister), bahasa tubuh yang acuh tak acuh, ngomong asal (yang di klaim oleh beberapa orang; justru saya berusaha jujur dengan ngomong apa adanya dan sering sekedarnya), intinya saya itu tidak approachable. Lalu kemudian justru orang- orang yang merasa saya begitu berakhir menjadi orang- orang terdekat saya, sebaliknya orang yang merasa saya mudah di dekati malah menjauh waktu demi waktu. Aneh, ya.
Dengan tampilan luar saya yang sudah ‘keras’ banget, bergaul, membuat pertemanan baru semakin sulit saja sejak semua pertanyaan diatas menjadi dasar cocok tidaknya seseorang untuk menjadikan saya teman mareka. Supaya lebih afdol; seorang teman meminta saya menjalani tes kepribadian online (yang linknya di kirim bliyau lewat Whatsapp), hasilnya di screenshot dan dikirim, lalu dia akan menganalisa tingkat match kami untuk menjadi teman baik.
D.A.H.S.Y.A.T!
(Hello there!)
Jika dulu pertemanan menjadi unik karena chemistry alami yang membangunnya, kini pertemanan jadi unik kalau cerita di balik pertemanan itu adalah karena kesukaan fanatic kami terhadap boyband Korea yang sama (G-Dragon forever!!!). Kalau kamu salah menyebutkan boyband yang kamu suka, kesempatan mendapatkan teman yang kamu bisa tebengin wi-fi nya akan menguap hilang, kayak kentut yang bisu namun meninggalkan bekas bau yang menyakitkan karena tidak bisa numpang download episode Drakor terbaru. Puffff!!!
Apalagi kalau masa pemilihan Presiden dan Pilkada mulai hangat, di group chat dan social media semua teman akan mulai menaikkan status, link artikel, foto (baik itu benar maupun hoax), yang akan di like atau di tampik keras oleh teman lainnya. Perperangan di dunia maya telah dimulai. Masih segar di ingatan saya 2 orang teman yang bertikai (padahal mareka bisa di bilang punya hubungan yang baik walau bukan bersahabat), teman A memilih Wowo1, teman Z memilih Wowo2.
Saban hari thread, timeline, wall saya penuh dengan propaganda dan berita- berita yang di hujat dan dimaki pengikutnya. Beberapa teman dan keluarga dengan senyap- senyap telah saya unfollow, terutama teman- teman yang bertikai dalam hal agama; bagi saya tidak penting, agama saya lebih benar dari agama lainnya karena semua umat akan mengklaim hal yang serupa. Ya kalau kamu beragama, ya beribadah saja dengan benar, hakim menghakimi orang lain itu bukan urusanmu.
Hatchui!.
Hanya karena partai politik saya warnanya lebih gonjreng dari partai anutan kamu, kenapa kita yang harus bertikai?. Sejatinya partai- partai yang baik adalah partai yang sadar diri; mareka ada untuk bersatu melayani rakyat bukan malah memasang boneka sebagai pemimpin negara dan meloloskan anggota partai yang lainnya demi meraup, melakukan agenda partai sepihak saja.
Kalau saya ngomong begini cuma ada 2 responnya; iya-kamu-benar, atau, sorry not sorry nih, ini respon seksis, misoganis yang biasa saya dapati dari kaum pria: TAHU APA SIH, KAMU (read: saya, perempuan) SOAL POLITIK?!.
Respon begini sungguh bikin ngacung.
Dan lagi nih, biasanya jika saya memberi jawaban yang menggelitik para ‘pemberi respon’ di paragraph atas, saya tidak bisa di jadikan teman yang baik, lebih- lebih menjadi PASANGAN HIDUP yang sempurna. Lha wong, baru kenal saja saya sudah bisa stand for what I believe, mampu menjawab, mempunyai pemahaman sendiri (saya pernah ditanya bekas pacar dulu, dengan nada geli melecehkan; apa itu, ideology- saya maksudnya, oleh karena itu untuk menghindari hal yang sama saya tidak menulis ideology melainkan pemahaman, lagipula saya capek ditanya ideology itu Inggris apa boso Indonesia, kak?).
Sifat manusia jika ia tidak mengerti hal yang asing, mendapatkan jawaban di luar jangkaannya, kejutan kepribadian yang beda dari yang biasa ia hadapi di lingkungan social sekitarnya, mareka cenderung merasa terancam dan balik menyerang. Ya, kan?. Ya, lah.
Lebih kurang sama dengan sifat hewan, bedanya kita tidak bisa mengembangkan lemak leher kita seperti Iguana mengembangkan lemak leher kerah badutnya ketika terancam bahaya, malahan sebagai benteng pertahanan, kita melontarkan perkataan yang sadar atau tidaknya menyinggung orang.
Mareka yang telah menolak saya baik itu terang- terangan atau halus khas budaya kita, berakhir menjadi bahan pelajaran (trimakasih lho, bisa bahan tulisan, lho), baik itu yang saya terima dengan hati yang lapang (cowok yang saya taksir dulu lebih milih Kangen Band, padahal saya sukanya ST12, kan, clash gitu!), asem kecut berasa nyesep jeruk nipis, lucu karena betapa konyolnya manusia ya, atau sedih sampai mengeluarkan air mata (tetiba doi bilang chemistry diantara kami telah hilang, saya karbon monoksida, dan dia- karbon dioksida, nempel di pohon tepi jalan namun sejatinya kita itu tidak bisa nge-blend walau ada mono sebagai jenis pengklasifikasian tunggal sekalipun).
Ternyata fenomena ini telah menyebar hampir rata (sepertinya) di muka bumi; saya membaca suatu artikel tentang bagaimana sepasang suami istri yang bercerai hanya karena aliranisme yang mareka anut itu berbeda; democrat versus republican, bro, sis, itu musuh bebuyutan akut, tuh, kronis garis keras yang orang-orang di bawahnya sangat fanatic (dan, mengerikan, don’t care you guys are teribble, chill, please).
Bagi kita yang golongan super chill ini, hal- hal surealis, abstrak, absurd, seperti ini akan terlihat- terdengar konyol dan childlike, but hey, these are fully, completely- grown up people!. Hanya karena saya pro hukuman mati bagi pemerkosa, pedopil, serial killer, cowok yang naksir saya jadi putar stir mengarungi sungai esok harinya ketimbang ngajak saya nge-date untuk kedua kalinya. Yearp. Jika seseorang mengulas suatu topic untuk mencari persamaan dan perbedaan (dalam situasi sedang ‘berkencan’), beberapa orang akan sangat berhati- hati karena mareka tidak ingin opini mareka tidak masuk kolom kriteria (calon pasangan) mareka. Kalau pertanyaan; kamu suka duren muncul- walaupun kamu bisa mati hanya dengan menyentuh cepat pentil duri itu duren namun kamu menyukai cowok/cewek ini, kamu akan berkata: A, saya suka atau B, okay bye, dan waktu bagimu menjawab hanyalah sepersekian detik- kamu harus rela menerima jika yang beratanya justru lebih milih Duku sebagai King Of Fruits (seriously shite ini terjadi pada teman saya).
Dalam masa penjajakan awal sebuah hubungan yang menjurus pada romansa, pencocokan adalah dimana kamu mentally listing, unconsciously, mencentang persen kesempatan kelanjutan hubungan itu apa tidak. Sebagai pribadi yang baik (dan jujur pada dirinya sendiri), cowok yang saya temui kemarin dulu itu memilih untuk melipir, yang- sebaliknya bagi beberapa orang disini memakai jurus basa- basi yang membingungkan. Apabila, ternyata semua daftar kecocokan lebih banyak missed, alangkah baiknya jika sang cowok/cewek mengambil langkah terus terang untuk menolak (terkadang kita memilih ilusi doi lagi sibuk ngurusin blog-nya, jadi masih belum bisa ketemu untuk nonton minggu ini- ya begitu seterusnya tiap minggu).
“Dude, this girl would likely killing everyone while me likes peace” (mungkin kurang lebih inilah yang di batin sang cowok kemarin), atau saya mempunya kecenderungan jadi psikopat (saya dengan gembiranya menjabarkan detil hukuman mati seperti apa untuk para criminal tersebut). Factor dasar kita juga mempunya andil yang besar- yang sebagai orang Asia factor bawaan ini justru dianggap aneh yang tidak relevan: introvert, extrovert dan yang bak kata Susanna Kaysen; ambivalent, si ambivert yang sepertinya masih belum masuk kamus secara resmi. Kita, saya dan doi adalah dua pribadi yang kelihatan mirip dari luar (doi ramah begitu juga saya, hanya itu yang sama sepertinya, ya) tapi bila semua opini telah keluar- kami nyaris tidak menemukan titik aman untuk kami bisa duduk santai sambil minum teh dan saling menatap satu sama lain dengan senyum sumringah. Saya memintanya untuk memberi rating seberapa extrovert-nya doi, doi memberi saya angka 9. Almost 10.
Sekelebat pikiran saya membayangkan betapa tidak nyamannya ketika rumah kami di kunjungi kenalan dan saudara terus menerus tanpa putus- tanpa sempat bagi saya untuk menarik nafas menikmati ruang dan waktu untuk diri sendiri bahkan waktu bersamanya. Lebih mengerikan, doi ingin membangun komuniti yang dimana orang tinggal bersama, mengiris bawang untung makan malam bersama, menikmati malam bersama sambil meminum tuak dari botol yang di gilirkan dilingkaran para anggota komuniti yang menikmati api unggun di malam yang cerah berbintang.
What a nightmare!
Kecuali kemping ya, itu saya suka minus tuak yang di gilirkan.
Membayangkan saya harus berbagi pakaian yang sama (take turn memakainya, semua perempuan di komuniti telah memakai pakaian itu silih berganti), duduk berderet sambil mengepang rambut (atau menggayakan hijab), membesarkan bayi- bayi bersama (sampai bingung ini anak siapa jadi harus di beri spidol), sabun batangan yang di pakai kesemua tubuh anggota komuniti tanpa terkecuali, 1 penggorengan untuk 10 orang wanita (yang tidak dapat saya terima karena telah mencoreng harga diri saya sebagai maunya-ratu-sendiri), dengan muka datar saya hanya mengangguk ketika semua ide-ide yang ideal dari doi keluar berapi-api. Mau tahu respon saya?.
I can’t, even. Nope.
Untuk mencari teman yang sesuai dengan do’s dan don’ts sudah teramat sulit apatah lagi mencari pasangan hidup yang akan kita hadapi begitu bangun membuka mata. Seawal pagi TV telah menyiarkan perolehan suara kubu 1 merangkak naik yang disambut erangan sang suami (erangan kesal, mind you) lalu sarapan percekcokan mulai terhidang yang berujung dengan curhatnya masing- masing insan dalam rumahtangga yang mulai tidak harmonis ini ke teman lain jenisnya yang berujung perselingkuhan karena sang selingkuhan mendukung kubu yang sama (ada, ini bukan fiksi, lho).
Coba kita runut kembali, jujur pada diri sendiri- apakah sang selingkuhan benar setuju dengan kubu yang sama atau hanya YES demi menyenangkan hati semata?. Karena itulah yang biasanya kita lakukan untuk diterima di masyarakat; kita turut mengikuti arus daripada terkucilkan oleh pilihan kita yang berbeda sendiri. Saya pribadi- disini mengakui kekurangan yang masih sering saya lakukan ini sebanyak, yang saya inginkan untuk selalu jujur pada diri saya sendiri terkadang saya lost dan mengikuti arus. Seseorang bertanya apakah saya menyukai The Walking Dead, seseorang ini adalah dear friend dan demi menyenangkan hatinya saya berkata YES. Beberapa tahun kemudian, dengan leganya saya mengakui; I HATE THAT FUCKING THE WALKING DEAD. Then again sorry not sorry, sejatinya saya tidak menikmati series itu kenapa saya harus menontonnya demi menyenangkan hati orang lain?.
Apakah kami masih berteman?.
Menurut saya, kami masih dalam konteks teman yang baik walau- ada satu dan lain hal yang membuat kami tidak lagi akrab seperti dulu. No, not because that zombie series.
Sebuah hubungan akan melewati trial and error, kita akan menerimanya dengan baik atau tidak akan kembali pada individu itu sendiri. Manusia adalah makluk social sekaligus makluk individualis, tidak pernah ada salahnya meluangkan waktu untuk dirimu sendiri tanpa takut di tinggalkan, mengeluarkan pendapatmu (tanpa takut tidak masuk seleksi calon pendamping hidup impian) jika kamu yakin akan hal itu, kamu tidak harus menconteng semua persamaan kriteria dari manusia lainnya, pertemanan tidak perlu validasi melainkan hanya perlu chillex; chill and relax.
So, mau sang calon teman (pasangan) masih berpikir Tan Malaka dan Pramoedya Ananta Toer itu aliran kiri atau tidak, jangan di pusingkan, kalau mareka tidak bisa menerima penjelasan darimu- pergi. All you have to do is chillex, karena yang alami itu lebih bagus dan awet- kamu akan mendapatkan orang- orang yang akan pergi menemanimu ke kampanye politik yang sama atau hanya duduk ngakak nonton berita tanpa ada tinta biru gelap di kelingkingnya.
With all these freaking shits, saya mempercayai saya akan menemukan seseorang yang membenci durian dan kerupuk as much as I hate them- atau memakan semua itu di belakang punggung saya, sembunyi- sembunyi dan menahan sendawanya.
Semoga sebuah validasi dari manusia lainnya akan menjadi sejarah dan mitos karena yang akan tetap tinggal hanyalah email verifikasi dari akun website online shopping baru dan pekerja bank yang menelepon sanak saudaramu untuk memastikan kamu nyata apa setan demi lolosnya pengajuan kartu kredit limit rendahmu.
Pic: www.unsplash.com |