Dua hari lalu saya dan seorang teman dari komunitas Blogger Pekanbaru mendapatkan staycation 1 malam di hotel Fox Harris Pekanbaru yang sebelumnya akhir- akhir ini sering saya dan komunitas kunjungi, baik untuk lunch bareng klien, pesta ulang tahun klien, nongkrong acara ngobrol ringan, maupun merayakan kelulusan (kayak sekolah ya, tapi memang ada ‘ujiannya’ kok, biar ‘naik kelas’) Fox Harris mendapatkan bintang 4. Yay!. Congratulations, Foxy!.
Sedikit berbagi (saya juga baru tahu), ternyata untuk mendapatkan bintang itu tidak mudah. Makanya bukan berarti hotel itu otomatis akan mendapatkan bintang karena mengikut franchise-nya yang sama; kalau hotel A di tempat lain bintangnya 4, bukan berarti hotel A yang sama ditempat berbeda secara natural/otomatis akan mendapat bintang yang sama. Oh, begitu. Baiklah.
Kasur empuk putih, awas jangan ileran. |
Juga seperti yang saya sebutkan diatas, bahwa untuk mendapatkan bintang, hotel tersebut harus melalui tahapan dan standarisasi kriteria tertentu. Mulai dari kebersihan, staff yang dituntut ramah dan helpful, sampai ke dekor si hotel sendiri. So, begitu si hotel naik bintangnya, naiklah service dan mutunya.
Well, kalau selama ini saya cuma sampai restaurant dan kolam renang tingkat paling atas (biasa, duduk-duduk manis bercengkrama dengan squad atau ikut merayakan ulang tahunnya squad), kali ini bisa sampai level lain; menginap dan merasakan keseruan menghabiskan malam di hotel.
Begitu saya memasuki kamar Deluxe Room, langsung heboh
sendiri menemukan lampu baca (bed lamp) yang sangat berbeda; praktikal, bisa di
bending mengikut posisi baca, kecil dan memang useful. Bukan hanya lampu gede
biasa yang tiap mau baca, saya harus memindahkan lampu ke kasur, didekatkan
dengan dipeluk itu supaya tidak jatuh semata-mata biar bisa baca lebih jelas.
You know what I mean?.
2 lampu baca kurus. |
Kemudian langsung melipir ke toilet (kebiasaan kalau masuk
penginapan yang saya check duluan itu: bed lamp dan toilet) yang cukup
spacious; toilet seat yang ada jarak dari pintu (kaki tidak akan kebentur
meskipun kakimu jenjang bak model), glass box buat mandi tersendiri dan sinki
dengan kaca berlampu dikedua sisinya.
Toiletries-nya juga bagus, di kemas dalam kotak stylish
berbahan daur ulang (sepertinya). Lagi- lagi saya happy menemukan pasta gigi
merek terkenal di dalam perlengkapan mandinya!. Bukan apa- apa, saya pernah
mengalami pengalaman buruk dengan pasta gigi yang tidak mencantumkan komposisi
dan tanggal kadaluarsa, itu lho, pasta gigi kecil dalam tabung plastic tanpa
‘penjelasan’. Apes banget mungkin dapat yang sudah kadaluarsa, begitu gosok
gigi kok, rasanya aneh, apek, membuat mulut kebas. Sejak saat itu saya selalu
sedia pasta gigi meskipun menginap di hotel (mewah) sekalipun.
Tabung toiletries. |
Masuk ke dalam glass box mandi, disitu saya menemukan 2 tube shower gel (gel, not cream, Foxy, you’re the best!) dan shampoo. Sungguh kemasan yang praktis dan ekonomis.
Shower GEL! |
Balik ke kamar, lay-out dan interior kamar di Fox Harris
cukup simple dan minimalis, dengan design meja tanpa kaki, flat screen TV, lemari
di sisi kanan pintu masuk dengan rak- rak untuk kulkas kecil, safe box serta
beberapa rak kosong lainnya. Dia atas tempat tidur tergantung collage pemenang
lomba tahun ini; kebetulan saya mendapatkan collage bertema Melayu. Kalau bisa
dibilang cukup lumayan karena bosan juga melihat lukisan printing yang sama
disetiap kamar (dengan corak yang seragam pula).
Meja dan kursi kerja. |
Kejutan yang seru berikutnya adalah space untuk kerja, dengan kursi kerja beneran!. Itu lho, armchair dengan sandaran tinggi kakinya bisa diputar- putar. Meja kerja yang luas, di lengkapi dengan lampu kerja (yes!) yang juga bisa di posisikan (yes lagi!), colokannya pun (plug) berada di dinding meja kerja, jadi tidak harus repot membungkuk ke bawah kalau hendak memasang kabel charger, sungguh praktis.
Plug/colokan internasional 3 lubang.
Bicara soal colokan (plug), saya akan memberi 1 lagi point; Fox Harris Pekanbaru mempunyai tidak hanya 2 mata colokan biasa (yang kita pakai di Indonesia) tapi 3 mata colokan (plug) internasional. Yay!. Amat praktis terutama bagi turis asing.
Tempat tidurnya pun tak kalah simple dan praktis, dengan memakai tema putih (untung saya tidak ileran) dengan 2 bantal kecil bulat bergambar ekornya si Foxy. Disisi kanan tempat tidur, menghadap jendela ada sepasang kursi dan meja kecil, asik buat duduk minum merenung menikmati kota malam hari (atau berjemur dari kamar karena kebetulan kamar yang saya tempati menghadap matahari terbit).
Berhubung disaat kami menginap sedang ada persiapan pesta pernikahan di restaurant, acara berbuka puasa yang biasanya prasmanan di ganti dengan service makan yang bisa diantar ke kamar, namun saya (dan beberapa tamu lain) memutuskan untuk makan di smoking area yang terbuka (makan sambil lihat petir dicakrawala, merasakan hembusan angin).
Di karenakan sedang rangka bulan ramadhan, selain sarapan normal bagi tamu non-muslim, sahur juga diadakan dengan cara prasmanan. Fox Harris Pekanbaru menyediakan banyak ragam pilihan makanan yang bisa kita coba semua (saya yang biasa sahur ala kadar tidak semangat, ikut terpacu semangat dan seru melihat mareka yang ikut sahur), tetapi favorite saya saat itu adalah bubur ayam, garlic potato (roasted, not fried, penting banget, nih) dan jagung saus krim.
Menurut info dari pihak marketing Fox Harris Pekanbaru, mareka akan mengganti menu setiap hari, jadi kalau kamu menginap 2 hari atau lebih, jangan takut merasa jenuh dengan menu yang itu melulu, ya.
Apalagi ya, yang bisa kamu dapatkan jika kamu menginap di Fox Harris Pekanbaru baik selama ramadahan atau hari biasa;
1. Memanjakan dan relaksasi diri di spa.
2. Gym
sambil menikmati pemandangan kota.
3. Berenang
atau nongkrong makan di lantai atas juga sembari menikmati kota.
4. Buffet
dengan makanan yang seru di restaurant WTF-nya Fox Harris (coba teh tariknya,
deh).
5. Merchandise
yang bisa kamu beli; kaus keren berkualitas bagus (cukup kaget, kan, merchandise
seperti kaus biasanya berbahan dan ber-design ala kadarnya) tanpa terlihat lagi
pakai baju sponsoran, topi snap back (sungguh gaul kekinian), pin, pouch dan
lainnya yang up to date mengikuti perkembangan kids jaman now.
6. Lokasi
strategis di kota, kamu bisa shopping di mall yang berada didepan hotel atau menyusuri
Sungai Siak yang terkenal itu (go Pekanbaru, go!), atau mengunjungi spot wisata
yang tak jauh dari lokasi hotel.
7. Free
wi-fi yang memudahkan saya dalam bekerja dan browsing (rekomen deh, buat yang kebetulan
lagi dinas di Pekanbaru dan harus online ke kantor dengan cepat).
8. Dekorasi
yang mengikut kearifan budaya local (restaurant-nya berdinding latar belakang
songket khas Melayu) dan instgramable banget.
Kaus dan celana pendek. |
Topi Snab Back. |
Demikianlah pengalaman seru staycation saya di Fox Harris Hotel Pekanbaru, untuk keterangan menginap lebih lanjut kamu bisa menghubungi alamat berikut ini:
Fox Harris Pekanbaru.
Jl. Riau No.147, Kampung Baru, Senapelan - Pekanbaru 28154
+62761-741-5999
info-foxharris-pekanbaru@tauzia.com
Tahun lalu ketika sedang kemping, saya kelabakan begitu ingat bahwa saya lupa membawa shampoo. Untunglah sebelum memasuki hutan rombongan kami mampir sejenak di kedai kelontong kecil. Sang bapak pemilik toko menganjurkan saya memakai Emeron hitam Black Shine yang saya terima tanpa banyak tanya lagi (ya pak, bapak cuma jual 1 jenis shampoo sih, ya).
Rupanya salah 1 peserta kemping adalah pengguna Emeron ‘garis keras’, begitu doi membuka hijabnya saat mandi di sungai, saya lumayan shock melihat rambutnya yang wangi (padahal kita trekking 4 jam, lho) dan halus (walau berbalut peluh menetes- netes). Dengan sedikit basa- basi, saya minta izin untuk melihat kedalam tas toiletries-nya (ah perempuan milenial kekinian, pantang tahu resep bening, langsung kepo mau tahu apa dan bagaimana). Jadi, doi penggemar setia set Emeron Soft and Care berwarna Pink (Soft and Smooth) toh, okay, noted. Dan meskipun doi berhijab, mahkotanya tetap terjaga dan terpelihara, suatu usaha yang memang membutuhkan niat, penjagaan baik dalam maupun luar serta pelaksanaan yang disiplin.
(Apa yang
terjadi dengan Emeron hitam Black Shine-nya, it was good, tapi tidak memenuhi
keinginan saya hingga saya pun turut ‘hijrah’ ke varian Pink).
Masalah rambut basic
langganan.
Well, sejak saya memutuskan memakai hijab, persoalan rambut bertambah tidak hanya ketombe, gatal, rontok, kasar dan kini ada bau keringat yang terperap lama ikut menguarkan bau lembab yang menjadi masalah utama saya saat ini . Euw banget, deh, baunya!.
Juga ketika belum berhijab, dengan kegiatan yang seringnya di luar ruangan, rambut menempati posisi perawatan terakhir dan sering ala kadarnya padahal si rambut sering mengalami berbagai macam styling gaya mulai dari di keriting, di wax, catok, diwarnai berkali- kali, juga dibiarkan terkena asap polusi kendaraan, tidak dicuci berhari- hari (euw, I know!), terpanggang sinar matahari (sampai merah gosong), lembab dan lengket berpasir setelah berenang di laut/sungai.
Belum lagi level stress yang naik-turun, mood dan tekanan kerja sehari- hari juga ternyata turut mempengaruhi keadaan rambut. Nyatanya treatment yang diterima rambut amat minim sampai pernah suatu saat rambut saya pun mengalami stress fisik; kaku, tegang, kusam, crack bercabang hingga sinar alami rambut pun hilang (duh, kulit saya juga ikutan stress sampai di bawa berobat, dokternya menyarankan saya untuk lebih relax, minum air putih yang banyak dan mengkonsumsi multivitamin tambahan).
Emeron Complete Hair Care - Soft and Smooth. |
Dalam memilih Emeron Complete Hair Care.
Oleh karena terpacu ingin rambut ‘outdoor yang wangi’ itulah, saya memutuskan untuk berdisplin mengganti cara merawat rambut yang dulu sekedarnya saja kepada 3 langkah mudah nan praktis Emeron Complete Hair Care ; shampoo, conditioner dan hair vitamin (harus displin lho, kalau mau paripurna).
Memang wajar kerusakan dari tahun-tahun terdahulu itu tidak bisa dipulihkan dengan sekelip mata, tetapi saya tetap optimis mampu mengembalikan kesehatan rambut. Begitu berketetapan untuk mencoba menggunakan varian Soft and Smooth, saya pun melakukan riset browsing review di Google, membaca seluruh informasi dibelakang botolnya (ah, pada dasarnya saya senang membaca informasi disetiap kemasan, kok) dan tak lupa kembali memastikannya dengan teman kemping kemarin, akhirnya dengan mantap hati saya memilih si Pink ini karena ia mengedepankan beberapa keunggulan;
1. Perawatan rambut alami ekstrak Sun Flower berkualitas
tinggi yang telah teruji dan terjamin serta higienis (hygiene freak, I am!).
2. Mengandung
active provit amino (plus Sun Flower di varian Pink, mungkin inilah yang membuat wanginya awet) disemua
rangkaian varian yang ada.
3. Selain
cukup lengkap, set Emeron ini juga praktis tidak memakan waktu lama dan tepat
sasaran (duh, capek membayangkan harus duduk lama di salon, belum lagi menunggu
antriannya).
4. Formulanya
sudah disempurnakan (begitu juga lisensi) di Jepang (hati- hati ya, jangan tergoda beli shampoo
abal- abal yang tidak ada lisensi dan BPOM-nya).
Setelah yakin dengan keunggulan Emeron, dengan leluasa saya tetap terus menjalankan hobby outdoor saya yang aktif itu dengan percaya diri (traveling, hiking dan kemping yang memang banyak berjalan di bawah terik matahari langsung dan tak jarang bersimbah hujan).
Kalau kamu perempuan milenial mempunyai hobby outdoor yang sama dengan saya, segudang aktivitas, sibuk, mobile kesana- kemari mengendarai motor, tetapi bingung caranya mengatasi masalah dan bau keringat rambut, ini saatnya kamu #DengarkanRambutmu, kamu harus coba Emeron varian Soft and Smooth ini deh, rekomen banget!.
Nah, berikut ini adalah
cara simple dan cepat yang biasa saya lakukan agar mendapatkan hasil yang
optimal:
1. Basahkan
rambut hingga sangat basah, tuangkan shampoo menurut keperluan (kalau kebetulan
pulang dari camping, biasanya saya akan shampoo-an 2 kali hingga benar- benar
bersih), jangan lupa untuk memijat ringan merelaksasikan kulit kepala yang
lelah dan berkemungkinan berpasir.
2. Gunakan
conditioner hanya pertengahan rambut hingga ujungnya saja (jangan sampai terkena kulit kepala karena
bisa memicu ketombe dan gatal).
3. Hair
vitamin digunakan saat rambut dalam keadaan setengah kering (hanya di helai
rambut saja, ya) kemudian bisa di keringkan dengan hair dryer suhu rendah.
Sedikit
tips dari trial dan error sejauh ini: baik itu shampoo, conditioner serta hair
care sebaiknya di gunakan sesuai dengan panjang rambut kamu. Contoh; potongan
rambut saya saat ini bob pendek, jadi saya tidak menggunakan keseluruhan hair
serum, hanya secukupnya saja karena jika tidak ia akan membuat rambut kelihatan
greasy
Lalu bagaimana hasil yang saya dapatkan setelah melalui 3 tahap tersebut:
1. Mampu mengusir bau paling kuat sekalipun (bau rokok tuh, terkenal paling dahsyat susah dibersihkan yang herannya bisa masuk ke dalam rambut melalu serat hijab).
2. Wangi
rambut yang tahan lama, bisa bertahan selama 3 hari dengan rutinitas berhijab
normal harian (top markotop!).
3. Rontok
dan gatal mulai berkurang, soothing effect-nya berasa banget.
4. Helai
rambut lebih smooth dan kalem, jujur saya kaget sewaktu sisiran; kok, lembut
banget, ya? (padahal tidak sengaja menekan tombol hair dyer suhu tinggi pada
saat pengeringan).
5. Skip-nya
perawatan salon bulanan (bahkan nyaris tidak ada lagi, bye mbak salon yang suka banget keramasi
rambut saya sampai ditarik- tarik segala), praktis menghemat waktu dan uang, bebas
antrian panjang.
6. Tidak
ada lagi rambut lepek walau berada dibalik hijab seharian (sangat penting, nih,
buka hijab langsung goyang- goyangin rambut wangi buat pamer).
7. Iritnya
belanja groceries bulanan (juga tidak kalah penting).
There, there, kalau masalah rambut sudah beres adem begini, saya jadi semakin semangat mengikuti acara kemping dan always ready to go (karena stock Emeron sachet-nya selalu siap di pouch, sayang belum ada sachet untuk conditioner, hingga saya menyediakan 1 jar kecil untuknya), dan ya syukur- syukur bisa menginspirasi para perempuan tangguh tak takut peluh nan aktif gesit yang bakalan ikut acara kemping bulan depan, lah.
Masih bingung, mau mencoba Emeron Complete Hair Care varian yang mana, jangan risau, jangan bimbang karena kamu bisa klik link ini untuk pencerahan varian spesifik mana sih, yang sesuai kebutuhanmu.
Marina Bright and Fresh Facial Foam & Marina UV Protection Loose Powder |
Berawal dari iseng mencari facial foam dan bedak tabur murah meriah, tanpa melihat review, saya akhirnya memutuskan untuk membeli Marina di karenakan harganya yang super mencengangkan; Rp 10.000 untuk facial foam dan hanya Rp 6.000 untuk bedak taburnya. Kaget ya?. Iya, sama.
Marina memang sudah di kenal dengan brand yang affordable, khususnya menargetkan pasar gadis remaja namun mbak- mbak seperti kita (mas- mas juga boleh) juga bisa pakai lho, karena memang skincare atau make-up terkadang cocok- cocokan (yang memang sampai bisa memakan waktu, bongkar pasang, coba sana- sini).
1. Marina Bright and Fresh Facial Foam.
Dengan harga Rp 10.000 saya sudah skeptic dari awalnya, perubahan hormone dan kulit wajah yang awalnya super oily menjadi berminyak dan dehidrasi (masih mencari FF yang bisa mengatasi tuntas atau tidak memperparahlah), hingga saya tidak berharap banyak pada FF Marina ini.
Menurut beberapa review yang saya baca, FF yang menargetkan untuk memutih/mencerahkan kulit sebaiknya di diamkan beberapa saat ketika mencuci muka, tetapi jangankan untuk mendiamkan foam-nya selama 30 detik, begitu muka di cuci kulit muka saya berasa amat sangat kering. Kesat, kayak iklan pencuci piring itu, lho. Benar- benar tidak meninggalkan sedikit minyak alami wajah. Untungnya nih (masih berpikir positif), tidak membuat dry patches ataupun gatal memerah. Jadi setelah 3 kali pemakaian (untuk lebih memastikan) akhirnya saya memutuskan untuk tidak menjadikan FF ini sebagai pembersih harian (pagi dan malam teratur) dan hanya memakainya jika kulit lagi sangat kotor dan hormone lagi baik.
Conclusion (a la saya, sih), kalau kamu berkulit kering sebaiknya hindari FF ini, sepertinya lebih cocok bagi kulit pure berminyak (minyak yang menetes- netes dari muka gitu..).
Buat yang mencari FF bebas sabun, sebaiknya FF Marina ini di skip saja (very soapy).
2. Marina UV Protection Loose Powder.
Di katakan disini dengan perlindungan UVA dan UVB (plus vitamin E), namun tidak di ketahui SPF –nya berapa. Harganya hanya RP 6.000 saja dan ini adalah kemasan baru, kemasan lama berwarna pink dan harganya sekitar tahun lalu lebih dahsyat; Rp 4.000, jadi tidak heran kalau target pemasarannya kepada remaja- remaja yang lagi puber dan masih mengandalkan duit jajan dari uang tua tapi mau tetap syantik (duh, jadi ingat ponakan- ponakan syentil).
Shade yang saya ambil adalah 04-Natural, saat itu cuma ada 2 pilihan, 01 atau 04. Selain waktu belinya malam hari berpedomankan lampu supermarket, 01 terlihat terlalu putih dan 04 terlihat lebih masuk akal.
Tekstur bedak ini tidak menyerbuk (sebagian memang suka tekstur begini), hanya saja susah sekali di ratakan. Tidak ada sponge bawaan (sudah dipastikan pasti mutunya ala kadar, daripada buang uang juga mending tidak di beri sekalian), saya menggunakan sponge bagus tapi tetap susah sekali untuk meratakan bedak ini yang anehnya bisa di bilang rada ‘menggumpal’. Mungkin bisa lebih baik kalau memakai brush.
Marina sejauh ini (saya pernah coba compact powder-nya yang tidak kalah murah juga) memiliki shade untuk kulit Indonesia; kuning langsat ataupun tone yang olive. Rasa penasaran membuat saya tetap membelinya meskipun saya tahu tone kulit saya tidak cocok (pantang lihat yang affordable dikit, begitu sadar sudah sampai dirumah itu barang, impulsive sekali). Dan ternyata benar, sambil nyanyi- nyanyi saya mencoba meratakan bedak ini di muka, begitu ngeh (cahaya dari pintu lebih cerah karena matahari terik kembali), ya ampun, ini muka jadi oren semua!. Bedak menumpuk tidak karuan, kulit muka saya sudah seperti fake tanning, oren dengan olive tone dan kusam sumuk. Argh!
Syukurlah saya belum keluar rumah dan menebar pesona ke khayalak ramai, buru- buru saya menghapus seluruh muka dan shock melihat kapasnya berubah jadi super oren dan gelap (cepat amat oksidasinya).
Mungkin saya bisa simpulkan kalau shade 04-Natural ini lebih cocok dengan kamu yang mempunyai tone wajah sangat olive (gelap namun masih ada kuningnya) yang memang kalau di lihat dari bedaknya lucu juga tidak begitu ketara. Bagi yang ingin mencoba, bedak ini mengalami oksidasi (di kulit saya), bisa mempertimbangkan membeli 1 shade lebih muda dari shade biasanya.
Kemudian membahas kemasannya, sangat ringkih, jelas tidak ada sponge tetapi masih ada kotak ketimbang cuma kemasan bulat bedaknya begitu saja, kan. Bedak di lapisi plastic bening (bisa di lubangi kecil-kecil agar tidak bleber), netto-nya ada 25 gram, cukup banyak menilik bedak ini di tidak menyerbuk (kayak di press ke wadahnya). Tidak dapat meng-cover bekas jerawat atau noda di wajah ya, not bad kalau cuma bedak untuk sekolah sehari-hari.
Ps.
Hasil bisa berbeda di setiap kulit dan kondisi. Review murni tanpa endorsement.
Entah kenapa saya belum begitu antusias untuk mendokumentasikan hotel, motel, hoStel, wisma, losmen atau dimana saja saya pernah menginap. Karena mungkin prinsip dasarnya saya menginap ya, hanya untuk istirahat dan menyimpan barang saja, walaupun beberapa penginapan tersebut sebenarnya sih, lumayan keren atau unik.
Namun, selalu
ada cerita di hampir setiap penginapan yang pernah saya singgahi, dari harganya
hanya Rp 35.000/malam, tetangga sebelah kamar yang lenguhan nikmatnya begitu
jelas seolah-olah doi berdua lagi baring sekasur sama saya, sampai ke lobby
hotel yang remang-remang kayak di film horror.
Pada tahun
2000, saya dan beberapa teman sekolah berlibur ke daerah yang terkenal dengan
perbukitan dan gunungnya plus udaranya yang sejuk. Tahun segitu, dengan harga
yang ampun-dah-murah RP 35.000 per malam tetap saja berasa mahal buat kami para
siswa SMU (ya iyalah, masih di kasih duit jajan dari orang tua), hingga dengan
berat hati saya rela berbagi kasur ukuran queen dengan 3 orang teman lainnya.
Kasur tua yang
penuh bekas noda para ‘pasien’ sebelumnya menjadi saksi bisu kami para gadis
yang berusaha tidur tanpa mematahkan ke-empat kaki reotnya. Seorang dari kami
mengeluh betapa bau pesingnya bantal atau selimut yang lembab (kemungkinan
tidak pernah di cuci bersih dan penuh kutu). Belum lagi pegas besi dari si kasur
yang memantul menusuk punggung. Yes. Dengan Rp 35.000/malam, kamu mengharapkan
apa, sih?. Jelas tidak ada kamar mandi di dalam apa lagi air hangat (hanya bisa
di pesan dan di bakar manual dengan tungku bakar kayu, diangkut pakai emaber),
jarak kamar mandi yang tidak masuk akal; berada di bawa penginapan (ini
penginapan rumah kayu 2 tingkat), dengan memakai pencahayaan super alami, kalau
tidak sinar matahari yang menyelip diantara balok- balok kayu penghubung, ya, obor
api. Untuk menambah kedahsyatan; kubikel kamar mandi di bangun dari batu-batu
kali, hitam, licin dan berlumut. Mantab!. Airnya?. Langsung dialirkan dari mata
air pegunungan. Brrr!.
Bisa ditebak
tidak satupun dari kami yang mampu untuk mandi pagi itu dan begitu kami tiba di
kota selanjutnya yang lebih hangat, semua pada mandi balas dendam. Kota yang
kedua pun penginapannya tidak kalah serunya, mulai dari menemukan hostel yang
namanya Eden tapi penampakkannya so bloody Hell (neraka). Dinding seluruh kamar
penuh dengan noda air yang bocor dari atap, kasur- kasur bunk bed yang tidak
pernah terjamah pembersihan, toilet yang berkarat (airnya juga keruh berlumpur),
lampu yang hidup-mati sesukanya, bahkan seorang teman kesentrum ketika mencoba
menekan tombol lampu (heboh banget sampai doi nyaris pingsan ke lantai), dan
yang paling horror adalah lobby-nya yang sepi dan panjang. Kayak di film The
Shinning, saya sempat mikir; kapan kira-kira si kembar bakalan nongol di ujung
lorong. Semuanya tambah komplit ketika yang punya hostel songong sekali,
keluhan kami di anggap angin lalu, harga yang tidak mau kurang dan ogah untuk
paling tidak menyapu lantai yang tebal berdebu. Setelah briefing singkat, kami
(yang syukurnya belum membayar full) memutuskan untuk langsung angkat kaki.
“Aku bisa
mati karena 2 hal di Eden (read; surga) itu; kalau tidak kesentrum, ya karena
ketemu hantu!”, quote bijaksana dari si teman yang kesentrum, dan juga penakut.
Wisma berikut
akhirnya dipilih dengan terpaksa karena sesuai bujet, cukup layak walau
mengingatkan saya pada wisma tahun 70-an, dengan kolam ikan tua butek di dalam
ruangan, dinding yang penuh pahatan relief timbul dengan warnanya yang mulai
terkelupas dan buram. Nothing fancy, kecuali kami mematahkan 2 kaki kasur
ketika sedang heboh duduk ketawa-tawa di kasur.
Penginapan-
penginapan tua di kala itu masih bisa bersaing dengan hotel yang belum terlalu
banyak baik itu franchise dan harganya yang lebih mahal. Namun ada juga
penginapan tua yang tidak tahu diri menaikkan harga tanpa mengubah pelayanan
dan bentuk fisik penginapan mareka. Menurut salah satu pemilik wisma tua yang
iseng saya ‘wawancarai’, mareka merasa kesal dengan hotel- hotel dan merasa
penginapan mareka lebih legenda dan patut di apresiasi. Lha pak, legenda sih
iya, tapi naiknya harga kok, tidak di imbangi dengan meningkatnya mutu
pelayanan dan kondisi wisma yang harusnya ya, di cat ulang.
Kadang-kadang
ya…(masih ingat wajah si bapak yang ngotot, kesal dan penuh kebencian terhadap
jaringan hotel yang lagi naik daun kala itu).
Hostel juga
tidak kalah sumuknya (pakai S di tengahnya ya, lebih familiar di kalangan para
backpacker), karena hanya turis asing lah yang lebih tertarik pada hostel
(menunggu turis asing nan langka hingga lupa untuk merawat penginapan). Di kala
itu menjadi backpacker belumlah setrendi dan semudah sekarang namun beberapa
pemilik hostel cukup antusias membangun penginapan bujet karena mengincar
backpacker asing (kere dan beransel lusuh yang lebih suka nginap berhari-hari
dengan bujet minim full petualangan eksotis). Jadi tidaklah mengherankan ketika
hostel (tapi di tulis hotel) Eden itu lebih layak dijadikan setting-nya film
horror karena jarang tersentuh turis. Menurut para owner yang saya ‘wawancarai’
lagi, bisnis mareka diantara hidup dan mati sedangkan mareka tidak ingin
menjual penginapan mareka (yang biasanya strategis) kepada jaringan hotel besar
atau cukong- cukong ruko.
Setelah hobi
ber-backpacking menjamur, para pemilik hostel, wisma, losmen, penginapan
konvensional kini mulai berbenah diri. Meskipun beberapa dari mareka masih
mempertahankan ‘gaya jadul’, paling tidak dari segi service kini mengalami
perubahan signifikan (riset berdasarkan yang saya alami, ya). Salah satu
contohnya adalah wisma jadul di kampong saya, mareka masih mengekalkan interior
lama; kolam ikan butek penuh relief dinding (tapi kali ini ikannya ada walau puntung
rokok dan sampah mengambang diatasnya), bangunan jadul (mungkin di bangun tahun
70-an) yang terpisah-pisah di hubungkan dengan jalur setapak kecil berkerikil, lukisan
alam terkembang khas setempat (dilukis diatas kain velvet hitam, tema lukisan
kalau ya tidak kerbau, sawah, gunung atau rumah adat), semuanya nyaris tidak
berubah kecuali service-nya. Sekarang tidak perlu lagi memanaskan air dengan
kayu bakar, ada set sabun dan handuk, heater mulai lebih praktis serta cepat,
kamar mandi sudah berada di dalam ruangan dan kasurnya nih, sudah jenis
springbed walau mereknya ecek-ecek (kapan terakhir saya menginap di tempat yang
kasurnya dari kapuk). Saya akui saya cukup terkesan walau bête karena mareka seenak
hatinya menaikkan harga ketika demand yang tinggi saat lebaran. Oh, kini para
penginapan jadul telah melek teknologi dengan bergabungnya mareka ke jaringan
pencarian penginapan online. Well done, you old people!. (well, biasanya kini
di kelola oleh generasi baru; penginapan model begini adalah bisnis keluarga
turun termurun).
Dengan
meningkatnya mutu, maka meningkat pulalah interior penataan demi menarik minat
para pelancong, semakin unik dan nyeleneh, semakin di cari. Ini mengingatkan
saya pada hostel yang di pesan oleh sahabat saya ketika kami backpacking ke
negara sebelah, dari namanya kok ya, kayak hostel metal yang, instead of
throwing regular party, pasti mareka bikin pesta sesajen ngundang the devil
himself, but no, beda banget. Begitu menaiki tangga ke lantai atas, kita di
sambut tumpukan buku di seluruh anak tangga, seekor buaya awetan menggantung di
dinding tangga (ya, mungkin memang bekas hostel-nya dark metal). Saya dan 2
teman berbagi 1 kamar dengan attached bathroom, 1 kasur bunk bed; single
diatas, queen size di bawah, sedangkan teman yang 1 lagi harus rela tidur di
ruang tengah (disitulah tidur, disitulah mingle sebagai ruang tamu) di co-ed
room. Hostel unik ini hanya mempunyai 1 kamar mandi di dapur (bayangkan jika
yang tidur di luar semuanya kebelet) dan dapur yang memudahkan kita untuk masak
sendiri (bersihkan dan cuci piring sendiri, ya). Pemiliknya (yang terlihat nerd
ketimbang gothic) mengisi semua perabotan yang ada dari barang terpakai yang di
daur ulang; lemarinya adalah kulkas, tempat suratnya terbuat dari microwave
besi jadul, kursi duduknya terbuat, jeng, jeng, jeng; TOILET DUDUK. Yes, semua
di daur ulang, di poles lagi dan menjadi ciri khas hostel ini. Quirky sekali.
Mejanya adalah meja mesin jahit jadul. Sofanya pun kemungkinan sofa bekas yang
di buang orang di sudut jalan. Komputernya jangan ditanya: Windows 98!.
(Btw, ini
kursi toilet, kebayang deh, berapa banyak yang telah boker situ, just FYI).
Ada lagi 1
hostel yang tak kalah unik, eh tapi lebih aneh sih tepatnya, tidak ada
jendelanya, berada di tingkat 2 sebuah ruko, semua kamar berbentuk kubus
berjejer. Semalaman saya begitu pengap (cuma ada AC tua yang sepoi-sepoi), untunglah
ruangan yang idealnya hanya untuk 2 orang kala itu hanya ada saya seorang
(kebayang rebutan udara). Hostel unik yang bangunannya sudah ada dari jaman
colonial pun tidak kalau seru; semua lantai dibuat dari kayu jadi ketika jalan
berderik- derik seram. Resepsionis hostel menempatkan saya di ruangan attic (ya
ampun, itu cita- cita banget punya ruangan tidur di attic) dikarenakan saat itu
bukan peak season, jadi bisa menawar harga. Sayangnya mareka tidak begitu
memperhatikan ruangan paling atas sekali ini yang nyaris terbengkalai; binding
untuk jendela sudah rusak menjuntai, namun yang lainnya perfecto; tidak ada
bunk bed, cuma ruangan dengan 3 kasur single yang saya huni sendiri, cukup spacious
walau ranjangnya kreor- kreot, plus sinki untuk cuci tangan tanpa kamar mandi
(cukup jalan lurus turun 6 anak tangga di depan kamar).
Lalu bicara
soal sarapan di penginapan, biasanya hostel jarang menyediakan makanan, karena
harga mareka sudah terlalu murah (minta breakfast, ya mimpilah!). Tetapi tidak
sedikit hostel juga berbaik hati menyediakan sarapan yang lumayan (daripada
cuma air putih dong, harus bayar). Kami mendapatkan sarapan yang luar biasa di
sebuah wisma jadul (full lukisan perempuan tempo dulu yang-entah-siapa, patung-
patung kayu, besi, batu segala bentuk rupa, sisi ruangan yang gelap dingin)
dengan harga yang lebih sesuai dengan hotel bintang 1 paling tidaknya (wisma
sih, tapi cukup mahal juga apalagi tambah ekstra bed), sarapannya itu lho;
kalah deh, Club Med (hahay!). Awalnya kita tidak mengira mareka akan menyajikan
sarapan, begitu sampai dari sarapan di luar, sang bapak pemilik wisma dengan
sedikit kesal bilang untuk kita segera menghabiskan semua sarapan yang telah disisihkan
untuk kita!. Ada lontong sayur, pecal, katupek gulai paku, bihun goreng, mie goreng,
nasi goreng, roti tawar dengan bermacam selai, sate padang, sate kacang, dadih,
teh, kopi, susu, milo, jus jeruk, dan
lain-lain. Melongo, saya mencoba mencicipi ala kadarnya dikarenakan perut sudah
penuh duluan.
Sarapan
terkocak adalah ketika kami menginap di wisma (satu-satunya saat itu) dekat
perkebunan teh, lagi- lagi hanya Rp 35.000/ malam (padahal jarak cerita
penginapan murah dari pengalaman di atas cukup jauh, 6 tahun), yang dengan muka
datar si pemilik bilang kami mendapatkan 1 kali makan malam dan 1 kali sarapan.
Ketika di tanya menunya apa, si pemilik bilang ‘mie something’, saling
berpandangan semua teman berharap saya mengerti apa yang di ucapkan oleh si
pemilik (yang sangat datar namun sebenarnya canggih). Begitu makan malam
terhidang (harusnya supper karena kami sampai tengah malam setelah nyasar
setengah hari, maklum belum ada GPS dan tidak bawa peta, bermodalkan tanya
sana-sini), ternyata oh ternyata ‘mie something’ itu adalah INDOMIE REBUS
SPECIAL PAKAI TELUR (hallo Indomie, sponsor saya, dong!). RASA KARI AYAM.
Chimicanga!
.
.
Posisi
strategis juga berpengaruh besar melebihi layanan atau interiornya (banyak yang
memilih akses cepat ke spot pariwisata ketimbang bentuk hotel-nya), bahkan
posising gang jalan juga ternyata bisa mempengaruhi kamu bakalan di cap wanita
malam apa tidaknya (padahal kamu sebenarnya turis yang tidak bersalah). Ibu
warung memanggil saya yang lagi celingak-celinguk cari hostel di tepi jalan.
“Mbak,
jangan kesana, di sana tempatnya para cewek jalananan!”, teriaknya pada saya.
Okay, dengan
hanya merentangkan tangan saja saya bisa di anggap kategori cewek jalanan di
sebelah kiri dan turis lugu di sebalah kanan karena pemisah ‘tak kasat mata’
penginapan yang saya hendak tuju dan rumah mesum hanyalah got kecil yang
mengalir di samping keduanya. Baiklah.
Serba- serbi
dalam menemukan maupun menginap sungguh sangat seru dan menarik (service hotel
berbintang memang dahsyat sesuai tarifnya), terkadang kocak (sesama backpacker
yang mencoba ngobrol tapi salah pengertian karena tidak bisa berbahasa Inggris,
pakai bahasa tubuh dan jari), mencengangkan (ukuran kamar tidurnya 4 kali
ukuran kamar saya), creepy (dengar suara- suara seram) maupun sedih (curhat
owner-nya bercucuran air mata sampai ke masalah anak-anaknya atau menginap di
kantor polisi karena nyasar kemudian dengan baiknya si bapak mengantar kita
dengan mobil polisi sambil meraung-raungkan sirene-nya yang khas itu) memperkaya
kisah petualangan saya juga turut mengasah skill berakting saya; muka memelas
sedikit, di kasih sarapan lebih.
Namun lagi- lagi secara pribadi saya memilih
menggunakan hostel ketimbang hotel atau cottage jika sedang lagi backpacking
(yalah, sesuai isi dompet), karena dasarnya; itu hanyalah tempat saya menumpang
tidur namun jika beruntung menemukan keunikan (dan keanehan; mural Little
Prince di sebuah hostel yang sama sekali tidak nyambung dengan bentuk
hostel-nya sendiri, berhantu yang mindahin barang seenaknya) karena biasanya
saya traveling dengan jumlah orang yang minim bahkan seorang diri. Entahlah,
penginapan bujet biasanya di ‘huni’ oleh orang- orang yang lebih ramah, suka
bercerita, bergaul dan lebih mau berbagi (tempat makan murah, jalan tikus, event
setempat). Tidak menutup kemungkinan juga orang- orang yang juga menginap di
hotel mewah pun, kemungkinan berbagi juga (tempat party yang asyik, shopping dimana,
trik selfie yang menutup background dan menampilkan full muka).
Mungkin
sedikit disayangkan saya begitu menghayati keunikan penginapan yang pernah saya
‘hinggapi’ sampai lupa mendokumentasikannya. Karena oh karena hari begini butik
hotel sudah mulai menjamur dan sangat instagramable membuat orang
berlomba-lomba mengunduhnya dengan caption kata-kata mutiara yang sering salah translate.
Maybe next time saya akan lebih ‘aware’ dalam hal dokumentasi dan menghindari
caption ngaco biar terlihat bijaksana itu.
Masih begitu
banyak lagi cerita seru lainnya yang kalau di tulis mungkin bisa jadi buku
’pengalaman somplak selama menginap’, dari judulnya kurang menjual, ya. Kamu
bisa berbagi pengalaman seru kamu di kolom komentar dan mari kita tertawa
ngenes bersama. Di tunggu, lho.